Monday, 18 August 2008
RUSIA VS GEORGIA, PSIKOPAT RYAN DAN DISTORSI MEDIA MASSA
Baru-baru ini saya menyaksikan wawancara yang cukup menarik di BBC London (15/8). Untuk pertama kalinya saya mendengarkan penjelasan dari pihak Rusia terkait pertempuran antara militer Rusia dan militer Georgia, yang disampaikan oleh salah seorang pejabat Rusia. Tentang justifikasi penyerangan militer Rusia ke wilayah Georgia.
Namun sang pejabat Rusia juga dengan tegas mengkritik pemberitaan Media Massa Barat, termasuk BBC, tentang perang Rusia-Georgia yang dinilai cenderung bias. Media massa Barat mengambarkan Rusia seolah bernafsu menguasai Georgia, untuk mendirikan kembali masa kejayaan Uni Soviet.
Setiap aksi yang dilakukan Rusia diekspos secara terbuka. Dampak kehancuran di pihak Georgia, khususnya yang dialami oleh masyarakat sipil, akibat serangan Rusia ditampilkan. Menurut pejabat Rusia tersebut, media Barat, cenderung bertendensi menciptakan image Rusia bahwa telah melanggar kedaulatan negara lain, melakukan perang ilegal dan invansi.
Namun, ditambahkan pejabat Rusia tersebut, pernahkah media Barat mengekspos secara gamblang serangan militer Georgia Ossetia Selatan, wilayah negaranya yang ingin memisahkan diri? Apakah isu genosida yang akan dilakukan pemerintah Georgia juga diungkapkan terang-terangan oleh Media Barat.
Dan pernahkah Media Massa Barat mempertanyakan motivasi Rusia melakukan serangan terhadap Georgia, “tak lain menyelamatkan warganya yang bakal menjadi target pembantaian militer Georgia”.
Dan Rusia tidak memiliki niat menginvansi Georgia, apalagi dengan motif mendirikan kembali kejayaan Uni Soviet. Toh, melihat luas negaranya Georgia bukan pilihan tepat untuk tujuan tersebut. Uzbekistan mungkin lebih layak untuk dijadikan target sebagai negara eks-Uni Soviet dan memiliki luas negara lebih besar dari Georgia.
Namun sekali lagi Rusia menyerang Gorgia bukan bertujuan mendirikan kembali Dinasti Uni Soviet. Dan Rusia sebelumnya memiliki hubungan perdagangan dan diplomatik yang baik dengan Georgia. Rusia menyerang Gorgia itu dipicu oleh aksi anarkis militer Georgia di Ossetia Selatan.
Apa yang dilakukan Rusia berbeda dengan yang dilakukan Amerika Serikat di Irak. Menguasai sepenuhnya negara tersebut. Rusia hanya memaksa militer Gorgia meninggalkan daerah Ossetia Selatan. Cuma itu!
Hebatnya media barat mampu menciptakan image Rusia melakukan perang ilegal, yang lebih layak dilekatkan pada Amerika Serikat untuk aksi militernya di Irak.
Demikian disampaikan sang pejabat Rusia tersebut pada wawancara di BBC. Tentu dengan sebuah kritik telak untuk media Barat. Sekaligus indikasi bahwa media memiliki kekuatan menciptakan image keliru dan memiliki bermuatan ideologis.
Media Massa, Menyuarakan Kebenaran?
Media massa khususnya televisi menjadi sarana bagi masyarakat modern untuk mengetahui sesuatu hal yang terjadi di tempat lain. Kehadiran televisi mengatasi keterbatasan ruang dan waktu dari seseorang mendapatkan sebuah informasi.
Televisi mampu menghadirkan sesuatu yang baru saja terjadi untuk hadir dalam ruang pribadi seseorang. Meskipun saya berada di Indonesia dengan menyaksikan BBC London saya mengetahui apa yang tengah terjadi di Rusia. Bahkan dengan kecepatan luar biasa peristiwa yang terjadi beberapa menit sebelumnya sudah dapat disaksikan secara langsung melalui televisi.
Namun media tentunya tidak mampu menampilkan setiap perisitwa yang terjadi di permukaan bumi ini. Media memiliki logika menentukan peristiwa yang layak untuk diberitakan.
Apa yang menjadi berita adalah peristiwa yang lebih spektakuler dari peristiwa lainnya pada waktu dan tempat yang sama. Yang spektakuler adalah sesuatu peristiwa yang melampaui pengalaman keseharian orang kebanyakan. Atau sebuah perisitwa yang memiliki signifikan yang tinggi terhadap kepentingan banyak orang. Sehingga peristiwa serangan Rusia terhadap Georgia lebih menarik dibandingkan dengan peristiwa perdagangan manusia yang juga terjadi di Georgia atau Rusia pada waktu bersamaan.
Kelemahan lain dari media adalah berita yang dipaparkan tidak sepenuhnya bebas distorsi. Yang kita saksikan di televisi mengacu apa yang dilihat dan informasi yang berhasil dikumpulkan oleh reporter.
Syukur-syukur jika sang reporter berupaya membeberkan fakta apa adanya, tanpa bertujuan mendukung sebuah pendirian. Atau media tersebut menggariskan sebuah alur fakta yang harus disampaikan. Seperti “Rusia adalah anarkis”, “Amerika pro demokrasi”, “Liberalisme adalah sistem terbaik”, “Indonesia adalah negara teroris”.
Berita yang temanya telah ditentukan dari awalnya akan berdampak terhadap sortir-menyortir berita serta penentuan cuplikan yang ingin diambil. Reporter yang telah memiliki anggapan ”Indonesia adalah negara terorisme” cukup mengambil klip aksi anarkisme FPI di Monas atau serangan Bom di Bali sebagai konteks pemberitaannya. Ia tidak perlu mengshot sisi lain kehidupan masyarakat Indonesia yang penuh toleransi.
Menurut Andreas (2006) konon jurnalisme kontemporer memiliki misi menampilkan berita secara akurat, objektif dan lepas dari sudut pandang pribadi. Namun hal tersebut sulit terwujud. Mengapa demikian? Nyatanya setiap peliput berita (jurnalis) memiliki kriteria dan sudut pandang tertentu ketika memperoleh informasi dan melakukan evaluasi, baik disadari maupun tidak disadari. Serta melakukan proses penyaringan dan pengemasan berita sebelum disajikan kepada audiens. Jadi apa yang disebut kebenaran berita lebih merupakan pilihan sang reporter tentang apa yang perlu ditampilkan
Informasi disampaikan melalui televisi cukup berperan menciptakan dalam menciptakan persepsi massa. Apalagi jika sang audiens tidak memiliki sumber informasi alternatif atau akses terhadap realitas aslinya. Perubahan sikap secara umum tergantung dari penerimaan informasi baru yang dengan suatu cara relevan bagi objek sikap dari suatu pandangan si pemegang sikap (Newcomb, dkk, 1081).
Masyarakat Barat lebih mudah mempercayai berita bahwa “Indonesia adalah negara yang tidak aman” seperti digambarkan sejumlah pemberitaan di CNN atau BBC. Mengapa? Karena hanya mendapatkan berita dari satu sumber tanpa sumber informasi lainnya untuk melakukan evaluasi.
Namun berbeda kita sebagai orang Indonesia. Kita tidak mudah mempercayai pandangan suram yang hendak ditanamkan melalui pemberitaan CNN atau BBC tersebut. Meskipun mereka dapat menampilkan sejumlah peristiwa teror yang terjadi di Indonesia. Mengapa? Karena kita bisa buktikan dari realitas keseharian bahwa signifikasi aktivitas terorisme tidak nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Kaum terorisme adalah kelompok ekstrimis yang merupakan golongan minoritas di tengah-tengah umat muslim Indonesia yang cenderung moderat.
Bahkan boleh dikatakan dampak gerakan terorisme yang terjadi di Amerika Serika masih lebih menghancurkan dibandingkan apa yang terjadi di Indonesia. Korban dari serangan terorisme di World Trade Centre memakan korban hingga 4.000 korban jiwa. Atau aktivitas teror yang terjadi di Inggris oleh IRA dalam dua dekade ini lebih sering terjadi dibandingkan yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis di Indonesia. Tapi anehnya media massa Barat tidak menyebut USA dan UK negara teroris.
Tanpa akses langsung terhadap sumber berita tersebut maka tidak ada yang tahu apakah informasi yang diberikan akurat atau tidak. Apakah adanya distorsi sudut pandang reporter berita. Atau adanya usaha ideologis untuk mengagungkan konsepsi tertentu seperti ”Liberalism is the best way”.
Misalnya saja akhir-akhir ini media massa begitu mengagungkan kemajuan ekonomi yang terjadi di Cina, disimbolkan dengan munculnya gedung-gedung tinggi, billboard yang menjamur di pusat kota atau luxnya barang-barang produksi Cina. Namun di sisi lain apakah media massa menginformasikan secara proporsonal harga mahal yang harus dibayar akibat kemajuan tersebut.
Konon banyak sungai mengering di China. Hujan asam turun di lebih dari 30 persen di kawasan ini. Dari 20 kota terpolusi di dunia, 16 di antaranya terdapat di kualitas udara semakin buruk serta kerusakan alam ( Joice, 2008).
Di Beijing masalah langit biru menjadi taruhan dalam penyelenggaraan Olimpiade 2008. Pemerintah Kota Beijing mati-matian berusaha menciptakan langit biru di Beijing yang menandakan bersihnya udara Beijing. Pemkot membangun sarana transportasi umum seperti kereta bawah tanah dan menambah jumlah bus-bus besar. Ongkos transportasi dikurangi untuk mendorong lebih banyak orang naik kendaraan umum. Mobil operasional pemerintah dibatasi. Pohon-pohon mulai ditanami lagi di Beijing. Pabrik-pabrik baja yang beroperasi di pinggiran Beijing dipindahkan (Joice, 2008).
Ironisnya kita sudah terlebih dahulu terkagum-kagum. Seandainya yang menonton tersebut adalah seorang pejabat negara maka ia akan segara mengatakan, ” Kita harus seperti Cina”. Dan apa yang terjadi setelah itu adalah keputusan untuk melakukan imitasi dan dampaknya kemudian akan kita rasakan, ”kerusakan lingkungan yang cukup perah”.
Atau bagaimana media massa Barat mengambarkan perang Irak secara berat sebelah. Bagaimana dampak kehancuran akibat serangan kaum teroris lebih sering ditampilkan seolah hendak menunjukkan betapa tidak bermartabatnya masyarakat Irak.
Bahkan aksi pemboman tempat-tempat tertentu oleh tentara Amerika Serikat digambarkan sebuah tindakan yang perlu dilakukan, yakni membunuh para terorisme. Meski secara logika bagaimana mungkin sebuah sebuah bom yang dijatuhkan oleh pesawat tempur tersebut dapat terfokus pada satu dua orang saja tanpa melukai orang lain (warga sipil). Jika ada korban dari warga sipil akibat serangan tersebut, label apakah yang layak kita lekatkan terhadap militer USA selain ” pelaku pelanggaran HAM”?
Media massa Barat cenderung memfokuskan perhatiannya terhadap tindakan perlawan dari pemberontak Irak, aktivitas teror yang dilakukan, dan pembunuhan para sandera. Namun di sisi lain tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Amerika Serikat, seperti banyaknya warga sipil yang tewas dalam serangan Amerika Serikat, atau penyiksaan terhadap tawan perang, seolah jarang muncul di media massa Barat. Seolah reporter BBC atau CNN kekurangan berita untuk hal tersebut.
Sehingga jika aksi pembunuhan dilakukan pihak pemberontak Irak diberitakan sebanyak 10 kali dalam satu hari sedangkan pembunuhan yang dilakukan oleh militer USA hanya diberitakan 1 kali, wajar jika para pemirsa kemudian memiliki persepsi bahwa pemberontak Irak berada di pihak yang jahat atau salah sedangkan tentara Amerika Serikat berada di pihak yang benar.
Dari hasil studi kelompok pemerhati media di New York, Fairness and Accuracy in Reporting, pada 2003.[2] Yakni, sebelum AS menyerbu Irak dengan dalih Irak menyembunyikan program senjata pemusnah massal (WMD = weapons of mass destruction). Organisasi ini melakukan studi terhadap program siaran berita malam di empat stasiun televisi Amerika, yaitu: CBS, NBC, ABC dan PBS’s NewsHour dengan Jim Lehrer. Ternyata dari 393 wawancara televisi, yang dilakukan dengan topik seputar perang, hanya ada tiga narasumber yang mewakili kubu antiperang! Bayangkan, cuma tiga dari hampir 400 narasumber .”( Arismunandar, 2006)
Sehingga menurut Amy Goodman, pembawa acara program Democracy Now! di jaringan Pacifica Radio, dalam wawancaranya dengan Majalah Newsweek, media televisi Amerika tampaknya memiliki sudut pandang dan agendanya sendiri, dan mendorong kebijakan pemerintah ke arah yang tidak mewakili aspirasi mayoritas atau arus besar (mainstream) warga Amerika. Media Amerika, kata Goodman, “praktis bertindak sebagai juru bicara pemerintah, dan itu tak bisa dimaafkan ( Arismunandar, 2006) .”
Penonton, Mutilasi Ryan dan Penyimpangan Emosional
Jika Heideggard menyatakan bahwa manusia menjadi otentik dengan menghayati realitas secara langsung. Namun bagaimana jika 50% waktu manusia terarah pada televisi sebagai sumber realitasnya. Dipastikan manusia tidak menjadi otentik melainkan terkoptasi oleh kebenaran yang terdistorsi. Apalagi jika berita pada massa disajikan dengan muatan kepentingan atau ideologi pihak tertentu.
Bahkan berita berupaka liputan langsung di televisi tidak menjamin ketepatan dan validitasnya. Apa benar informasi yang disampaikan benar-benar eksis, diperoleh dari sumber yang akurat dan tidak didasarkan pada pembenaran prakonsepsi tertentu.
Tidak ada yang dapat memastikan hal tersebut. Bahkan ketika televisi menyampaikan suatu yang imajiner atau dalam istilah Budrillard, simularcum, sebuah realitas tanpa acuan nyata, tidak ada yang dapat menyadarinya. Melalui televisi segalanya menjadi mungkin, khususnya dengan dukungan kemajuan teknologi multi media.
Sehingga tidak heran, jika televisi juga sarana mempromosikan sesuatu. Media massa dapat menjadi alat menjadikan audiensnya pengkonsumsi produk yang tidak ia kenal sebelumnya, karena media mengiklankan produk tersebut sebagai sesuatu yang baik, menciptakan kesenangan dan segalanya bakal baik-baik saja. Segala benda, pemikiran atau pribadi dapat menjadi cemerlang dalam sekejap melalui teknik media meramu informasi.
Kemampuan media massa menyamarkan antara yang benar, terdistorsi hingga khayalan tampak jelas dalam tayangan gosip selebritis. Kehidupan artis yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan manusia lainnya di muka bumi seketika menjadi melodrama yang mengharukan. Atau menjadi sebuah kisah tragis yang mengetarkan hati layaknya kisah penyelamatan hidup anak Aceh dari amukan Tsunami.
Hal ini terlihat dari bagaimana kisah gosip itu disampaikan dengan gaya cukup serius dengan latar belakang musik yang mencekam seperi yang saya saksikan di Insert atau Silet. Menurut Neil Postman (1985) musik dipakai untuk menciptakan suasana hati Dengan munculnya musik sebagai bingkai suatu program, semua peristiwa yang ditayangkan sebagai realitas tiba-tiba berubah menjadi sebuah adegan teatrikal.
Para politisipun menyadari kehebatan media massa tersebut dan mulai memanfaatkannya untuk menciptakan image positif. Sejenak politis, yang sebelumnya dikenal dekat dengan korupsi dan manipulasi kelas kakap, menjadi sosok yang santun, perduli masyarakat dan memiliki semangat kebangsaan yang tinggi. Sehingga politis yang kemudian sukses meraih kedudukan sebagai pemimpan di daerah tentunya telah melakukan sebuah investasi yang cerdas dengan melakukan kampanye melalui televisi.
Hal ini dimungkinan dengan cara yang sangan mudah mengapa? Menurut Neil Postman (1985) televisi sejak awalnya tidak pernah berkepentingan mengungkapkan kualitas sesungguhnya dari pribadi sang politisi. Malah, televisi tidak mungkin menunjukkan hal yang baik dari sang politisi bila yang dimaksud dengan lebih baik adalah memiliki kemampuan dalam bernegosiasi, keterampilan eksekutif yang imajinatif, pengetahuan luas dalam masalah internasional, pemahaman akan berbagai sistem ekonomi. Masalahnya adalah penilaian dilakukan oleh media berdasarkan citra. Televisi hanya berkepentingan untuk menciptakan citra positif. Hanya itu dan tidak ada yang lain.
Semuanya menjadi mungkin pada media. Tidak hanya politis busuk dapat menjadi manusia malaikat, orang bodoh sekalipun dapat menjadi orang superjenius. Sebuah keburukan dapat menjadi kesuksesan. Seperti halnya yang terpatri dalam pikiran kita melalui apa yang sering ditampilkan di televisi, bahwa Amerika Serika adalah figur terbaik dalam berdemokrasi. Ironisnya diskriminasi rasis masih terjadi hingga saat ini di negara tersebut. Dan pertanyaan yang menarik bagaimanakah nasib orang-orang Indian di Amerika Serikat yang nota bene adalah penduduk asli di wilayah tersebut?
Jika cukup dikejutkan dengan kejadian pembunuhan berantai dan mutilasi yang dilakukan oleh Ryan, pria santun asal Jombang. Berdasar tes psikis yang dilakukan tim psikiater Polda Jatim diketahui bahwa tersangka Ryan mudah tersinggung, gampang marah, dan perasaannya sensitif. "Hal itulah yang mendorong Ryan melakukan pembunuhan," jelasnya (Suara Merdeka, 11/7-08).
Dan ia juga diindikasikan seorang psikopat. Ia mengalami masalah ketidakstabilan dan kelainan emosional yang membuat ia dapat tiba-tiba bertindak impulsif dan setelah melakukan tindakan kejam ia tidak merasa bersalah serta bertindak seperti sedia kala. Intinya ia kondisi emosional yang tidak normal.
Namun pernahkah kita menyadari kecanduan menonton tayangan televisi dapat membuat kita memiliki kemiripan dengan sosok Ryan dalam beberapa hal. Kita bisa sejenak tergugah dengan kisah anak-anak yang terlantar tanpa orang tua di Jakarta. Fenomena tragis para TKI membuat kita sedih dan juga geram. Ups, setelah acara yang menayangan hal tersebut selesai sekejap kita melupakannya dan mendadak tertawa terbahak-bahak karena acara selanjutnya adalah acara lawakan.
Televisi membuat kita tereksploitasi secara emosional. Emosional merupakan sebuah kondisi mendorong seseorang bertindak. Intensitas emosi yang kita rasakan tergantung persoalan, tantangan atau acamaman yang kita hadapi. Tentu kita akan marah besar jika orang-orang yang kita sayangi disakiti orang lain. Atau kita akan sangat berang ketika menyaksikan bagaimana seseorang dewasa menyiksa seorang anak kecil yang lemah dan lugu. Maka sesaat kita menjadi emosi dan terdorong melakukan tindakan.
Namun di televisi, penyiksaan seorang TKI tidak lebih relevan dari kisah percintaan seorang selebritis. Sesaat kisah Roy Martin yang masuk bui mengisi banyak kolom, kita menjadi iba, meskipun sebelumnya kita menyaksikan kisah tragis anak busung lapar, namun sudah terlanjur hilang dari ingatan kita. Kita menjadi lebih tersentuh kepada hal-hal yang kurang relevan. Dan peningkatan emosi berlangsung secara abnormal.
Kita tidak lagi merasa tersentuh kepada hal-hal yang menyangkut persoalah hidup dan mati. Namun lebih merasa terharu pada kisah percintaan seorang artis. Para pemirsa tidak lagi perduli bagaimana gawatnya suatu berita, karena berita tersebut akan segera diikuti rentetan iklan yang dalam sekejab melelehkan semua makna berita tersebut sehingga kelihatan dangkal (Postman, 10985).
Apalagi jika pembelajaran ketidakrelavan peristiwa ini akhirnya turut mematikan kepekaan kita terhadap apa yang terjadi dalam dunia nyata. Ketika menyaksikan sebuah kecelakaan berdarah mungkin kita berkata dingin dalam hati, ”Kok, kayak di televisi”.
Ketika televisi tidak menjadikan hal seperti pembunuhan, kelaparan, penyiksaan TKI, penderitaan korban bencana alam sebagai hal yang relevan, ditunjukkan dengan mudahnya peristiwa tersebut tergantikan dengan berita remeh lainnya, membuat kita belajar menjadikan hal tersebut sesuatu yang tidak menyentuh perasaan kita.
Refleksi terhadap Kondisi Di Atas
Dan poin apakah yang kemudian dapat disimpulkan dari hal di atas. Tentu dalam hal ini saya tidak mau mengajak Anda mematikan dan kemudian menjual televisi Anda. Tentu televisi dalam batas tertentu bermanfaat. Namun yang perlu kita sadari bahwa kita perlu kritis menyaksikan segala sesuatu yang ditampilkannya. Informasi dalam televisi bukanlah sumber primer yang dapat dipercaya begitu saja melainkan sumber sekunder yang perlu diteliti lebih seksama.
Jangan menjadikan televisi menjadi sahabat bagi siapapun. Khususnya bagi remaja, anak-anak . Berikan mereka sumber informasi yang terbaik yakni realitas itu sendiri ataupun dengan membagikan pengalaman hidup Anda kepada mereka. ”Nanti mereka juga akan mendapatkannya sendiri (televisi)”, adalah konsepsi pembelajaran yang menurut hemat saya keliru.
Ingat televisi memiliki tendensi menjadikan kita maupun anak-anak kita pengkonsumsi aktif terhadap barang-barang yang diiklankannya. Disamping itu setiap saluran televisi memiliki satu tujuan untuk membuat bisnis tersebut tetap hidup, yakni membujuk kita dan anak-anak kita terus mengarahkan pandangan kita pada setiap acara yang mereka sajikan. Caranya adalah dengan menyajikan berita atau hal-hal yang sesungguhnya tidak bermutu dan cukup efektif menggugah perhatian kita. Seperti film-film atau sinetron yang berbau kekerangan, seks, berita gosip. Apakah menurut Anda acara demikian baik untuk Anda dan anak-anak Anda?
Belajar kasus distoris informasi media massa Barat terhadap kasus Rusia vs Gorgia, maka Indonesia dapat saja menjadi target selanjutnya untuk dideskritkan. Jika hal tersebut terjadi maka ini saat melakukan peperangan. Tentu kita juga mengharapkan sedikit spirit nasionalisme pada pengelola saluran televisi di Indonesia untuk melakukan conterattact seperti dilakukan televisi berita Alzajeera yang melakukan perang publikasi dengan CNN untuk mengambarkan sisi lain dari perang di Irak.
Kita dapat juga terlibat peperangan tersebut dengan memanfaatkan media lainnya seperti internet. Kita dapat aktif menyebarkan informasi hal-hal positif tentang Indonesia yang kita ketahui dengan baik, bisa melalui milis, blog atau dengan website.
Khusus untuk perusahaan media massa. Lakukan penyampaikan informasi secara bertanggung jawab. Dapatkanlah berita yang cara-cara yang elegan, yakni Dig Deep, Dig wide”. Mengumpulkan informasi dan berita dengan mengintroduksi berbagai sudut pandang. Serta juga melakukan investigasi terhadap hal-hal dibalik apa yang terlihat di permukaan dan melihatnya dalam konteks yang lebih luas. (Anandam, 2006).
Bahwa menciptakan image yang buruk adalah bentuk kejahatan besar karena kita telah mendorong orang lain mengembangkan sikap dan mengambil keputusan keliru. Tentunya rasionalitas keuntungan ekonomi tentunya tidak membuat setiap orang yang terlibat dalam pengelolaan media massa menjadi berkepribadian menyimpang, dengan tidak perduli dampak penyampaian berita yang tidak akurat terhadap orang lain.
Media massa, televisi khususnya, harus memiliki orientasi untuk mencerdaskan dan bukan bertujuan mengokupasi pikiran massa. Tentu televisi modern bukanlah bentuk lain dari lembaga propaganda ala lembaga propaganda Jerman pada PD- II. Mudahan-mudahan media kontemporer tidak seburuk itu.
Referensi
Arismunandar, Satrio. (2006). Bias dalam Pemberitaan Media. (http://satrioarismunandar6.blogspot.com )
Kavoori, Anandam. (2006). Journalism Education in an Age of Globalization and Terrorism: Insights from “The World in Focus”. GMJ: Mediterranean Edition 1(2) Fall 2006
Newcomb, T, dkk. (1981) Psikologi Sosial (Terj.). Penerbit CV. Diponegoro. Bandung
Panayiotou, A. (2006). The “Bias of Media Forms” and Prospects for Peace Journalism. GMJ: Mediterranean Edition 1(2) Fall 2006
Postman, Neil. (1995). Menghibur Sampai Mati (terj.). PT. Midas Surya Grafindo. Jakarta
Santi, T. (2008). 30 tahun Reformasi China : Kebijakan "Kaifang" yang Kian Mujarab. Kompas Cetak (http://cetak.kompas.com)
Suara Merdeka (2008). Ryan Membunuh Korbannya dengan Sadar. (http://www.suaramerdeka.com/ )
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment