Monday, 14 April 2008

HUMANISME DOSTOEVSKY


Mari kita sejenak berkhayal, memilki banyak uang kemudian menghabiskannya untuk menolong seorang pengemis? Atau mengorbankan hidup kita demi orang lain yang tidak pernah kita kenal sebelumnya dan tidak lebih dari seorang pemabuk? Barangkali zaman telah mengajarkan untuk melihat pengorbanan demikian sebagai sebuah ketololan.

Namun bukankah kita telah diajarkan tentang kasih (khususnya umat Kristen). Oleh karena itu apakah kasih? Dan bagaimana kiranya kasih itu dijalankan?. Sekiranya zaman ini senantiasa memarginalkan orang-orang yang dianggap tidak berfungsi secara sosial seperti pengemis, pemabuk dan gelandangan oleh karena itu manusia seperti apakah yang layak menjadi objek kasih dari manusia lainnya?

Disamping itu ketika humanisme merupakan suatu pandangan luhur yang diagung-agungkan manusia zaman ini, yang dipahami sebagai pertanggungjawaban penuh terhadap kemanusian, apakah itu mencakup semua manusia tanpa memandang klas, status, dsb? Atau hanya lebih ditujukan pada golongan tertentu yang lebih layak dianggap manusia?. Dan seperti apakah manusia yang dimaksud?.

Dostoevsky dan Persoalan Kemanusiaan
Barangkali Dostoyevskylah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Melalui karyanya, Dostoyevsky melakukan kontemplasi bagaimana humanisme harus dipahami, yang digambarkan melalui hubungan antar tokoh utama pada karyanya. Dostoyevski merupakan seorang pengarang novel dan cerita pendek pada abad ke-19 yang berasal dari Rusia, yang banyak mengangkat kisah penderitaan dan kemiskinan di kalangan masyarakat Rusia.

Barangkali dua karyanya yang berjudul “Orang-orang Malang” dan “Pencuri yang Jujur” merupakan refleksi dan cerminan kekayaan pemikirannya terhadap humanisme.

Orang-orang Malang (Poor Folk) merupakan novelnya pertamanya yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat Rusia. Novel ini berbentuk korespondensi surat-surat cinta antara Maker Devushkin, seorang pria setengah baya yang bekerja sebagai juru tulis di kantor pemerintahan dan Varenka, seorang gadis belasan tahun yang tidak lagi memiliki orang tua dan telah dinodai dengan sangat jahat oleh seorang pria kaya yang bernama Tn. Byakov. Dalam novel ini dikisahkan Maker Devushkin, didorong oleh cintanya yang begitu besar terhadap Varenka, mengorbankan seluruh kekayaannya untuk memenuhi kebutuhan sang gadis semata-mata agar sang gadis dapat hidup bahagia.

Sedangkan Pencuri yang Jujur (The Thief) merupakan cerita pendek yang mengisahkan hubungan yang begitu tulus antara Astafi, seorang pemuda yang dermawan dengan Emelian, seorang pria pemabuk yang suka mencuri.

Dan pesan apakah yang disampaikan oleh Dostoyevsky melalui kedua karyanya ini?.

Secara umum kedua kisah tersebut mengambarkan bentuk cinta dan keperdulian terhadap sesama yang ditunjukkan melalui pengorbanan yang sangat ekstrim. Sulit bagi kita untuk dapat memahami tindakan Maker Devushkin yang mengorbankan sebagian besar hartanya agar dapat membeli hadiah-hadiah bagi Varenka? Hingga kemudian Maker Devushkin terpaksa harus tinggal di kamar kos yang sempit dan menyiksa agar dapat menghemat uangnya dan sampai meminjam uang dari sahabatnya, yang pada akhirnya menimbulkan masalah baginya, semata-mata agar dapat memenuhi kebutuhan hidup Verenka. Maker Devushkin menyadari jikalau mereka mustahil untuk bersama; dan hal ini terbukti di akhir kisah dimana Varenka meninggalkannya untuk menikah dengan pria yang lain; namun tidak menyurutkan pengorbanannya untuk dapat membahagiakan Varenka.

Barangkali juga cukup aneh bagi kita melihat pengorbanan yang begitu besar yang dilakukan oleh Astafi terhadap Emelia yang hanya seorang pemabuk dan pencuri?. Astafi bahkan mengetahui bahwa Emelia mencuri mantelnya untuk membeli minuman keras namun ia tetap menerima Emelia untuk tinggal di rumahnya. Astafi berusaha untuk merubah kebiasaan mabuk-mabukan Emelia dan mendorongnya untuk bekerja namun tidak pernah berhasil. Tidak ada hal yang menguntungkan dari hubungannya dengan Emelia namun tidak juga menyurutkan pengorbanan Astafi untuk merawat Emelia dan berharap ia dapat meninggalkan kebiasaan buruknya. Barangkali hanya Astafilah yang menangisi kematian Emelia.

Dostoevsky dan Humanisme
Melalui kedua cerita itu Dostoyevsky mencoba mengambarkan bentuk hubungan antara manusia yang melampau batas-batas pemahaman rasionalitas. Humanisme yang melampaui batas nalar manusia. Tindakan-tindakan yang dalam pandangan manusia zaman ini lebih merupakan bentuk ketololan dari pada kearifan. Namun humanisme seperti inilah yang hendak ditawarkan oleh Dostoyevsky, menjadikan kemanusiaan di atas segala-galanya. Tiada kewajiban manusia yang bersifat aprioi selain bertanggung jawab terhadap kemanusiaan.

Dalam setiap diri manusia, tanpa memandang keberadaannya, mengandung tanggung jawab bagi orang lain. Manusia dalam ketelanjangannya sebagaimana konsepsi Levinas, mengandung kewajiban moral bagi manusia yang lain untuk bertangung jawab terhadap keberadaannya, yang tereksperikan melalui wajah. “Lihatlah wajah manusia maka engkau akan lihat kerentaan di dalamnya yang menimbulkan keibaan” ungkap Levinas.

Bagaimana mungkin? Bagi Dosteyevsky humanisme tidak dapat terpahami dalam tatanan nalar melainkan dalam tatanan intuisi. “Biarkanlah intuisimu berbicara tentang kemanusiaan”. “Berkorbanlah, lakukanlah sesuatu terhadap sesamamu maka engkau akan memahami arti dari kemanusiaan”.

Nalar dapat terjerumus pada pemahaman kuantitatif empiris dengan batas-batas ada sebagai dasar legitimasi. Sehingga manusia dikonsepsikan sebagai tubuh dengan atribut yang melekat sebagai sesuatu yang dapat dipersepsikan. Dalam batas-batas nalar, kriteria yang membuat manusia menjadi manusia, terjerat dalam batas kuantitatif seperti “seberapa pentingkah nilai dari seorang manusia?, cenderung diukur dari karya cipta/produktivitas yang dia hasilkan; seberapa bermartabatkah dia? cenderung diukur dari harta yang dia miliki.

Pemahaman demikianlah yang ditolak oleh Dostoyevsky. Emelian dalam pandangan masyarakat umum adalah sampah masyarakat yang sebaiknya disingkirkan, namun secara intutif Astafi mampu melihat keberhargaan Emelian sebagai seorang manusia, sehingga baginya menyelamatkan Emelian tidak sebuah ketololan melainkan sebuah kewajiban. Dan bagaimanakah bentuk penghargaan terhadap kemanusiaan itu diterapkan? adalah melalui pengorbanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Makar Devuskhi yang mengorbankan segala-galanya demi kasihnya kepada Varenka.

Kristus dan Dostoevsky
Namun apakah mungkin bagi kita mewujudkan prinsip-prinsip kemanusian yang sedemikian ketika nalar kitalah yang selama ini berkuasa dalam menentukan keputusan yang tepat? Bukankah kapitalisme juga telah, tanpa sadar, menguasai batas-batas rasional kita dalam menafsirkan realitas. Bukankah manusia bernilai selama ia produktif dan mampu menyediakan hal-hal yang dibutuhkan oleh orang lain?. Atau bukankah manusia menjadi manusia selama ia mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan akumulasi kapital organisasi sosial?.

Bagaimana seandainya jika manusia menjadi tidak produktif, oleh Kafka dianalogkan sebagai seekor kecoak, apakah manusia akan tetap dihargai sebagaimana mestinya seperti halnya manusia yang produktif? Atau malah sebaliknya, mereka akan diusir dari tatanan sosial dan kematiannya tidak akan pernah diratapi melainkan diharapkan sebagaimana yang dialami oleh orang tua jompo, orang gila, penjahat, pengemis, pengamen dsb.

Yesus barangkali yang pertama mengajarkan untuk mengasihi sesama manusia. “Doakan musuhmu, beri pipimu yang sebelah kanan jika engkau ditampar di pipi sebelah kiri, jadikan sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, demikianlah yang diungkapkan oleh Yesus yang membuat orang-orang pada masanya tercengang,

Bagaimana mungkin?”. Tentu saja kesemua itu dilakukan melampaui batas nalar manusia yang cenderung bersifat Imperatif Kategoris, yakni suatu kewajiban moral yang harus dijalankan tanpa harus ditanyakan mengapa dan apa tujuannya. Namun Dostoyevskylah yang secara apik dapat menjelaskan prinsip kasih tersebut dalam realitas nyata dan konstruksi kehidupan sehari-hari di tengah-tengah hidup penuh penderitaan. “Jadikanlah setiap manusia sebagaimana manusia melalui pengorbananmu”, barangkali demikianlah yang dapat kita simpulkan daripadanya.

Itu pulalah pesan yang hendak disampaikan oleh Dostoyevsky tentang hubungan antara sesama manusia, yakni berbuatlah, berkorbanlah terhadap sesama manusia dan biarkanlah intuisi mengajarkanmu makna dari kemanusiaan.

Bahan Bacaan
1. Dostoevsky, F. "The Thief". The Online English Libarary (www.englishlibrary.org)
2. Dostoevsky, F. "Poor Folk". Short Story. The Literature Network (www.online-literature.com)

No comments: