Sunday, 27 April 2008
BENCANA ALAM, PERUBAHAN PARADIGMA DAN KAUM PEREMPUAN
Terjadinya fenomena pasang di Jakarta, menyadarkan kita bahwa alam semakin tidak bersahabat. Air menggenangi beberapa lokasi di Jakarta Utara akibat laut pasang. Termasuk Pelabuhan Sunda Kelapa yang perlahan-lahan ikut terendam. Ketinggian air mulai dari mata kaki hingga betis orang dewasa. Namun ancaman bahwa Jakarta secara perlahan akan tenggelam semakin jelas dari hasil penelitian ditemukan bahwa setiap tahun tercatat rata-rata permukaan air laut di Teluk Jakarta naik 0,8 milimeter. Konon timbulnya fenomena ini terkait dengan persoalan pemanasan global yang semakin memprihatinkan.
Bencana yang terjadi akhir-akhir ini tidak lepas dari arogansi manusia dalam berinteraksi dengan alam. Manusia seolah berhak mengeksploitasi alam tanpa batas dengan sebuah imajinasi bahwa manusia berkuasa atas alam. Manusia memandang dirinya lebih berharga dari spesies lain. Alam yang diam seolah menjadi entitas lemah yang mengabdi sepenuhnya bagi kepentingan manusia.
Namun kenyataan saat ini membuat pandangan bahwa alam ada bagi manusia harus dikoreksi. Alam memiliki hak merealisasikan dirinya menuju kesetimbangan. Bencana yang kita alami adalah reaksi alam mengukuhkan tingkat equlibriumnya, dimana keberadaan manusia adalah ibarat penyakit yang mengerogori bumi dan membuatnya sakit. Bahkan seorang profesor dari Universitar Texas mengatakan bahwa bumi akan lebih baik jika 90% dari populasi manusia binasa (David, 2006).
Menanggapi persoalan pemanasan global dan degradasi membutuhkan perubahan paradigma menyeluruh dalam berinteraksi dengan alam. Dari yang bersifat subordinasi atau paternalistik menjadi lebih bersifat maternalistik. Sifat paternalistik mengagungkan orientasi efisiensi, agresifitas, rasionalitas yang merendahkan dimensi intuitif dan spiritualisme. Sehingga alam dipandang semata-semata sebagai materi. Rasionalitas menjadikan alam materi bisu serta sebagai objek orientasi kepuasan manusia. Efisiensi menuntut proses eksploitasi cepat bagi kepentingan manusia dengan pengorbanan minimal yang mengsyaratkan matinya dimensi emosional dalam pengambil keputusan secara cepat.
Namun dari perspektif maternalistik setiap entitas demikian halnya alam memiliki makna inheren melampau keberadaannya sebuah wujud materi. Sehingga alam menjadi agung dan menciptakan rasa penghormatan melalui pandangan holistik. Bahwa alam bukan entitas diam, melainkan organisme bersuara namun raib oleh kesadaran manusia modern yang berinteraksi melalui investigasi scientifiknya.
Kualitas maternalistik, analog dengan kualitas interaksi antara seorang ibu dengan anaknya, terkait dengan beberapa kualitas yakni pemeliharaan, penuh cinta kasih, perhatian dan perlindungan. Melibatkan intuitisi dalam pengambilan keputusan yang ketepatannya hampir sama dengan pengambilan keputusan secara rasionalitas. Tidak melihat segala persoalan partikuler melainkan secara totalitas. Dimensi keterikatan emosionalitas pada interaksi maternalistik menciptakan sosok pribadi yang altruistik dan afirmasi diri.
Ketika interaksi maternalistik dijadikan dasar dalam berinteraksi maka alam menjelma menjadi sesuatu yang harus dipelihara. Alam tidak dipahami sebagai materi belaka melainkan entitas yang memiliki self-nya yang berhak merealisasikan dirinya. Relasi dengan alam dibangun atas dasar pemeliharaan dan pelestariaan serta kasih sayang. Alam memiliki makna inheren yang melebihi keberadaannya sebagai materi. Melalui kesadaran intuitif spirit alam dirasakan kehadiran melalui dimensi keagungan dan ketakberhinggaan yang berakhir pada keindahan.
Dalam mengatasi ancaman bencana dan degradasi lingkungan manusia belum didasarkan pada penghormatan terhadap alam. Penyelesaian persoalan kerusakan alam masih menganut etika anthroposentrisme dimana manusia diposisikan sebagai pusat alam semesta sehingga hanya manusia yg memiliki nilai, dan untuk kepentingan manusia peran ekosistem sekitarnya dikesampingkan, digantikan dengan etika baru yang berpegang pada sikap hormat, prinsip kepedulian dan no harm, arif, serta tanggung jawab kepada alam (Agus Prabowo dan Didy Wurjanto, 2007). Bahwa kerusakaan alam diyakni dapat diatasi melalui tindakan manipulasi dengan teknologi baru.
Namun perubahan paradigma ke arah maternalistik, mengsyaratkan perubahan prilaku terhadap alam. Solusinya degradasi lingkungan tidak harus berakhir pada solusi teknologi. Melainkan pada perubahan perilaku hidup manusia, misalnya dengan mengurangi konsumsi barang-barang yang menghasilkan polutan atau berdampak pada pengrusakan lingkungan. Dari berbagai fakta diketahui kebiasaan manusia makan lebih banyak tidak baik kondisi atmosfir (Kher, 2007).
Paradigma maternalistik dapat diwujudkan sebagai sebuah word view melalui pendidikan. Yakni pendidikan yang tidak hanya menempatkan rasionalitas dan orientasi efisinasi pada titik sentral melainkan juga memasukkan dimensi intuitif dan spiritualisme di dalamnya. Dimensi nurturing dalam pendidikan perlu ditanamkan secara mendalam, bahwa segala entitas di alam harus dihargai, dipelihara, dan dicintai karena memiliki nilai keberhargaan yang sama dengan umat manusia.
Hal lainnya yang juga penting dilakukan untuk melembagakan perpektif maternalistik adalah dengan melibatkan kaum perempuan lebih luas dalam membangun diskursus solutif, sebagai pemilik kualitas maternalistik. Wacana ecofeminisme harus diberikan ruang sentral. Intelektual perempuan layak diberi ruang lebih untuk menyuarakan perspektif mereka dalam memahami alam. Dengan harapan bahwa kaum perempuan mendapat tempat untuk menyuarakan pemahaman tentang alam dan memberikan pencerahan bagi seluruh umat manusia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment