Monday, 28 April 2008

TOLONG JAUHKAN SINETRON DARI ANAK REMAJA


Hampir setiap hari tayangan sinetron muncul di televisi. Tentu saja hal tersebut bukanlah fenomena asing bagi kita. Hanya kecenderungannya, sinetron-sinetron Indonesia mulai mencari segmen baru, yakni pada golongan remaja. Sehingga tidak heran jika kemudian kita menyaksikan kisah percintaan muda-mudi yang penuh polemik, namun si cowok ditampilkan dengan mengenakan celana gantung ke sekolah dengan bahan dasar biru. Tentu ini bukan trand baru, melainkan kisah percintaan itu terjadi antara dua remaja yang masih duduk di bangku SMP. Namun hiruk-hiruk pikuk persoalah yang mereka hadapi layaknya persoalan orang dewasa. Bahkan di salah satu sinetron, ada yang mengambarkan perselingkuhan disimbolkan dengan adegan ciuman antara si pria dengan perempuan lainnya. Dan sekali ini konteksnya ini terjadi pada remaja yang masih duduk di bangku SMP.

Trend ini menurut hemat saya terjadi sejak kesuksesan film layar lebar menyajikan kisah percintaan remaja SMA (Ada Apa dengan Cinta). Namun sesaat itu juga peluang ini dimanfaatkan oleh sineas untuk mereproduksinya ke dalam sinetron. Pada awalnya sasaran pada anak-anak yang masih duduk di bangku SMA, namun apakah karena sebuah ide kreatif atau oportunis kemudian menjadikan sasaran selanjutnya remaja awal, yang masih duduk di tingkat SMP. Asal saja anak SD tidak dijadikan sasaran. Tentunya saja membuat kategorial ini berdasarkan konteks pendidikan yang dimunculkan dalam scane cerita. Dan ini adalah tindakan yang rasional mengingat remajalah yang kemungkinan besar menghabiskan banyak waktu di depan televisi.

Sinetron dan Dampak Buruknya
Perihal apakah yang sesungguhnya diperoleh remaja dari cerita-cerita sinetron?. Tentunya kita tidak perlu berharap banyak dari sinetron karena pembuatannya dari awal tidak pernah memiliki orientasi pendidikan. Lihat saja hal-hal yang muncul dalam sinetron remaja. Sensualitas tubuh, wanita yang seksi dan pria yang modis, berbadan bidang atau macho, remaja yang tampak cool dengan mobil mewahnya, seks diidentikkan dengan cinta, pemberontakan terhadap orang tua demi membela percintaan yang terlarang adalah simbol kedewasaan, fasion sebagai identitas. Intinya kehidupan remaja seolah terpusat pada gaya, fisik dan hubungan romantisme.

Dan sinetron tidak pernah bermaksud mendorong remaja untuk memiliki impian untuk bisa sejenius Einstein, Habibie atau menjadi seorang pribadi yang cinta tanah air. Karena scane demikian sudah menjadi jatah film layanan masyarakat dan dokumenter.

Sinetron menjadi sebuah ruang simulasi dimana segala sesuatu menjadi mungkin, menciptakan sesuatu tanpa acuan realitas. Sehingga sinetron mampu menampilkan sesuatu hal yang unik, nyeleneh, melanggar batas-batas, apalagi yang bersifat sensual dan vulgar, karena semua itu cukup menarik efektif menarik perhatian pemirsa.

Di sisi lain, sinetron seolah menjadi sahabat remaja, yang tengah mencari identitas, lepas dari standar orang tua yang memusingkan. Bahwa remaja seolah memiliki gayanya sendiri yang cenderung progress dari apa diajarkan orang tua, dan simpel. Karena menjadi remaja yang trand, cukup mengetahui cara berpakaian stylist, menata rambut dengan model tertentu, percintaan yang lebih terbuka. Sekaligus sinetron selalu memenangkan percintaan remaja di hadapan orang tua. Karena larangan pacaran atau segala bentuk pembatasan orang tua adalah bentuk kekolotan dan melawannya adalah bentuk perjuangan sebuah kemajuan.

Yang pasti bahwa apa yang dimunculkan dalam sinetron adalah sebuah realitas imajiner. Jika dulu tidak wajar anak sekolah menggunakan baju seragam yang ketat, dibiarkan keluar, atau yang gadisnya mengenakan rok mini. Namun apa yang ditonjolkan sinetron, anak sekolah yang mengenakan baju acak-acakan, rambut ditata secara trandy dan semua itu awalnya hanya ada di dunia sinetron dan tidak di dunia nyata.

Namun apa yang terjadi saat ini, bahwa tidak lagi sulit menjumpai remaja yang telah menyesuaikan gaya hidupnya dengan apa yang ia saksikan di televisi. Demikian halnya remaja yang menahan tangan guru ketika hendak ditampar, atau berciuman di taman sekolah, anak SMP yang membawa mobil mewah, semuanya itu pada awalnya hanya ada di dunia sinetron. Namun remaja di dunia nyata secara berangsur-angsur tapi pasti mulai mewujudkannya dalam kehidupannya.

Maka saat ini kita harus menyaksikan berbagi fenomena perilaku destruktif remaja. Remaja yang konsumtif, karena ia tertarik untuk menyesuaikan penampilannya dengan artis di televisi. Remaja yang terjerumus pada perilaku seks bebas, karena ia tidak dapat membedakan antara cinta sejati dengan birahi karena sinetron juga menyamarkannya. Tindak kekerasan dan pemberontakan remaja terhadap orang tua maupun otoritas tertentu, juga tidak mustahil sebagai dampak dari apa yang ia lihat setiap hari di televisi.

Pembatasan Media
Bahwa televisi menjadi sahabat remaja, yang menghabiskan banyak waktunya di depan televisi. Sehingga tidak heran apa yang tayangkan di televisi secara langsung maupun tidak lansung mempengaruhi sikap dan sifat remaja. Sedangkan di sisi lain remaja memiliki daya kriris yang rendah dalam memandang apa yang ia saksikan.

Namun sineas, memilih untuk membuat sinteron dengan tema-tema demikian, dan stasiun televisi menayangkan sinetron seperti ini hanya untuk satu tujuan, yakni profit. Dan mereka tidak memiliki kepentingan terhadap dampak selanjutnya.

Secara etis tindakan demikian tidak dapat dibenarkan, namun kenyataannya, logika media massa adalah demikian. Oleh sebab itu, maka media massa dan para sineas perlu dibatasi daya kreatif dan keserakahannya dalam mengisi pundi-pundi keuntungannya. Bahwa kepetingan sineas atau stasiun swasta harus sesuai dengan kepentingan bangsa.

Sehingga pemerintah patut menetapkan kelompok umur yang dapat dijadikan sebagai konsumen sinetron-sinetron yang hanya bertujuan hedonis semata, dibatasi pada usia dimana seseorang dapat telah dapat menilai apa yang disaksikannya secara kritis. Sedangkan remaja disediakan film-film yang mendorong peningkatan rasa tanggung jawab terhadap masa depannya, pengetahuannya, dan bukan dijadikan objek sineteron atau iklan remaja yang disajikan secara murahan.

Media harus menjadi bagian dari konsensus nasional dalam menciptakan manusia Indonesia berkualitas di masa depan, sekaligus sebagai pembatas logika keuntungan ekonomi semata. Dan media harus memiliki tanggung jawab atas itu, melalui tayangan yang bermutu, bertujuan untuk penyebar ilmu pengetahun, serta memunculkan figur-figur yang dapat dijadikan contoh bagi remaja. Sehingga porsi iklan ataupun sinetron murahan yang ditujukan bagi anak remaja sama sekali hilang.

Apakah ini sebuah propaganda atau bentuk pembatasan kebebasan ekspresi seni? tentu tidak. Bahwa kondisi ini tidak berkaitan atau membatasi media dalam menyampaikan informasi untuk mengkoreksi kebijakan pemerintah. Hanya tujuannya membersihkan cerita imajiner yang dapat membentuk perilaku negatif pada remaja. Bahkan menurut saya sinetron cenderung menjadi sebuah propaganda massif, yang membentuk sikap-sikap tertentu pada remaja, konsumtif yang menguntungkan industri mode. Atau membuat remaja lebih terbuka terhadap hubungan romantis dan seks, pemberontakan terhadap otoritas, meskipun sikap sebaliknya lebih baik.

Namun saya juga pernah mendengar pendapat salah seorang artis (saya lupa namanya dan mungkin banyak juga orang berpikiran demikian) yang terdengar sok demokrasi. Untuk apa dibatasi, toh remaja juga dapat mencari hal-hal yang merusak di internet atau dari VCD bajakan?

Argumen ini cacat logika karena analog dengan pernyataan untuk apa melarang orang membunuh, toh dimana-mana banyak terjadi pembunuhan. Bahwa yang tidak baik tentunya tidak patut dilaksanakan, meskipun hal yang buruk tidak dapat dihindari sepenuhnya. Setidaknya media secara moral tidak terlibat dalam pengrusakan mental para remaja calon pemimpin bangsa.

Oleh sebab itu tidak ada alasan untuk terus membiarkan sinetron murahan menghiasi televisi lengkap dengan iklan-iklan yang tidak mendidik ditujukan bagi remaja. Kita harus melindungi anak-anak dari upaya proganda media, baik sadar maupun tidak sadar, untuk menjadi konsumtif dan berjiwa pemberontak. Salah satu solusi terbaik adalah dengan peraturan pembatasan atau pelarangan penayangan sinetron bertema percintaan atau iklan bertema pada remaja. Dan dengan penerapan yang tegas terhadap peraturan tersebut diharapkan pemeritah dapat secara berwibawa membatasi ambisi media atau sineas untuk mengeruk keuntungan secara tidak etis.

No comments: