Monday, 1 September 2008

PUASA DAN TRANFORMASI INDONESIA


Selama satu bulan penuh umat Islam di Indonesia, demikian halnya umat muslim di seluruh dunia, menjalankan ibadah puasa. Ibadah puasa menjadi salah satu pilar peribadatan umat Islam yang biasa disebut Rukun Islam, yang berlangsung pada bulan Ramadhan, bulan ke-9 pada tahun Islam. Bulan dimana diyakini turunnya Al’Quran sebagai pentunjuk kepada manusia. Sehingga disebut juga sebagai bulan penuh rahmat.

Menurut Boisard (1980) bulan puasa dimaknai sebagai momen di mana umat Islam melatih diri tidak hanya melawan nafsu dan keinginan daging namun juga ambisi pribadi, untuk menggiring ke arah kedewasaan. Puasa juga menjadi sarana untuk melatih diri menuju keseimbangan fisik moral dan spiritual. Dengan demikian melalui aktivitas suci ini umat Islam diharapkan semakin dekat dengan Tuhan dan peka terhadap sesama.

Dan di tengah kondisi Indonesia yang tengah terpuruk, timbul harapan, melalui ibadah puasa manusia Indonesia bakal mengalami sebuah transformasi yang berdampak pada perubahan kondisi negara Indonesia.

Puasa dan Sikap Menahan Diri
Menahan diri terhadap kesenangan bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dilakukan. Pengurangan rasa nyaman dapat mengakibatkan frustasi. Hasrat-hasrat yang terpendam tidak hilang begitu saja melainkan mencari jalan memanifestasikan diri.

Menurut Freud keinginan yang direpresi menimbulkan tindakan-tindakan sublimasi atau sebuah pembentukan sikap. Sehingga tidak heran jika pada bulan puasa ini muncul pula orang-orang yang berlaku sangat moralis. Pejabat-pajabat daerah ada yang mewajibkan agar setiap tempat makanan ditutup selama bulan puasa. Demikian halnya tempat-tempat maksiat atau hiburan yang di luar bulan puasa bebas beroperasi, diwajibkan untuk tutup selama sebulan penuh.

Tindakan ini dalam perspektif psikologi bisa saja merupakan sebuah reaction formation. Karena sebuah rasa frustasi, karena harus menahan keinginan selama berpuasa, kemudian bersikap kontradiksi dengan memelihara kesakralan ibadah secara berlebihan.

Bagi sejumlah orang barangkali berpuasa hanya menjadi sebuah penahanan sementara dari keinginan untuk makan, minun atau menikmati berbagai kesenangan duniawi baik yang halal maupun haram. Dalam konteks demikian ibadah puasa bukan menjadi sebuah bulan berkat melainkan bulan penghukuman karena terasa berat.

Dalam kaitan hal ini barangkali termasuk mereka yang melakukan korupsi, manipulasi peradilan, terlibat sebagai cukong ilegal logging dan lain sebagainya. Mereka turut melakukan puasa, sehingga selama bulan penuh rahmat ini berbagai tindak kejahatan sementara waktu tidak mereka lakukan.

Mungkin saja dengan ikut-ikutan berpuasa mereka dapat mengsinkronkan sikap mereka dengan masyarakat umum. Sehingga tidak terlihat sebagai pelaku kejahatan melainkan sebagai orang saleh.

Atau mereka tetap berpuasa dengan khusuk karena adanya pola pikir sinkrintisme, "tidak takut dosa namun takut masuk neraka". Dengan berpuasa mereka dapat memperoleh pengampunan atas dosa-dosa mereka di masa-masa sebelumnya sehingga setelah bulan puasa berlalu mereka telah disuci. Jika akan berbuat dosa maka bebannya tidak lagi berat karena dosa-dosa sebelumnya telah diampuni.

Ada pepatah mengatakan makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Jika seseorang makan saat perutnya benar-benar lapar maka ia cenderung akan makan lebih banyak.

Demikian jika berpuasa hanya menjadi tindakan penangguhan sementara terhadap keinginan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama, sesuatu yang mendatangkan kesenangan. Maka ketika bulan puasa berlalu maka hasrat tersebut semakin menjadi-menjadi dan tindakan yang akan dilakukan menjadi lebih parah. Setidaknya kesengsaraan selama sebulan harus ditebus dengan kesenangan yang lebih lagi.

Puasa dan Momen Kesadaran Diri

Adanya bulan khusus untuk menjalankan ibadah puasa menjadi sebuah rahmat yang tidak ternilai bagi umat Islam. Khususnya ditengah hiruk-pikuk kehidupan modern dimana waktu sakral sepenuhnya telah digilas oleh waktu profan.

Kerja telah menjauhkan manusia dari perenungan terhadap diri dan Tuhannya. Manusia bukan lagi umat yang berserah kepada Tuhan melainkan orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada pemilik modal atau kekuasaan anonim dengan mempersembahkan kerjanya.

Namun melalui Bulan puasa maka waktu bagi umat Islam sepenuhnya sakral. Setiap waktu adalah saat buat kehadiran berkat-berkat Tuhan. Ibadah puasa akan semakin sempurna saat dilakukan ditengah-tengah rutinitas hidup dan ketidaknyamanan. Dimana pengorbanan tersebut menjadi simbol pengorbanan dihadapan Tuhan. Bulan puasa menjadi bulan penuh perenungan akan sabda Tuhan dan doa-doa syukur dipanjatkan.

Selama menjalankan ibadah puasa umat Islam diajak untuk menjaga keseimbangan antara apa yang jesmani dan rohani. Ketika berpuasa umat Islam diajak untuk menikmati kedamaian hati. Meskipun secara fisik lemah, manusia masih dapat merasakan kebahagian yang tidak terikat dengan sesuatu yang dimiliki atau digunakan, melainkan sesuatu yang dicapai melalui hubungan pribadi dengan Tuhan.

Dan melalui ibadah puasa umat Islam juga ditanamkan sebuah sikap solidaritas kemanusiaan. Saat berpuasa, setidaknya umat Islam dapat merasakan bagaimana rasanya kelaparan. Tubuh lemas dan lidah terasa kelu apalagi saat hari panas atau ketika melakukan aktivitas yang menghabiskan banyak energi

Dengan menjalankan ibadah puasa umat Islam diingat akan Saudara-saudara lainnya yang hidup menderita ditengah-tengah pengungsian, bencana, atau peperangan. Penderitaan mereka jauh dari apa yang dapat dirasakan melalui puasa makan dan minum.

Namun kelaparan tidak harus berarti kekurangan makan. Kelaparan dapat juga diartikan kondisi kekurangan hal-hal yang membuat manusia menjadi manusia. Seperti lapar akan keadilan, penghormatan martabat kemanusiaan dan penghormatan akan hak hidup. Bukankah banyak saudara-saudara kita yang mengalami kondisi demikian saat ini?

Setidaknya melalui kesadaran demikian menjadi landasan umat Islam untuk menolong sesamanya yang secara simbolis melalui zakat. Namun secara konkrit dan konsisten diwujudkan melalui berbagai tindakan sosial. Sehingga setelah puasa tindakan-tindakan pengrebekan PKL, pengusuran, penculikan, memobilisasi massa untuk tindakan anarkis, memutuskan hukuman mati, menghisap rakyat tidak lagi dilakukan oleh mereka yang memiliki wewenang melakukannya.

Puasa dan Perubahan
Puasa diharapkan dapat memberikan efek transformasi bangsa. Setidaknya selama bulan puasa setiap orang semakin sadar akan dosa-dosanya dan melakukan pertobatan apalagi untuk tindakan yang merugikan orang banyak.

Umat Islam merupakan golongan mayoritas di Indonesia dengan proporsi 90 persen dari total seluruh penduduk Indonesia. Jika saja proporsi penjahat adalah 30 persen penduduk Indonesia, dengan asumsi seluruh kaum non-muslim adalah pelaku kejahatan (10 persen), tetap saja sisanya 20 persennya adalah orang beragama Islam.

Maka dengan adanya perubahan aklak mayoritas umat muslim yang berpuasa barangkali akan mengurangi tingkat kejahatan lebih dari 50 persen setiap tahunnya. Jika setiap tahun ada saja pertobatan maka dipastikan Indonesia akan menjadi negara yang adil, aman dan sejahtera. Karena tidak ada lagi koruptor, pembunuh, pencuri dan pelaku kejahatan lainnya.

Dan ibadah puasa telah menjadi sebuah tindakan terstruktur. Sehingga orang yang tidak berpuasa akan mendapatkan hukuman sosial atau menjadi bahan omongan. Serta selama ibadah tersebut berlangsung situasi diarahkan untuk mendukung. Apakah dengan menutup rumah maka atau tempat-tempat hiburan dan menjaring PSK tujuannya agar ibadah pada pada setiap orang dapat berjalan secara khusuk.

Artinya orang terkondisikan untuk melakukan puasa. Logikanya jika semua umat Islam melakukan puasa dengan kondisi yang cukup memadai tentunya harapannya banyak orang Indonesia mengalami pertobatan. Tindakan anarkispun berkurang pasca puasa demikian halnya korupsi, tindakan mafia peradilan.

Hanya saja meskipun puasa menjadi sebuah ibadah yang berlangsung setiap tahun namun kondisi Indonesia tetap saja terpuruk. Bahkan semakin kritis. Kondisi Indonesia tidak berubah meskipun 90 persen penduduknya setiap tahunnya mengalami ret-ret. Hubungannya dengan Tuhan senantiasa direfres. Tentunya kualitas spiritual akan berhubungan dengan kualitas aklak. Namun rakyat tetap saja sengsara, korupsi merajalela, berbagai bentuk ketidakadilan telah menjadi konsumsi publik. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Namun saya tetap meyakini bahwa puasa dapat memiliki efek transformatif jika setiap umat Islam yang menjalankannya sesungguh- sesungguh menghayati. Waktu selama satu bulan menjadi waktu yang cukup panjang untuk mengalami sebuah pengalaman spiritual yang mencerahkan.

Cahaya Ilahi yang dirasakan selama bulan penuh rahmat tersebut akan menjadi sinar yang dibawa ke tengah-tengah masyarakat dan mencerahi segenap aspek kehidupan bangsa Indonesia. Sehingga setelah ibadah puasa tahun ini berlalu maka harapnya kita akan menyaksikan sebuah perubahan besar yang membawa Indonesia lepas dari krisis multidimesional. Amin....

No comments: