Saturday 20 September 2008

MENTERI PERTANIAN, RASA MALU DAN BAU BUSUK


Menteri Pertanian Jepang Seiichi Ota mengundurkan diri akibat permasalahan beras yang tercemar pestisida dan jamur. Beras itu dijual dalam bentuk makanan kepada ribuan orang, termasuk murid sekolah dan pasien yang dirawat di rumah sakit. Dan mundurnya Seiichi Ota terjadi setelah tujuh minggu dia menjabat (Kompas, 2008) .

Dalam pemerintahan Jepang mundur akibat kegagalan kebijakan adalah hal biasa. Hal ini karena dalam diri para pejabat Jepang terdapat etos tanggung jawab dan budaya malu.

Secara natural seseorang akan merasa malu ketika ia melakukan sesuatu yang tidak etis di dihadapan publik. Menurut Benny Susanto di Jepang seorang pejabat tinggi akan memutuskan mundur bila telah berbuat salah atau merasa berbuat salah. Karena seorang pemimpin negara secara etis haruslah memberikan yang terbaik bagi warga negaranya.

Kasus Indonesia
Apakah hal yang sama juga berlaku di Indonesia?

Coba kita bandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Baru-baru ini pemerintah Indonesia telah melakukan rekomendasi keliru terhadap penggunaan padi super-toy.

Supertoy gagal panen. Dan akibatnya jelas, petani rugi. Boro-boro menteri pertanian merasa malu lalu kemudian mengundurkan diri. Malah tidak ada pihak yang merasa bertanggung jawab.

Bahkan SBY yang ikut panen perdana belakangan berkelit kalau ia tidak sepenuhnya mendukung. Menurut Muhammad Nuh, Menteri Komunikasi dan Informatika, Presiden SBY hanya memotong padi tetapi tidak memberi pidato. Karena Presiden tahu varietas itu masih uji coba dan meminta pada Menteri Pertanian untuk menindaklanjuti temuan ini(Kompas, 2008).

Artinya presiden yang mengetahui tentang penggunaan benih itupun merasa tidak bertanggung jawab.

Kegagalan pemerintah tidak hanya menyangkut masalah supertoy. Melainkan juga menyangkut masalah pangan lainnya seperti beredarnya daging busuk dan makanan olahan sisa sampah hotel atau makanan kadarluarsa, dsb. Sekali lagi tidak ada dari pejabat negara yang merasa bertanggung jawab apalagi mengundurkan diri.

Namun yang lebih memalukan lagi adalah, bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang terancam masalah gizi buruk. Konon kasus gizi buruk dan gizi kurang untuk tahun 2007 ini saja masih mencapai 4,1 juta (Antara, 2008).

Ironisnya hal ini masih berlangsung, saat Presiden dengan sangat meyakinkan menyatakan bahwa Indonesia sudah mengalami swasembada pangan pada tahun 2008, pada pidato kenegaraannya (Sinar tani, 2008) .

Dan sekali lagi untuk kasus busung lapar ini, meskipun sampai mengakibatkan korban jiwa, tidak ada pejabat pemerintah yang merasa bertanggung jawab dan kemudian mengundurkan diri.

Etos Malu?
Mengapa demikian? Tak lain karena para pejabat kita tidak memiliki etos rasa malu. Karena dari awal, orientasi menjadi pejabat negara barangkali bukan untuk memberikan terbaik bagi masyarakat. Sehingga tidak perlu merasa malu jika sebuah kebijakan tidak berjalan dengan baik.

Etos yang tertanan dalam hati sanubari para pejabat negara adalah bagaimana mensejahterakan diri sendiri, keluarga maupun kelompok. Sehingga akan lebih malu jika setelah menjadi pejabat kemudian tidak kaya raya, atau tidak bisa mensejahterakaan sanak famili atau rekan-rekan organisasi, dibandingkan gagal membuat rakyat bebas dari busung lapar.

Kebanggaan menjadi seorang pejabat adalah karena harus bekerja ruang kantor yang nyaman, mendapatkan penghormat banyak pihak, penghasilan yang luar biasa tidak hanya dari gaji melainkan insentif dari pihak-pihak yang merasa diuntungkan oleh kebijakannya. Serta berbagai fasilitas pribadi yang dibiayai negara.

Sehingga meninggalkan jabatan dengan berbagai manfaat tersebut adalah sebuah kebodohan. Jadi wajar saja ada menteri yang menolak mundur dari jabatannya meskipun diinstruksikan oleh partai pendukungnya.

Dalihnya ” urusan partai tidak boleh menganggu upaya mengerjakan sesuatu bagi bangsa”. Terkesan sangat heroik. Namun apakah ia akan berkata demikian jika menjadi menteri tidak mendapatkan fasilitas apa-apa.

Negara yang Membusuk
Karena pejabat di negeri ini tidak memiliki etos rasa malu, maka tidak perlu heran jika Indonesia tidak seperti Jepang. Perlu puluhan tahun untuk Indonesia mengejar ketertinggalannya dari Jepang.

Atau mungkin juga tidak bisa mengimbangi. Karena negara ini dikelola orang-orang yang tidak punya rasa malu. Sehingga akan lebih mudah mengukur korelasi kinerja negara ini pada pertambahan uang yang masuk ke kantong pejabat dari pada keuntungan yang dirasakan masyarakat.

Dan rakyat semakin busuk. Mengapa tidak? Karena mau tidak mau harus menerima jika harga barang-barang kebutuhan pokok semakin hari semakin mahal. Maka ia harus mengurangi jatah makannya. Siap untuk mengkonsumsi bahan makanan tidak sehat dan mengandung zat-zat beracun. Karena pemerintah terlalu sibuk mengurusi hal sepele seperti itu.

Rakyat juga harus siap menerima jika semakin hari semakin miskin. Atau besok ia tiba-tiba saja tergilas oleh kebijakan pemerintah yang anarkis. Dan ketika ia tertindas tidak ada yang mengasihani.

Dengan busuknya rakyat maka negara ini ikut menjadi busuk. Dan sesuatu yang busuk layak untuk dibuang, dihancurkan, karena tidak ada sesuatu yang berharga dari sesuatu yang busuk. Ketika sebuah negara telah membusuk apakah sebuah negara masih perlu ada?

No comments: