Thursday, 18 September 2008

DEBAT DAN KUALITAS PEMIMPIN NASIONAL: REFLEKSI DEBAT PDI-P VS PAN


Acara perdebatan di TVone antara wakil dari PDI-P dan PAN (18/9-2008) berlangsung seru. Pembahasan yang berawal dari ketentuan pemilihan presiden, berkembang pada persoalan kemampuan debat calon pemimpinan negara.

Muncul pendapat bahwa calon pemimpin negara harus bisa berdebat. Agar sang calon presiden mampu menyakinkan rakyat tentang apa yang akan dijalankannya. Ungkapan ini muncul dari salah seorang wakil dari PAN, tidak lain menyentil keberadaan Megawati, selaku calon presiden dari PDI-P, yang sering mungkir dari undangan berbagai acara perdebatan.

Namun, pernyataan tersebut menimbukan pertanyaan menarik bagi saya, betulkah kemampuan debat merupakan salah satu kualitas yang harus dimiliki pemimpin negara. Apakah kemampuan ini memiliki relevansi dengan kualitas kepemimpinan yang sesuai dengan harapan masyarakat. Dan apakah pemimpin yang tidak bisa berdebat serta merta merupakan pemimpin yang buruk.

Perdebatan yang tidak Berkualitas
Jika perdebatan yang dimaksud seperti halnya yang saya saksikan di TV-one tersebut, maka saya ragu situasi demikian layak menjadi ajang penggalian kemampuan seorang pemimpin. Karena yang saya saksikan tidak lain adalah perdebatan negatif yang dipenuhi pernyataan merendahkan pribadi calon yang diusung masing partai.

Seperti, ”Pemimpin harus memiliki pendidikan yang baik, tidak cukup tamat SMA (merendahkan Megawati)”. Serta mengumbar statement tanpa dasar argumen. “Megawati adalah seorang leader sejati buktinya partainya mempunyai banyak kursi di DPR” atau “Soetrisno Bachir seorang enterpeneur maka layak menjadi pemimpin”. Namun validkah pendapat tersebut?.

Bukankah dalam negara demokrasi siapapun memiliki hak mencalonkan diri menjadi presiden, namun terpilih atau tidak sepenuhnya didasarkan keputusan rakyat. Dan apakah seorang yang berpendidikan tinggi sudah dapat dipastikan memiliki kemampuan kepemimpinan yang lebih baik.

Kemudian, apa betul kursi DPR merupakan indikator kualitas kepemimpinan seorang pimpinan partai, atau apakah seorang entrepeneur sudah dipastikan layak menjadi pemimpin? Semua statetment tersebut perlu diuji keakuratannya.

Debat kusir yang tidak jelas jentrungannya, menurut hemat patut diharamkan dalam perdebatan calon pemimpin bangsa. Karena yang bakal ditonjolkan bukan kemampuan menguraikan visi maupun program-program konkrit yang bakal dijalankan, melainkan keahlian melakukan persuasi, intimidasi maupun manipulasi.

Seperti halnya perdebatan di TVone. Dimana masing-masing wakil partai menggunakan teknik-teknik intimidasi seperti, berbicara tanpa memberikan kesempatan pihak lain berpendapat, mengeluarkan suara keras, menyampaikan pernyataan subjektif serta kata-kata makian.

Jika perdebatan demikian menjadi prototype debat terbuka calon presiden, maka kasihan masyarakat yang bakal menyaksikan. Karena tidak akan mendapatkan masukan bernilai dan objektif tentang kemampuan dari para kandidat tersebut.

Namun, meskipun para calon presiden Indonesia belum berdebat terbuka, sesungguhnya perdebatan telah berlangsung lebih awal dengan memanfaatkan media image. Kita bisa menyaksikan bagaimana iklan para calon presiden bertaburan di media massa. Kesan yang tampilkan antara lain ”pribadi yang merakyat”, ”memiliki visi ke depan”, ”berjiwa nasionalis dsb”. Menurut Zainul, Associate Media Director Hotline Advertising, saat ini minimal setiap calon harus menyiapkan Rp 100 miliar (Tempo, 2008).

Perdebatan ini bersifat tidak langsung dan terjadi dalam ruang media massa. Tujuannya bukan membukakan mata rakyat Indonesia akan langkah-langkah logis yang bakal dijalankan. Melainkan menggugah emosional dan sisi sentimentil masyarakat melalui tayangan iklan hiburan tersebut.

Dan jikalaupun perdebatan ini berlanjut pada perdebatan terbuka, saya yakin yang bakal terjadi kualitasnya tidak jauh berbeda. Seperti halnya perdebatan calon presiden di masa-masa sebelumnya. Bukan visi maupun tindakan nyata yang bakal disampaikan, melainkan umbaran-umbaran yang bertujuan menyentuh sisi emosional pendengar. “Bersama kita bisa”. Setelah mereka bersama apakah kemudian kita bisa (baca: lebih sejahtera)

Pernyataan mereka tidak lebih dari semboyan ala era revolusi. ”Jika Anda memilih kami maka pendidikan akan gratis”, ”kemiskinan akan diselesaikan”, ”tidak akan ada lagi busung lapar”. Tentunya pernyataan demikian bakal menggugah masyarakat yang telah kehilangan harapan dan lelah berpikir rasional. Semboyan tersebut memunculkan harapan bahwa sang kandidat akan membebaskan mereka dari tekanan sosial yang dialami.

Namun yang perlu dipertanyakan kemudian, bagaimanakah pengangguran akan diatasi ditengah-tengah kompleksitas persoalan ekonomi yang dihadapi masyarakat Indonesia. Tentu dalam hal ini perlu sebuah penjelasan yang rasional. Karena mengelola sebuah negara bukanlah sesuatu yang gampang seperti kita membuat sebuah kue keju. Demikan halnya mewujudkan pendidikan gratis, memberantas kemiskinan dsb.

Jika perdebatan yang bersifat dangkal, tidak secara terbuka memaparkan visi-misi, dan langkah-langkah konkrit yang akan dilakukan si kandidat dan yang mungkin dilaksanakan. Malah coba menciptakan impresi dengan mengugah si emosional pendengar, maka perdebatan tersebut tidak akan mampu mengambarkan kualitas kemimpinan seorang kandidat. Perdebatan demikian lebih akan menguji keterampilan berkomunikasi, melakukan proganda dan berorasi daripada memimpin sebuah negara

Perdebatan yang Sesungguhnya
Perdebatan calon presiden haruslah memungkinkan seorang calon membeberkan visi-misinya, dan program-program apa yang akan ia laksanakan, melalui sebuah pertimbangan logis dan masuk akal.

Jika seorang kandidat presiden mengatakan bahwa ia akan “menasionalisasi perusahaan asing”. Maka ia perlu menjelaskan secara masuk akal, bagaimana ia mewujudkannya. Apakah ia sudah perhitungkan resiko yang mungkin terjadi. Dan apakah hal tersebut benar-benar cara efektif mensejahterakan rakyat.

Dalam perdebatan yang rasional tidak ada statemet kosong. Bahwa saya akan mengatasi kemiskinan. Tentunya pertanyaannya, “Bagaimana Anda mewujudkannya?”. Apakah melalui sebuah langkah terobosan yang jenius, sehingga persoalan sosial yang telah dihadapi umat manusia selama berabad-abad dapat diatasi oleh sang pemimpin.

Melalui sebuah perdebatanlah maka kemudian dapat dipertentangkan pertimbangan dan perhitungan sang kandidat mewujudkan langkah-langkah yang bakal diambil. Mungkinkah hal tersebut dilaksanakan? Tepatkah perhitungan yang dilakukan sang kandidat?

Dalam perdebatan tersebut, masing-masing kandidat berupaya mempertahankan pemikiran dan pandangannya secara rasional. Segala landasan pertimbangan dan berpikir dibongkar ke permukaan. Perdebatan adalah menjadi ajang penelanjangan proses berpikir dari seorang kandidat. Sehingga masyarakat bisa menilai manakah rencana dan pandangan seorang kandidat yang tampak lebih masuk akal.

Apalagi jika perdebatan tersebut mampu menelanjangi keyakinan masing-masing kandidat. Apakah ia meyakini pasar bebas, apakah ia berorientasi pada manusia dalam pembangunan ekonomi, apakah ia cenderung bersifat diskriminatif ,dsb. Karena keyakinan demikian akan menjadi acuan sang calon tersebut dalam pengambilan keputusan ketika nantinya memimpin.

Perdebatan demikianlah yang layak dilaksanakan menguji kualitas calon pemimpin Indonesia ke depan. Dengan menyampaikan visi dan hal-hal yang bakal ia jalankan, didasarkan pada pertimbangan dan perhitungan rasional. Serta menelanjangi proses berpikir di antara kandidat hingga pada keyakinannya yang dipegang. Sehingga, saat setiap calon sudah telanjang bulat dihadapan publik, tentu masyarakat akan lebih mudah melakukan pilihan yang tepat.

Namun perdebatan yang tidak lebih dari debat kusir, dengan mengumbarkan semboyan kosong, menebarkan impresi dengan teknik orasi mengugah emosi, maka perdebatan tersebut tidak layak dijadikan ajang penentuan calon pemimpin bangsa ke depan. Karena orang yang bakal mendapat dukung boleh jadi pembual yang ahli berorasi dan bukannya seorang pemikiran besar yang memiliki visi yang jelas. Hanya karena gaya bicaranya yang santun. Atau tidak memahami aturan pemasangan iklan di televisi.

No comments: