Thursday, 24 April 2008

PERSOALAN AHMADIYAH, KEBENARAN AGAMA DAN SPIRITUALISME


Akhir-akhir ini muncul polemik tentang apakah Ahmadiyah tetap dapat menjalankan aktivitasnya di Indonesia. FUI bersikeras menuntut pemerintah untuk mengeluarkan SK menyerukan bahwa Ahmadyah adalah aliran sesat. Dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) pada Rabu (16/4) lalu telah mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah membubarkan segala kegiatan jamaah Ahmadiyah di Indonesia karena terbukti beberapa materi ajarannya menyimpang dari kaidah pokok agama Islam (Depkominfo).

Namun di sisi lain dalam wawancana di sebuah televisi swasta Adnan Buyung Nasution mengkhawatirkan (SCTV, 24 Maret 2008), bahwa dengan memformalkan pelarangan tersebut malah memberikan legitimiasi terhadap kelompok tertentu melakukan anarkisme terhadap kelompok Ahmadyah.

Pihak Ahmadyah juga menolak jika disebut sesaat. Mereka mengklaim sebagai Islam sejati karena juga menjalankan ibadah dan melaksanakan perayaan agama sebagaimana umat Islam ini lainnya.

Kenyataan Dibalik Fenomena Pelarangan
Namun hal apa yang sungguhnya tengah terjadi dibalik hiruk pikuk persoalan Ahmadiyah?

Pertama, kehadiran Ahmadyah mengambarkan bahwa masyarakat Indonesia tidak dapat dibekap dalam sebuah pemahaman agama yang bersifat dogmatisme dan patenalistik. Islam tidak lagi dipahami sebagaimana yang diajarkan oleh para pemimpin agama atau ulama. Melalui kemajuan media informasi dan komunikasi(intenet) serta pergaulan intenasional membuat masyarakat Indonesia dapat bersentuhan dengan pemikiran, atau ajaran Islam yang berbeda.

Hanya, para pemimpin agama atau ulama belum sepenuhnya menyadari hal ini. Umat Islam di Indonesia tetap dipandang masyarakat terbatas dan primordial yang pemahamannya akan Islam hanya berasal dari ulama atau pemimpin agama. Sehingga kemunculan aliran sesat adalah manifestasi penyimpangan pemahaman umat.

Kedua, manusia, sedemikian halnya umat Islam di Indonesia, membutuhkan orientasi hidup. Dan agama merupakan salah satu sumber orientasi kehidupan manusia. Orientasi hidup dalam hal ini mengacu pada konsepsi Enrich Fromm adalah cara individu berhubungan dengan dunia yang membentuk karakternya secara umum . Melalui orientasi hidup manusia membangun respon terhadap konflik yang terjadi dalam kehidupannya (http://en.wikipedia.org/).

Namun orientasi hidup dapat tereposisi ketika gagal mengatasi atau memaknai setiap tantangan hidup yang dihadapinya. Orientasi hidup bertahan, tumbuh berkembang sejalan dengan kontekstualisasi sejarah.

Saat ini masyarakat Indonesia tengah dibebani berbagai masalah sosial. Harga-harga bahan makan melonjak, kehidupan semakin susah, bencana alam terjadi tanpa henti, eksploitasi diantara manusia terjadi dimana-mana. Pemerintah sering berlaku kejam dengan masyarakat kecil, dimana akhir-akhir ini marak terjadi pengusuran pedagang kaki kecil dan pembersihan para gelandangan. Kondisi tersebut dapat membuat masyarakat kehilangan harapan menatap masa depan kehidupannya. Dan dalam situasi kehidupan umat yang memprihatinkan, apakah Islam dengan ajarannya yang benar dapat memberikan orientasi hidup sebagai pegangan bagi masyarakat yang menghadapi tekanan sosial secara bertubi-tubi?

Mudahnya sejumlah kelompok masyarakat Indonesia mengikuti ajaran yang dianggap sesaat, meskipun sejak kecil terdidik menurut ajaran yang benar, barangkali manifestasi keberadaan agama mainstreim beserta ajarannya yang benar tidak lagi bermakna bagi mereka. Mungkin Agama mainstreim terlalu sibuk menegakkan dogma dan membela eksistensinya seolah tengah membela kebenaran Tuhan, namun ada sejumlah umat yang merasa terlupakan. Agama mainstreim berjuang tanpa lelah menilai kesalahan atau mengatasi ancaman dari pihak lain, namun lupa jika umat tengah menghadapi tekanan hidup, termarginalkan secara sosial, mengalami luka-luka batin. Bukankah dalam hal ini agama seharusnya berfungsi menyembuhkan kemelut hati umat?

Ketiga, agama mainsteim tengah mengalami kegalauan atau ketakutan yang tidak beralasan terhadap ancaman dari luar. Umat didorong menutup diri terhadap pengaruh dari luar dengan mengangkat musuh-musuh abstrak/imajiner seperti kaum pluralis, kaum misionaris, dsb. Para pemimpin agama mainstreim seolah kehilangan kepercayaan diri menghadapi kehadiran berbagai ajaran yang berbeda. Sehingga jalan paling aman membuat umat memusuhi segala sesuatu yang dianggap berbeda. Atau dengan melakukan kekerasan serta intimadasi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap mengancam keberadaan eksistensi agama mainstreim untuk mengamankan diri.

Sesungguhnya kecemasan ini menurut hemat saya terlalu berlebihan. Bukankah selama kehadiran agama mainstreim mampu membawa umat pada pengalaman spiritual yang mendatangkan kedamaian batin, akan sangat kecil kemungkinan umat tertarik dengan ajaran-ajaran atau agama lain.

Sikap yang Seharusnya Dilakukan
Oleh sebab itu bagaimanakah seharusnya menyikapi kehadiran Ahmadiyah?

Pertama, ini adalah saat untuk bercermin. Melakukan evaluasi diri akan lebih bermanfaat daripada melakukan kekerasan atau intimidasi terhadap mereka yang berbeda. Mungkin kehadiran agama mainstreim tidak lagi menyentuh kehidupan umat. Tidak lagi menjadi tepat teduh, melainkan institusi otoriter yang semata-mata berfungsi menetapkan benar salah perilaku umat. Melalui evaluasi diri agama mainstreim dapat merubah diri khususnya dalam berhubungan dengan umat.

Kedua, membina dialog dengan mereka yang berbeda. Sejarah membuktikan represi tidak dapat sepenuhnya menghancurkan kehadiran sebuah keyakinan. Bukankah Islam juga lahir ditengah-tengah tekanan dari kaum kafir? Demikian agama besar seperti Kristen?

Tindakan represi seringkali menciptakan kelompok yang semula sesat menjadi kelompok yang tertindas dan mendapatkan simpati dari masyarakat luas. Khususnya masyarakat yang juga tengah tertindas oleh kekuasaan yang lalim. Sehingga represi seringkali menjadi tindakan kontraproduktif.

Namun melalui dialog dapat para pemimpin agama mainsteim dapat memahami mengapa eks-umatnya memilih untuk menyebrang kepada ajaran yang sesat. Mungkin saja mereka mengalami pengalaman religius, meraih ketentraman hati, mendapatkan dukungan sosial yang nyata dari kelompok sesat tersebut. Sesuatu yang sebelumnya tidak diperoleh pada agama mainstreim.

Ketiga, para pemimpin agama mainstreim harus menyadari bahwa pluritas adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari sebagai dampak pergaulan hidup masyarakat yang semakin menglobal. Agama mainstreim tidak saja akan menghadapi kemunculan berbagai ajaran yang menyimpang namun juga tumbuh suburnya pandangan ateistik. Pandangan tersebut dapat merasuki pikiran umat secara masif tanpa terekspresikan dalam sebuah organisasi formal. Tidak ada cara yang paling tepat menghadapi tantangan tersebut selain berupaya untuk memberikan manfaat bagi umat. Sehingga umat tetap teguh pada keyakinan yang benar.

Namun pada akhirnya eksistensi kebenaran agama tidak ditentukan oleh berapa banyak umat yang tercakup di dalamnya. Agama hadir buat manusia, bukan sebaliknya. Agama menjadi mediasi agar manusia dapat bertemu secara pribadi dengan khaliknya. Dogma tidak menjamin seseorang mampu memperoleh pengalaman spiritual. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam pencarian terhadap Tuhan, bahkan tanpa memandang apakah ia seorang pemimpin agama atau umat biasa. Kebenaran agama dibuktikan secara personal dan tidak secara kolektif. Agama yang benar adalah agama yang mampu menjaring makna kehidupan yang berpuncak pada pengalaman spiritual, dengan mengalami kehadiran sang pencipta pada kesadaran batiniah.

Oleh sebab itu polemik tentang eksistensi Ahmadyah tidak perlu terjadi jika semua pihak menyadari bahwa kebenaran agama terletak pada fungsinya bagi kehidupan umat. Dan tidak diidentikkan dengan kebenaran dogma atau ibadah.

No comments: