Wednesday, 23 April 2008

DUNIA POSMO DAN HIPEREALITAS


Kita tengah berada dalam dunia posmo, saat dimana kejernihan realitas dipertanyakan. Konon Karl Marx memahami manusia mahluk yang membangun aktivitas praktis melalui interaksi terhadap dunia sekitar. Bertindak tidak didasarkan dorongan instingtual melainkan melalui proses berpikiR serta memaknai segala sesuatu disekitarnya, atau dalam konsepsi Ernest Cassier manusia bertindak dalam pemahaman simbolis. Realitas membatasi dan menentukan arah progresifitas kesadaran manusia yang hadir begitu saja tanpa interprensi, sehingga kesadaran terasing bertentangan dengan realitas merupakan dampak penanaman ideologi yang menyamarkan realitas.

Realitas dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan menjadi mungkin jika realitas hadir begitu saja dan tampil dalam dirinya tanpa ada distorsi pikiran manusia. Realitas dipahami, memiliki esensi berupa hukum-hukum keteraturan dan menjadi tugas ilmuan mengartikulasikannya melalui eksperimen penelitian. Laboratorium-laboratorium dilengkapi berbagai alat pengamatan canggih dibangun dan digunakan sebagai ujung tombak memecahkan rahasia alam. Kebenaran identik dengan ketepatan proses observasi, karena realitas dengan sendirinya menyatakan dirinya pada manusia selama penelitian dilaksanakan dengan tepat, bebas dari subjektivitas dan membiarkan realitas hadir begitu saja tanpa interprensi.

Pemahaman akan adanya hukum keteraturan di balik realitas bukan ciri spesifik era pengetahuan eksperimental namun sejak dahulu kala. Terdapat siklus alam, matahari akan terbit di sebelah timur dan terbenam di sebelah barat, musim berganti dengan keteraturan yang dapat diprediksi, tidak mungkin musim semi mendahulu musim dingin. Pelaut Yunani dalam legenda, Hippalus secara tradisional telah menggunakan siklus angin muson untuk mempercepat pelayaran sepanjang Samudra Hindia (1). Setidaknya manusia menjalankan hidupnya dengan menyandarkan diri pada pemahaman terhadap siklus kestabilan tersebut. Hanya saja manusia tradisional memahami bahwa keteraturan tersebut disebabkan kerja sebuah kekuatan adikodrati, dewa-dewa atau Tuhan. Kehidupan merupakan hirarki setelah kerajaan sorga dimana Tuhan adakalanya mengintrupsi dunia di bawah untuk menjaga harmoni. Teolog-teolog Kristen sepakat realitas adalah totalitas teratur. Allah berada pada puncak diikuti oleh malaikat, manusia berada dalam posisi sedikit lebih rendah dari malaikat tetapi lebih tinggi dari ciptaannya yang lain (2). Gerakan planet yang penuh keteraturan, dan tidak bertubrukan satu sama lain, menurut Thomas Aquinas, bukti keberadaan Tuhan yang mengatur wujud-wujud raksasa tersebut dapat eksis sedemikian.

Namun pada abad pencerahan konsepsi demikian mulai ditinggalkan dan digantikannya dengan penjelasan naturalis. Penyebab keteraturan bukanlah Tuhan, dewa atau kekuatan adikodrati lainnya melainkan oleh sebuah sebab ataupun kekuatan yang imanen dalam dunia itu sendiri. Maka Tuhan dan dewa digantikan dengan energi, campur tangannya digantikan dengan hukum-hukum aksi dan reaksi sebagaimana konsepsi Newton, pergerakan dan dinamika adalah manifestasi stabilisasi energi secara terus menerus.

Secara perlahan-lahan manusia meninggalkan keyakinan yang berbau metafisis yang turut disebabkan deklanasi lembaga pemeliharanya. Gereja, kekuatan perdukunan, shamanisme, dsb digantikan oleh universitas yang menerapkan ilmu pengetahuan secara praktis dan memberikan sebuah dampak yang memukau. Pengobatan modern seolah telah mematahkan keyakinan orang selama ini bahwa penyakit disebabkan oleh kerja kekuatan roh-roh jahat atau karena dosa yang ia perbuat serta melemahkan kewibawaan pengobatan tradisional dan penyembuhan spiritual. Teknologi membebaskan manusia dari batasan-batasan taboo, larangan menebang pohon di hutan keramat dan berlayar di laut, karena dengan segala kecanggihan alat-alat yang diciptakan tersebut, manusia ternyata tidak terjangkiti tulah-tulah yang berbahaya.
Hilangnya kewibawaan lembaga keagamaan kuno kemudian digantikan dengan kedigdayaan universitas, institusi rasional dan lembaga penelitian. Kehadirannya menjadi simbol berakhirnya dualitas dunia materi dan spiritual. Dunia menjadi semata-mata materi, tidak ada dimensi roh, dan bergerak dalam sebuah prinsip kausalitas, penyimpangan yang terjadi dapat dijelaskan dengan melihat faktor pencetus sebelumnya yang juga real, bukan bersifat supranatural. Hubungan antara suatu kejadian dengan kejadian lainnya diyakini bersifat permanen, suatu kejadian pasti didahulu kejadian tertentu, dan akan terus demikian dulu, sekarang dan masa yang akan datang. Kebutuhan untuk menghasilkan bukti menjadi semakin kuat saat pragmatisme pengetahuan ilmiah mengantikan pengetahuan tradisional yang didasarkan pewahyuan (3).

Demikianlah penjelasan bagaimana realitas menjadi sentral sebagai sumber ilmu pengetahuan serta dasar dari prinsip hidup masyarakat modern. Segala sesuatu kebenaran konsep pada akhirnya harus dikembalikan pada realitas itu sendiri. Setidaknya kebenaran harus bersifat praksis sebagaimana menurut konsepsi Marx. Namun yang menjadi masalah adalah realitas tidak dapat didekati begitu saja, diperlukan sebuah metoda yang tepat dan alat observasi yang memadai. Mikroskop elektronik, laboratorium yang dapat dikondisikan sedemikian rupa, teropong bintang, komputer pembaca data, dsb menjadi prasyarat observasi dapat dilakukan. Maka meskipun realitas ada begitu saja namun tidak semua orang dapat mengartikulasikan kebenaran dari padanya, hak tersebut tidak ada pada orang awam melainkan berada pada tangan ilmuwan. Akses mereka terhadap alat observasipun dibatasi oleh sertifikat akademi sebagai bentuk jaminan intelektualitasnya, ketersediaan dan dukungan dana oleh pihak tertentu seperti negara atau orang kuat.

Ilmuwan bagi masyarakat modern ibarat para Santo pada era skolastik, bahwa melalui merekalah kebenaran itu dapat disampaikan. Selagi anda tidak memiliki prasyarat untuk mengakses pengetahuan jangan pernah sekalipun membantah mereka. Segala aspek kehidupan dari hal praktis hingga hal etis harus disesuaikan dengan pendapat ahli. Bagaimana anda harus makan, cara berjalan, mengenal wanita, bercinta hingga pada bertingkah laku pada sebuah pesta harus sesuai dengan aturan yang diajarkan oleh para ilmuwan yang telah menghabiskan waktunya untuk melakukan penelitian. Ilmu genetis setidaknya menganjurkan pembatasan pilihan pasangan, jika dulu didasarkan pada kesamaan keyakinan maka saat ini didasarkan kesamaan kelayakan genetika, apakah bebas penyakit generatif berbahaya, ilmuwan seperti Galton bahkan menyarankan mengkebiri orang malas, gila, agar sifat yang merugikan demikian tidak sampai diwariskan kembali. Seleksi perkawinan secara pragmatis bertujuan menciptakan manusia yang lebih sehat, pintar, dan mentalitasnya baik sehingga mendorong perbaikan sistem masyarakat serta menurunkan jumlah manusia dengan kondisi genetis yang tidak baik dan meningkatkan jumlah manusia dengan kualitas genetis yang baik (4) .

Deklanasi Masyarakat Modern dan Kelahiran Postmodern
Namun apakah kehidupan yang didasarkan pada kebenaran para ilmuwan menjadi sebuah bentuk masyarakat ideal, seperti halnya masyarakat atlantis sebagaimana konsepsi Bacon masyarakat utopia yang mendasarkan kebenaran pada sesuatu yang teruji secara eksperimental (5). Menciptakan dunia yang lebih baik menjadi tugas fisikawan, ahli biologi, sosiolog dsb. Masyarakat modern saksi dari berbagai kemajuan, penemuan listik, telpon, pembangkit listik tenaga nuklir disamping itu dalam ilmu hayati dikenal kloning, aplikasi bakteriologi, serta modifikasi psikologis. Apakah akhirnya memberikan kebaikan?

Kenyataannya masyarakat modern juga harus menyaksikan sifat destruktif dari ilmu itu sendiri. Pengetahuan fusi energi di satu sisi menjadi dasar penyediaan energi, diarahkan bagi penciptaan bom penghancur maha dasyat. Pembunuhan massal dalam perang antar suku tidak dapat menandingi kekejaman dari pengeboman Hirosima dan Nagasaki menggunakan bom atom yang menghabiskan jutaan nyawa dalam waktu singkat. Ilmu pengetahuan ternyata dapat diterapkan menjadi sesuatu yang merusak kehidupan manusia itu sendiri. Masyarakat abad ke-21 dihantui ancaman sejata kimiawi dan biologi. Disamping itu konsep evolusi yang didegungkan oleh ilmuwan telah memberikan pembenaran terhadap tindakan rasisme, sebagai upaya untuk menghabisi ras lebih rendah mencegah terjadinya pencampuran dengan ras yang lebih tinggi dan menghambat arah evolusi agar lebih progresif (6).

Dalam perspektif ilmu pengetahuan manusia kehilangan dimensi sakralnya, bukannya mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia melainkan hanya mahluk sebagaimana mahluk lainnya mengisi muka bumi. Cinta dan kasih sayang bukan sebagai simbol keagungan manusia namun manifetasi dari kerja otak dan hormonal. Sehingga manusiapun tidak luput dari objek penelitian. Orang-orang idiot, penjahat, mayat-mayat tanpa identitas diteliti untuk mengetahui bagaimana tubuh bekerja sebagai sebuah mesin organik dengan berbagai hukum keteraturannya. Bahkan pernah terjadi, orang negro dan eskimo ditangkap untuk kemudian diteliti secara paksa sebagai manusia yang belum berkembang, untuk memahami perbedaannya secara fisiologis. Pengetahuan yang semakin progresif kemudian memunculkan sebuah hasrat tidak saja untuk memahami manusia secara total melainkan jika dimungkinkan melakukan pengaturan wujud manusia yang akan dilahirkan, seperti apa bentuknya, jenis kelaminnya, dilakukan melalui teknik ovulasi buatan, bayi tabung dan jika perlu kita juga dapat menciptakan manusia melalui metoda kloning.

Dengan memandang manusia semata-mata sebagai tubuh, mesin organis yang bergerak secara otomatis, maka penilaian pragmatispun dapat diterapkan padanya. Mesin yang tidak baik harus diafkirkan, komponen sosial yang merusak dan menganggu dapat dihilangkan. Sehingga suatu yang etis untuk melakukan aborsi terhadap anak yang cacat dari lahir, melakukan etanesia, mengkebiri orang idiot, bodoh dsb. Setidaknya hukum membenarkan melakukan hukuman mati bagi mereka yang melakukan kejahatan berat karena mereka adalah mesin-mesin yang merusak.

Demikianlah kondisi masyarakat modern yang mengantungkan kebenarannya pada kerja ilmuwan yang pada akhirnya bukannya memberikan kehidupan yang lebih baik melainkan merendahkan kemanusiaan itu sendiri. Skeptisme terhadap pengetahuan dan delegitimasi hak ilmuwan menumbuhkan sebuah pemberontakan yang menolak absolutisme (7). Modernitas yang mendasarkan kehidupan pada kesatuan, pengetahuan, telah menghilangkan banyak aspek dalam kehidupan masyarakat. Agama, keyakinan primordial setidaknya memberikan sebuah kenyamanan batin yang hilang dalam hidup yang sepenuhnya rasional. Bangkitnya berbagai bentuk agama-agama mistik, praktek-praktek paganisme dan pengagung-agungan kehidupan tradisional menjadi simbol kerutuhan modernitas yang berusaha menciptakan masyarakat unitas, kebenaran realitas hanyalah satu, A=A, serta menjadi awal dari kelahiran era postmodern.

Pada era posmodern realitas tidak lagi dipandang secara unitas. Setidaknya pemahaman kaum idealis dihadirkan kembali, bahwa realitas yang kita sadari bukanlah sesuatu yang bebas dari kesadaran kita melainkan produk mental. Nietzche memahami realitas sebagai kaostik, pengetahuan adalah hasil dari usaha manusia memaknainya. Realitas menurut Hegel adalah manifestasi roh absolut yang tidak dipahami oleh manusia yang menjadi sarana untuk mengarahkan alam kesadaran manusia untuk akhirnya mengkonstruksi masyarakat sesuai dengan kehendak roh itu sendiri. Atau sebuah wujud sorga dan neraka dalam kesadaran manusia yang masih terikat kedagingan menurut konsep Boehme. Intinya adalah apa yang kita sadari berbeda dengan keberadaan dari ada itu sendiri.

Jika demikian mengapa pengetahuan itu seolah menjadi mungkin. Menurut David Hume hubungan kausalitas, dasar dari pembentukan pengetahuan, menjadi mungkin karena kontruksi metal, karena kita menganggap fenomena tersebut berhubungan, dampak proses pembiasaan. Padahal fenomena tersebut hadir begitu saja sebagai kumpulan sensasi indrawi yang menyeruak terus menerus dan tidak berhubungan satu sama lain. Menurut Imannuel Kant pengetahuan menjadi mungkin karena dalam pikiran manusia secara aktif mengkonstruksi sensasi yang hadir dalam kesadaran manusia ke dalam ketegori-kategori, setidaknya konteks ruang dan waktu ada dampak dari aktivitas pikiran manusia.

Kebenaran, pengetahuan menurut Foucault terkait dengan kekuasaan. Kekuasaan terpelihara melalui intitusi, pendidikan, pemerintah, negara dan sebagainya. Teori evolusi menjadi sebuah pengetahuan absolut saat pendidikan formal menaturalisasi konsep tersebut, yang tertanam dalam benak banyak orang dan menjadi sebuah dogma dimana pihak yang menentangnya akan dikucilkan. Foucault menyebutkan konsep kegilaan tidak pernah bersifat mutlak namun setiap masa perlu defenisi secara spesifik, membagi-bagi kategori kegilaan pada homoseksual, neurotik, psikosa dsb, serta seperangkan institusi yang berhak memperlakukannya, atau aturan pemerintah yang memarginalkannya. Namun hal ini timbul karena masyarakat selalu butuh mengurung dan memarginalkan golongan tertentu, mulai orang penyakit kusta pada abad pertengahan hingga orang-orang gila pada abad modern.


Masyarakat Postmodern

Masyarakat postmodern toleran terhadap relativitas. Paganisme, religiusitas dan scientifik hidup berdampingan secara rukun. Pola hidup kuno dibangkitkan kembali, Yoga, Zen mendapat tempat kembali dalam kehidupan masyarakat kotemporer. Artinya setiap orang dapat memahami realitas dengan cara berbeda, kebenaran mungkin akan lebih tepat dinilai secara pragmatis, yang tepat adalah yang memberi manfaat. Paganisme tidak diharamkan selama menjalankannya memberikan kesenangan, manfaat yang nyata bagi pelakunya. Seni tidak lagi menjadi sesuatu yang kaku, realisme dihancurkan, budaya tinggi dan budaya rendah menjadi kabur, seni pertama adalah bagi kesenangan itu sendiri, ibarat seorang anak kecil dengan sesuka hari mencoret-coret dinding. Individualisme semakin terlembagakan dalam masyarakat postmodern.

Kebenaran realitas tidak lagi menjadi hal penting bagi manusia postmodern, apakah ia eksis? apakah ia benar? Kalau perlu realitas diasingkan jika memusingkan. Simbol dari postmodern adalah cyberspace, dimana manusia posmo menghabiskan waktu berinteraksi dengan dunia maya entah itu melalui televisi maupun komputer. Realitas masyarakat posmo adalah realitas sinetron, film superhero, internet dsb. Menurut Jean Budrilllard masyarakat posmo adalah masyarakat hanyut dalam sajian simularcum dan hiperrealitas. Simularca adalah parodi dari realitas tanpa referensi. Apakah superman sungguh-sungguh ada? Apakah dunia akan selalu berakhir dengan adil dimana yang jahat akan selalu kalah seperti dalam film-film melodrama? Segalanya tampak nyata, meskipun sesungguhnya sebuah produk imajinasi manusia menggunakan kecanggihan komputer namun akhirnya dianggap real. Remaja jaman sekarang adalah generasi penuh kekerasan seperti diajarkan film gangster, tria dimana kekerasan adalah akhir segala penghinaan diri. Atau wanita akan menjadikan dirinya ibarat Brithney Spears.

Hiperalitas sebagaimana telah disebutkan adalah ketidakrealan menggantikan yang real itu sendiri. Iklan yang mengambarkan seseorang wanita menjadi putih karena menggunakan lotion tertentu, adalah hasil kerja disainer grafis yang melakukan manipulasi gambar dengan meningkatkan pencahayaan pada kulit model. Sebuah penipuan, namun para wanita menyikapinya sebagai kecantikan ideal, tingkat kulit putih demikian harus diperoleh. Wanita berusaha berbagai cara, jika tidak berhasil akan mengurangi rasa percaya diri karena menjadi tidak sempurna. Model-model fasion, rambut dan habitus dipertontonkan seolah telah menjadi bagian realitas, sebuah trand, meskipun sesungguhnya hanya ada dalam tayangan layar kaca. Masyarakat berusaha mencocokkan realitasnya dengan sesuatu yang artifisial sebagai sebuah kebutuhan mengikuti trand.

Jika Marx mengatakan realitas akan membatasi hal praksis, namun apakah mencakup realitas maya demikian. Barangkali lebih tepat jika disebut sebagai sebuah ideologi, ide yang menyamarkan realitas, namun disini kehadirannya begitu nyata. Keberadaan ideologi menguntungkan pihak dominan, namun bukankah cyberspece telah menjadi bagian hidup masyarakat tanpa melihat golongan. Bahkan golongan kapitalis, sebagai golongan dominan malah lebih responsif terhadap pemanfaatan televisi, dan turut terserap dalam realitas di dalamnya. Seorang kapitalis memiliki televisi lebih dari satu, komputer, booknote, laptope telah menjadi bagian tak terlepaskan dari kehidupnya. Jika demikian siapa yang diuntungkan dari keberadaan cyberspace, televisi, internet, atau malah semua orang membutuhkannya untuk menciptakan simulasi realitas atau jika perlu kacamata simulasipun diciptakan agar manusia dapat hidup dalam dunia virtual yang menyenangkan dimana segalanya mungkin.

Penutup
Demikian gambaran singkat tentang postmodern menurut pemahaman saya . Saat realitas tidak lagi dipahami secara unitas maka posmo menampakkan kakinya di bumi. Realitas dapat dilihat secara beragam, dari berbagai perspektif, jika perlu realitas digantikan dengan realitas virtual yang memberikan kenyamanan. Kita telah berada di era ini, dengan kebebasan untuk mengikuti ritual pagan, Yoga, menjadi Budhaisme oleh sebuah alasan pragmatis, serta menjadikan acuan hidup dan idealitas tidak pada perenungan atas pengalaman keseharian melainkan secara instan melalui televisi telah menyediakan acuan yang siap digunakan kapan saja. Saat tidak ada diskursus yang menyatukan masyarakat maka setiap orang bebas menentukan caranya mengada dihadapan realitas. Oleh sebab itu tidak ada salahnya jika kita menyambut kehadiran era posmo ini dengan penuh suka cita.

Catatan Kaki
1. Winkipedia, Muson
2. Stanley J. Grenz, Primer on Poatmodernisme, hlm 102
3. Jean-R. Lyotard, Krisis dan Masa Depan Pengetahuan, (terjemahan) hlm 95-96
4. L.C Dunn & TH. Dobzhansky, Heredity, Race and Society, hlm 83
5. Lihat Stanley J. Grenz, Primer on Poatmodernisme, hlm 99
6. Salah satu yang terkejam adalah yang dilakukan oleh Hitler
7. Baca I. Bambang Sugiharto, Postmodern: Tantangan bagi Filsafat

No comments: