Monday 26 May 2008

CURHAT TENTANG POLITIK DAN IBU HERNO


Hari ini tidak masuk kantor, well, demi mengelabuhi Bu’ Herno karena aku change dengan Ibu Anny untuk pergi ke Palembang dan dia sudah pergi minggu lalu, agar aku seolah pergi Palembang maka hari ini aku tidak masuk dengan alasan Dinas luar ke Palembang. Wah, kalau begitu aku sudah berbohong, dong. Yup, tapi tidak apalah demi sebuah kebaikan. Semoga Tuhan memaafkanku..

Pagi ini aku coba membahas sesuatu yang menarik perhatianku yakni tentang politik.

Lho, kok, politik?

Entah kenapa kata ini tiba-tiba menjadi penting bagiku, padahal sebelumnya aku agak nista mendengar kata itu dan sama sekali enggan berkenalan dengannya. Ya, tentu saja, karena selama ini aku memiliki streotip bahwa politik identik dengan kekuasaan dan kekuasaan itu torkotor seperti kata orang Madura. Dan aku pandanganku ini pernah kusampaikan dengan penuh rasa pecaya diri dan sedikit emosional pada Desan, temanku di EPS yang bersemangat mengajakku terlibat politik kampus karena menurutnya auraku agak cocok untuk itu.

“Jangan paksa aku, Des, karena aku lelaki bukan untuk dipaksa. Lagi pula, ngapain ikut-ikutan politik, politik itu dekat ama kekuasaan dan kekuasaan itu kotor, korup, tukang bohongi rakyat, nazis, deh...juga narsis” , demikian kukatakan padanya yang membuat wajahnya memerah seperti semangka medan dan setelah itu kapok mengajakku ikut-ukutan berpolitik di kampus.

Dan bagiku juga pada saat itu ilmu politik adalah pengetahuan yang dipelajari atau dipikirkan oleh sekelompok orang atau seseorang yang haus harta dan tahta untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan atau untuk menjatuhkan kekuasaan kelompok lain yang untuk mendapatkannya dengan pasrah dan tidak bisa menolak, karena tidak ada jalan lain, harus menghalakan segala cara dengan melakukan cara-cara busuk mulai money politik, penipuan massa hingga dengan saling menjelek-jelek bahkan habis menghabisi di antara mereka yang sedang bersaing mendapatkan kekuasaan. Wong yang haram saja sulit dilakukan apalagi yang halal.

Pandanganku ini setidaknya terbentuk oleh kenyataan perpolitikan di Indonesia dan negara lainnya yang kusaksikan dan mempertontonkan berbagai kekotoran, kadang agak sedikit sadis seperti di film-film mafioso, lihat saja bagaimana Amin Rais dengan manuper politik oportunisnya menaikkan Gus Dus yang hampir buta namun kemudian dia juga yang paling bersemangat untuk menjatuhkannya dengan berbagai alasan dan berharap cemas moga-moga menjadi pesiden, dan dalam hatinya menyerukan “Amin...!!”(rais). Juga rasanya sulit untuk tidak melihat tingkah laku partai politik yang membagi-bagikan uang ketika kampanye kepada mereka yang datang dan mengenakannya baju maskotnya atau mengiming-imingkan kendaraan bermotor bagi kepala desa yang dapat mengerahkan masyarakatnya ke jalan yang benar alis mencoblos nomor partainya. Atau partai yang menggunakan sentimen agama sebagai kekuatan untuk mendapatkan simpati masyarakat tapi setelah berkuasa sami mawon.

Untuk jelek-menjelek barangkali sudah bukan hal yang asing lagi bagi politikus Indonesia yang sering berbicara seperti orang cerdas dan bersemangat dengan tangan sering dikepal ke atas, Amin Rais menjelek-jelekan Megawati, Megawati mengkritik SBY, SBY menjelek-jelekkan siapa, ya? Sedangkan untuk urusan habis-menghabisi siapa yang tidak tahu bagaimana mudahnya lawan-lawan politik atau orang-orang yang tidak sehaluan poltik dengan Suharto dikarungkan di zaman orde baru. Dan kondisi demikian tidak saja terjadi di Indonesia tapi juga di Amerika, Eropa, Cina. Apalagi soal habis-menghabisi lawan politik setidak negara komunis masih jawaranya.

Namun untung saja roh kudus tidak ingin aku terus menerus membenci politik. “Itu tidak baik anakku, kasihilah musuhmu”. Pandanganku yang begitu menjelek-jelekkan politik sedikitnya diubahkan setelah aku membaca artikel karya Harry Ratner seorang sosialis yang berasal dari Inggris yang berjudul “The Importance of Happines”. Sungguh luar biasa bagaimana orang ini bisa mengasipirasiku sehingga pikiranku menjadi lebih positif terhadap politik. Ia memulai wacananya dengan mengkritik konsepsi Marx yang menyatakan bahwa tahap perkembangan kekuatan produktif yang membentuk pola produksi sebagai dasar pembentukan struktur sosial masyarakat. Jadi kondisi sosial saat ini, pola relasi hubungan antara kita aku dengan Mamak, Bapak, Opung, teman dan aturan yang melingkupinya, dan berbagai bentuk kebudayaan atau habitus secara langsung maupun tidak langsung adalah dampak dari kondisi produksi saat ini.

Namun dengan tegas ia menyatakan semua itu keliru. Mengapa? Karena menurutnya idelah yang mendahului pembentukan pola produksi karena kecerdasan manusialah maka mesin-mesin produksi bisa ditemukan, demikian juga bagaimana sistem kerja untuk memanfaatkan beragai alat-alat produksi semua adalah karena kreativitas pikiran manusia. Jika saja James Watt tidak menemukan mesin uap untuk memintal benang maka industri tekstil yang bersifat massal tidak akan pernah dilahirkan di muka bumi ini yang sekaligus menjadi cikap bakal lahirnya revolusi industri dan perkembangan kapitalisme di Inggris.

Jadi idelah yang mendahulu terbentuknya berbagai perubahan dalam pola produksi termasuk juga struktur masyarakat dan ide manusia jugalah yang dapat mendorong terjadinya perubahan sejarah kehidupannya. Tidak mungkin pemikiran-pemikiran terlembagakan sebagai aturan dalam masyarakat atau memperoleh pembenaran tanpa adanya penerimaan dari kekuasaan negara dan sering kali pemikiran-pemikiran tersebut diusung oleh kekuatan politik dominan. Misalnya ide-ide Marx diusung oleh partai komunis akan mungkin diwujudkan jika partai tersebut meraih kemenangan secara politis meraih kekuasaan seperti yang terjadi di China dan Russia. Seperti juga ditegaskan oleh Harry Ratner dengan contoh kenyataan politik di Inggris, jika saja kekuatan politik di Inggris pada abad ke-19 tidak jadi membentuk Monster Petition dan gerakan Chartist muncul sebagai kekuatan politik di Inggris maka Inggris mungkin malah menjadi negara sosialisme dan bukannya negara kapitalisme seperti saat ini. Demikian halnya jika gerakan Bolshavik gagal menurunkan Tsar dari tahtanya di Rusia pada awal abad 20 barangkali Rusia tidak akan menjadi negara komunis.

Jadi pemikiran-pemikiran yang hadir melalui kekuatan politik dapat menjadi sebuah ide yang merubah struktur masyarakat suatu negara melalui kekuasaan. Kekuatan politik dan kekuasaan tidak saja dapat membentuk sebuah berbagai aturan dalam masyarakat sendiri namun juga bagi masyarakat di negara lain dan konsep-konsep ekonomi atau fundamental yang dianut oleh sebuah kekuatan politik serta orientasi-orientasi politis tertentu dapat mendorong perubahan struktur perekonomian negara atau negara lain. Misalnya saja penjajahan timbul adalah sebagai akibat inisiatif kekuasaan negara dan kalau tidak ada penjajahan maka Inggris dan sejumlah negara Eropa tidak mungkin dapat mengakumulasikan kekayaan alam dan logam-logam mulia di dalam negeri yang kemudian menumbuhkan perdagangan dan industri sekaligus melahirkan kapitalisme dan kemudian muncul menjadi negara maju hingga saat ini.

Contoh lainnya adalah kemajuan sejumlah negara di Asia saat ini terjadi karena dari adanya peran serta kekuatan politik atau kekuasaan dalam merubah struktur sosial dalam masyarakatnya. Misalnya saja Jepang, jika penguasa pada abad-19 tidak melakukan Restorasi Meiji dan membuka diri terhadap kemajuan Barat maka Jepang tidak akan mengalami modernisasi dan menjadi kemudian menjadi negara maju yang dapat mengimbangi Eropa sejak era sebelum perang dunia II dan meskipun sempat terpuruk akibat kekalahan perang tapi dapat kembali bangkit menjadi salah satu negara maju di Asia.

Demikian juga dengan Korea Selatan muncul sebagai kekuatan ekonomi di Asia tidak lepas dari adanya kekuatan politis Amerika yang memberikan berbagai kemudahan ekonomi dan hal lainnya kepada Korea Selatan yang menjadi sekutunya dalam menangkal pengaruh komunisme di Asia Timur dengan membuka pasarnya bagi barang-barang Korea Selatan dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Korea untuk mendapatkan pendidikan di Amerika Serikat. Malaysia juga dapat menjadi salah satu negara dengan perkembangan ekonomi yang cukup pesat di Asia Tenggara yang bahkan telah melampui Indonesia tidak lepas dari kekuatan politik dan kepemimpinan Mahatir yang berhasil mengefisienkan kerja aparat negara, menegakkan hukum serta meningkatkan kualitas pendidikan di Malaysia sehingga menciptakan kondisi yang kondusif bagi perkembangan ekonomi di negaranya. Artinya kemajuan ekonomi suatu negara tidak lepas dari campur tangan kekuasaan dan aktivitas sebuah kekuatan politik dalam sebuah negara maupun intervensi kekuatan politik di luar negeri.

Sehingga politik atau kekusaan negara juga dapat memiliki pengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini dapat diwujudkan dengan bagaimana kekuatan politik melakukan intervensi pasar atau peraturan yang memungkinkan kekayaan dalam suatu negara terdistribusikan. Persoalan kesejahteraan tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar dan dapat dikendalikan agar pemerataan kesejahteraan dapat terjadi. Karena pasar sering kurang menghargai mereka yang tidak produktif sehingga tidak semua orang bisa menikmati keuntungan pasar dan orang-orang yang kurang dapat berkerja dengan optimal buta huruf, orang cacat, orang yang telah uzur, orang sakit, dsb agak sedikit terpinggirkan. Kekuasaan yang berwibawa dapat menentukan aturan yang melindungi pengusaha kecil atau usaha vital bagi negara, memangkas sebagian kekayaan dari yang kaya untuk kemudian disalurkan pada rakyat kecil misalnya dengan mengenakan pajak silang, atau dengan memberikan subsidi atau memberikan jaminan sosial bagi masyarakat yang tersingkirkan, yang dalam sistem pasar mereka terpinggirkan karena tidak memiliki sebuah kekuatan produktif untuk dijual.

Amerika dan Eropa hingga saat ini dengan tetap bersemangat untuk melindungi sektor pertaniannya khususnya yang menyediakan bahan pangan. Karena menurut pandangan mereka kasihan sekali jika sektor pertanian tidak dilindungi, petani akan sering merugi karena fluktuasi harga untuk barang-barang pertanian sangat tinggi mengingat produksi pertanian juga cenderung berfluktuasi seiring dengan situasi alam dan cerita yang lebih tidak menyenangkan lagi adalah usaha pertanian memiliki resiko kegagalan yang tinggi baik karena perubahan iklim, hama atau karena bencana alam. Jadi jika petani merugi jangan-jangan di kemudian hari mereka akhirnya enggan atau tidak sanggup untuk bertani dan jika ini terjadi siapa yang akan menyediakan makanan bagi masyarakat.

Jadi oleh insiatif pemerintah harga dijaga agar tetap stabil pada tingkat harga yang relatif rendah agar masyarakat dapat membeli dengan memberikan subsidi harga pada petani agar tingkat harga yang berlaku petani cukup mengairahkan. Maka petani akan tetap semangat untuk bertani karena harga yang diterimanya cukup menguntungkan sehingga dengan bertani ia bisa mencukupi kebutuhannya, menyekolahkan anak-anaknya dan membeli kebutuhan lainnya yang agak sedikit berbau kemewahan. Toh, dengan ada kebijakan demikianpun sesungguhnya masyarakat diuntungkan karena dapat menciptakan kondisi masyarakat yang relatif lebih stabil dan sejahtera karena kebutuhan dasarnya akan makanan dapat terpenuhi secara memadai dan menguntungkan dunia usaha karena memungkinkan untuk menjaga upah tetap rendah dimana buruh relatif memiliki pendapat riil yang memadai dengan upah yang ia peroleh karena upahnya cukup untuk membeli kebutuhan makanan yang relatif murah, sehingga dampaknya akan meningkatkan keuntungan bagi industri dan perusahaan karena dapat menekan biaya tenaga kerja.

Jadi setelah melihat bagaimana kekuasaan politik dapat membentuk wajah perekonomian dan memiliki kontribusi terhadap kesejateraan masyarakat di sebuah negara melalui peraturan dan pembatasan yang dibentuk melalui kebijakan pemerintah yang tidak dapat lepas dari kekuatan politis, nah, maka akupun sadar kalau politik ternyata tidak selalu negatif bahkan merupakan singa tidur (untuk kasus Indonesia) yang memiliki kekuatan tranformasi dalam masyarakat. Jika kemudian disebutkan kualitas politik dapat berdampak terhadap kualitas hidup masyarakat juga bukan pendapat yang terlalu berlebihan.

Hanya saja wajah perpolitikan di suatu negara akan sangat ditentukan manusia-manusia yang terlibat di dalamnya, apakah mereka orang-orang yang punya idealisme tinggi dan peka dengan suara hati masyarakat yang diwakilinya. Meskipun ada yang berpandangan lain, seperti yang pernah kudengar dalam diskusi panel di kampus, bahwa kondisi politik akan sangat ditentukan oleh sistem karena orang-orang yang akan terlibat di dalam perpolitik akan ditentukan bagaimana proses politik dalam menyeleksi orang yang layak dan bagaimana kemudian masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan ataupun menyalurkan aspirasinya melalui saluran politik yang ada. Jika sebuah sistem politik tertata baik maka akan baik pula kondisi politik yang tengah berjalan. Namun menurut keyakinanku sebuah nuansa politik yang baik harus selalui didahulu munculnya orang-orang yang mampu menginspirasi banyak orang untuk bersama-sama menciptakan sebuah sistem politik yang baik yang kemudian memungkinkan untuk proses selanjutnya menjaring orang-orang yang tepat pada posisi yang tepat. Setidaknya terciptanya sebuah situasi politik tertentu apakah melibatkan tokoh-tokoh besar seperti Sukarno, Lenin, Franklin, dsb.

Maka kemudian muncul pertanyaan besar di benakku tentunya sebagai warga negara yang baik tentang kondisi perpolitik dan kekuasaan di Indonesia apakah telah cukup baik atau cukup mengerikan? Dan menurutku sebagaimana pendapat Pak Cecep sepertinya kondisi masih cukup menakutkan. Perpolitikan Indonesia seolah-olah menjadi ajang sekelompok orang untuk mengejar kekuasan dan kemudian menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya dengan menyedot kekayaan negara. Maka citra kekuasaan negara yang timbul cukup membuatku menutup mata, korupsi di mana-mana, rakyat menderita kemiskinan karena pemerintah gagal menjalankan fungsinya, di sisi lain penguasa, anggota legislatif hidup seperti sedang bermimpi, berkelimpahan dan bermewah-mewah yang turut menciptakan aroma politik Indonesia berbau menyegat. Kita telah mendengar istilah dipolitisasi maka itu artinya urusannya tengah diatur agar menguntungkan kelompok dari golongan penguasa.

Maka pertanyaan selanjutnya seperti yang sering ditanyakan oleh reporter berita ketika berbincang-bincang dengan seorang politikus di televisi adalah bagaimana supaya sistem politik kita tidak menakutkan? Well, ini mungkin pertanyaan besar yang mungkin perlu dijawab oleh banyak orang termasuk tokoh-tokoh politik nasional seperti Prof. Supomo, Amin Rais, Yuzril Izha Mahendra, Lobi Lukman dan barangkali harus melibatkan berbagai ahli dari bermacam bidang ilmu termasuk juga guru-guru spiritual dan yogaisme agar politikus kita lebih alim dan sehat pikiran dan metalnya, buktinya meskipun telah banyak orang-orang di Indonesia mengaku punya ide cemerlang untuk mengubah kondisi perpolitikan Indonesia namun penyakit perpolitikan Indonesia seperti korupsi, bermanuver-manuver ria, berbagi—bagi kekuasaan, bermain retorika dan menipu masyarakat tidak juga sembuh-sembuh. Dan temankupun berkata, “Kacian deh, lu”.

Namun persoalan yang penting bagiku adalah masih adakah yang bisa kulakukan meskipun kontribusinya kecil agar mencegah agar wajah perpolitikan Indonesia tidak terlalu buruk rupa dan tidak cermin dibelah? Pertanyaan ini memerlukan perenungan yang memakan waktu dan memerlukan tempat hening di pegunungan, panti pijet atau bieztro. Namun untuk mewujudkan hal tersebut setidaknya aku harus memahami politik dan sadar apa yang menjadi hak dan kewajibanku sebagai warga negara secara politik serta bagaimana aku harus menyampaikan aspirasiku apalagi ketika hakku tidak lagi dihargai, apakah dengan membuat tulisan di media massa atau menuliskan buku seperti Habibi dengan bukunya Mengungkap Jejak-jejak atau dengan ikut-ikut berdemonstrasi dengan mahasiswa atau karyawan PT. Dirgantara, dsb. Jika aku telah sadar akan hak dan kewajibanku sebagai warga negara dan telah memiliki sadar politik disamping aku dapat melakukan aksi konkrit aku juga dapat menginspirasi orang lain yang belum sadar politik agar memiliki pengetahuan yang sama dan turut menyuarakan aspirasinya dan mengontrol kekuatan politik agar tidak seenak udelnya seperti kata temanku yang agak kesal dengan tingkah laku politikus Indonesia.

Jadi sekarang aku harus bersyukur dan perlu bersesajen ke pantai karena telah memiliki sebuah pemahaman baru tentang politik. Aku menyadari bahwa politik terkait dengan kekuasaan dan kekuatan politik dapat menjadi sarana untuk mewujudkan sebuah ide-ide baru dan luhur termasuk juga ide dan pikiran jorok. Komunisme, kapitalisme, imprialisme bahkan apartet timbul karena sebuah kekuatan politik yang mengusung ide-ide tertentu dan berhasil memiliki kekuasaan negara serta mewujudkan ide tersebut.

Mungkin demikianlah pandangan baruku tentang politik namun, ups, sepertinya aku harus selesai sampai di sini ini, sudah siang ternyata dan aku belum makan, mandi, dan ........ masih banyak yang harus dikerjakan. Tapi untunglah mulai saat ini aku sadar bahwa aku adalah mahluk politik yang harus sadar politik. Semoga saja semua orang juga memiliki kesadaran yang sama.......Dan, ini waktu untuk mandi. Tapi, maaf, sewaktu mandi no politik........(Bogor, 23 Maret 2007)

Monday 19 May 2008

HIRUK PIKUK HABIBIE VS PRABOWO, FAKTA ATAU..??


B.J. Habibi melalui bukunya setebal 549 halaman yang berjudul “Detik-detik yang Menentukan” membeberkan sebuah fakta yang selama ini tidak pernah terungkap. Dalam bukunya itu beliau secara rinci menceritakan tentang laporan Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengenai adanya gerakan pasukan liar di sekitar Istana dan rumah kediamannya sehingga Presiden Habibie dan keluarganya diusulkan untuk diungsikan ke Istana. Atas dasar laporan itulah Presiden Habibie lalu memerintahkan Wiranto untuk segera mencopot Prabowo Subianto sebagai Panglima Kostrad. Prabowo kemudian datang menemui Habibie di Istana dan meminta pencopotannya diundur tiga bulan, namun ditolak (Majalah Tempo, 8/11/06). Ini adalah fakta sesungguhnya menurut beliau.

Namun Prabowo seolah tidak mau dipojokkan secara telak kemudian membela diri. Ia lantas menggelar konferensi pers karena merasa diinsinuasikan akan melakukan kudeta dan berlaku kurang patut. Mantan menantu Presiden Soeharto ini juga sempat berupaya bertemu Habibie dan minta agar buku itu direvisi. Habibie menolak (Majalah Tempo, 8/11/06).Dan iapun berencana akan menuliskan sebuah buku untuk membeberkan fakta yang sebenarnya.

Nah, jika kemudian kedua-duanya memiliki fakta dan diklaim sama-sama valid, tentunya kita yang menyimak menjadi bingung, jadi siapa sebenarnya yang benar dan siapa yang salah?

Tentunya persoalan di atas boleh jadi menggelitik kita untuk kemudian mempertanyakan apa yang dimaksud dengan fakta? Dan sejauh mana fakta itu menjadi benar? Atau jangan-jangan pertanyaan yang baru saya ajukan tidak patut dipertanyakan?

Persoalan Fakta
Saat ini kita tengah berada pada era positifistik, dimana aturan konversasi terhadap kebenaran sebuah pernyataan adalah bukti. Bertrand Russell menekankan bahwa masuk akal untuk mempercayai data indra kita yang merupakan tanda eksistensi sesuatu yang tidak bergantung pada diri dan persepsi kita[1]. Jika kita menyatakan sesuatu, syarat agar pendapat kita diterima atau dapat dibenarkan oleh orang lain adalah bahwa apa yang kita ucapkan berasal dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Kita akan dikatakan tidak waras jika mencoba mencari pembenaran pada bisikan roh halus, perkataan mbah dukun apalagi wangsit. Pokoknya pendapat yang benar adalah resume dari sesuatu yang benar-benar kita saksikan.

Sehingga cerita tentang kaki si Andi bau busuk akan lebih relevan dengan kisah kiamat yang semakin mendekat karena yang pertama sangat mungkin diperoleh dari pengalaman, sedangkan kiamat, wong, belum sampai, jadi belum ada yang melihat, maka tidak benar. Jadi, ketika kita tengah membicarakan sebuah fakta tentang Tuti, maka akan beraneka macam fakta yang kita peroleh, mulai Tuti yang tukang ngorok, Tuti yang suka kentut, Tuti yang jorok, dsb,dsb….. Dan apakah semuanya menjadi fakta tentang Tuti?

Tentu saja. Namun jika anda di tanyakan siapakan Tuti sebenarnya maka semua fakta tersebut belum mampu memberikan gambaran menyeluruh tentang Tuti. Katakanlah kita mencari fakta tentang Tuti karena kita ingin mengenalnya. Kesimpulan dari fakta yang kita terima menjadi dasar pembentukan citra Tuti dalam benak kita. Maka, jika fakta yang berhasil kita peroleh adalah Tuti suka ngorok, kakinya bau dan jarang mandi, jangan-jangan kemudian kita berpikir Tuti gadis yang dekil atau tidak seronok meskipun tanpa kita sadari bahwa di saat yang berbeda dia ternyata sangat anggun, aroma tubuhnya enak untuk dicium dan kakinya tidak bau, hanya kita belum sempat menyaksikannya. Dalam konteks demikian pandangan kitapun menjadi bias atau malah dapat disebut pencemaran nama baik?

Fakta yang Bersifat Total?
Untuk dapat memahami sesuatu hal secara sempurna kita harus dapat mengumpulkan fakta secara lengkap. Akal manusia cenderung merangkai informasi yang berkaitan untuk membentuk sebuah pandangan general. Misalnya saja kita memperoleh pengalaman jika apel enak dimakan, nenas enak dimakan, jeruk enak dimakan maka kemudian kita berkesimpulan bahwa semua buah-buahan enak untuk dimakan. Proses logika yang membentuk pandangan demikian disebut proses induktif.

Namun persyaratan validitas demikian dapat menimbulkan persoalan. Katakanlah kita ingin menunjukkan bahwa Suharto adalah manusia setengah monster, maka kita harus mengetahui segala aspek kehidupan Suharto, jika perlu sejak ia bayi hingga masa uzurnya, dan dalam setiap detik kehidupannya kita harus bisa memperlihatkannya kecenderungannya yang kejam, seperti suka mengigit, menonjok dan mencakar dsb…. Nah, mungkinkah hal itu dilakukan? Bagaimana jika kemudian kita mengetahui jika Suharto ternyata sewaktu masa mudanya sangat santun dan menyayangi gadis-gadis desa, apakah kemudian merubah haluan dengan menyebutkan bahwa Suharto sesungguhnya adalah seorang playboy?

Motivasi dan Fakta
Intinya adalah bahwa kita tidak akan mampu mengumpulkan dan mengetahui fakta tentang sesuatu secara lengkap. Sesungguhnya kita juga tidak pernah mengumpulkan sebuah fakta secara buta[2] dengan membiarkan fakta itu hadir begitu saja. Kita seringkali memilih fakta yang akan kita saksikan[3] dan semuanya itu memiliki benang merah terhadap sebuah motif dalam diri kita. Misalnya saja kita sedang kesal dengan seseorang, maka kita cenderung akan mengumpulkan fakta yang menjelek-jelekannya. Oh, dia itu punya simpanan, aku pernah lihat ..bla..bla. Oh, dia suka nilep uang kantor, aku pernah lihat..bla..bla. Nah, bukankah ini juga sebuah fakta?

Jadi seorang wartawan mungkin saja akan lebih memilih mengumpulkan fakta buruk seorang pejabat, seorang menteri hanya akan mengumpulkan fakta positif tentang kinerjanya atau seorang LSM berusaha mengumpulkan fakta eksploitasi hutan seorang pemilik HPH yang tujuannya lebih untuk mencari keuntungan pribadi. Dan sering juga terjadi fakta yang satu dengan yang lain dapat saling dipertentangkan, sebagaimana menteri perdagangan dan menteri pertanian pernah beradu fakta terkait permasalahan impor gula, menentukan siapa salah dalam mengambil kebijakan?

Disamping itu sebuah fakta tidak selalu dipahami secara netral dan objektif. Proses kehadiran fakta dalam kesadaran kita berawal dari stimulasi ekternal menjadi sebuah sinyal-sinyal yang kemudian diterjemahkan otak sebagai bentuk, ukuran,warna, berat dsb dan selanjutnya dikombinasikan menjadi wujud yang memiliki ruang dan waktu. Bahwa bentuk yang muncul dipengaruhi oleh motivasi kita dalam mempersepsikan sesuatu, dan mendapatkan nuansa perasaan apakah menjadi wujud menyenangkan atau tidak, yang berbeda pada setiap orang[4]. Jadi meskipun dua orang sama-sama melihat sebuah pemandangan alam, namun yang satu merasa kagum akan keindahan alam namun yang lain merasa biasa saja. Bagi seorang dokter, fases atau kotoran bukan hal yang menjijikkan namun bagi orang awam menjadi sesuatu yang membuat mual apalagi jika baunya menyengat. Artinya kehadiran sebuah fakta dalam kesadaran akan turut dibentuk oleh persepsi dan efek perasaan kita.

Oleh sebab itu penyampaikan semata-mata fakta bukanlah sarana yang tepat meneguhkan sebuah statement atau pernyataan menunjukkan sebuah kebenaran absolut. Memiliki fakta bukan berarti memiliki kebenaran total. Karena faktapun dapat diambil secara bias untuk mendukung sebuah pernyataan. Di sisi lain mustahil bagi setiap orang memperoleh fakta secara lengkap tentang segala sesuatu. Dan setiap penyampian fakta adakalanya memiliki motif tertentu. Misalkan menyatakan keburukan seseorang secara terbuka di depan publik bukanlah sebuah tindakan yang patut dibenarkan? sebagaimana trend artis yang mengembar-gemborkan masalah rumah tangganya di depan pers. Benar, yang mereka sampaikan adalah fakta, namun motif penyampaiannya adalah untuk mendekreditkan pasangannya. Bukankah fakta dapat menjadi sesuatu yang merusak.

Maka kebenaran sebuah penyampaian fakta akan terkait dengan motif si penyampai fakta dan manfaat yang kemudian dihasilkan. Penyampaian fakta yang tepat bukanlah bertujuan mencari keuntungan dengan memojokkan orang lain atau menjatuhkan pihak lain membuat kita menjadi superhero melainkan demi sebuah kebaikan, mendorong terciptanya perubahan dalam diri orang lain maupun diri kita sendiri. Bukannya menimbulkan rasa malu, kebencian maupun dendam. Maka dalam konteks demikian fakta akan menjadi tepat dan bermanfaat tidak hanya selama ia benar terjadi, namun juga terkait dengan bagaimana fakta tersebut disampaikan, melalui media apa, sehingga orang yang memperoleh fakta tersebut menjadi arif menanggapinya.

Oleh sebab itu meskipun kita memiliki fakta, namun penyampaiannya belum tentu membawa kita pada pernyataan yang benar. Pertama karena kita tidak pernah mampu memahami fakta secara bebas distorsi dan kedua kebenaran penyampaikan sebuah fakta lebih bersifat pragmatis, apakah memberikan manfaat atau tidak. Dan yang terpenting adalah motif yang ada dibalik penyampaian sebuah fakta. Meskipun benar, fakta yang disampaikan dengan tujuan menguntungkan diri tetap menjadi sesuatu hal yang keliru. Setidaknya caruk-maruk bukaan fakta-fakta oleh berbagai pihak untuk menkritik pihak lain di media massa, yang konon dianggap sebagai bentuk kebebasan berpendapat, bukanlah semata-mata dilihat sebagai bentuk pernyataan yang benar dan masuk akal namun juga kita perlu kritisi, jangan-jangan ada udang di balik batako…


Catatan Kaki:
1.Bertrand R. The Problems of Philosophy (terjem Persoalan Seputar Filsafat),hlm-27
2.Muncul begitu saja bebas dari pikiran kita
3.Dalam konsep psikologi hal ini disebut sebagai attention artinya mengarahkan indra terhadap stimulus tertentu.
4.Lihat S. Crown, Essential Principles of Psychiantry p 37-38

Thursday 8 May 2008

RAWAN PANGAN DAN BATASAN SOSIAL YANG DIHADAPI


Thomas Robert Malthus, seorang intelektual abad ke-18, melalui kemampuan analisis logikanya meramalkan bahwa bencana kelaparan adalah sesuatu hal yang tak terhindari saat pertumbuhan pangan tidak mampu mengimbangan laju pertumbuhan penduduk. Untunglah manusia zaman ini tidak perlu pusing membayangkan seperti apa bencana itu, karena tidak lama lagi bakal bisa menyaksikan atau merasakan langsung apa yang disebut bencana kelaparan itu.

Krisis pangan menghantui kehidupan manusia pada saat ini. Harga-harga bahan pangan melonjak naik. Berdasarkan pantauan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) saat ini ada 36 negara yang mengalami krisis pangan akibat kenaikan harga komoditas pangan, dan termasuk di dalamnya adalah Indonesia. Menurut data UN's food and agriculture programme, 854 juta orang tidak mengkonsumsi makanan yang layak untuk mendukung aktivitas dan kesehatan tubuhnya.

Presiden Bank Dunia Robert Zoellick mengatakan bahwa kenaikan harga pangan tidak hanya mengancam manusia tapi akan mengancam kestabilan politik di sejumlah negara. Namun, tentunya, hal yang sangat mengkhawatirkan krisis pangan akan berakhir dengan bencana kelaparan di berbagai wilayah di dunia.

Lalu bagaimana cara mengatasi masalah krisis pangan ini? Tentunya, dengan logika sederhana masalah ini dapat diatasi dengan meningkatkan produksi pangan serta aksesibilitas masyarakat terhadap pangan, khususnya bagi mereka yang mengalami kekurangan pangan. Dan peningkatan produksi pangan secara lebih teknis dapat diwujudkan melalui upaya perluasan lahan serta intensifikasi pertanian.

Namun mewujudkan hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata usaha perluasan lahan harus menghadapi masalah bahwa ketersediaan lahan subur pengembangan tanaman pangan semakin terbatas. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena lahan subur tidak hanya digunakan bagi budidaya tanaman pangan namun juga untuk pengembangan tanaman industri khususnya bio-energi serta juga bagi penyediaan pemukiman atau pembangunan wilayah industri. Lihat saja apa yang terjadi di Indonesia untuk kasus konversi lahan. Menurut Agus Suman (2006) rentang tahun 1992 sampai 2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 ha. Angka itu melonjak pada 2002 s/d 2004 menjadi 145.000 ha.

Di sisi lain sejumlah lahan pertanian produktif yang tersedia untuk tanaman pangan mulai mengalami ancaman degradasi yang cukup parah akibat teknik pengelolaan yang tidak tepat. Empat puluh persen tanah pertanian di dunia mengalami degradasi serius (http://www.guardian.co.uk/, 2007).

Jika usaha perluasan lahan menghadapi sejumlah kendala bagaimana pula dengan penerapan intensifikasi pertanian. Ternyata kita harus kembali pesimis ketika melihat kenyataan yang terjadi di lapangan. Konon aplikasi teknologi pertanian seringkali berakibat kontra-produktif. Dari hasil studi PBB terhadap trand pertanian global menunjukkan bahwa penerapan teknologi di lapangan sering mengalami kegagalan atau tidak aplikatif. Misalnya introduksi jenis tanaman baru hasil penelitian seringkali tidak lebih memuaskan hasilnya dari tanaman yang ditanam oleh petani sebelumnya.

Disamping itu, penerapan teknologi sering kali memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Penggunaan bahan-bahan kimia (pestisida atau pupuk) sering berdampak pada pencemaran lingkungan serta kerusakan ekosistem. Di sisi lain penerapan aplikasi kimiawi dan bio-teknologi untuk meningkatkan ketersediaan pangan malah menciptakan ancaman baru yakni masalah keamanan pangan. Bahan pangan dari hasil aplikasi teknologi seringkali mengandung residu kimiawi yang melebih ambang batas toleransi atau mengandung materi genetis yang berbahaya bagi manusia.

Ancaman lainnya terhadap keberadaan pertanian pangan muncul dari adanya fenomena pemasanan global. Peristiwa tersebut mengakibatkan timbulnya cuaca ekstrim yang berpotensi menimbulkan banjir atau kekeringan yang akhirnya mengancam kelangsungan budidaya tanaman pangan.

Ironisnya, kondisi krisis ketersediaan pangan diakibatkan persoalan di tingkat budidaya diperparah dengan fenomena ketidakmerataan akses pangan. Tingkat konsumsi pangan ditentukan oleh tingkat pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat. Menurut James Bradley and Kristen Bradley 55 persen penduduk dunia memiliki pendapatan rendah. Kehidupan keseharian mereka berkutat pada persoalan sekedar bertahan hidup (www.dailyutahchronicle.com, 2007). Ini berarti tidak setiap orang dapat memperoleh makanan yang berigizi dan sehat dengan gampang.

Ketimpangan pangan menjadi gambaran buruk dari wajah kehidupan global. Hal ini dengan sangat jelas digambarkan oleh Andre Gorz dalam bukunya yang berjudul Anarkisme Kapitalisme (terjm) (1980). Meskipun penduduk negara maju hanya 13 persen dari penduduk dunia, namun untuk menghidup mereka digunakan 30 persen dari seluruh lahan di dunia yang dapat ditanami. Negara maju menggunakan 800-900 kg padi/tahun/kapita untuk menggemukkan unggas dan ternak mereka, sementara 150-200 kg cukup bagi penduduk di dunia ketiga untuk makanan mereka dan ayam-ayam yang mereka miliki. .

Perubahan Diri
Jika demikian hal apakah yang kemudian dapat dilakukan mengantisipasi terjadinya krisis pangan? Persoalan krisis pangan tentunya bukan masalah sederhana. Namun menurut saya, krisis pangan mustahil diatasi tanpa adanya sebuah perubahan sikap dari setiap pribadi di muka bumi ini. Saya tertarik dengan konsep Bergson tentang duree, bahwa masa depan adalah sesuatu yang belum ditentukan. Manusia memiliki kebebasan menciptakan masa depannya dengan merefleksikan masa lalu.

Mungkin terlihat menyederhanakan permasalahan dengan menyelesaikan persoalan global pada keputusan individu dan tidak pada sebuah kebijakan di tingkat negara atau koorporasi. Namun kita seringkali melupakan bahwa sebuah negara, masyarakat, koorporasi dibangun oleh kumpulan individu. Menyerahkan persoalah krisis pangan, yang berhubungan dengan kelangsungan kehidupan kita pada organisasi atau negara sebenarnya bentuk lain dari penghindaran tanggung jawab moral untuk melakukan sesuatu. Serta memasrahkan kehidupan kita pada kekuatan anonim yang tidak bisa kita kendalikan.

Maka pertanyaan selanjutnya apa yang dapat kita lakukan?

Menurut hemat saya, mulailah dari hal-hal yang sederhana. Kita bisa awali dengan mengembangkan kebiasaan untuk berbagi. Sederhana bukan? Namun bukan tidak mungkin ancaman kelaparan dapat dicegah jika mereka yang mengkonsumsi pangan berlebih mau berbagi dengan mereka yang kekurangan.

Hukum pasar, atau alasan pertimbangan ekonomis tidak dapat membatasi seseorang mengsheringkan miliknya kepada orang lain. Malah dengan membiarkan distribusi pangan ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar sama saja membiarkan orang miskin mati kelaparan. Mengapa? Karena mereka yang memiliki daya beli yang rendah mustahil dapat memperoleh bahan makanan yang layak dan mencukupi bagi kehidupannya melalui mekanisme pasar yang mewajibkan setiap orang memiliki uang untuk mendapatkan barang yang dibutuhkannya.

Kita bisa menyisihkan sebagian dari bahan makanan atau uang kita untuk membantu tetangga, kawan, saudara atau orang-orang di sekeliling kita yang mengalami kekurangan makanan. Setidaknya dengan cara demikian kita berperan dalam menolong orang lain lepas dari bahaya kelaparan.

Langkah selanjutnya yang dapat kita lakukan dengan mudah adalah dengan memanfaatkan aset-aset yang kita miliki untuk penyediaan pangan. Jadi jika kita memiliki modal, lahan atau akses terhadap kekuasaan atau apapun itu manfaatkanlah untuk mendukung upaya penyediaan pangan.

Keputusan penggunaan lahan untuk lahan pertanian bagi penyediaan pangan akan lebih merupakan sebuah tindakan etis meskipun secara ekonomi tidak menguntungkan. Atau mengunakan aset untuk mendukung pengembangan pertanian pangan meskipun secara kalkulasi ekonomi dianggap tidak menguntungkan. Pekarangan rumah atau di lahan yang kita miliki bisa ditanami dengan tanaman pangan. Jika kita tidak mempunyai waktu melakukannya kita bisa meminta orang lain untuk melakukannya bagi kita. Dan hasilnya bisa kita nikmati dan juga orang lain.

Jika ingin membangun gedung atau bangunan, sisakan sedikit lahan untuk bercocok tanaman pangan. Jika mustahil melakukan penanaman menggunakan media tanah, kita dapat memanfaatkan teknologi penanaman tanpa media tanah, sehingga memungkinkan kita melakukan penanaman di tempat-tempat yang tidak lazim untuk bercocok tanam seperti di dalam gedung hotel, kantor dsb. Konon di Jepang penanaman dan pemanen padi pernah dilakukan di dalam sebuah gedung mewah.

Disamping cara-cara di atas, dengan membiasakan hidup sederhana dan serta mengurangi konsumsi barang-barang yang tidak berhubungan dengan kebutuhan dasar (life style) kita juga telah ikut serta dalam mengurangi resiko terjadinya krisis pangan.

Mengapa demikian? Karena dengan mulai mengurangi kebiasaan mengkonsumsi khususnya barang-barang industri yang tidak terlalu bermanfaat untuk pemenuhan basic need. Dengan demikian kita secara tidak langsung telah mengurangi insentif bagi usaha industri yang bila dilakukan secara kolektif dalam jangka panjang dapat menghambat pertumbuhan industri. Penurunan perkembangan industri berarti juga pengurangan aktivitas konversi lahan yang seharusnya dijadikan lahan pertanian untuk lokasi pabrik atau bangunan industri. Serta ikut serta dalam upaya mendorong penurunan aktivitas industri yang merupakan sumber dari timbulnya polusi dan pencemaran lingkungan, sebagai penyebab tidak langsung dari pemanasan global yang menjadi ancaman terhadap sektor pertanian.

Kemudian melalui pengurangan konsumsi pangan khususnya buat mereka yang biasa mengkonsumsi lebih (apalagi sudah mengalami kegemukan) tidak langsung meningkatakn kesempatan bagi orang lain mendapatkan makanan layak yang sesungguhnya dapat kita beli dan konsumsi sendiri. Artinya marilah mengkonsumsi secara cukup, dan hilangkan kebiasaan makan menjadikan sebagai sarana hiburan.

Dari pada menunggu solusi canggih dari pada ahli untuk mengatasi krisis pangan, mengapa kita tidak awali dari perubahan dari diri kita sendiri? Toh, setiap manusia dapat melakukan sesuatu bagi perubahan sosial. Terjadinya krisis pangan tidak dapat kita limpahkan begitu saja sebagai kesalahan pengelolaan negara, organisasi pangan dunia, namun juga kesalahan setiap kita semua karena tidak melakukan hal-hal yang bisa dilakukan dengan mudah.

ECONOMIC RELATION, FREE WILL AND ETHIC


The existance of humans race are not completely gloomy as drawed by economic conception. Is It true if humans absolutly egoistic being? what's humas care just about him self , directed by instinct for reaching happiness.

Milan Zafirovski said (“Human Rational Behavior and Economic Rationality” Electronic Journal of Sociology, 2008), that reminiscent of the old utilitarianism, modern rational choice theory in sociology and economics defines rational behavior as ipso facto rational in instrumental terms, as economic rationality or utilitarian calculation. Subsuming all the ends, reasons, and motives of action to instrumental, egoistic or hedonistic ones, i.e., pursuit of utility, self-interest or pleasure, and avoiding disutility and pain do this .

But actualy it's not fully right. Humans has ability to secrisfice his need for other happiness. They can free him self from satifaction law. Animals are completely drive by the biological instinct but human not all. Humans behaviour can also be directed by his world view, ideology, what humans think as a ultimate truth and can sacrafices his life for defending his belief. The al qaeda mambers are brave to face death because of his belief . It doesn't happen in animals’s world. Human can do altruistically deed for saving other life .

Humans have free will, although instinctical drive still remain. Consciously human capable to direct their biological drive. Example when Budi felt hungry in spite of there was looking food in font of his eyes, but he can rejected it. What human do daily not just keeping life go on but also searching the meaning for his life. Human to make a decision or action not just for pragmatical orientation but also ethical consideration. Is it good or bad. Are the actions he choose benefit to the other or not?

Equal in the case of economic relation. Decision for getting happiness not just sole way to make choices. Humans can choose freely to serve their own desire alone or do something to help the other and victimize them self for that. A coorporat, like Bill Gate, can choose to maximize his profit by pushing labour wage. It is rationalty did when the rate of unemployment highly and the company's owners have better bergain position than the workers. So the workers tand be more tolerant to the policy because easy for the company finding new workers that prefered payed low than to keep them with more cost. But ethicaly the owners can choose to pay the wage in the ideal rate that can support the worker daily life

Market mechanism depending will create depair, when market prefernce based on egoistic decision. We can chance the badness of the market mechanism by etic. That we dont want to reach the maximaze satifaction buat just optimal satifacation, at the rate that not decrease the other happiness. Economic option not just base on humanism preference but be directed toward humanity service.

There are the dicotomy between the ethical decision with what we call nature law decision in a economic relation. Maybe in economic law, it naturaly right if someone use his asset to accumulation his capital. But it's ethically wrong when he is wealther alone otherwise there are other peoples suffer. Getting maximal satisfaction from economi relation absolutly is a rationa decision, it's more not ethical choice if he consiously reduce his production capicity to wider the other oppotunity to test economi benefit .

Unjustness and poverty exist are prone draw that market mechanisme fail to serve human life to reach a better life as long as depend of the egoistic preference. Althought market mechanisme still exit but human races have a freedom to choose their decision what they want to buy, how much?. Poverty establishment is a symbolizatiobn that most Indonesians still in unethical deed or habit. Dostoevsky said thar the other suffering are our resposibility to burden.

Wednesday 7 May 2008

HISTORICAL FORGETNESS AND THE EVIL


There are two kind critics toward historical conception. I want to require about historical forgetness and other side about crimes essence in the history. This questions are based on facts there are many bad story behind the appraisal history that be forgot.

The bible told that Jacob decepted his father, Issac by acting like his brother, Esau, to receive blessing from his father. Before that, he took exchange birthright from his brother and become the eldest by offering lentil soup. But these tragic story was a part of history emerging the Jewish as the chosen people.

From the story of Majapahit Kingdom we know that the kingdom was founded by Raden Wijaya, descendent of supreme thief, Ken Arok. He couped the highest power from Tunggul Ametung hand, also his beautiful wife Ken Dedes as his princess.

There are many history evens, like the founding dinasties, the coming a great hero and choosing nations were coloured by many kind of crimes like deceptions, murders, and the other ones.

Recently I road a book that had title “Why did America (USA) like war?”. As a person that unknowed about America’s history, I really felt suppressed to know that history USA was painted by chain of evil histories pastly. The economic forwardness didn’t come immediatly as God’s blessing. But established from the suffering and exploitation the others. History fact showed, that the land where the American-European people live now were the haritage that owned by Indian peoples past that owning by throwed away and murdered the such native people.

Ironically, today most of people around the world praise the economic progress of USA and mirror USA's economic system as a prototype the ideal. There are many countries against their own costumes and traditional systems because desaire to resemble, to what commonly said, American style.

So I call such phenomena as a history forgetness. As corruptor appraised because of his richness and ignore the causal. Like a lot of eastern peoples respect to European culture mozaic but be amnesia to the evil of European imprealism background, that took over the nature resources from the colonials to establish their greatness.

Is the forgetness history a part from human existance so the evils behind the histories tend unimportant be knowed. The history evens are fragmented, filled with collection of stories that uninterconnection.

Or maybe every human, in his unconsious state, belief that crimes are presupposition for a greatness. Evil and goodness are two kind of neutraly power that urge the history moving. Crimes can be hidden behind the heroic strories of the nation. We prone dislike the Western’s imprealism telling, especially if it was a part of our past history as a victim, but we likely praise our local story like Sriwijaya and Majapahit’s imperialism that prove our national's greatness altought behind those there were many bodly death wars and massacres.

Historical forgetness is kind of human need to find out the proudness to their own life. The crimes as the background the story have to throw away from our mind because it’s not important or its sound is not good. It’s better to hear a greatness that a bitterness.

Sunday 4 May 2008

TIPS MEMPENGARUHI ORANG LAIN UNTUK MEMBELI APA SAJA


Keinginan setiap manusia untuk memenuhi kebutuhannya merupakan tujuan hidup yang nyata. Perubahan zaman yang serba instan mendorong manusia berlomba-lomba memenuhi kebutuhannya,baik materil dan spiritual

Berbagai cara dilakukan setiap manusia agar dapat hidup sejatera. Kehidupan yang mapan secara materil merupakan tolak ukur yang mana manusia dapat dikatakan berhasil. Lazimnya kebutuhan manusia tersebut yaitu sandang, pangan,dan papan.

Manusia senantiasa berusaha untuk meningkatkan kepuasannya. Hal ini terbukti dari permintaan terhadap barang dan jasa yang meningkat setiap tahunnya. Semakin tingginya permintaan barang terhadap pasar sangat mempengaruhi harga barang dan daya beli terhadap masyarakat. Banyak orang berpikir sekarang ini duit adalah segala-segalanya. Dengan duit apapun bisa dimiliki dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hal seperti ini sangat menguntungkan bagi pelaku-pelaku pasar untuk memasarkan produknya.

Tetapi tidak mudah sebagian dari para pelaku pasar memperkenalkan dan menjualkan barang/produk tersebut. Disinilah peran seorang tenaga marketing menjadi sangat penting. Marketing berasal dari kata market yang berarti pasar,dan marketing berarti pemasaran.

Namun menjadi seorang marketer juga tidaklah mudah. Menurut hemat saya ada beberapa karakter yang harus dimiliki seorang marketer untuk sukses dalam penjualan,yaitu : 1). Mengenal dan memahami produk, seorang marketing mengerti kelebihan dan kekurangan produk tersebut 2) Disiplin dan tanggung jawab : memiliki rasa peduli terhadap pekerjaan (loyalitas yang tinggi)3)Berpenampilan baik dan menarik : mempunyai kepribadian yang baik dalam arti sopan dan santun pada tutur bahasa dengan senyuman 4)Aktif dan kreatif : kepedulian terhadap pelanggan atau barang dan keadaan sekitarnya 5)Kerja keras dan kejujuran : semangat yang kuat,pantang menyerah dan rasa yang memiliki 6) Kesabaran dan doa : menjadikan pekerjaan adalah ibadah..

Hal diatas berperan penting untuk mendukung seorang marketer menjalankan profesinya. Disamping itu ada juga beberapa poin penting yang harus diketahui oleh marketer untuk mendorong terciptanya kepuasan konsumen/pelanggan, yaitu : 1) Siapakah konsumen/pelanggan 2) Apa yang membuat kita berbeda dan istimewa 3) Bagaimana pelayanan yang memuaskan konsumen 4) Nilai apa yang kita berikan kepada konsumen...

Dengan kata lain seorang marketing harus mampu memiliki berbagai keistimewaan di mata konsumen/pelanggan.

Kepuasan konsumen merupakan tujuan yang penting dalam meningkatkan daya jual. Persaingan pasar yang tinggi membuat para pelaku pasar memberikan pelayanan yang lebih dengan cara apapun untuk menarik perhatian konsumen. Berdasarkan pengalaman saya ini ada beberapa kiat penting untuk dapat mempengaruhi konsumen membeli apa yang kita tawarkan. Pertama Mari memanjakan konsumen, hal ini diwujudkan dengan memahami kemauan konsumen serta memberikan pelayanan yang memuaskan demi meningkatkan gairah untuk membeli. Atrategi kedua tawarkan produk-produk yang menggoda dengan karakteristik, harga relatif murah namun kualitas bersaing. Intinya harga barang yang ditawarkan tengkau oleh konsumen namun kualitasnya sangat memuaskan. Strategi Ketiga Berikan konsumen insentif tambahan ketika ia mau membeli. Nilai ini akan memberikan daya tarik dan sebagai keistimewaan tersendiri buat konsumen. Strategi terakhir adalah resposif terhadap keluhan konsumen. Hal ini dimungkinkan jika terbina komunikasi yang baik dengan pelanggan dan siap menerima saran dan kritik.

Tips diatas sudah terbukti berhasil saya terapkan dalam memasarkan berbagai jenis produk dan mendapatkan prestasi penjualan yang luar biasa. Namun tentunya keberhasilan penjualan akan semakin bebas peluangya jika perusahaan pemilik produk juga aktif mempromosikan produk dan mampu memberikan kenyamanan ketika konsumen datang berkunjung ke counter secara langsung. Oleh sebab itu usaha pemasaran oleh marketer perlu didukung oleh pengelola usaha dengan melakukan 1) pemasangan iklan : memperkenalkan tema dan konsep barang dagangan kepada pelanggan melalui media cetak dan media elektronik 2) pengaturan pajangan 3) penentuan letak toko yang strategisyang memudahkan pelanggan mengakses 4) pembuatan kemasan barang yang memberikan kesan pertama penuh daya tarik bagi pelanggan.

Tulisan ini dibuat oleh David Tambunan yang memiliki pengalaman di dunia marketing selama 5 tahun dan meraih prestasi luar biasa di berbagai perusahaan swasta ternama seperti Telkomsel, Honda, Yamaha. Dan penulis membuka diri untuk membantu divisi field marketing pada perusahaan yang membutuhkan revolusi sistem pemasaran. (David Tambunan, Depok-Jakarta, 081381716841)

(Bagi rekan-rekan yang ingin menampilkan karya atau mempromosikan diri Anda pada blog saya silahkan mengirimkan tulisan dan data-data pribadi ke email hendra_has@deptan.go.id dan CC ke moan_bb@yahoo.com)

Friday 2 May 2008

KASUS AL-AMIN, ANGGOTA DPR DAN DUNIA MAFIOSO


Al-Capone memeluk musuhnya tanda persahabatan. Namun tak lama setelah ia pergi sang musuhnya dibrondong tembakan senjata oleh anak buahnya.

Kehidupan seorang bos mafia, sangat menarik. Kejahatannya seringkali tidak terjamah oleh hukum. Bos mafia bisa tampil bersahabat di muka publik namun dibalik segala apa yang terlihat ia menunjukkan kekejaman. Lihat saja apa yang dilakukan oleh Al-Capone , bos mafia di Chicago, AS pada era tahun 1930-an, dengan organisasi kejahatan yang tersohor bernama La Cosa Nostra. Meskipun sebagai aktor dibalik sejumlah pembunuhan keji dan juga melakukannya sendiri, namun ia selalu tampil bak seorang pahlawan. Ia selalu terlihat sebagai pribadi yang ramah dan suka menderma di depan umum. Misalnya saja ia dengan murah hati membagi-bagikan makanan secara gratis kepada masyarakat yang tengah menderita ketika terjadi Depresi di Amerika Serikat (http://www.chicagohs.org/).

Mafioso Ala Indonesia
Untunglah di Indonesia tidak ada mafioso dan penjahat kakap seklas Al-Capone. Sehingga kita tidak harus menyaksikan pembunuhan sadis dan peperangan antar gang di Indonesia. Hanya saja hal ini bukan berarti organisasi mirip mafioso dan karakter seorang bos mafia seperti Al Capone tidak dijumpai di Indonesia. Perilaku yang suka mengecoh masyarakat, ibarat seekor bonglon masih dapat kita jumpai di Indonesia demikian juga sifat-sifat mafioso lainnya.

Perilaku politik dari sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat kita tercinta sesungguhnya dapat disandingkan dengan perilaku seorang Bos Mafia. Dan mekanisme kerja di DPR sering kali tidak berbeda dengan organisasi mafia. Mengapa? Anggota DPR konon terkenal dengan kemampuannya memanipulasi persepsi massa. Tampak seperti sang pembela rakyat namun sesungguhnya tidak memperdulikan rakyat. Dalam kampanyenya setiap calon anggota DPR selalu berjanji akan mesejahterakan masyarakat. Demikian ketika ia telah menjadi anggota DPR dan tampil didepan umum, perkataanya penuk ungkapan altruistik, “ Ini semua bagi kepentingan rakyat”.

Namun dibalik realitas publikasi publik, yang dimainkan para anggota DPR adalah sebuah teater murahan. Tidur ketika sidang, mungkir mengikuti rapat di Komisi, tapi menuntut agar gaji dinaikkan, mengharapkan studi banding ke luar negeri. Setelah menjabat beberapa saat anggota DPR mengalami peningkatan kesejateraan karena mendapat fasilitas kehidupan yang memadai namun rakyat yang diwakilinya malah makin sengsara dan memble.

Penilaian di atas ini bukan tanpa dasar. Sekretaris Fraksi Partai Demokrat (F-PD), Sutan Batoegana yang juga anggota komisi VII malah mengakui jika sebagian besar anggota DPR kurang bertanggjawab atas tugasnya sebagai wakil rakyat. “Antara kewajiban dan hak tidak seimbang. Mereka lebih mengejar haknya. Kecurangan anggota DPR itu dari mulai soal kehadiran, penggunaan fasilitas Dewan, tindakan asusila dan lainnya. Kalau kode etik DPR benar-benar ditegakkan, maka 50% lebih anggota DPR pasti melanggar semua (eramuslim, 2006).

Bagi anggota DPR yang terpenting adalah mengejar keuntungan sendiri dan kelompoknya, sedangkan rakyat cukup dininabobokkan dengan janji-janji kamuflase. Layaknya bos mafia yang kepentingannya merauk keuntungan dari bisnis judi dan pengedaran obat terlarang, sesekali waktu tampil dermawan menarik simpati masyarakat maka sejumlah anggota DPR memiliki tujuan merauk keuntungan dari uang rakyat yang seharusnya ia bela namun didepan publik tampil bak seorang pembela rakyat. Dan sama kejamnya dengan seorang bos mafia yang membunuh musuh-musuhnya dengan sadis, sedangkan anggota Dewan membiarkan rakyat Indonesia menghadapi sulit dan mahalnya barang-barang kebutuhan pokok, tidak menghiraukan rakyat kecil yang tergusur dan bentuk ketidakadilan lainnya, meskipun para anggota dewan bisa melakukan banyak hal. Membiarkan orang lain tersiksa meskipun bisa mencegahnya sama jahatnya dengan pelaku penyiksaan itu sendiri.

Demikian halnya cara kerja anggota DPR secara tim. Mereka dapat menyamarkan tindakan penyimpangan yang mereka lakukan sehingga tidak terciduk oleh hukum. Misalnya saja dalam kehidupan mafioso, seorang anggota mafia dapat dikorbankan menutupi kejahatan yang dirancang oleh keseluruhan organisasi. Bukankah situasi demikianpun analog dengan apa yang berlaku pada anggota DPR. Misalnya saja kasus Al-Amin, anggota Fraksi PPP yang tertangkap tangan oleh KPK sebesar Rp 71 juta atas dugaan suap alih fungsi hutan lindung di Kepulauan Riau. Namun hanya ia yang ditetapkan menjadi tersangka. Seolah tindak suap ia lakukan adalah atas keputusannya sendiri.

Namun apakah cukup masuk akal jika hanya Al Amin yang terlibat dalam kasus suap tersebut yang terkait dengan persoalan keputusan DPR yang melibatkan seluruh anggota Komisi IV? Atau mungkin saja karena Al Amin seorang jawaran yang ditakuti di Komisi IV sehingga dapat menentukan keputusan di Komisi tersebut.

Kasus ini mendadak heboh. Seolah ini adalah kali pertama anggota DPR menerima suap. Namun apakah demikian? Apakah benar anggota terbukti selama DPR enggan menuntut uang goni-gini atau uang melek agar pembahasan atau pengesahan sebuah rancangan peraturan dapat berlangsung dengan lancar ?

Malah DPR berdasarkan hasil suvei TII (Tranparansi Internasional Indonesia) meluncurkan hasil surveinya yang dilabeli Global Corruption Barometer (GCB) DPR didaulat sebagai lembaga dengan urutan tiga besar terkorup (Riau Pos, 12/2007). Ditambah lagi, sebelum munculnya kasus yang melibatkan AL-Amin, DPR diperhadapkan dengan terkuaknya kasus dana aliran BI sebesar Rp 3,8 miliar pada tahun 2004. Dimana penyerahan uang tersebut bertujuan melempangkan pembahasan tiga rancangan undang-undang, yakni RUU Lembaga Penjamin Simpanan, RUU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan RUU Kepailitan yang dikerjakan oleh DPR (12/11/07, Tempointeraktif).

Hebatnya tidak banyak anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka meskipun pembahasan RUU tersebut melibatkan seluruh anggota komisi IX. Karena seperti halnya aturan mafioso yang juga berlaku dikalangan anggota DPR, korbankan satu dua orang untuk menyelamatkan kejahatan organisasi yang dilakukan secara kolektif. Intinya profesionalisme sebuah organisasi kejahatan ditentukan dari kemampuannya menyembunyikan tindak kejahatan organisasi dengan rapi.

Tujuannya agar aktivitas korupsi dan manipulasinya tetap dapat berlangsung di DPR, toh, tidak semua pelaku penyimpangan tersentuh hukum. Anggota DPR yang senang memperoleh penghasilan ilegal layaknya anggota mafioso dituntut harus bertindak cerdik dan terencana agar penyelewengannya tidak tercium dan terkuat sehingga dapat merauk kekayaan tidak terbatas.

Membersihkan Citra Mafioso dari DPR
Oleh sebab itu bagaimana agar DPR tidak terjangkiti wabah mafioso? Saya teringat jawaban cagub Sumut ketika mencari padanan kata premanisme. Hampir seluruhnya berkata ” berantas”. Tentu hanya sama yang harus kita serukan ketika mendengarkan kata “mafioso DPR” yakni ”berantas, tas..tuntas.....”.

Proses pencegahan harus dilakukan sejak penentuan nama-nama calon legislatif. Masyarakatlah yang menentukan kader partai yang layak dipilih sebagai calon wakil rakyat. Mereka yang akan dipilih adalah sosok yang dikenal dan memiliki kredibilitas di mata masyarakat. Idealnya mereka tinggal di daerah pemilihannya dan menjadi bagian dari masyarakat yang akan memilihnya.

Anehnya dalam pemilihan sebelumnya, orang-orang dari entah-berantah tiba-tiba muncul sebagai calon legislatif di daerah tertentu. Ketika melihatnya gambar dan namanya terpampang masyarakat malah mengerutkan dahi. Karena rakyat tidak menandai si calon sehingga tidak bisa menentukan apakah si calon adalah orang baik dan layak dipilih atau bekas preman di wilayah asalnya?

Ketika masyarakat mengenal benar siapa yang ia pilih, maka jika aspirasinya tidak tersalurkan sang wakil rakyat dapat ia tuntut. Klaim bisa dilayangkan melalui telepon, email, surat kaleng atau mendatangi langsung ke Gedung DPR. Jika tidak juga diindahkan, karena si wakil rakyat berasal dari tempat dimana ia dipilih, maka masyarakat yang menjadi konstituennya dapat menerapkan sanksi sosial bagi dirinya dan keluarganya. Mereka akan dikucilkan. Atau konstituennya dapat memutuskan emoh memilihnya kembali pada pemilihan selanjutnya karena sudah menyadari sisi buruk sang anggota DPR tersebut.

Tapi berbeda jika yang dipilih dari negeri entah berantah. Jika masyarakat kesal, keluarga sang wakil rakyat tidak akan terusik, dapat tidur nyenyak dan tidak merasa terkucilkan oleh masyarakat yang tidak ia kenal. Sang wakil rakyat juga tidak merasa bersalah atau bertanggung jawab karena tidak mengenal orang-orang yang memilihnya. Ia lebih merasa berutang budi pada partai karena telah menempatkannya sebagai calon urutan pertama sehingga suara yang tidak jelas memilih siapa secara otomatis menjadi suara pendukungnya.

Intinya rakyat harus dapat memilih orang-orang yang benar-benar ia kenal, dan kredibilitanya dapat dinilai serta antara sang wakil rakyat dan konstituennya dimungkinkan terjadi interaksi secara personal. Demikian juga dengan sang wakil rakyat, ia harus mengenal betul siapa yang menjadi konstituennya. Sehingga sang wakil rakyat memiliki tanggung jawab moral sedangkan masyarakat pemilih dapat melakukan kontrol sosial.

Namun buat anggota DPR yang masih menjabat dan merasa dirinya sebagai bagian sindikat mafioso, ini adalah saatnya untuk bertobat. Bahwa rakyat sudah berada diambang batas resisten dalam menghadapi tekanan hidup. Rakyat cukup menderita, pengangguran merajalela, harga barang-barang kebutuhan hidup semakin mahal, gizi buruk mengancam anak-anak Indonesia. Dan tentunya menjadi aneh bagi masyarakat, jika orang-orang yang diharapkan memperjuangkan nasibnya malah dengan mudah membagi-bagi uang jutaan rupiah dari sumber-sumber tidak jelas, asik dengan aksi suap menyuap dan studi banding ke luar negeri tanpa hasil tindak lanjut yang jelas. Sedangkan masyarakan yang harusnya dibela harus terus mengais uang untuk dapat bertahan hidup.

Ketidakadilan dapat memicu pergolakan masyarakat. Rakyat yang sengsara kemudian menatap tajam kepada anggota DPR untuk kemudian menumpahkan kebenciannya oleh karena ketidakadilan yang dipertunjukkan anggota DPR. Kemudian masyarakat berikrar sudah saatnya menggayang para mafioso DPR, layaknya memperlakukan kaum bangsawan/nigrat yang mengabdi kepada kepentingan kolonial di era revolusi. Atau lebih ekstrim lagi rakyat berpikir mempersenjatai diri untuk melakukan perlawan terhadap pemerintah atau wakilnya sendiri di DPR yang lalim seperti yang terjadi di Amerika Latin. Walaupun berandai-andai namun hal ini mungkin saja terjadi ketika orang-orang yang diberikan otoritas dan hak kekuasaan untuk mengabdi kepada rakyat malah mensejahterakan dirinya sendiri. Dan rakyat menjadi marah.....