Monday, 28 April 2008

IKATAN SOSIAL PEREDAM EFEK NEGATIF KAPITALISME (KASUS KELUARGA SILABAN)


“Kami dengan sepenuh hati menyerahkan uang ini untuk biaya pengobatan lae kami, walau sedikit namun kami harapkan dapat membantu,…..ini, mohon diterima sebesar 10 juta rupiah”, kata amang Silaban sambil menyerahkan amplop berisi uang kepada itonya, R. Silaban yang suaminya sedang terbaring sakit. R Silaban tidak dapat menahan haru dan secara mendadak memeluk tubuh amang Silaban sambil menumpahkan tangisnya. “Terima kasih, ito”, katanya sambil tersedu….

Destruktif Kapitalisme
Konon katanya kita tengah hidup di dunia yang kejam. Coba lihat saja kenyataan yang ada disekeliling kita, kejahatan terjadi dimana-mana, kemiskinan merajalela, penghisapan di antara manusiapun muncul dengan berbagai rupa. Banyak manusia tereksplotasi, anak-anak yang diperjualbelikan oleh orang tuanya, gadis-gadis yang diperdagangkan pada hidung belang atau orang-orang yang dimanipulasi dengan dikirim ke luar negeri tanpa sebuah jaminan. Barangkali kita tengah berada di zaman edan sebagaimana ramalan Jayabaya.

Meskipun terlihat tragis, sesungguhnya tatanan sosial dan hubungan ekonomi masyarakat saat ini tengah mendekati apa yang dicita-citakan oleh Adam Smith maupun para pemikir masa lampau, ketika urusan ekonomi lepas dari campur tangan negara, masyarakat memasuki masa dimana demokrasi tengah dilembagakan, kebebasan pers dipelihara, setiap orang dapat menyampaikan pendapatnya dengan bebas dan pemimpin dipilih oleh pilihan rakyat secara langsung. Belum lagi kita tengah berada di era dimana teknologi sedemikian berkembang dan barang pemuas kebutuhan diproduksi secara berlimpah oleh industri massal. Tentunya hasil akhir adalah masyarakat sejahtera dan bebas dari eksploitasi. Adam Smith meyakini bahwa pasar atau hubungan ekonomi, darimana manusia memenuhi kebutuhannya, memiliki hukum yang akan membawa kehidupan manusia pada keseimbangan [1]. Artinya dalam kondisi pasar yang sempurna akan membawa kesejahteraan pada setiap umat manusia. Jadi biarkan saja urusan penyediaan kebutuhan hidup disesuaikan sepenuhnya dengan mekanisme pasar.

Namun kenyataan yang terjadi, pasar kadang bekerja tidak sempurna. Kekayaan dan surplus dari sebuah aktivitas produksi tidak serta merta terdistribusi secara adil. Misalnya saja hal yang terjadi di Indonesia bahwa setengah total pendapatan negara hanya dimiliki 2 persen penduduk Indonesia. Artinya kekayaan dan aset-aset yang diperlukan untuk aktivitas produksi hanya dimiliki segelintir orang dan mereka kemudian dapat menikmati hidup secara berkelimpahan. Selebihnya hanya menjadi penonton dari kemegahan berbagai fasilitas sosial dan kemegahan peradaban yang diciptakan khusus bagi mereka yang bisa membayar. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnyapun kadang harus empot-empotan. Berdasarkan data BPS diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta orang (17,75 persen) artinya ada hampir 39,05 juta orang yang memiliki pendapat rata-rata Rp. 152 .847,-dan sebagian besar dihabiskan untuk menyediakan kebutuhan makanan sehingga tidak mungkin bagi mereka menikmati barang-barang kemewahan.

Meskipun demikian, mereka yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnyapun turut mengalami penurunan kualitas psikologis. Adam Smith mensyaratkan bahwa seseorang harus memberikan kontribusi agar dapat memperoleh insentif yang sebanding, karena tidak ada yang cuma-cuma dalam sistem kapitalisme. Namun obsesi untuk mendapatkan upah, bunga maupun profit yang merupakan pendapatan dari aset yang dimiliki dapat menjadi sebuah keinginan yang desktruktif. Jika pemilik modal berusaha untuk memaksimalkan perolehan profitnya, tenaga kerja berusaha mengharapkan gaji dan pemilik aset berusaha mendapatkan sewa semaksimal mungkin, pada akhirnya dapat menciptakan suasana saling eksploitasi. Namun siapakah dari mereka yang menang?Apakah ada kemenangan itu?

Secara parsial mungkin ya, seorang pemilik modal mungkin akan mendapatkan profit dengan mengeskplotasi tenaga kerjanya, seorang tenaga kerja dapat memperoleh gaji yang tinggi setelah mampu menekan perusahaannya, namun secara keseluruhan mereka tengah membentuk sebuah hubungan yang sosial yang merugikan bagi jiwa manusia baik yang mengalami kemenangan maupun kekalahan. Saat setiap orang akan berusaha untuk mendapatkan keuntungannya dengan membangun jaring-jaring impersonal dengan menjadikan setiap hubungan sebagai sarana untuk memaksimalkan keuntungan dengan mengorbankan orang lain. Sehingga kualitas hubungan antar manusia tereduksi, saling mengeksploitasi, tanpa ikatan emosional, memperhamba materi. Hubungan antar manusia menjadi saling curiga serta penuh kekhawatiran. Jika untung saat ini maka selalulah berjaga-jaga karena besok orang lain mungkin akan memanfaatkan kita.

Lebih ironis lagi, di masa penuh kemajuan ini semakin banyak orang yang mengalami keterasingan, sindrom kesepian dan kehampaan hidup. Kondisi sosial yang tercipta saat ini meningkatkan stres, konflik, kecemasan, masalah psikososial, perubahan perilaku, dan meningkatnya gangguan mental yang beraneka ragam [2]. Misalnya saja di Indonesia menunjukkan bahwa 30-50% pasien yang berobat ke fasilitas kesehatan umum (termasuk rumah sakit) ternyata mempunyai latar belakang gangguan mental emosional. Di Indonesia, diperkirakan satu dari lima penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa dan mental [3]. Jika hubungan kapitalisme di satu sisi memberikan kesenangan sesaat namun di lain waktu menanamkah kekhawatiran, siapakah yang sesungguhnya diuntungkan dari keberadaan sistem kapitalisme?

Ikatan Sosial sebagai Sarana Peredam Efek Buruk Kapitalisme
Untunglah masyarakat kita masih menyediakan berbagai bentuk komunitas yang dapat berfungsi sebagai peredam berbagai dampak buruk kapitalisme. Berupa serikat persaudaraan, ikatan tolong menolong yang terbentuk didasarkan ikatan primordial yang tanpa kita sadari dapat merealisasi atau mensubsitusi fungsi hubungan ekonomi kapitalisme. Jika melalui ikatan kapitalisme kita dapat menyediakan kebutuhan kita melalui kontribusi produktif maka hal yang sama dapat terjadi melalui ikatan tolong menolong. Penyebaran modal di kalangan orang Cina di Indonesia tidak selalu didasarkan pertimbangan ekonomis namun karena ikatan persaudaraan semata. Mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya dapat memperoleh kebutuhannya melalui ikatan persaudaraan tersebut. Pemberian dalam konteks sebuah ikatan sosial demikian tidak selalu ekspresi kemurahan hati si pemberi melainkan sebagai sebuah kewajiban [4].

Pemberian dalam ikatan kekeluargaan/sosial lebih berorientasi pada hubungan personal. Pemberian itu terjadi karena si pemberi menghormati atau merasa bagian dari kehidupan si penerima dan bukan untuk mendapatkan sesuatu melebihi yang ia berikan. Sehingga tindakan tersebut didorong dari sebuah empati. Berbeda dengan hubungan kapitalis dimana sisi manusia tidak dipentingkan karena setiap orang berusaha mendapatkan keuntungannya masing-masing. Seorang penjual melemparkan senyum terindahnya bukan karena ia menghargai atau terikat secara emosional dengan pelanggan namun karena dengan demikian si pelanggan merasa nyaman dan kemudian melakukan pembelian, itulah tujuan yang diharapkannya.

Misalnya saja ikatan marga dikalangan orang Batak. Di sana terjadi hubungan yang hangat tanpa melihat siapa anda, apa yang bisa anda tawarkan, seberapa produktifnya anda. Yang penting anda adalah keluarga saya. Setidaknya apa yang saya saksikan pada sebuah acara Bona Tahun Silaban di Bogor (Februari 2007) menjadi bukti ampuhnya ikatan persaudaraan untuk mendistribusikan aset dan kekayaan khususnya bagi mereka yang berkekurangan. R. Silaban hanya seorang perempuan yang memiliki penghasilan pas-pasan dan harus merawat suaminya yang sedang sakit. Dalam hubungan kapitalis, saat seseorang tidak mampu menawarkan sesuatu maka ia tidak akan mendapatkan apapun, tak perduli apakah sedang tertimpa musibah, sedang menderita, tetap harus menawarkan sesuatu. Jika tidak memiliki skill setidaknya seseorang masih dapat menjual harga diri atau menjual organ tubuh yang berharga seperti yang terjadi di India. Namun untung R. Silaban menjadi bagian keluarga besar Silaban yang masih menghargainya sebagai seorang manusia meskipun ia tidak memiliki apapun untuk ditawarkan. Uang sebesar 10 juta mengalir kepadanya wujud keprihatinan Saudaranya tanpa memandang siapapun dia. Tangisan menjadi sebuah simbol terjadinya sebuah hubungan yang sangat manusiawi. Namun yang menjadi pertanyaan apakah ia dapat memperoleh uang 10 juta rupiah dengan begitu mudahnya melalui hubungan kapitalis murni.

Disamping itu kita sering tidak menyadari bahwa apa yang dapat kita peroleh dari kapitalisme hanyalah kebutuhan yang bersifat materialisme. Malah pasar, sedikit banyak menjadi pelembagaan dari individualisme dan sifat tidak bertanggung jawab [5]. Dengan gaji atau keuntungan yang kita peroleh memang kita dapat membeli makanan yang nikmat, rumah yang nyaman maupun menyewa kapal pesiar dari pelaku ekonomi lainnya. Namun dapatkah lebih dari itu? Apakah kapitalisme dapat menyediakan penghargaan dan cinta kasih? Jika dapat, dimana kita dapat membelinya? Menurut Maslow jika kita telah mampu membeli makanan yang lezat, mobil yang trendi, atau menyewa sebuah resort yang indah, sesungguhnya kita baru saja memenuhi kebutuhan yang bersifat dasar, bersifat fisiologi. Namun kebutuhan manusia lebih dari itu, manusia membutuhkan cinta, kasih sayang dan penghargaan serta ruang baginya untuk mengekspresikan diri. Hanya dengan demikian manusia dapat menjadi manusia yang mampu mengaktulisasikan diri, dan dapat menikmati kehidupan meskipun di tengah kondisi fisik yang tidak nyaman.

Ironisnya lagi kita sering menyaksikan bahwa orang-orang yang berkelebihan kekayaan seringkali tidak menikmati hidupnya. Mereka tidak sanggup menikmati realitas kehidupannya sehingga lari kepada realitas maya apakah dengan menggunakan obat-obat yang memabukkan atau larut dalam kesenangan maupun dunia penuh hura-hura untuk melarikan dirinya dari realitas. Atau bahkan memilih untuk mengakhiri hidup karena kehidupan tidak lagi menyenangkan dan membahagiakan. Menurut Durkheim dalam kondisi masyarakat yang ikatan sosialnya rendah tingkat kasus bunuh diri [6] maupun kelainan jiwa relatif tinggi. Dan menurut Psikolog senior, Sartono Mukadis Sartono tingginya kasus bunuh diri menandakan sebuah masyarakat yang sedang sakit.

Sekali lagi ikatan persaudaraan dapat menjadi sarana untuk mencegah kondisi tersebut di atas. Disanalah kita memperoleh kebutuhan psikologis akan cinta kasih, penghargaan sehingga seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya. Dalam hubungan demikian orang lain mau meluangkan waktunya untuk mendengarkan kita menceritakan segala persoalannya dan memberikan dukungan. Tidak saja kesedihan, kegembiraanpun dirayakan bersama. Saat itulah kita menjadi sebagai manusia apa adanya, dengan sisi lemahnya dan bukannya menjadi mesin pekerja sebagaimana dalam dunia kerja yang menuntut kita untuk senatiasa kuat dan tegar.

Pilihan Masyarakat dan Harapan
Setiap orang memiliki kesempatan untuk membina hubungan demikian, namun banyak orang saat ini lebih memilih menghabiskan waktunya bekerja, larut pada hubungan yang bersifat impersonal daripada meluangkan diri sejenak untuk bersama membangun sebuah ikatan sosial yang erat. Banyak orang yang kemudian menilai betapa tidak bermanfaatnya kegiatan mengunjungi Saudara, perkumpulan keluarga, kelompok pengajian, komunitas tolong-menolong dsb. Coba bayangkan jika waktu yang digunakan berkunjung digunakan mencari duit, tentunya begitu banyak yang dapat diperoleh. Bahkan kalau perlu hubungan persaudaraan dibisniskan, sehingga muncul slogan Saudara-saudara- bisnis-bisnis. Banyak orang yang sulit meluangkan waktunya untuk menghibur Saudaranya yang tengah kesusahan atau ikut serta dalam sebuah acara kebersamaan dengan alasan sibuk namun jika diajak mengunjungi tempat-tempat hiburan maka segala kesibukan dapat dengan mudah ditinggalkan. Membina hubungan persaudaraan diperlukan sebuah pengorbanan setidaknya untuk menumbuhkannya.

Menyedihkan memang namun demikianlah kehidupan kita saat ini, banyak dari kita lebih memilih hal yang merusak dari pada hal yang mampu menyempurnakan hidup kita. Kapitalisme mampu menarik hati bagitu banyak orang sebagai sarana untuk mendapatkan berbagai sumber penghidupan, uang, barang kebutuhan dsb. Namun saat manusia dengan manusia lainnya terhubung secara impersonal maka sesungguhnya kehilangan bentuk pemenuhan kebutuhan lainnya. Namun waktu manusia modern lebih banyak dihabiskan dapat hubungan kapitalisme. Dalam 6 hari seseorang menghabiskan 8 jam bahkan lebih waktunya di tempat kerja, dan sisanya digunakan kesenangan sendiri, kapan waktu untuk membina hubungan sosial.

Barangkali setiap orang terkait dalam sebuah jaringan sosial satu sama lain, dan jika setiap orang memelihara dan lebih mengutamakan jaringan tersebut dalam berinteraksi maka kekayaan akan terdistribusi dengan sendirinya. Satu sama lain akan saling mendukung dengan sebuah prinsip bahwa “kita bersaudara sehingga aku memberikan hal ku miliki tanpa pamrih”. Barangkali pada saat itu setiap umat manusia bersaudara, dan tidak lagi melakukan segala sesuatu dengan berorientasi pada kepentingan sendiri. Namun yang menjadi pertanyaan mungkinkah hal tersebut terjadi? Semoga saja….


Catatan Kaki
[1] Menurut keyakinan Adam Smith hukum ekonomi adalah hukum alamiah, yang secara otomatis akan mendorong masyarakat ke arah keseimbangan. Pandangan demikian setidaknya mencerminkan ide pemikiran pada masanya yang terinspirasi oleh pandangan Newton bahwa alam adalah sebuah mesin raksasa yang telah bekeja secara otomatis berdasarkan hukum-hukum keseimbangan. Tugas seorang ilmuan dalam hal ini adalah mengartikulasikan hukum-hukum tersebut dan apa yang dituangkan oleh Adam Smith dalam bukunya The Welath of Nation adalah artikulasi hukum sosial yang dianggapnya alami tersebut.
[2] Kutipan dari kompas tahun 2006
[3] Idem
[4] Stephen M.L., Indirect Symbolic Violence and Rivalry between Equal ini Rurak Punjab, Pakistan, Durham Anthropology Journal ,Vol 12(1) 2004 , p-37
[5] E.F Schumacher, Kecil itu Indah (terjemahan) hlm-43
[6] Dalam hal ini adalah bunuh diri yang bersifat egoistik yang merupakan akibat dari keakuan seseorang menyatakan dirinya berlebihan dihadapan pribadi sosial dengan mengorbankan pribadi sosial itu (lihar Anthony Gidden, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern (terjem) hlm-105)

1 comment:

Unknown said...

[SB] said :
Terimakasih sudah berbagi wacana..
Mohon ijin republish artikel ini di web kami, www.silaban.net