Tuesday 29 April 2008

REMAJA NONGRONG DI AIR MANCUR BOGOR


Hari sabtu merupakan hari penuh kebebasan bagi anak-anak muda di kota Bogor. Hal ini ditunjukkan oleh bagaimana penuh sesaknya daerah Air Mancur sejak sore hari dengan kaum remaja yang nonkrong di trotoar, taman kota maupun di tenda-tenda penjual makanan. Tidak hanya laki-laki namun juga perempuan. Mereka tampil dengan berbagai budaya khas mereka, mulai dari cara berpakaian, berbahasa, berkelompok dengan nama dan identitas pembeda yang spesifik, apakah sebagai kelompok biker, atau semata-mata mengelompok begitu saja. Hiruk pikuk ini akan terus berlangsung hingga dini hari.

Fenomena tersebut barangkali menunjukkan remaja Bogor masa kini yang cenderung lebih cepat kepribadian yang mandiri, sehingga dapat memutuskan bersenang-senang dengan bebas di air mancur dan pulang hingga larut malam tanpa merasa terancam karena merasa mampu menjaga dirinya sendiri.

Namun fenomena tersebut juga dapat berarti lain. Para remaja yang mudah meninggalkan rumah dan pulang hingga larut malam menunjukkan perubahan dalam pola interaksi keluarga. Orang tua masa kini memiliki kontrol yang lemah terhadap anak remajanya. Sehingga si anak, termasuk juga remaja putri dapat meninggalkan rumah hingga larut malam.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertama, barangkali orang tua saat ini tidak lagi memiliki waktu untuk menasihati atau membatasi tindakan anaknya. Atau bahkan ia telah kehilangan hak memperingatkan anaknya karena selama ini tidak menjalankan kewajiban sebagai orang tua secara baik. Mungkin karena si orang tua sibuk dengan berbagai tetek-bengek mulai dari pekerjaan, arisan, meeting, party, shoping dsb sehingga waktu untuk anak semakin terbatas.

Kedua, orang tua masa kini mengalami disorientasi dalam memahami kemajuan dengan membebaskan anak keluar malam seolah orang tua tengah mengajarkan tentang kebebasan bersikap sebagai bentuk didikan yang progresif. Orang tua yang maju adalah orang tua yang penuh kebebasan.

Tempat nongkrong bukanlah tempat yang aman untuk bergaul. Berbeda jika remaja tengah berada di sekolah dimana kontrol sosial relatif ditegakkan. Tempat nongkrong merupakan wilayah penuh kebebasan bagi remaja untuk berkenalan dengan apa saja, mulai dari narkoba hingga seks bebas. Saat nongrong aturan keluarga tidak diperdulikan sama sekali. Di sisi lain remaja belum sepenuhnya memiliki kontrol dalam dirinya.

Hal negatif lainnya yang ditunjukkan oleh fenomena nongkrong remaja adalah bahwa remaja masa kini memiliki prilaku konsumtif naif. Pakaian yang mereka pakai, bagaimana mereka mengelompok serta membangun indentitasnya, apakah sebagai kelompok funk atau biker, serta habitus mereka secara keseluruhan adalah imitasi dari apa yang mereka saksikan melalui iklan, sinetron, televisi, MTV, media massa, internet dsb, tanpa mengetahui pasti apa manfaatnya. Apakah dengan demikian ia semakin sehat, intelek, cerdas, terampil, matang secara sosial? Ia dapat dengan mudah mengikuti fashion ataupun gaya hidup baru meski harus menghabiskan banyak uang dari orang tuanya demi memuaskan hasrat mereka akan imajinasi kecantikan, up to date, trand dsb.

Kebebasan remaja sebagaimana yang aku saksikan di Air Mancur Bogor setidaknya membuatku merenung, mau kemanakah remaja kita ini tumbuh dan berkembang. Katakanlah bahwa remaja membutuhkan ruang untuk mengekspresikan diri, tempat untuk bersosialisasi dengan bentuk bernongkrong ria, namun bagaimana respon kita terhadap kenyataan bahwa ruang yang sama dapat menjadi tempat dimana remaja menjadi tanpa kontrol, mempertunjukkan prilaku ugal-ugalan dan tawuran yang dapat membahayakan dirinya, menjadi tempat berkenalan dengan seks bebas maupun penggunaan narkoba. Atau menjadi tidak prihatin terhadap kondisi masyarakat yang tengah terbatas, tanpa kepekaan sosial mempertontonkan bentuk kekayaan mereka seperti motor Honda, Tiger dsb, di depan umum meskipun saat ini banyak orang yang tengah hidup melarat, boro-boro membeli apa yang tengah mereka tunjukkan, untuk membeli makanan saja sulit.

Sesungguhnya remaja masa kini berada dalam kondisi tidak terlindungi dan terkendali dalam ranah sosial yang bergerak tanpa arah dan tujuan yang pasti. Mereka bebas nonkrong dimana saja, di berbagai tempat, yang salah satunya di Air Mancur Bogor, serta mengembangkan budaya mereka sendiri tanpa bekal nilai-nilai sosial yang memadai. Mereka bebas lepas tanpa sebuah batasan. Namun semua tidak perduli, pemerintah, masyarakat maupun orang tua. Menyedihkan, remaja kini dididikan secara apatis dan dikhawatirkan kelak mereka juga akan berkembang menjadi orang yang apatis tidak hanya pada orang tua dan masyarakat namun juga kepada bangsa serta negaranya.

Monday 28 April 2008

IKATAN SOSIAL PEREDAM EFEK NEGATIF KAPITALISME (KASUS KELUARGA SILABAN)


“Kami dengan sepenuh hati menyerahkan uang ini untuk biaya pengobatan lae kami, walau sedikit namun kami harapkan dapat membantu,…..ini, mohon diterima sebesar 10 juta rupiah”, kata amang Silaban sambil menyerahkan amplop berisi uang kepada itonya, R. Silaban yang suaminya sedang terbaring sakit. R Silaban tidak dapat menahan haru dan secara mendadak memeluk tubuh amang Silaban sambil menumpahkan tangisnya. “Terima kasih, ito”, katanya sambil tersedu….

Destruktif Kapitalisme
Konon katanya kita tengah hidup di dunia yang kejam. Coba lihat saja kenyataan yang ada disekeliling kita, kejahatan terjadi dimana-mana, kemiskinan merajalela, penghisapan di antara manusiapun muncul dengan berbagai rupa. Banyak manusia tereksplotasi, anak-anak yang diperjualbelikan oleh orang tuanya, gadis-gadis yang diperdagangkan pada hidung belang atau orang-orang yang dimanipulasi dengan dikirim ke luar negeri tanpa sebuah jaminan. Barangkali kita tengah berada di zaman edan sebagaimana ramalan Jayabaya.

Meskipun terlihat tragis, sesungguhnya tatanan sosial dan hubungan ekonomi masyarakat saat ini tengah mendekati apa yang dicita-citakan oleh Adam Smith maupun para pemikir masa lampau, ketika urusan ekonomi lepas dari campur tangan negara, masyarakat memasuki masa dimana demokrasi tengah dilembagakan, kebebasan pers dipelihara, setiap orang dapat menyampaikan pendapatnya dengan bebas dan pemimpin dipilih oleh pilihan rakyat secara langsung. Belum lagi kita tengah berada di era dimana teknologi sedemikian berkembang dan barang pemuas kebutuhan diproduksi secara berlimpah oleh industri massal. Tentunya hasil akhir adalah masyarakat sejahtera dan bebas dari eksploitasi. Adam Smith meyakini bahwa pasar atau hubungan ekonomi, darimana manusia memenuhi kebutuhannya, memiliki hukum yang akan membawa kehidupan manusia pada keseimbangan [1]. Artinya dalam kondisi pasar yang sempurna akan membawa kesejahteraan pada setiap umat manusia. Jadi biarkan saja urusan penyediaan kebutuhan hidup disesuaikan sepenuhnya dengan mekanisme pasar.

Namun kenyataan yang terjadi, pasar kadang bekerja tidak sempurna. Kekayaan dan surplus dari sebuah aktivitas produksi tidak serta merta terdistribusi secara adil. Misalnya saja hal yang terjadi di Indonesia bahwa setengah total pendapatan negara hanya dimiliki 2 persen penduduk Indonesia. Artinya kekayaan dan aset-aset yang diperlukan untuk aktivitas produksi hanya dimiliki segelintir orang dan mereka kemudian dapat menikmati hidup secara berkelimpahan. Selebihnya hanya menjadi penonton dari kemegahan berbagai fasilitas sosial dan kemegahan peradaban yang diciptakan khusus bagi mereka yang bisa membayar. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnyapun kadang harus empot-empotan. Berdasarkan data BPS diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta orang (17,75 persen) artinya ada hampir 39,05 juta orang yang memiliki pendapat rata-rata Rp. 152 .847,-dan sebagian besar dihabiskan untuk menyediakan kebutuhan makanan sehingga tidak mungkin bagi mereka menikmati barang-barang kemewahan.

Meskipun demikian, mereka yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnyapun turut mengalami penurunan kualitas psikologis. Adam Smith mensyaratkan bahwa seseorang harus memberikan kontribusi agar dapat memperoleh insentif yang sebanding, karena tidak ada yang cuma-cuma dalam sistem kapitalisme. Namun obsesi untuk mendapatkan upah, bunga maupun profit yang merupakan pendapatan dari aset yang dimiliki dapat menjadi sebuah keinginan yang desktruktif. Jika pemilik modal berusaha untuk memaksimalkan perolehan profitnya, tenaga kerja berusaha mengharapkan gaji dan pemilik aset berusaha mendapatkan sewa semaksimal mungkin, pada akhirnya dapat menciptakan suasana saling eksploitasi. Namun siapakah dari mereka yang menang?Apakah ada kemenangan itu?

Secara parsial mungkin ya, seorang pemilik modal mungkin akan mendapatkan profit dengan mengeskplotasi tenaga kerjanya, seorang tenaga kerja dapat memperoleh gaji yang tinggi setelah mampu menekan perusahaannya, namun secara keseluruhan mereka tengah membentuk sebuah hubungan yang sosial yang merugikan bagi jiwa manusia baik yang mengalami kemenangan maupun kekalahan. Saat setiap orang akan berusaha untuk mendapatkan keuntungannya dengan membangun jaring-jaring impersonal dengan menjadikan setiap hubungan sebagai sarana untuk memaksimalkan keuntungan dengan mengorbankan orang lain. Sehingga kualitas hubungan antar manusia tereduksi, saling mengeksploitasi, tanpa ikatan emosional, memperhamba materi. Hubungan antar manusia menjadi saling curiga serta penuh kekhawatiran. Jika untung saat ini maka selalulah berjaga-jaga karena besok orang lain mungkin akan memanfaatkan kita.

Lebih ironis lagi, di masa penuh kemajuan ini semakin banyak orang yang mengalami keterasingan, sindrom kesepian dan kehampaan hidup. Kondisi sosial yang tercipta saat ini meningkatkan stres, konflik, kecemasan, masalah psikososial, perubahan perilaku, dan meningkatnya gangguan mental yang beraneka ragam [2]. Misalnya saja di Indonesia menunjukkan bahwa 30-50% pasien yang berobat ke fasilitas kesehatan umum (termasuk rumah sakit) ternyata mempunyai latar belakang gangguan mental emosional. Di Indonesia, diperkirakan satu dari lima penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa dan mental [3]. Jika hubungan kapitalisme di satu sisi memberikan kesenangan sesaat namun di lain waktu menanamkah kekhawatiran, siapakah yang sesungguhnya diuntungkan dari keberadaan sistem kapitalisme?

Ikatan Sosial sebagai Sarana Peredam Efek Buruk Kapitalisme
Untunglah masyarakat kita masih menyediakan berbagai bentuk komunitas yang dapat berfungsi sebagai peredam berbagai dampak buruk kapitalisme. Berupa serikat persaudaraan, ikatan tolong menolong yang terbentuk didasarkan ikatan primordial yang tanpa kita sadari dapat merealisasi atau mensubsitusi fungsi hubungan ekonomi kapitalisme. Jika melalui ikatan kapitalisme kita dapat menyediakan kebutuhan kita melalui kontribusi produktif maka hal yang sama dapat terjadi melalui ikatan tolong menolong. Penyebaran modal di kalangan orang Cina di Indonesia tidak selalu didasarkan pertimbangan ekonomis namun karena ikatan persaudaraan semata. Mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya dapat memperoleh kebutuhannya melalui ikatan persaudaraan tersebut. Pemberian dalam konteks sebuah ikatan sosial demikian tidak selalu ekspresi kemurahan hati si pemberi melainkan sebagai sebuah kewajiban [4].

Pemberian dalam ikatan kekeluargaan/sosial lebih berorientasi pada hubungan personal. Pemberian itu terjadi karena si pemberi menghormati atau merasa bagian dari kehidupan si penerima dan bukan untuk mendapatkan sesuatu melebihi yang ia berikan. Sehingga tindakan tersebut didorong dari sebuah empati. Berbeda dengan hubungan kapitalis dimana sisi manusia tidak dipentingkan karena setiap orang berusaha mendapatkan keuntungannya masing-masing. Seorang penjual melemparkan senyum terindahnya bukan karena ia menghargai atau terikat secara emosional dengan pelanggan namun karena dengan demikian si pelanggan merasa nyaman dan kemudian melakukan pembelian, itulah tujuan yang diharapkannya.

Misalnya saja ikatan marga dikalangan orang Batak. Di sana terjadi hubungan yang hangat tanpa melihat siapa anda, apa yang bisa anda tawarkan, seberapa produktifnya anda. Yang penting anda adalah keluarga saya. Setidaknya apa yang saya saksikan pada sebuah acara Bona Tahun Silaban di Bogor (Februari 2007) menjadi bukti ampuhnya ikatan persaudaraan untuk mendistribusikan aset dan kekayaan khususnya bagi mereka yang berkekurangan. R. Silaban hanya seorang perempuan yang memiliki penghasilan pas-pasan dan harus merawat suaminya yang sedang sakit. Dalam hubungan kapitalis, saat seseorang tidak mampu menawarkan sesuatu maka ia tidak akan mendapatkan apapun, tak perduli apakah sedang tertimpa musibah, sedang menderita, tetap harus menawarkan sesuatu. Jika tidak memiliki skill setidaknya seseorang masih dapat menjual harga diri atau menjual organ tubuh yang berharga seperti yang terjadi di India. Namun untung R. Silaban menjadi bagian keluarga besar Silaban yang masih menghargainya sebagai seorang manusia meskipun ia tidak memiliki apapun untuk ditawarkan. Uang sebesar 10 juta mengalir kepadanya wujud keprihatinan Saudaranya tanpa memandang siapapun dia. Tangisan menjadi sebuah simbol terjadinya sebuah hubungan yang sangat manusiawi. Namun yang menjadi pertanyaan apakah ia dapat memperoleh uang 10 juta rupiah dengan begitu mudahnya melalui hubungan kapitalis murni.

Disamping itu kita sering tidak menyadari bahwa apa yang dapat kita peroleh dari kapitalisme hanyalah kebutuhan yang bersifat materialisme. Malah pasar, sedikit banyak menjadi pelembagaan dari individualisme dan sifat tidak bertanggung jawab [5]. Dengan gaji atau keuntungan yang kita peroleh memang kita dapat membeli makanan yang nikmat, rumah yang nyaman maupun menyewa kapal pesiar dari pelaku ekonomi lainnya. Namun dapatkah lebih dari itu? Apakah kapitalisme dapat menyediakan penghargaan dan cinta kasih? Jika dapat, dimana kita dapat membelinya? Menurut Maslow jika kita telah mampu membeli makanan yang lezat, mobil yang trendi, atau menyewa sebuah resort yang indah, sesungguhnya kita baru saja memenuhi kebutuhan yang bersifat dasar, bersifat fisiologi. Namun kebutuhan manusia lebih dari itu, manusia membutuhkan cinta, kasih sayang dan penghargaan serta ruang baginya untuk mengekspresikan diri. Hanya dengan demikian manusia dapat menjadi manusia yang mampu mengaktulisasikan diri, dan dapat menikmati kehidupan meskipun di tengah kondisi fisik yang tidak nyaman.

Ironisnya lagi kita sering menyaksikan bahwa orang-orang yang berkelebihan kekayaan seringkali tidak menikmati hidupnya. Mereka tidak sanggup menikmati realitas kehidupannya sehingga lari kepada realitas maya apakah dengan menggunakan obat-obat yang memabukkan atau larut dalam kesenangan maupun dunia penuh hura-hura untuk melarikan dirinya dari realitas. Atau bahkan memilih untuk mengakhiri hidup karena kehidupan tidak lagi menyenangkan dan membahagiakan. Menurut Durkheim dalam kondisi masyarakat yang ikatan sosialnya rendah tingkat kasus bunuh diri [6] maupun kelainan jiwa relatif tinggi. Dan menurut Psikolog senior, Sartono Mukadis Sartono tingginya kasus bunuh diri menandakan sebuah masyarakat yang sedang sakit.

Sekali lagi ikatan persaudaraan dapat menjadi sarana untuk mencegah kondisi tersebut di atas. Disanalah kita memperoleh kebutuhan psikologis akan cinta kasih, penghargaan sehingga seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya. Dalam hubungan demikian orang lain mau meluangkan waktunya untuk mendengarkan kita menceritakan segala persoalannya dan memberikan dukungan. Tidak saja kesedihan, kegembiraanpun dirayakan bersama. Saat itulah kita menjadi sebagai manusia apa adanya, dengan sisi lemahnya dan bukannya menjadi mesin pekerja sebagaimana dalam dunia kerja yang menuntut kita untuk senatiasa kuat dan tegar.

Pilihan Masyarakat dan Harapan
Setiap orang memiliki kesempatan untuk membina hubungan demikian, namun banyak orang saat ini lebih memilih menghabiskan waktunya bekerja, larut pada hubungan yang bersifat impersonal daripada meluangkan diri sejenak untuk bersama membangun sebuah ikatan sosial yang erat. Banyak orang yang kemudian menilai betapa tidak bermanfaatnya kegiatan mengunjungi Saudara, perkumpulan keluarga, kelompok pengajian, komunitas tolong-menolong dsb. Coba bayangkan jika waktu yang digunakan berkunjung digunakan mencari duit, tentunya begitu banyak yang dapat diperoleh. Bahkan kalau perlu hubungan persaudaraan dibisniskan, sehingga muncul slogan Saudara-saudara- bisnis-bisnis. Banyak orang yang sulit meluangkan waktunya untuk menghibur Saudaranya yang tengah kesusahan atau ikut serta dalam sebuah acara kebersamaan dengan alasan sibuk namun jika diajak mengunjungi tempat-tempat hiburan maka segala kesibukan dapat dengan mudah ditinggalkan. Membina hubungan persaudaraan diperlukan sebuah pengorbanan setidaknya untuk menumbuhkannya.

Menyedihkan memang namun demikianlah kehidupan kita saat ini, banyak dari kita lebih memilih hal yang merusak dari pada hal yang mampu menyempurnakan hidup kita. Kapitalisme mampu menarik hati bagitu banyak orang sebagai sarana untuk mendapatkan berbagai sumber penghidupan, uang, barang kebutuhan dsb. Namun saat manusia dengan manusia lainnya terhubung secara impersonal maka sesungguhnya kehilangan bentuk pemenuhan kebutuhan lainnya. Namun waktu manusia modern lebih banyak dihabiskan dapat hubungan kapitalisme. Dalam 6 hari seseorang menghabiskan 8 jam bahkan lebih waktunya di tempat kerja, dan sisanya digunakan kesenangan sendiri, kapan waktu untuk membina hubungan sosial.

Barangkali setiap orang terkait dalam sebuah jaringan sosial satu sama lain, dan jika setiap orang memelihara dan lebih mengutamakan jaringan tersebut dalam berinteraksi maka kekayaan akan terdistribusi dengan sendirinya. Satu sama lain akan saling mendukung dengan sebuah prinsip bahwa “kita bersaudara sehingga aku memberikan hal ku miliki tanpa pamrih”. Barangkali pada saat itu setiap umat manusia bersaudara, dan tidak lagi melakukan segala sesuatu dengan berorientasi pada kepentingan sendiri. Namun yang menjadi pertanyaan mungkinkah hal tersebut terjadi? Semoga saja….


Catatan Kaki
[1] Menurut keyakinan Adam Smith hukum ekonomi adalah hukum alamiah, yang secara otomatis akan mendorong masyarakat ke arah keseimbangan. Pandangan demikian setidaknya mencerminkan ide pemikiran pada masanya yang terinspirasi oleh pandangan Newton bahwa alam adalah sebuah mesin raksasa yang telah bekeja secara otomatis berdasarkan hukum-hukum keseimbangan. Tugas seorang ilmuan dalam hal ini adalah mengartikulasikan hukum-hukum tersebut dan apa yang dituangkan oleh Adam Smith dalam bukunya The Welath of Nation adalah artikulasi hukum sosial yang dianggapnya alami tersebut.
[2] Kutipan dari kompas tahun 2006
[3] Idem
[4] Stephen M.L., Indirect Symbolic Violence and Rivalry between Equal ini Rurak Punjab, Pakistan, Durham Anthropology Journal ,Vol 12(1) 2004 , p-37
[5] E.F Schumacher, Kecil itu Indah (terjemahan) hlm-43
[6] Dalam hal ini adalah bunuh diri yang bersifat egoistik yang merupakan akibat dari keakuan seseorang menyatakan dirinya berlebihan dihadapan pribadi sosial dengan mengorbankan pribadi sosial itu (lihar Anthony Gidden, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern (terjem) hlm-105)

TOLONG JAUHKAN SINETRON DARI ANAK REMAJA


Hampir setiap hari tayangan sinetron muncul di televisi. Tentu saja hal tersebut bukanlah fenomena asing bagi kita. Hanya kecenderungannya, sinetron-sinetron Indonesia mulai mencari segmen baru, yakni pada golongan remaja. Sehingga tidak heran jika kemudian kita menyaksikan kisah percintaan muda-mudi yang penuh polemik, namun si cowok ditampilkan dengan mengenakan celana gantung ke sekolah dengan bahan dasar biru. Tentu ini bukan trand baru, melainkan kisah percintaan itu terjadi antara dua remaja yang masih duduk di bangku SMP. Namun hiruk-hiruk pikuk persoalah yang mereka hadapi layaknya persoalan orang dewasa. Bahkan di salah satu sinetron, ada yang mengambarkan perselingkuhan disimbolkan dengan adegan ciuman antara si pria dengan perempuan lainnya. Dan sekali ini konteksnya ini terjadi pada remaja yang masih duduk di bangku SMP.

Trend ini menurut hemat saya terjadi sejak kesuksesan film layar lebar menyajikan kisah percintaan remaja SMA (Ada Apa dengan Cinta). Namun sesaat itu juga peluang ini dimanfaatkan oleh sineas untuk mereproduksinya ke dalam sinetron. Pada awalnya sasaran pada anak-anak yang masih duduk di bangku SMA, namun apakah karena sebuah ide kreatif atau oportunis kemudian menjadikan sasaran selanjutnya remaja awal, yang masih duduk di tingkat SMP. Asal saja anak SD tidak dijadikan sasaran. Tentunya saja membuat kategorial ini berdasarkan konteks pendidikan yang dimunculkan dalam scane cerita. Dan ini adalah tindakan yang rasional mengingat remajalah yang kemungkinan besar menghabiskan banyak waktu di depan televisi.

Sinetron dan Dampak Buruknya
Perihal apakah yang sesungguhnya diperoleh remaja dari cerita-cerita sinetron?. Tentunya kita tidak perlu berharap banyak dari sinetron karena pembuatannya dari awal tidak pernah memiliki orientasi pendidikan. Lihat saja hal-hal yang muncul dalam sinetron remaja. Sensualitas tubuh, wanita yang seksi dan pria yang modis, berbadan bidang atau macho, remaja yang tampak cool dengan mobil mewahnya, seks diidentikkan dengan cinta, pemberontakan terhadap orang tua demi membela percintaan yang terlarang adalah simbol kedewasaan, fasion sebagai identitas. Intinya kehidupan remaja seolah terpusat pada gaya, fisik dan hubungan romantisme.

Dan sinetron tidak pernah bermaksud mendorong remaja untuk memiliki impian untuk bisa sejenius Einstein, Habibie atau menjadi seorang pribadi yang cinta tanah air. Karena scane demikian sudah menjadi jatah film layanan masyarakat dan dokumenter.

Sinetron menjadi sebuah ruang simulasi dimana segala sesuatu menjadi mungkin, menciptakan sesuatu tanpa acuan realitas. Sehingga sinetron mampu menampilkan sesuatu hal yang unik, nyeleneh, melanggar batas-batas, apalagi yang bersifat sensual dan vulgar, karena semua itu cukup menarik efektif menarik perhatian pemirsa.

Di sisi lain, sinetron seolah menjadi sahabat remaja, yang tengah mencari identitas, lepas dari standar orang tua yang memusingkan. Bahwa remaja seolah memiliki gayanya sendiri yang cenderung progress dari apa diajarkan orang tua, dan simpel. Karena menjadi remaja yang trand, cukup mengetahui cara berpakaian stylist, menata rambut dengan model tertentu, percintaan yang lebih terbuka. Sekaligus sinetron selalu memenangkan percintaan remaja di hadapan orang tua. Karena larangan pacaran atau segala bentuk pembatasan orang tua adalah bentuk kekolotan dan melawannya adalah bentuk perjuangan sebuah kemajuan.

Yang pasti bahwa apa yang dimunculkan dalam sinetron adalah sebuah realitas imajiner. Jika dulu tidak wajar anak sekolah menggunakan baju seragam yang ketat, dibiarkan keluar, atau yang gadisnya mengenakan rok mini. Namun apa yang ditonjolkan sinetron, anak sekolah yang mengenakan baju acak-acakan, rambut ditata secara trandy dan semua itu awalnya hanya ada di dunia sinetron dan tidak di dunia nyata.

Namun apa yang terjadi saat ini, bahwa tidak lagi sulit menjumpai remaja yang telah menyesuaikan gaya hidupnya dengan apa yang ia saksikan di televisi. Demikian halnya remaja yang menahan tangan guru ketika hendak ditampar, atau berciuman di taman sekolah, anak SMP yang membawa mobil mewah, semuanya itu pada awalnya hanya ada di dunia sinetron. Namun remaja di dunia nyata secara berangsur-angsur tapi pasti mulai mewujudkannya dalam kehidupannya.

Maka saat ini kita harus menyaksikan berbagi fenomena perilaku destruktif remaja. Remaja yang konsumtif, karena ia tertarik untuk menyesuaikan penampilannya dengan artis di televisi. Remaja yang terjerumus pada perilaku seks bebas, karena ia tidak dapat membedakan antara cinta sejati dengan birahi karena sinetron juga menyamarkannya. Tindak kekerasan dan pemberontakan remaja terhadap orang tua maupun otoritas tertentu, juga tidak mustahil sebagai dampak dari apa yang ia lihat setiap hari di televisi.

Pembatasan Media
Bahwa televisi menjadi sahabat remaja, yang menghabiskan banyak waktunya di depan televisi. Sehingga tidak heran apa yang tayangkan di televisi secara langsung maupun tidak lansung mempengaruhi sikap dan sifat remaja. Sedangkan di sisi lain remaja memiliki daya kriris yang rendah dalam memandang apa yang ia saksikan.

Namun sineas, memilih untuk membuat sinteron dengan tema-tema demikian, dan stasiun televisi menayangkan sinetron seperti ini hanya untuk satu tujuan, yakni profit. Dan mereka tidak memiliki kepentingan terhadap dampak selanjutnya.

Secara etis tindakan demikian tidak dapat dibenarkan, namun kenyataannya, logika media massa adalah demikian. Oleh sebab itu, maka media massa dan para sineas perlu dibatasi daya kreatif dan keserakahannya dalam mengisi pundi-pundi keuntungannya. Bahwa kepetingan sineas atau stasiun swasta harus sesuai dengan kepentingan bangsa.

Sehingga pemerintah patut menetapkan kelompok umur yang dapat dijadikan sebagai konsumen sinetron-sinetron yang hanya bertujuan hedonis semata, dibatasi pada usia dimana seseorang dapat telah dapat menilai apa yang disaksikannya secara kritis. Sedangkan remaja disediakan film-film yang mendorong peningkatan rasa tanggung jawab terhadap masa depannya, pengetahuannya, dan bukan dijadikan objek sineteron atau iklan remaja yang disajikan secara murahan.

Media harus menjadi bagian dari konsensus nasional dalam menciptakan manusia Indonesia berkualitas di masa depan, sekaligus sebagai pembatas logika keuntungan ekonomi semata. Dan media harus memiliki tanggung jawab atas itu, melalui tayangan yang bermutu, bertujuan untuk penyebar ilmu pengetahun, serta memunculkan figur-figur yang dapat dijadikan contoh bagi remaja. Sehingga porsi iklan ataupun sinetron murahan yang ditujukan bagi anak remaja sama sekali hilang.

Apakah ini sebuah propaganda atau bentuk pembatasan kebebasan ekspresi seni? tentu tidak. Bahwa kondisi ini tidak berkaitan atau membatasi media dalam menyampaikan informasi untuk mengkoreksi kebijakan pemerintah. Hanya tujuannya membersihkan cerita imajiner yang dapat membentuk perilaku negatif pada remaja. Bahkan menurut saya sinetron cenderung menjadi sebuah propaganda massif, yang membentuk sikap-sikap tertentu pada remaja, konsumtif yang menguntungkan industri mode. Atau membuat remaja lebih terbuka terhadap hubungan romantis dan seks, pemberontakan terhadap otoritas, meskipun sikap sebaliknya lebih baik.

Namun saya juga pernah mendengar pendapat salah seorang artis (saya lupa namanya dan mungkin banyak juga orang berpikiran demikian) yang terdengar sok demokrasi. Untuk apa dibatasi, toh remaja juga dapat mencari hal-hal yang merusak di internet atau dari VCD bajakan?

Argumen ini cacat logika karena analog dengan pernyataan untuk apa melarang orang membunuh, toh dimana-mana banyak terjadi pembunuhan. Bahwa yang tidak baik tentunya tidak patut dilaksanakan, meskipun hal yang buruk tidak dapat dihindari sepenuhnya. Setidaknya media secara moral tidak terlibat dalam pengrusakan mental para remaja calon pemimpin bangsa.

Oleh sebab itu tidak ada alasan untuk terus membiarkan sinetron murahan menghiasi televisi lengkap dengan iklan-iklan yang tidak mendidik ditujukan bagi remaja. Kita harus melindungi anak-anak dari upaya proganda media, baik sadar maupun tidak sadar, untuk menjadi konsumtif dan berjiwa pemberontak. Salah satu solusi terbaik adalah dengan peraturan pembatasan atau pelarangan penayangan sinetron bertema percintaan atau iklan bertema pada remaja. Dan dengan penerapan yang tegas terhadap peraturan tersebut diharapkan pemeritah dapat secara berwibawa membatasi ambisi media atau sineas untuk mengeruk keuntungan secara tidak etis.

Sunday 27 April 2008

BENCANA ALAM, PERUBAHAN PARADIGMA DAN KAUM PEREMPUAN


Terjadinya fenomena pasang di Jakarta, menyadarkan kita bahwa alam semakin tidak bersahabat. Air menggenangi beberapa lokasi di Jakarta Utara akibat laut pasang. Termasuk Pelabuhan Sunda Kelapa yang perlahan-lahan ikut terendam. Ketinggian air mulai dari mata kaki hingga betis orang dewasa. Namun ancaman bahwa Jakarta secara perlahan akan tenggelam semakin jelas dari hasil penelitian ditemukan bahwa setiap tahun tercatat rata-rata permukaan air laut di Teluk Jakarta naik 0,8 milimeter. Konon timbulnya fenomena ini terkait dengan persoalan pemanasan global yang semakin memprihatinkan.

Bencana yang terjadi akhir-akhir ini tidak lepas dari arogansi manusia dalam berinteraksi dengan alam. Manusia seolah berhak mengeksploitasi alam tanpa batas dengan sebuah imajinasi bahwa manusia berkuasa atas alam. Manusia memandang dirinya lebih berharga dari spesies lain. Alam yang diam seolah menjadi entitas lemah yang mengabdi sepenuhnya bagi kepentingan manusia.

Namun kenyataan saat ini membuat pandangan bahwa alam ada bagi manusia harus dikoreksi. Alam memiliki hak merealisasikan dirinya menuju kesetimbangan. Bencana yang kita alami adalah reaksi alam mengukuhkan tingkat equlibriumnya, dimana keberadaan manusia adalah ibarat penyakit yang mengerogori bumi dan membuatnya sakit. Bahkan seorang profesor dari Universitar Texas mengatakan bahwa bumi akan lebih baik jika 90% dari populasi manusia binasa (David, 2006).

Menanggapi persoalan pemanasan global dan degradasi membutuhkan perubahan paradigma menyeluruh dalam berinteraksi dengan alam. Dari yang bersifat subordinasi atau paternalistik menjadi lebih bersifat maternalistik. Sifat paternalistik mengagungkan orientasi efisiensi, agresifitas, rasionalitas yang merendahkan dimensi intuitif dan spiritualisme. Sehingga alam dipandang semata-semata sebagai materi. Rasionalitas menjadikan alam materi bisu serta sebagai objek orientasi kepuasan manusia. Efisiensi menuntut proses eksploitasi cepat bagi kepentingan manusia dengan pengorbanan minimal yang mengsyaratkan matinya dimensi emosional dalam pengambil keputusan secara cepat.

Namun dari perspektif maternalistik setiap entitas demikian halnya alam memiliki makna inheren melampau keberadaannya sebuah wujud materi. Sehingga alam menjadi agung dan menciptakan rasa penghormatan melalui pandangan holistik. Bahwa alam bukan entitas diam, melainkan organisme bersuara namun raib oleh kesadaran manusia modern yang berinteraksi melalui investigasi scientifiknya.

Kualitas maternalistik, analog dengan kualitas interaksi antara seorang ibu dengan anaknya, terkait dengan beberapa kualitas yakni pemeliharaan, penuh cinta kasih, perhatian dan perlindungan. Melibatkan intuitisi dalam pengambilan keputusan yang ketepatannya hampir sama dengan pengambilan keputusan secara rasionalitas. Tidak melihat segala persoalan partikuler melainkan secara totalitas. Dimensi keterikatan emosionalitas pada interaksi maternalistik menciptakan sosok pribadi yang altruistik dan afirmasi diri.

Ketika interaksi maternalistik dijadikan dasar dalam berinteraksi maka alam menjelma menjadi sesuatu yang harus dipelihara. Alam tidak dipahami sebagai materi belaka melainkan entitas yang memiliki self-nya yang berhak merealisasikan dirinya. Relasi dengan alam dibangun atas dasar pemeliharaan dan pelestariaan serta kasih sayang. Alam memiliki makna inheren yang melebihi keberadaannya sebagai materi. Melalui kesadaran intuitif spirit alam dirasakan kehadiran melalui dimensi keagungan dan ketakberhinggaan yang berakhir pada keindahan.

Dalam mengatasi ancaman bencana dan degradasi lingkungan manusia belum didasarkan pada penghormatan terhadap alam. Penyelesaian persoalan kerusakan alam masih menganut etika anthroposentrisme dimana manusia diposisikan sebagai pusat alam semesta sehingga hanya manusia yg memiliki nilai, dan untuk kepentingan manusia peran ekosistem sekitarnya dikesampingkan, digantikan dengan etika baru yang berpegang pada sikap hormat, prinsip kepedulian dan no harm, arif, serta tanggung jawab kepada alam (Agus Prabowo dan Didy Wurjanto, 2007). Bahwa kerusakaan alam diyakni dapat diatasi melalui tindakan manipulasi dengan teknologi baru.

Namun perubahan paradigma ke arah maternalistik, mengsyaratkan perubahan prilaku terhadap alam. Solusinya degradasi lingkungan tidak harus berakhir pada solusi teknologi. Melainkan pada perubahan perilaku hidup manusia, misalnya dengan mengurangi konsumsi barang-barang yang menghasilkan polutan atau berdampak pada pengrusakan lingkungan. Dari berbagai fakta diketahui kebiasaan manusia makan lebih banyak tidak baik kondisi atmosfir (Kher, 2007).

Paradigma maternalistik dapat diwujudkan sebagai sebuah word view melalui pendidikan. Yakni pendidikan yang tidak hanya menempatkan rasionalitas dan orientasi efisinasi pada titik sentral melainkan juga memasukkan dimensi intuitif dan spiritualisme di dalamnya. Dimensi nurturing dalam pendidikan perlu ditanamkan secara mendalam, bahwa segala entitas di alam harus dihargai, dipelihara, dan dicintai karena memiliki nilai keberhargaan yang sama dengan umat manusia.

Hal lainnya yang juga penting dilakukan untuk melembagakan perpektif maternalistik adalah dengan melibatkan kaum perempuan lebih luas dalam membangun diskursus solutif, sebagai pemilik kualitas maternalistik. Wacana ecofeminisme harus diberikan ruang sentral. Intelektual perempuan layak diberi ruang lebih untuk menyuarakan perspektif mereka dalam memahami alam. Dengan harapan bahwa kaum perempuan mendapat tempat untuk menyuarakan pemahaman tentang alam dan memberikan pencerahan bagi seluruh umat manusia.

Thursday 24 April 2008

PERSOALAN AHMADIYAH, KEBENARAN AGAMA DAN SPIRITUALISME


Akhir-akhir ini muncul polemik tentang apakah Ahmadiyah tetap dapat menjalankan aktivitasnya di Indonesia. FUI bersikeras menuntut pemerintah untuk mengeluarkan SK menyerukan bahwa Ahmadyah adalah aliran sesat. Dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) pada Rabu (16/4) lalu telah mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah membubarkan segala kegiatan jamaah Ahmadiyah di Indonesia karena terbukti beberapa materi ajarannya menyimpang dari kaidah pokok agama Islam (Depkominfo).

Namun di sisi lain dalam wawancana di sebuah televisi swasta Adnan Buyung Nasution mengkhawatirkan (SCTV, 24 Maret 2008), bahwa dengan memformalkan pelarangan tersebut malah memberikan legitimiasi terhadap kelompok tertentu melakukan anarkisme terhadap kelompok Ahmadyah.

Pihak Ahmadyah juga menolak jika disebut sesaat. Mereka mengklaim sebagai Islam sejati karena juga menjalankan ibadah dan melaksanakan perayaan agama sebagaimana umat Islam ini lainnya.

Kenyataan Dibalik Fenomena Pelarangan
Namun hal apa yang sungguhnya tengah terjadi dibalik hiruk pikuk persoalan Ahmadiyah?

Pertama, kehadiran Ahmadyah mengambarkan bahwa masyarakat Indonesia tidak dapat dibekap dalam sebuah pemahaman agama yang bersifat dogmatisme dan patenalistik. Islam tidak lagi dipahami sebagaimana yang diajarkan oleh para pemimpin agama atau ulama. Melalui kemajuan media informasi dan komunikasi(intenet) serta pergaulan intenasional membuat masyarakat Indonesia dapat bersentuhan dengan pemikiran, atau ajaran Islam yang berbeda.

Hanya, para pemimpin agama atau ulama belum sepenuhnya menyadari hal ini. Umat Islam di Indonesia tetap dipandang masyarakat terbatas dan primordial yang pemahamannya akan Islam hanya berasal dari ulama atau pemimpin agama. Sehingga kemunculan aliran sesat adalah manifestasi penyimpangan pemahaman umat.

Kedua, manusia, sedemikian halnya umat Islam di Indonesia, membutuhkan orientasi hidup. Dan agama merupakan salah satu sumber orientasi kehidupan manusia. Orientasi hidup dalam hal ini mengacu pada konsepsi Enrich Fromm adalah cara individu berhubungan dengan dunia yang membentuk karakternya secara umum . Melalui orientasi hidup manusia membangun respon terhadap konflik yang terjadi dalam kehidupannya (http://en.wikipedia.org/).

Namun orientasi hidup dapat tereposisi ketika gagal mengatasi atau memaknai setiap tantangan hidup yang dihadapinya. Orientasi hidup bertahan, tumbuh berkembang sejalan dengan kontekstualisasi sejarah.

Saat ini masyarakat Indonesia tengah dibebani berbagai masalah sosial. Harga-harga bahan makan melonjak, kehidupan semakin susah, bencana alam terjadi tanpa henti, eksploitasi diantara manusia terjadi dimana-mana. Pemerintah sering berlaku kejam dengan masyarakat kecil, dimana akhir-akhir ini marak terjadi pengusuran pedagang kaki kecil dan pembersihan para gelandangan. Kondisi tersebut dapat membuat masyarakat kehilangan harapan menatap masa depan kehidupannya. Dan dalam situasi kehidupan umat yang memprihatinkan, apakah Islam dengan ajarannya yang benar dapat memberikan orientasi hidup sebagai pegangan bagi masyarakat yang menghadapi tekanan sosial secara bertubi-tubi?

Mudahnya sejumlah kelompok masyarakat Indonesia mengikuti ajaran yang dianggap sesaat, meskipun sejak kecil terdidik menurut ajaran yang benar, barangkali manifestasi keberadaan agama mainstreim beserta ajarannya yang benar tidak lagi bermakna bagi mereka. Mungkin Agama mainstreim terlalu sibuk menegakkan dogma dan membela eksistensinya seolah tengah membela kebenaran Tuhan, namun ada sejumlah umat yang merasa terlupakan. Agama mainstreim berjuang tanpa lelah menilai kesalahan atau mengatasi ancaman dari pihak lain, namun lupa jika umat tengah menghadapi tekanan hidup, termarginalkan secara sosial, mengalami luka-luka batin. Bukankah dalam hal ini agama seharusnya berfungsi menyembuhkan kemelut hati umat?

Ketiga, agama mainsteim tengah mengalami kegalauan atau ketakutan yang tidak beralasan terhadap ancaman dari luar. Umat didorong menutup diri terhadap pengaruh dari luar dengan mengangkat musuh-musuh abstrak/imajiner seperti kaum pluralis, kaum misionaris, dsb. Para pemimpin agama mainstreim seolah kehilangan kepercayaan diri menghadapi kehadiran berbagai ajaran yang berbeda. Sehingga jalan paling aman membuat umat memusuhi segala sesuatu yang dianggap berbeda. Atau dengan melakukan kekerasan serta intimadasi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap mengancam keberadaan eksistensi agama mainstreim untuk mengamankan diri.

Sesungguhnya kecemasan ini menurut hemat saya terlalu berlebihan. Bukankah selama kehadiran agama mainstreim mampu membawa umat pada pengalaman spiritual yang mendatangkan kedamaian batin, akan sangat kecil kemungkinan umat tertarik dengan ajaran-ajaran atau agama lain.

Sikap yang Seharusnya Dilakukan
Oleh sebab itu bagaimanakah seharusnya menyikapi kehadiran Ahmadiyah?

Pertama, ini adalah saat untuk bercermin. Melakukan evaluasi diri akan lebih bermanfaat daripada melakukan kekerasan atau intimidasi terhadap mereka yang berbeda. Mungkin kehadiran agama mainstreim tidak lagi menyentuh kehidupan umat. Tidak lagi menjadi tepat teduh, melainkan institusi otoriter yang semata-mata berfungsi menetapkan benar salah perilaku umat. Melalui evaluasi diri agama mainstreim dapat merubah diri khususnya dalam berhubungan dengan umat.

Kedua, membina dialog dengan mereka yang berbeda. Sejarah membuktikan represi tidak dapat sepenuhnya menghancurkan kehadiran sebuah keyakinan. Bukankah Islam juga lahir ditengah-tengah tekanan dari kaum kafir? Demikian agama besar seperti Kristen?

Tindakan represi seringkali menciptakan kelompok yang semula sesat menjadi kelompok yang tertindas dan mendapatkan simpati dari masyarakat luas. Khususnya masyarakat yang juga tengah tertindas oleh kekuasaan yang lalim. Sehingga represi seringkali menjadi tindakan kontraproduktif.

Namun melalui dialog dapat para pemimpin agama mainsteim dapat memahami mengapa eks-umatnya memilih untuk menyebrang kepada ajaran yang sesat. Mungkin saja mereka mengalami pengalaman religius, meraih ketentraman hati, mendapatkan dukungan sosial yang nyata dari kelompok sesat tersebut. Sesuatu yang sebelumnya tidak diperoleh pada agama mainstreim.

Ketiga, para pemimpin agama mainstreim harus menyadari bahwa pluritas adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari sebagai dampak pergaulan hidup masyarakat yang semakin menglobal. Agama mainstreim tidak saja akan menghadapi kemunculan berbagai ajaran yang menyimpang namun juga tumbuh suburnya pandangan ateistik. Pandangan tersebut dapat merasuki pikiran umat secara masif tanpa terekspresikan dalam sebuah organisasi formal. Tidak ada cara yang paling tepat menghadapi tantangan tersebut selain berupaya untuk memberikan manfaat bagi umat. Sehingga umat tetap teguh pada keyakinan yang benar.

Namun pada akhirnya eksistensi kebenaran agama tidak ditentukan oleh berapa banyak umat yang tercakup di dalamnya. Agama hadir buat manusia, bukan sebaliknya. Agama menjadi mediasi agar manusia dapat bertemu secara pribadi dengan khaliknya. Dogma tidak menjamin seseorang mampu memperoleh pengalaman spiritual. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam pencarian terhadap Tuhan, bahkan tanpa memandang apakah ia seorang pemimpin agama atau umat biasa. Kebenaran agama dibuktikan secara personal dan tidak secara kolektif. Agama yang benar adalah agama yang mampu menjaring makna kehidupan yang berpuncak pada pengalaman spiritual, dengan mengalami kehadiran sang pencipta pada kesadaran batiniah.

Oleh sebab itu polemik tentang eksistensi Ahmadyah tidak perlu terjadi jika semua pihak menyadari bahwa kebenaran agama terletak pada fungsinya bagi kehidupan umat. Dan tidak diidentikkan dengan kebenaran dogma atau ibadah.

Wednesday 23 April 2008

DUNIA POSMO DAN HIPEREALITAS


Kita tengah berada dalam dunia posmo, saat dimana kejernihan realitas dipertanyakan. Konon Karl Marx memahami manusia mahluk yang membangun aktivitas praktis melalui interaksi terhadap dunia sekitar. Bertindak tidak didasarkan dorongan instingtual melainkan melalui proses berpikiR serta memaknai segala sesuatu disekitarnya, atau dalam konsepsi Ernest Cassier manusia bertindak dalam pemahaman simbolis. Realitas membatasi dan menentukan arah progresifitas kesadaran manusia yang hadir begitu saja tanpa interprensi, sehingga kesadaran terasing bertentangan dengan realitas merupakan dampak penanaman ideologi yang menyamarkan realitas.

Realitas dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan menjadi mungkin jika realitas hadir begitu saja dan tampil dalam dirinya tanpa ada distorsi pikiran manusia. Realitas dipahami, memiliki esensi berupa hukum-hukum keteraturan dan menjadi tugas ilmuan mengartikulasikannya melalui eksperimen penelitian. Laboratorium-laboratorium dilengkapi berbagai alat pengamatan canggih dibangun dan digunakan sebagai ujung tombak memecahkan rahasia alam. Kebenaran identik dengan ketepatan proses observasi, karena realitas dengan sendirinya menyatakan dirinya pada manusia selama penelitian dilaksanakan dengan tepat, bebas dari subjektivitas dan membiarkan realitas hadir begitu saja tanpa interprensi.

Pemahaman akan adanya hukum keteraturan di balik realitas bukan ciri spesifik era pengetahuan eksperimental namun sejak dahulu kala. Terdapat siklus alam, matahari akan terbit di sebelah timur dan terbenam di sebelah barat, musim berganti dengan keteraturan yang dapat diprediksi, tidak mungkin musim semi mendahulu musim dingin. Pelaut Yunani dalam legenda, Hippalus secara tradisional telah menggunakan siklus angin muson untuk mempercepat pelayaran sepanjang Samudra Hindia (1). Setidaknya manusia menjalankan hidupnya dengan menyandarkan diri pada pemahaman terhadap siklus kestabilan tersebut. Hanya saja manusia tradisional memahami bahwa keteraturan tersebut disebabkan kerja sebuah kekuatan adikodrati, dewa-dewa atau Tuhan. Kehidupan merupakan hirarki setelah kerajaan sorga dimana Tuhan adakalanya mengintrupsi dunia di bawah untuk menjaga harmoni. Teolog-teolog Kristen sepakat realitas adalah totalitas teratur. Allah berada pada puncak diikuti oleh malaikat, manusia berada dalam posisi sedikit lebih rendah dari malaikat tetapi lebih tinggi dari ciptaannya yang lain (2). Gerakan planet yang penuh keteraturan, dan tidak bertubrukan satu sama lain, menurut Thomas Aquinas, bukti keberadaan Tuhan yang mengatur wujud-wujud raksasa tersebut dapat eksis sedemikian.

Namun pada abad pencerahan konsepsi demikian mulai ditinggalkan dan digantikannya dengan penjelasan naturalis. Penyebab keteraturan bukanlah Tuhan, dewa atau kekuatan adikodrati lainnya melainkan oleh sebuah sebab ataupun kekuatan yang imanen dalam dunia itu sendiri. Maka Tuhan dan dewa digantikan dengan energi, campur tangannya digantikan dengan hukum-hukum aksi dan reaksi sebagaimana konsepsi Newton, pergerakan dan dinamika adalah manifestasi stabilisasi energi secara terus menerus.

Secara perlahan-lahan manusia meninggalkan keyakinan yang berbau metafisis yang turut disebabkan deklanasi lembaga pemeliharanya. Gereja, kekuatan perdukunan, shamanisme, dsb digantikan oleh universitas yang menerapkan ilmu pengetahuan secara praktis dan memberikan sebuah dampak yang memukau. Pengobatan modern seolah telah mematahkan keyakinan orang selama ini bahwa penyakit disebabkan oleh kerja kekuatan roh-roh jahat atau karena dosa yang ia perbuat serta melemahkan kewibawaan pengobatan tradisional dan penyembuhan spiritual. Teknologi membebaskan manusia dari batasan-batasan taboo, larangan menebang pohon di hutan keramat dan berlayar di laut, karena dengan segala kecanggihan alat-alat yang diciptakan tersebut, manusia ternyata tidak terjangkiti tulah-tulah yang berbahaya.
Hilangnya kewibawaan lembaga keagamaan kuno kemudian digantikan dengan kedigdayaan universitas, institusi rasional dan lembaga penelitian. Kehadirannya menjadi simbol berakhirnya dualitas dunia materi dan spiritual. Dunia menjadi semata-mata materi, tidak ada dimensi roh, dan bergerak dalam sebuah prinsip kausalitas, penyimpangan yang terjadi dapat dijelaskan dengan melihat faktor pencetus sebelumnya yang juga real, bukan bersifat supranatural. Hubungan antara suatu kejadian dengan kejadian lainnya diyakini bersifat permanen, suatu kejadian pasti didahulu kejadian tertentu, dan akan terus demikian dulu, sekarang dan masa yang akan datang. Kebutuhan untuk menghasilkan bukti menjadi semakin kuat saat pragmatisme pengetahuan ilmiah mengantikan pengetahuan tradisional yang didasarkan pewahyuan (3).

Demikianlah penjelasan bagaimana realitas menjadi sentral sebagai sumber ilmu pengetahuan serta dasar dari prinsip hidup masyarakat modern. Segala sesuatu kebenaran konsep pada akhirnya harus dikembalikan pada realitas itu sendiri. Setidaknya kebenaran harus bersifat praksis sebagaimana menurut konsepsi Marx. Namun yang menjadi masalah adalah realitas tidak dapat didekati begitu saja, diperlukan sebuah metoda yang tepat dan alat observasi yang memadai. Mikroskop elektronik, laboratorium yang dapat dikondisikan sedemikian rupa, teropong bintang, komputer pembaca data, dsb menjadi prasyarat observasi dapat dilakukan. Maka meskipun realitas ada begitu saja namun tidak semua orang dapat mengartikulasikan kebenaran dari padanya, hak tersebut tidak ada pada orang awam melainkan berada pada tangan ilmuwan. Akses mereka terhadap alat observasipun dibatasi oleh sertifikat akademi sebagai bentuk jaminan intelektualitasnya, ketersediaan dan dukungan dana oleh pihak tertentu seperti negara atau orang kuat.

Ilmuwan bagi masyarakat modern ibarat para Santo pada era skolastik, bahwa melalui merekalah kebenaran itu dapat disampaikan. Selagi anda tidak memiliki prasyarat untuk mengakses pengetahuan jangan pernah sekalipun membantah mereka. Segala aspek kehidupan dari hal praktis hingga hal etis harus disesuaikan dengan pendapat ahli. Bagaimana anda harus makan, cara berjalan, mengenal wanita, bercinta hingga pada bertingkah laku pada sebuah pesta harus sesuai dengan aturan yang diajarkan oleh para ilmuwan yang telah menghabiskan waktunya untuk melakukan penelitian. Ilmu genetis setidaknya menganjurkan pembatasan pilihan pasangan, jika dulu didasarkan pada kesamaan keyakinan maka saat ini didasarkan kesamaan kelayakan genetika, apakah bebas penyakit generatif berbahaya, ilmuwan seperti Galton bahkan menyarankan mengkebiri orang malas, gila, agar sifat yang merugikan demikian tidak sampai diwariskan kembali. Seleksi perkawinan secara pragmatis bertujuan menciptakan manusia yang lebih sehat, pintar, dan mentalitasnya baik sehingga mendorong perbaikan sistem masyarakat serta menurunkan jumlah manusia dengan kondisi genetis yang tidak baik dan meningkatkan jumlah manusia dengan kualitas genetis yang baik (4) .

Deklanasi Masyarakat Modern dan Kelahiran Postmodern
Namun apakah kehidupan yang didasarkan pada kebenaran para ilmuwan menjadi sebuah bentuk masyarakat ideal, seperti halnya masyarakat atlantis sebagaimana konsepsi Bacon masyarakat utopia yang mendasarkan kebenaran pada sesuatu yang teruji secara eksperimental (5). Menciptakan dunia yang lebih baik menjadi tugas fisikawan, ahli biologi, sosiolog dsb. Masyarakat modern saksi dari berbagai kemajuan, penemuan listik, telpon, pembangkit listik tenaga nuklir disamping itu dalam ilmu hayati dikenal kloning, aplikasi bakteriologi, serta modifikasi psikologis. Apakah akhirnya memberikan kebaikan?

Kenyataannya masyarakat modern juga harus menyaksikan sifat destruktif dari ilmu itu sendiri. Pengetahuan fusi energi di satu sisi menjadi dasar penyediaan energi, diarahkan bagi penciptaan bom penghancur maha dasyat. Pembunuhan massal dalam perang antar suku tidak dapat menandingi kekejaman dari pengeboman Hirosima dan Nagasaki menggunakan bom atom yang menghabiskan jutaan nyawa dalam waktu singkat. Ilmu pengetahuan ternyata dapat diterapkan menjadi sesuatu yang merusak kehidupan manusia itu sendiri. Masyarakat abad ke-21 dihantui ancaman sejata kimiawi dan biologi. Disamping itu konsep evolusi yang didegungkan oleh ilmuwan telah memberikan pembenaran terhadap tindakan rasisme, sebagai upaya untuk menghabisi ras lebih rendah mencegah terjadinya pencampuran dengan ras yang lebih tinggi dan menghambat arah evolusi agar lebih progresif (6).

Dalam perspektif ilmu pengetahuan manusia kehilangan dimensi sakralnya, bukannya mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia melainkan hanya mahluk sebagaimana mahluk lainnya mengisi muka bumi. Cinta dan kasih sayang bukan sebagai simbol keagungan manusia namun manifetasi dari kerja otak dan hormonal. Sehingga manusiapun tidak luput dari objek penelitian. Orang-orang idiot, penjahat, mayat-mayat tanpa identitas diteliti untuk mengetahui bagaimana tubuh bekerja sebagai sebuah mesin organik dengan berbagai hukum keteraturannya. Bahkan pernah terjadi, orang negro dan eskimo ditangkap untuk kemudian diteliti secara paksa sebagai manusia yang belum berkembang, untuk memahami perbedaannya secara fisiologis. Pengetahuan yang semakin progresif kemudian memunculkan sebuah hasrat tidak saja untuk memahami manusia secara total melainkan jika dimungkinkan melakukan pengaturan wujud manusia yang akan dilahirkan, seperti apa bentuknya, jenis kelaminnya, dilakukan melalui teknik ovulasi buatan, bayi tabung dan jika perlu kita juga dapat menciptakan manusia melalui metoda kloning.

Dengan memandang manusia semata-mata sebagai tubuh, mesin organis yang bergerak secara otomatis, maka penilaian pragmatispun dapat diterapkan padanya. Mesin yang tidak baik harus diafkirkan, komponen sosial yang merusak dan menganggu dapat dihilangkan. Sehingga suatu yang etis untuk melakukan aborsi terhadap anak yang cacat dari lahir, melakukan etanesia, mengkebiri orang idiot, bodoh dsb. Setidaknya hukum membenarkan melakukan hukuman mati bagi mereka yang melakukan kejahatan berat karena mereka adalah mesin-mesin yang merusak.

Demikianlah kondisi masyarakat modern yang mengantungkan kebenarannya pada kerja ilmuwan yang pada akhirnya bukannya memberikan kehidupan yang lebih baik melainkan merendahkan kemanusiaan itu sendiri. Skeptisme terhadap pengetahuan dan delegitimasi hak ilmuwan menumbuhkan sebuah pemberontakan yang menolak absolutisme (7). Modernitas yang mendasarkan kehidupan pada kesatuan, pengetahuan, telah menghilangkan banyak aspek dalam kehidupan masyarakat. Agama, keyakinan primordial setidaknya memberikan sebuah kenyamanan batin yang hilang dalam hidup yang sepenuhnya rasional. Bangkitnya berbagai bentuk agama-agama mistik, praktek-praktek paganisme dan pengagung-agungan kehidupan tradisional menjadi simbol kerutuhan modernitas yang berusaha menciptakan masyarakat unitas, kebenaran realitas hanyalah satu, A=A, serta menjadi awal dari kelahiran era postmodern.

Pada era posmodern realitas tidak lagi dipandang secara unitas. Setidaknya pemahaman kaum idealis dihadirkan kembali, bahwa realitas yang kita sadari bukanlah sesuatu yang bebas dari kesadaran kita melainkan produk mental. Nietzche memahami realitas sebagai kaostik, pengetahuan adalah hasil dari usaha manusia memaknainya. Realitas menurut Hegel adalah manifestasi roh absolut yang tidak dipahami oleh manusia yang menjadi sarana untuk mengarahkan alam kesadaran manusia untuk akhirnya mengkonstruksi masyarakat sesuai dengan kehendak roh itu sendiri. Atau sebuah wujud sorga dan neraka dalam kesadaran manusia yang masih terikat kedagingan menurut konsep Boehme. Intinya adalah apa yang kita sadari berbeda dengan keberadaan dari ada itu sendiri.

Jika demikian mengapa pengetahuan itu seolah menjadi mungkin. Menurut David Hume hubungan kausalitas, dasar dari pembentukan pengetahuan, menjadi mungkin karena kontruksi metal, karena kita menganggap fenomena tersebut berhubungan, dampak proses pembiasaan. Padahal fenomena tersebut hadir begitu saja sebagai kumpulan sensasi indrawi yang menyeruak terus menerus dan tidak berhubungan satu sama lain. Menurut Imannuel Kant pengetahuan menjadi mungkin karena dalam pikiran manusia secara aktif mengkonstruksi sensasi yang hadir dalam kesadaran manusia ke dalam ketegori-kategori, setidaknya konteks ruang dan waktu ada dampak dari aktivitas pikiran manusia.

Kebenaran, pengetahuan menurut Foucault terkait dengan kekuasaan. Kekuasaan terpelihara melalui intitusi, pendidikan, pemerintah, negara dan sebagainya. Teori evolusi menjadi sebuah pengetahuan absolut saat pendidikan formal menaturalisasi konsep tersebut, yang tertanam dalam benak banyak orang dan menjadi sebuah dogma dimana pihak yang menentangnya akan dikucilkan. Foucault menyebutkan konsep kegilaan tidak pernah bersifat mutlak namun setiap masa perlu defenisi secara spesifik, membagi-bagi kategori kegilaan pada homoseksual, neurotik, psikosa dsb, serta seperangkan institusi yang berhak memperlakukannya, atau aturan pemerintah yang memarginalkannya. Namun hal ini timbul karena masyarakat selalu butuh mengurung dan memarginalkan golongan tertentu, mulai orang penyakit kusta pada abad pertengahan hingga orang-orang gila pada abad modern.


Masyarakat Postmodern

Masyarakat postmodern toleran terhadap relativitas. Paganisme, religiusitas dan scientifik hidup berdampingan secara rukun. Pola hidup kuno dibangkitkan kembali, Yoga, Zen mendapat tempat kembali dalam kehidupan masyarakat kotemporer. Artinya setiap orang dapat memahami realitas dengan cara berbeda, kebenaran mungkin akan lebih tepat dinilai secara pragmatis, yang tepat adalah yang memberi manfaat. Paganisme tidak diharamkan selama menjalankannya memberikan kesenangan, manfaat yang nyata bagi pelakunya. Seni tidak lagi menjadi sesuatu yang kaku, realisme dihancurkan, budaya tinggi dan budaya rendah menjadi kabur, seni pertama adalah bagi kesenangan itu sendiri, ibarat seorang anak kecil dengan sesuka hari mencoret-coret dinding. Individualisme semakin terlembagakan dalam masyarakat postmodern.

Kebenaran realitas tidak lagi menjadi hal penting bagi manusia postmodern, apakah ia eksis? apakah ia benar? Kalau perlu realitas diasingkan jika memusingkan. Simbol dari postmodern adalah cyberspace, dimana manusia posmo menghabiskan waktu berinteraksi dengan dunia maya entah itu melalui televisi maupun komputer. Realitas masyarakat posmo adalah realitas sinetron, film superhero, internet dsb. Menurut Jean Budrilllard masyarakat posmo adalah masyarakat hanyut dalam sajian simularcum dan hiperrealitas. Simularca adalah parodi dari realitas tanpa referensi. Apakah superman sungguh-sungguh ada? Apakah dunia akan selalu berakhir dengan adil dimana yang jahat akan selalu kalah seperti dalam film-film melodrama? Segalanya tampak nyata, meskipun sesungguhnya sebuah produk imajinasi manusia menggunakan kecanggihan komputer namun akhirnya dianggap real. Remaja jaman sekarang adalah generasi penuh kekerasan seperti diajarkan film gangster, tria dimana kekerasan adalah akhir segala penghinaan diri. Atau wanita akan menjadikan dirinya ibarat Brithney Spears.

Hiperalitas sebagaimana telah disebutkan adalah ketidakrealan menggantikan yang real itu sendiri. Iklan yang mengambarkan seseorang wanita menjadi putih karena menggunakan lotion tertentu, adalah hasil kerja disainer grafis yang melakukan manipulasi gambar dengan meningkatkan pencahayaan pada kulit model. Sebuah penipuan, namun para wanita menyikapinya sebagai kecantikan ideal, tingkat kulit putih demikian harus diperoleh. Wanita berusaha berbagai cara, jika tidak berhasil akan mengurangi rasa percaya diri karena menjadi tidak sempurna. Model-model fasion, rambut dan habitus dipertontonkan seolah telah menjadi bagian realitas, sebuah trand, meskipun sesungguhnya hanya ada dalam tayangan layar kaca. Masyarakat berusaha mencocokkan realitasnya dengan sesuatu yang artifisial sebagai sebuah kebutuhan mengikuti trand.

Jika Marx mengatakan realitas akan membatasi hal praksis, namun apakah mencakup realitas maya demikian. Barangkali lebih tepat jika disebut sebagai sebuah ideologi, ide yang menyamarkan realitas, namun disini kehadirannya begitu nyata. Keberadaan ideologi menguntungkan pihak dominan, namun bukankah cyberspece telah menjadi bagian hidup masyarakat tanpa melihat golongan. Bahkan golongan kapitalis, sebagai golongan dominan malah lebih responsif terhadap pemanfaatan televisi, dan turut terserap dalam realitas di dalamnya. Seorang kapitalis memiliki televisi lebih dari satu, komputer, booknote, laptope telah menjadi bagian tak terlepaskan dari kehidupnya. Jika demikian siapa yang diuntungkan dari keberadaan cyberspace, televisi, internet, atau malah semua orang membutuhkannya untuk menciptakan simulasi realitas atau jika perlu kacamata simulasipun diciptakan agar manusia dapat hidup dalam dunia virtual yang menyenangkan dimana segalanya mungkin.

Penutup
Demikian gambaran singkat tentang postmodern menurut pemahaman saya . Saat realitas tidak lagi dipahami secara unitas maka posmo menampakkan kakinya di bumi. Realitas dapat dilihat secara beragam, dari berbagai perspektif, jika perlu realitas digantikan dengan realitas virtual yang memberikan kenyamanan. Kita telah berada di era ini, dengan kebebasan untuk mengikuti ritual pagan, Yoga, menjadi Budhaisme oleh sebuah alasan pragmatis, serta menjadikan acuan hidup dan idealitas tidak pada perenungan atas pengalaman keseharian melainkan secara instan melalui televisi telah menyediakan acuan yang siap digunakan kapan saja. Saat tidak ada diskursus yang menyatukan masyarakat maka setiap orang bebas menentukan caranya mengada dihadapan realitas. Oleh sebab itu tidak ada salahnya jika kita menyambut kehadiran era posmo ini dengan penuh suka cita.

Catatan Kaki
1. Winkipedia, Muson
2. Stanley J. Grenz, Primer on Poatmodernisme, hlm 102
3. Jean-R. Lyotard, Krisis dan Masa Depan Pengetahuan, (terjemahan) hlm 95-96
4. L.C Dunn & TH. Dobzhansky, Heredity, Race and Society, hlm 83
5. Lihat Stanley J. Grenz, Primer on Poatmodernisme, hlm 99
6. Salah satu yang terkejam adalah yang dilakukan oleh Hitler
7. Baca I. Bambang Sugiharto, Postmodern: Tantangan bagi Filsafat

Monday 21 April 2008

HARI BUMI, SUARA ALAM DAN PERUBAHAN PARADIGMA

Hari bumi tepat jatuh pada tanggal 22 Maret 2008. Sebuah perayaan yang harus dilaksakan dengan kondisi prihatin karena ibu bumi tengah sekarat.

Apakah bukti bahwa bumi sedang sakit? Pertama bumi semakin hari semakin panas. Dengan menggunakan model dari IPCC, Indonesia diperkirakan mengalami kenaikan dari temperatur rata-rata dari 0.1 sampai 0.3ºC per dekade dan kenaikan suhu ini berdampak pada kenaikan permukaan air laut dan kenaikan intensitas dan frekuensi dari hujan, badai tropis, serta kekeringan (wwf Indonesia, 2007).

Kedua bencana seolah terjadi tanpa henti. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam yang terkait dengan cuaca mencapai 1,429 kasus atau 53.3% dari total bencana alam yang terjadi di Indonesia yang tentunya terkait dengan fenomena pemanasan global.

Kado apakah yang layak kita berikan untuk meringankan penderitaan sang bumi? Tidak ada hal yang lebih tepat selain sebuah perubahan. Yakni perubahan paradigma kita dalam berinterasi dengan alam

Membangun Interaksi dengan Alam sebuah Paradigma Baru
Pertama menurut hemat saya, alam berhak bersuara dan dihargai eksistensinya oleh manusia. Menurut Hanss Peter Duerr (1985) dalam bukunya yang berjudul “Dreamtime: Concerning the Boundary between Wildness and Civilization”,mengatakan bahwa manusia tidak akan mengeksplotasi alam yang berbicara kepadanya.

Masyarakat primitif menggambarkan alam sebagai pribadi artikulatif. Binatang, tumbuhan bahkan benda-benda mati seperti batu ataupun sungai dipahami sebagai wujud yang memiliki pikiran dan mampu berbicara dengan manusia. Hal ini mengakibatkan manusia primitif lebih menghormati alam dibandingkan manusia zaman ini dan menjalani kehidupan yang selaras dengan alam. Di sisi lain alam bagi masyarakat primitif memiliki kepribadian yang dapat memberikan reaksi terhadap tindakan manusia. Alam dapat murka sebagai reaksi terhadap tindakan manusia yang tidak tepat.

Marilah kita awali perubahan paradigma dengan merubah kaca mata kita dalam berinteraksi dengan alam. Dari kaca mata scientisme yang mereduksi alam semata-mata materi menjadi kacamata seorang seniman yang mampu melihat sisi keagungannya. Kita harus memiliki paradigma yang memungkinkan suara alam teraktulisasi dalam diri kita.

Sesungguhnya alam tidak dapat semata-mata dipadang sebagai materi yang mati. Alam memiliki spirit yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia.Wujud keberadaan alam turut membentuk kehidupan manusia. Alam yang indah dan lestari akan mendatangkan kedamaian batin sedangkan alam yang rusak akan menciptakan suasana batin yang tidak damai. Dan alam bergerak menurut aturan-aturan yang sepenuhnya kita pahami.

Oleh sebab itu alam selayaknya dipandang sebagai sebuah organisme yang hidup dan memiliki hak untuk mempertahankan eksistensinya. Ia memiliki hukum-hukum yang harus dihormati oleh manusia. Tanpa penghormatan tersebut, maka akan timbul reaksi dari sang alam terhadap hal-hal yang menganggu keseimbangannya yang kemudian kita alami sebagai bencana yang mengancam. Manusia harus dengan santun mendengarkankan tuntutan alam, prakondisi apa yang dibutuhkannya agar ia tetap lestari. Tujuannya agar interaksi manusia dengan alam berkembang ke pada tatanan yang harmonis.

Aksi Konkrit
Oleh sebab itu suara alam harus dilibatkan dalam setiap keputusan yang diambil manusia. Baik di tingkat pribadi atau kolektif. Apa yang disebut keputusan terbaik adalah tidak saja memberikan keuntungan optimal bagi manusia melainkan juga ketika keputusan yang diambil memiliki dampak negatif minimum terhadap kelestarian alam.

Tidak ada keputusan manusia yang bebas dari dampak buruk bagi alam. Bahkan aktivitas untuk bertahan hidup, bernafas, makanan, minum, dsb akan selalu memiliki dampak negatif bagi alam, karena tetap akan mengasilkan dan menyisakan zat-zat buangan yang menjadi beban alam. Manusia hanya dapat meminimumkan dampat negatif dari aktivitasnya terhadap alam dan bukan menghilangkannya.

Maka setiap keputusan mulai, dari kebijakan di tingkat pemerintah hingga personal, misalnya untuk melakukan pembangunan gedung fisik, lapangan golf, belanja kebutuhan sehari-hari, memutuskan untuk berperang dengan negara lain, melakukan perdagangan dengan bangsa lain, membeli alat elektronik, memutuskan untuk menikah dsb harus juga didasarkan pada pertimbangan pada dampak kerusakan alam.

Kita harus mempertimbangkan berapa zat polutan atau sampah atau dampak negatif lainnya yang akan kita hasilkan dari setiap keputusan yang diambil. Jika dapat dikalkulasikan berapakah sesungguhnya kerugian yang diperoleh. Tidak saja dampak jangka pendek namun juga dampak jangka panjang perlu dipertimbangkan. Apakah keputusan yang diambil akan menganggu kelangsungan hidup organisme yang lain dan kelestarian alam? Jika dampak negatif tidak bisa dihindari maka harus juga dibangun mekanisme insentif bagi alam.

Logika ekonomi yang menyebutkan bahwa pertimbangan rasional adalah saat berusaha melakukan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan maksimal, diubah dengan melakukan pengorbanan yang wajar agar kebutuhan optimal dapat terpenuhi dan kelestarian alam terjaga.

Karena apa yang disebut pengorbanan seringkali adalah biaya yang harus dikelurkan untuk jasa atau pengorbanan yang telah dilakukan untuk mendapatkan barang atau sesuatu yang dibutuhkan. Namun pernahkah kita mengintroduksi jasa alam bagi kelestarian hidup manusia. Setiap barang yang diperoleh oleh manusia, tidak mungkin sepenuhnya diciptakan oleh manusia dari ketiadaan melainkan merangkaikan dari hal-hal yang telah disediakan oleh alam.

Dan bagaimana mewujudkan pola pengembilan keputusan demikian? Yakni melalui peraturan pemerintah, yang akan mendorong setiap orang untuk berpikir dengan mempertimbangkan alam sebagai faktor kelayakan keputusan publik. Menindak setiap pihak yang dalam pengambilan keputusannya yang tidak mempertimbangkan aspek alam. Kedua adalah melalui pendidikan, yang melembagakan logika ekologosentris, agar dikemudian hari dapat menjadi sebuah habitus dan frame dalam pengambilan keputusan.

Hanya saat keberadaan alam telah tersuarakan dan setiap orang belajar mendengar alam berbicara maka pada saat itu juga manusia akan belajar menghargai alam. Bahwa alam memiliki ”self”-nya sendiri yang juga memiliki hak untuk merealisasikan diri dalam proses evolusi seperti halnya spesies manusia.

Sunday 20 April 2008

PEMBERIAN TAK TERBALASKAN DAN ENIGMA


Sebuah tindakan besar bagi kemanusiaan akan sangat terkait dengan aktivitas pemberian. Mustahil sebuah tindakan kemanusiaan terjadi tanpa kerelaan seseorang membagikan atau bahkan mengorbankan sesuatu yang ia miliki dan hargai kepada orang lain. Pemberian yang bernilai kemanusiaan mengandung unsur pengorbanan, karena kita harus memberikan sesuatu yang bernilai dan saat ada beribu alasan untuk tidak melakukan pemberian tersebut.

Nilai dari sebuah pekerjaan kemanusiaan tidak diukur dari indikator popularitas. Bahwa tindak-tanduk sosok ternama seperti Gandhi atau Martin Luhter Jr. yang telah memberikan inspirasi bagi kemanusian global tidak lebih bernilai dari sebuah tindakan kemanusiaan seorang pengemis yang menyisikan sedikit penghasilannya yang seharusnya untuk makan demi membiayai pengobatan rekannya sesama pengemis.

Dimanakan letak kebermaknaan sebuah pemberian itu? Letak kebesaran sebuah pemberian adalah pada cirinya yang tanpa timbal balik. Pemberian yang mengandung sebuah pengorbanan atau tindakan yang baik kemudian mendapatkan balasan berupa penghormatan atau popularitas adalah hal biasa. Tapi menjadi sulit jika pemberian dan perbuatan baik itu sepenuhnya terbebas dari sebuah aksi timbal balik. Sangat sulit bagi seseorang yang melakukan sebuah tindakan baik tanpa menghilangkan jejak dirinya. Akan selalu ada yang ia peroleh dari tindakan baiknya apakah berupa penghargaan, pujiaan, pertolongan balasan.

Pemberian tulus atau seolah tanpa pamrih dapat bersifat semu ketika didasarkan harapkan akan sebuah pengakuan diri atau ego si pemberi. Mengharapkan agar orang lain mengindahkan keberadaan si pemberi. Saat pemberian terjadi maka si penerima akan menatap si pemberi dan menempatkan dirinya pada kesadarannya sebagai pribadi terhormat. Senyuman dan tatapan si penerima menjadi sebuah balasan yang bersifat imateril.

Rasanya sulit membayangkan sebuah pemberian, meskipun sangat dibutuhkan si penerima, berakhir pada penghinaan, perendahan atau pengindahan. Orang demikian cenderung akan dicemohkan dan dianggap tidak tahu sopan santun. Namun dalam kondisi demikianlah pemberian menjadi sempurna. Saat si pemberi terlupakan dan raib dibalik segala kebaikannya.

Pemberian terbalaskan dapat disamakan dengan sebuah aktivitas transaksi. Pemberian bantuan dengan harapan sebuah balasan, analog dengan penawarkan sebuah barang untuk mendapatkan uang. Pemberian demikian bersifat transaksional. Pemberian sedemikian hanya bersifat temporer. Ketika balasan diberikan maka aksi reaksi akan berhenti dengan sendirinya.

Saat si pemberi raib atau menolak sebuah pembalasan, pemberian itu tidak berkesudahan sehingga si penerima tidak mampu membalaskannya. Si pemberi menempatkan pemberian sebagai tujuan. Mengasihi dan menolong musuh adalah contoh pemberian yang sempurna, ketika si pemberi tidak saja sulit membalas dengan hal positif karena terdistoris oleh kebenciannya namun juga akan membawa si pemberi pada ancaman dari si musuh.

Pemberian yang sejati akan menjadi sebuah enigma. Layaknya sebuah benih yang ditanam dan menumbuhkan tanaman yang bakal menghasilkan biji yang melimpah. Ketika pemberian tidak terbalaskan pada si pemberi maka si penerima akan membalaskannya tanpa arah dan tanpa batas. Maka pemberiaan itu tidak saja menjadi metapersonal namun juga metahistoris dan terus hidup pada generasi demi generasi menjadi sebuah prasasti yang abadi.

Wednesday 16 April 2008

BINCANG-BINCANG, ISTRI SIMPANAN BULE DAN KISAH SERAM


Si supir taksi bertubuh tambun dan kalau dilihat dari samping terlihat agak sangar dan membuatku sempat beranggapan buruk dengan si supir taksi. Kami naik taksi dari Tebet (dari rumah kakak Desi) ke Cilandak, mengantar Bb (sekarang istriku), setelah itu lanjut ke Kelapa Dua. Entah kenapa, aku sempat berpikir untuk turun di Cilandak dengan Bb kemudian naik taksi lain melanjutkan perjalanan sampai ke kelapa dua. Tapi setelah sampai di Cilandak aku mengurungkan niatku. Setelah Bb turun, aku melanjutkan perjalanan.

Suasana sempat hening hingga kami sampai disimpang Ragunan dimana si supir gendut kemudian menanyakan, apakah akan lewat Ciganjur atau Jagakarsa. Dan aku menyarankan lewat Jagakarsa tapi karena kulihat raut wajahnya sedikit kurang yakin. Maka kemudian aku menanyakan apakah dia paham lewat jalan tersebut.

”Wah, pak, kurang yakin saya”, jawabnya demikian.

”Ya, sudah lewat jalan yang Bapak ngerti saja”, kataku kemudian.

” Kita lewat Ciganjur saja, ya, pak, karena saya biasa mengantarkan penumpang langganan saya lewat situ, terus lewat PPD, nanti tembusnya ke daerah Pancasila”, katanya.

” Oh, sering ke situ, ya?

”Ya, saya sering ngantar orang bule, di situ banyak istri simpanan bule-bule”
jawabnya.

” Banyak orang bule yang punya istri simpanan di situ?”, tanyaku.

“ Banyak, mas! setiap mau kemari mereka selalu minta saya untuk mengantar”.

Kisah tentang istri simpanan menjadi kisah yang menggugah rasa ingin tahuku dan menghidupkan pembicaraan di antara kami. Karena aku tertarik mendengar lebih lagi tentang istri simpanan bule-bule itu.

Iapun menceritakan lagi tentang istri simpanan bule. Dan orang-orang asing yang biasa ia antar adalah orang Belanda, orang Belgia, Australia dan Filipina, semuanya bekerja di kedutaan.

Namun saat aku menanyakan apakah istri simpanan si bule-bule cakep-cakep. Tiba-tiba saja tubuh tambunnya bergetar dan kemudian terdengar suara cekikikan.

“Waduh, mas, kalau saya ditawarain, mau aja asal mata saya dimeremi”

“Lho, kenapa?”
, tanyaku

Wah, orang wajahnya satu tingkat di bawah pembokatku”.

“ Tapi ko, si bule mau?”, tanyaku kemudian.

“ Ya, begitu mas, karena si bule lebih suka cari cewek yang kulitnya agak sawo matang, kalau yang putih, mah, di negaranya banyak. Cari yang jelek biar nggak macam-macam kali, kalau cantikkan, jangan-jangan sering dipake orang. Tapi memang mereka itu nggak cari cantik tapi pelayanannya, biar jelek tapi di suruh “maen” gaya apapun mau”.

Mendengar cerita si supir taksi itu aku menjadi tersenyum geli. Sambil berguman dalam hati, “ Namanya cowok, untuk urusan yang satu itu agak sulit dikontrol, kalau tidak terpuaskan bikin kepala puyeng”.

Dan pembicaraan kami terus mengalir. Sampai kemudian aku bertanya tentang pengalaman ekstrim yang pernah dialaminya selama membawa taksi.

“ Waduh, banyak mas, apalagi kita kan sering dapat bagian malam. Kadang dapat penumpang yang mabuk, atau perek dengan pasangan kencannya. Kalau yang mabuk, asal tidak menyusahkan tetap saya antar ke tujuan, tapi kalau rada-rada resek, saya turunin aja, daripada saya yang susah. Dan untuk yang lagi kencan, pernah ada kejadian, si laki-laki gelagatnya mulai makin aneh, dan mesra-mesraannya dengan si perek semakin hot dan arah-arahnya udah mulai lepas kontrol. Desahan mereka udah seperti mau bersetubuh. Karena merasa nggak nyaman, taksi saya stop, mereka saya turunkan. Mereka sempat protes. Saya bilang aja, kalau mau gituan di hotel aja”, demikian ia ceritakan.

Kemudian aku menanyakan pengalamannya yang lain. Iapun menceritakan pengalamannya membawa penumpang stress dan sedikit kurang waras.

” Ada juga mas, seorang pria, naik dari kalibata dan minta di antar ke rumahnya di daerah Jakarta Pusat, tapi sebelumnya, ia minta dibawa dulu ke Bogor, balik ke Jakarta dan mutar-mutar di Jakarta. Pertama saya ragu, benar gak permintaan si penumpang ini, jangan-jangan nanti nggak dibayar, atau malah mau bertindak jahat. Begitu saya meyakinkan lagi soal permintaan mutar-mutar itu. Malah dia marah, dia bilang, apa Bapak tidak percaya, saya anak dokter RS Cipto dan uang saya banyak, sambil dia menunjukkan tumpukan uang 100 ribuan di dompetnya. Karena saya jadi sedikit yakin maka sayapun menuruti permintaan si penumpang aneh. Dan kami menghabiskan waktu sore sampai malam keliling Bogor dan Jakarta, sampai argo mati karena sudah melewati limit Rp 600.000,-. Akhirnya saya mengantarkan ke rumahnya dimana orang tuanya sudah menunggu dan kemudian malah minta maaf pada saya. Maaf ya, pak, kata ayahnya, anak saya agak stress, jadi agak menyusahkan Bapak. Enggak ko, jawabku mesem-mesem. Dan hari itu aku mendapatkan Rp 900.000, wah itu sama saja dengan setoran untuk seminggu. Untung saja dia bukan orang jahat, tapi orang stress, dan orang stress yang baik”.

Namun pengalaman yang paling ekstrim, menurutnya adalah pas tanpa sadar membawa mayat dari rumah sakit di kebun jeruk tengah malam. Demikian ia ceritakan

Waktu itu saya akan menaikkan penumpang dari rumah sakit malam dini hari sekitar jam 12-an menjelang jam satuan, mereka bertiga, satu cewek dua cowok tapi salah satu dari mereka di tuntun, seperti orang tidur. Saya tidak punya pikiran apapun pas waktu itu. Si cewek duduk di depan dan dua orang cowok duduk di belakang. Selama perjalanan saya sering memperhatikan penumpang yang tertidur itu dari spion, dia dipakaikan topi dan kaca mata hitam. Kok, tidak bergerak sama sekali, kalau ada lonjakan tubuhnya bergoncang tapi tidak ada respon, atau terbangunlah setidaknya. Dan selalu setiap tubuhnya tergeser kawannya yang satu lagi mengatur kembali posisi badannya. Tapi saya semakin curiga ketika si cewek yang duduk disebelah saya, selalu meneteskan air mata, dan sesekali menangis agak hebat yang membuat konsentrasi saya agak terganggu. Dan sebuah lonjakan yang agak keras membuat tubuh cowok aneh itu terjatuh dan plok, jatuh begitu saja sampai badannya terselonjor ke depan, dan temannya dengan segera dan terlihat agak panik segera menarik badannnya kembali. Dan tangis si cewek semakin keras melihat sosok tubuh si cowok aneh tiba-tiba muncul disebelahnya. Saya merasa ada yang aneh, dan saya menghentikan taksi dan minta konfirmasi. Saya bilang, sebenarnya ini ada apa? Maaf, pak, jawab mereka, sebenarnya saudara kami ini sudah meninggal. Wah, bapak cari masalah sama saya, gimana nanti kalau ada polisi, saya bisa ditangkap karena membawa mayat, jawab saya. Bagaimana, ya, pak, kalau kami pakai ambulan kami harus bayar 2 juta sedangkan kami hanya ada duit 800 ribu kata si cewek di depan, kata mereka. Tolonglah kami pak, kami hanya pedagang kecil, masa Bapak tega meninggalkan kami di jalan. Akhirnya karena nggak tegaan akhirnya saya antar mereka, pas mereka bayar, saya kasih sedikit uang sebagai bantuan buat mereka. Tapi sejak saat itu saya tidak lagi mau narik tengah malam, agak trauma”.

Luar biasa pengalaman si supir taksi, melalui pekerjaannya menbawa taksi setiap hari, ia bisa mendapat pengalaman yang jarang di alami orang-orang kebanyakan. Membawa orang bule dengan istri simpanannya, mengantar orang stress keliling-keliling Bogor-Jakarta sampai membawa orang mati. Ia juga pernah sempat tanpa sadar membawa penumpang seorang gembong pengedar ekstasi. Setelah mengantar si penumpang dan sesaat sehabis meninggalkan gang rumahnya, tidak lama kemudian terdengar suara tembakan. Awalnya tidak menyadari kejadian apa itu, tapi setelah melihat berita televisi, baru ia sadari bahwa penumpangnya itu adalah seorang gembong narkoba dan mengalami penyergapan oleh polisi malam itu dan sempat terjadi melakukan perlawanan, sehingga terjadi baku tembak tapi akhirnya ia bisa dilumpuhkan. Dan ia bisa melihat wajahnya si penjahat diperlihatkan pada acara tersebut dan tentu ia mengenalinya.

Setelah lama asik ngobrol dengan si supir taksi, akhirnya akupun sampai di depan rumah. Aku membayar argo dengan melebihkan sedikit, tips buat ceritanya yang menarik. Namun pengalaman berbincang-bincang dengan si supir taksi membuatku belajar banyak hal, yakni:

Pertama, kadang penilaianku terhadap seseorang pada awal tatap muka sering keliru. Aku sering menganggapan seseorang itu tidak baik atau kurang simpatik hanya karena wajahnya yang sangar atau kulitnya yang hitam. Dari pengalamanku bertemu dengan si supir taksi, wajah sangarnya ternyata tidak menunjukkan bahwa ia seorang yang tidak baik. Saat mulai berbicara dengannya aku menyadari bahwa ia adalah seseorang yang hangat, dan tidak punya niatan buruk. Artinya persepsi terhadap seseorang akan lebih akurat setelah mengalami sebuah interaksi interpersonal. Dan penilaian di awal pertemuan seringkali dipenuhi prasangka.

Kedua, pemahaman terhadap realitas akan semakin baik jika kita mengenal begitu banyak pengalaman baru. Pengetahuan tidak hanya didapat dari buku melainkan juga dari pengalaman. Apa yang kita peroleh dari buku adalah artikulasi atau hasil analisa seseorang terhadap pengalamannya yang terjadi di masa lalu namun apa yang kita peroleh dari peristiwa hari ini adalah sebuah pengalaman baru sekaligus dapat menjadi sumber pengetahuan baru. Seperti halnya si supir taksi melalui pengalamannya ia dapat mengetahui kecenderungan orang-orang asing di Indonesia yang suka cari simpanan dan preferensinya serta persepsinya terhadap wanita Indonesia, tidak dengan membaca buku kajian sosiologis melainkan dari pengalaman langsung.

Ketiga, pengalaman baru akan bisa diperoleh jika kita meluaskan cakrawala kehidupan kita. Bahwa setiap hari kita memperoleh pengalaman hidup namun karena kita menjalani kehidupan yang bersifat rutinitas maka agak sulit bagi kita memperoleh pengalaman yang unik. Si supir taksi oleh karena pekerjaan harus bertemu banyak orang berbeda setiap hari di berbagai tempat membuat dia memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan pengalaman baru yang menarik atau pengalaman ekstrim, yang ketika dijalani membuat jantung bedegub, atau kebingungan atau ketakutan namun setelah berlalu menjadi sebuah pengalaman menarik untuk dikenang dan diceritakan. Seperti halnya aku yang antusias mendengarkan ceritanya yang tidak pernah terekam dalam memoriku.

Keempat, meskipun tidak pernah memperoleh kesempatan mengalami langsung pengalaman ekstrim namun kita dapat mendengarkannya dari cerita orang lain. Syaratnya adalah mau berbincang-bincang dengan siapa saja, menghargai setiap kisah yang diceritakan orang lain tanpa justifikasi, atau pikiran kritis. Orang yang kurang berpendidikan kadang cukup beruntung bisa menyaksikan pengalaman ekstrim yang dapat memacu hormon adrenalinnya dan mendapatkan kesenangan luar biasa. Dan kita bisa dapat memperoleh banyak hal dari padanya. Oleh sebab itu tidak ada salahnya untuk berbincang-bincang dengan siapa saja dan temukan pengalaman menarik yang memperluas wawasan dan pemahaman kita terhadap realitas kehidupan.

Tuesday 15 April 2008

DAPATKAN PULSA GRATIS DENGAN MENGIRIMKAN KOMENTAR

Saya ingin berbagai keceriaan dengan anda.

Bagi rekan-rekan yang ingin mendapatkan pulsa gratis silahkan kirimkan komentar Anda untuk pertanyaan berikut.

Apakah Anda yakin Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar yang baru Ahmad Heryawan – Dede Yusuf (HADE) akan mampu menepati janjinya memberikan sekolah gratis buat Masyarakat Jawa Barat?

Apapun jawaban anda silahkan berikan argumen yang masuk akal. Silahkan mengirimkan komentar pada kotak pesan, via email hendra_has@yahoo.com atau via sms 081807109782 dengan menyebutkan nama dan no mobile anda.

Komentar terbaik akan mendapatkan pulsa 100.000 langsung saya kirimkan ke no yang Anda sampaikan.

Monday 14 April 2008

HUMANISME DOSTOEVSKY


Mari kita sejenak berkhayal, memilki banyak uang kemudian menghabiskannya untuk menolong seorang pengemis? Atau mengorbankan hidup kita demi orang lain yang tidak pernah kita kenal sebelumnya dan tidak lebih dari seorang pemabuk? Barangkali zaman telah mengajarkan untuk melihat pengorbanan demikian sebagai sebuah ketololan.

Namun bukankah kita telah diajarkan tentang kasih (khususnya umat Kristen). Oleh karena itu apakah kasih? Dan bagaimana kiranya kasih itu dijalankan?. Sekiranya zaman ini senantiasa memarginalkan orang-orang yang dianggap tidak berfungsi secara sosial seperti pengemis, pemabuk dan gelandangan oleh karena itu manusia seperti apakah yang layak menjadi objek kasih dari manusia lainnya?

Disamping itu ketika humanisme merupakan suatu pandangan luhur yang diagung-agungkan manusia zaman ini, yang dipahami sebagai pertanggungjawaban penuh terhadap kemanusian, apakah itu mencakup semua manusia tanpa memandang klas, status, dsb? Atau hanya lebih ditujukan pada golongan tertentu yang lebih layak dianggap manusia?. Dan seperti apakah manusia yang dimaksud?.

Dostoevsky dan Persoalan Kemanusiaan
Barangkali Dostoyevskylah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Melalui karyanya, Dostoyevsky melakukan kontemplasi bagaimana humanisme harus dipahami, yang digambarkan melalui hubungan antar tokoh utama pada karyanya. Dostoyevski merupakan seorang pengarang novel dan cerita pendek pada abad ke-19 yang berasal dari Rusia, yang banyak mengangkat kisah penderitaan dan kemiskinan di kalangan masyarakat Rusia.

Barangkali dua karyanya yang berjudul “Orang-orang Malang” dan “Pencuri yang Jujur” merupakan refleksi dan cerminan kekayaan pemikirannya terhadap humanisme.

Orang-orang Malang (Poor Folk) merupakan novelnya pertamanya yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat Rusia. Novel ini berbentuk korespondensi surat-surat cinta antara Maker Devushkin, seorang pria setengah baya yang bekerja sebagai juru tulis di kantor pemerintahan dan Varenka, seorang gadis belasan tahun yang tidak lagi memiliki orang tua dan telah dinodai dengan sangat jahat oleh seorang pria kaya yang bernama Tn. Byakov. Dalam novel ini dikisahkan Maker Devushkin, didorong oleh cintanya yang begitu besar terhadap Varenka, mengorbankan seluruh kekayaannya untuk memenuhi kebutuhan sang gadis semata-mata agar sang gadis dapat hidup bahagia.

Sedangkan Pencuri yang Jujur (The Thief) merupakan cerita pendek yang mengisahkan hubungan yang begitu tulus antara Astafi, seorang pemuda yang dermawan dengan Emelian, seorang pria pemabuk yang suka mencuri.

Dan pesan apakah yang disampaikan oleh Dostoyevsky melalui kedua karyanya ini?.

Secara umum kedua kisah tersebut mengambarkan bentuk cinta dan keperdulian terhadap sesama yang ditunjukkan melalui pengorbanan yang sangat ekstrim. Sulit bagi kita untuk dapat memahami tindakan Maker Devushkin yang mengorbankan sebagian besar hartanya agar dapat membeli hadiah-hadiah bagi Varenka? Hingga kemudian Maker Devushkin terpaksa harus tinggal di kamar kos yang sempit dan menyiksa agar dapat menghemat uangnya dan sampai meminjam uang dari sahabatnya, yang pada akhirnya menimbulkan masalah baginya, semata-mata agar dapat memenuhi kebutuhan hidup Verenka. Maker Devushkin menyadari jikalau mereka mustahil untuk bersama; dan hal ini terbukti di akhir kisah dimana Varenka meninggalkannya untuk menikah dengan pria yang lain; namun tidak menyurutkan pengorbanannya untuk dapat membahagiakan Varenka.

Barangkali juga cukup aneh bagi kita melihat pengorbanan yang begitu besar yang dilakukan oleh Astafi terhadap Emelia yang hanya seorang pemabuk dan pencuri?. Astafi bahkan mengetahui bahwa Emelia mencuri mantelnya untuk membeli minuman keras namun ia tetap menerima Emelia untuk tinggal di rumahnya. Astafi berusaha untuk merubah kebiasaan mabuk-mabukan Emelia dan mendorongnya untuk bekerja namun tidak pernah berhasil. Tidak ada hal yang menguntungkan dari hubungannya dengan Emelia namun tidak juga menyurutkan pengorbanan Astafi untuk merawat Emelia dan berharap ia dapat meninggalkan kebiasaan buruknya. Barangkali hanya Astafilah yang menangisi kematian Emelia.

Dostoevsky dan Humanisme
Melalui kedua cerita itu Dostoyevsky mencoba mengambarkan bentuk hubungan antara manusia yang melampau batas-batas pemahaman rasionalitas. Humanisme yang melampaui batas nalar manusia. Tindakan-tindakan yang dalam pandangan manusia zaman ini lebih merupakan bentuk ketololan dari pada kearifan. Namun humanisme seperti inilah yang hendak ditawarkan oleh Dostoyevsky, menjadikan kemanusiaan di atas segala-galanya. Tiada kewajiban manusia yang bersifat aprioi selain bertanggung jawab terhadap kemanusiaan.

Dalam setiap diri manusia, tanpa memandang keberadaannya, mengandung tanggung jawab bagi orang lain. Manusia dalam ketelanjangannya sebagaimana konsepsi Levinas, mengandung kewajiban moral bagi manusia yang lain untuk bertangung jawab terhadap keberadaannya, yang tereksperikan melalui wajah. “Lihatlah wajah manusia maka engkau akan lihat kerentaan di dalamnya yang menimbulkan keibaan” ungkap Levinas.

Bagaimana mungkin? Bagi Dosteyevsky humanisme tidak dapat terpahami dalam tatanan nalar melainkan dalam tatanan intuisi. “Biarkanlah intuisimu berbicara tentang kemanusiaan”. “Berkorbanlah, lakukanlah sesuatu terhadap sesamamu maka engkau akan memahami arti dari kemanusiaan”.

Nalar dapat terjerumus pada pemahaman kuantitatif empiris dengan batas-batas ada sebagai dasar legitimasi. Sehingga manusia dikonsepsikan sebagai tubuh dengan atribut yang melekat sebagai sesuatu yang dapat dipersepsikan. Dalam batas-batas nalar, kriteria yang membuat manusia menjadi manusia, terjerat dalam batas kuantitatif seperti “seberapa pentingkah nilai dari seorang manusia?, cenderung diukur dari karya cipta/produktivitas yang dia hasilkan; seberapa bermartabatkah dia? cenderung diukur dari harta yang dia miliki.

Pemahaman demikianlah yang ditolak oleh Dostoyevsky. Emelian dalam pandangan masyarakat umum adalah sampah masyarakat yang sebaiknya disingkirkan, namun secara intutif Astafi mampu melihat keberhargaan Emelian sebagai seorang manusia, sehingga baginya menyelamatkan Emelian tidak sebuah ketololan melainkan sebuah kewajiban. Dan bagaimanakah bentuk penghargaan terhadap kemanusiaan itu diterapkan? adalah melalui pengorbanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Makar Devuskhi yang mengorbankan segala-galanya demi kasihnya kepada Varenka.

Kristus dan Dostoevsky
Namun apakah mungkin bagi kita mewujudkan prinsip-prinsip kemanusian yang sedemikian ketika nalar kitalah yang selama ini berkuasa dalam menentukan keputusan yang tepat? Bukankah kapitalisme juga telah, tanpa sadar, menguasai batas-batas rasional kita dalam menafsirkan realitas. Bukankah manusia bernilai selama ia produktif dan mampu menyediakan hal-hal yang dibutuhkan oleh orang lain?. Atau bukankah manusia menjadi manusia selama ia mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan akumulasi kapital organisasi sosial?.

Bagaimana seandainya jika manusia menjadi tidak produktif, oleh Kafka dianalogkan sebagai seekor kecoak, apakah manusia akan tetap dihargai sebagaimana mestinya seperti halnya manusia yang produktif? Atau malah sebaliknya, mereka akan diusir dari tatanan sosial dan kematiannya tidak akan pernah diratapi melainkan diharapkan sebagaimana yang dialami oleh orang tua jompo, orang gila, penjahat, pengemis, pengamen dsb.

Yesus barangkali yang pertama mengajarkan untuk mengasihi sesama manusia. “Doakan musuhmu, beri pipimu yang sebelah kanan jika engkau ditampar di pipi sebelah kiri, jadikan sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, demikianlah yang diungkapkan oleh Yesus yang membuat orang-orang pada masanya tercengang,

Bagaimana mungkin?”. Tentu saja kesemua itu dilakukan melampaui batas nalar manusia yang cenderung bersifat Imperatif Kategoris, yakni suatu kewajiban moral yang harus dijalankan tanpa harus ditanyakan mengapa dan apa tujuannya. Namun Dostoyevskylah yang secara apik dapat menjelaskan prinsip kasih tersebut dalam realitas nyata dan konstruksi kehidupan sehari-hari di tengah-tengah hidup penuh penderitaan. “Jadikanlah setiap manusia sebagaimana manusia melalui pengorbananmu”, barangkali demikianlah yang dapat kita simpulkan daripadanya.

Itu pulalah pesan yang hendak disampaikan oleh Dostoyevsky tentang hubungan antara sesama manusia, yakni berbuatlah, berkorbanlah terhadap sesama manusia dan biarkanlah intuisi mengajarkanmu makna dari kemanusiaan.

Bahan Bacaan
1. Dostoevsky, F. "The Thief". The Online English Libarary (www.englishlibrary.org)
2. Dostoevsky, F. "Poor Folk". Short Story. The Literature Network (www.online-literature.com)

Sunday 13 April 2008

BLOG SARKASME ALA MALAYSIA


Baru-baru ini saya mendapat email melalui milis yang mengecam munculnya blog asal Malaysia yang menghina Indonesia secara sarkasme. Si pemilik blog menyebut Indonesia sebagai negara terorisme, negara koruptor, negara tolol karena budayanya bisa dicuri pihak lain dan berulang kali menyebutkan Indonesia sebagai negara koeli karena rakyatnya sebagian besar hanya bisa bekerja kasar. Kasus penyiksaan terhadap TKI disebutkan sebagai ganjaran yang setimpal buat rakyat indon yang terbelakang, bodoh dan suka menyusahkan warga Malaysia. Dan slogan gayang Indonesia ala Soekarno diganti oleh si pemilik blog dengan gayang Indonesia. Email ini mendapat banyak tanggapan dari anggota milis lainnya. Tentunya sebagian besar respon mereka mengecam munculnya blog sempalan macam itu dan ada yang sampai menghina Malaysia dengan kata-kata yang tidak kalah kasarnya. Barangkali banyak anggota milis yang merasa identitas ke-Indonesianya direndahkan.

Seseorang yang matang pikirannya tentunya dapat dengan mudah menangkal hinaan sedemikian, dengan membuktikan bahwa “hinaan tersebut tidak benar”. “Tunjukkan buktinya, jika tidak itu hanya bualan”. Dan jika si penghina memiliki dasar maka yang terhina harus dapat membantahnya dengan sebuah argumen yang jernih atau menunjukkan bukti tandingan. Dan seandainya ternyata si penghina tidak mempunyai dasar maka tidak perlu diindahkan atau menganggap orang senewan yang tengah bereforia. Maka soal penghinaan terhadap Indonesia melalui blog asal Malaysia, dapat dibantah dengan ringan, dalam hati kita, bahwa semua itu tanpa dasar dan tidak usah diambil pusing atau jika demikian terganggu maka si pemilik blog dapat kita tuntut secara hukum (jika mungkin). Artinya kita bisa dengan mudah membantah pandangan bahwa Indonesia negara koruptor, dengan kata lain di Indonesia jarang terjadi korupsi, Indonesia negara terorisme, dengan kata lain Indonesia bebas dari tindakan terorisme, Indonesia negara yang tidak cinta budaya, dengan kata lain seluruh aset kekayaan budayanya dipelihara dan dijaga dengan baik, Indonesia negara koeli, dengan kata lain seluruh anggota masyarakatnya hidup secara bermartabat dan tidak terekploitasi dari pihak lain. Dan mustahil Indonesia digayang oleh negara kecil seperti Malaysia, dengan kata lain bahwa Malaysialah berpotensi digayang oleh Indonesia.

Hanya saja, saat ingin membantah klaim di atas, saya secara pribadi kemudian tersadarkan, lepas dari ketidaksukaan terhadap hinaan terhadap Indonesia, melihat kenyataan yang ada, ternyata sulit bagi saya menutupi fakta bahwa Indonesia tercatat sebagai negara ketujuh terkorup dari 163 negara. Peringkat ini dikeluarkan oleh Transparensi Internasional (www.antikorupsi.com). Di tingkat Asia malah lebih memprihatinkan. Indonesia menduduki peringkat kedua negara-negara terkorup di Asia.. Banyak pejabat negara di negeri ini mendadak kaya hanya setelah beberapa saat memegang jabatan, berbagai urusan pelayanan masyarakat harus dilaksanakan dengan berbagai kutipan di sana sini. Uang negara bernilai jutaan bahkan milyardan rupiah dengan mudahnya menguap begitu saja tanpa jelas kemana. Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa 51 Kasus Korupsi baru yang terungkap pada semester I 2007 telah mengakibatkan potensi kerugian negara mencapai Rp 665,8 miliar.

Benarkah negara Indonesia bukan negara terorisme dengan terjadinya beberapa kali tindakan terorisme di Indonesia, bom Bali, bom Mariot dan bom di kedutaan Australia, belum lagi teror bom di Poso maupun di Ambon, dan ironisnya ketika si pelaku teror tertangkap beberapa tokoh masyarakat malah mengunjunginya dan menunjukkan simpatiknya. Apakah ini berarti bagi beberapa anggota masyarakat, tindakan teroris adakalanya dibenarkan atau perlu didukung. Di Indonesia terdapat sejumlah organisasi radikal dengan mengataskan agama membenarkan tindakan anarkis alias melakukan teror terbuka, yang jelas pelakunya dan tersorot di media massa, semacam FPI, namun tidak ada tindakan dari petugas keamanan. Tindakan anarkis mereka sering berulang kali terjadi namun organisasi mereka tetap eksis, apakah ini berarti keberadaan dan tindakan mereka sepenuhnya legal. Ironisnya pemerintah. berdalih bahwa dengan menutup FPI sama saja dengan menghambat demokrasi sebagaimana diutarakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Atau seperti yang ditegaskan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Firman Gani yang menyatakan Front Pembela Islam (FPI)) tidak mungkin dibubarkan karena ada kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat yang harus dihormati.

Apakah benar kita mencinta budaya kita saat beberapa aset budaya kita telah dipatenkan oleh negara luar seolah menjadi kekayaan negaranya. Misalnya lagu rasa sayange yang sudah dijadikan lagu nasional Malaysia dan kain batik yang sudah dipatenkan juga di Malaysia. Saat mengetahuai hal tersebut masyarakat Indonesia seperti kebakaran jenggot, meskipun nyatanya sebagian besar masyarakat Indonesia anti dengan kebudayaan tradisional karena dianggap tidak in atau modern. Apa yang berkembang di Indonesia adalah gaya hidup modern yang diwujudkan melalui kehadiran pusat-pusat perbelajaan yang menyediakan fashion model terkini serta berbagai bentuk kultur modern direpresentasikan sebagai diskoti, café, dsb yang mengsyaratkan kemampuan membayar. Yang intinya adalah, untuk menjadi modern anda harus membeli dan membeli, anda harus membeli fasion model terbaru atau anda harus mampu mengikut gaya hidup yang elegan dengan membeli santapan dan bersantai di diskotik, café atau rumah makan berklas internasional. Pikiran orang-orang Indonesia sudah sedemikian dibutakan melalui media massa, bahwa hanya dengan bergaya sesuai trand maka orang-oraong Indonesia menjadi bagian dalam masyarakat global. Maka kebudayaan lokal dikaitkan dengan simbol keterbelakangan, kebodohan atau kekunoan sehingga patut ditinggalkan, apakah kita harus bangga memelihara kebudayaan yang dijalankan oleh suku Kubu atau Asmat yang notabene belum bebas dari ketelanjangan dan sifat primitif. Namun kita sendiri tidak menyadari bahwa apa yang disebut kebudayaan global adalah kebudayaan lokal yang dipromosikan melalui jaringan informasi dan mampu menggugah kesadaran jutaan orang di seentaro dunia. Seperti trand oriental, yoga, J-fasion yang merupakan budaya lokal asal Cina, India atau jepang yang diglobalkan. Mengapa kita tidak berpikir demikian untuk budaya kita, mempromosikannya agar menjadi bagian dari trand global dan bukannya harus menunggu Malaysia mempromosikan batik asal Jawa agar dikenal di seluruh dunia.

Dan kita bukan negara koeli? Kenyataannya banyak rakyat kita yang harus menjadi tenaga kerja kasar di dalam negari maupun di luar serta berpotensi tereksploitasi orang lain yang kadang bangsanya sendiri. Karena bekerja tanpa keahlian yang memadai dan tidak melalui jalur yang legal banyak TKI yang bekerja di luar negari mendapat perlakukan tidak manusiawi. Bahkan pemerintah Malaysia pernah melakukan penangkapan dan penangusiran terhadap TKI gelap meskipun keberadaan mereka memberikan keuntungan bagi perekonomian Malaysia, karena mau bekerja dengan upah rendah. Dan apa yang terjadi akhir-akhir ini, beberapa orang TKI kembali ke Indonesia dalam kondisi tidak bernyawa.

Apakah kita tengah menggayang oleh Malaysia? toh, kenyataannya sejumlah korperasi Malaysia merajalela di Indonesia, khususnya di bidang perkebunan. Sebagian besar perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan dikuasai oleh perusahaan Malaysia. Banyak produk asal Indonesia direselling oleh Malaysia hanya dengan menempelkan mereknya dan kita menjadi konsumen pengguna yang bangga karena membeli barang impor. Banyak orang Indonesia yang sedemikian tergantung dengan pengobatan di Malaysia, menghabiskan jutaan rupiah untuk melakukan cek up rutin di Penang atau di Kuala Lumpur. Dan lebih ironis lagi banyak orang Indonesia yang rela merusak alam di negaranya sendiri demi memperoleh hasil alam kadang secara ilegal demi mengabdi pada pemilik modal dari negara jiran kita tersebut. Misalnya Ilegal loging asal Kalimantan yang dikumpulkan oleh orang Indonesia dibeli cukon-cukung asal Malaysia yang tidak perduli dampak pengrusakan hutan terhadap masyarakat.

Benar memang, Malaysia dulunya didirikan oleh seorang pangeran asal Majapahit, Parameswara. Bahwa wilayah negara Malaysia saat ini dulunya menjadi bagian dari kekuasaan kerajaan besar di Indonesia semisal Majapahit dan Sriwijaya. Dan pada masa Soeharto banyak mahasiswa Malaysia yang harus berguru ke Indonesia dan banyak tenaga medis serta pengajar asal Indonesia yang dikirim ke Malaysia. Namun zaman sudah berubah si kecil telah mengalahkan Goliat. Dan mereka mengalahkah kita bukan saja karena mereka telah menjadi lebih baik melainkan karena negara kita semakin bobrok. Kita mengalami degradasi multikompleks, degradasi kepemimpinan, integritas, nasionalisme, visioner dan kita menjadi bangsa yang memble. Karena masing-masing orang di republik ini hanya memikirkan dirinya sendiri dan golongannya. Semangat nasional yang dibangkitkan oleh para pendiri negeri ini telah luntur secara perlahan dimakan zaman.

Kemarahan rekan-rekan di milis atas hinaan dari blog asal Malaysia seolah bukti keperdulian kita terhadap Indonesia, dan saya yakin sebagian besar orang Indonesia juga tidak akan suka jika Indonesia direndahkan oleh orang lain. Seperti halnya ramainya demo di Indonesia pasca pengusiran TKI dan setelah kekalahan Indonesia di pengadilan internasional untuk kasus Pulau Sipadan, yang menunjukkan sikap protes terhadap Malaysia yang dianggap tidak menghormati Indonesia. Namun kemarahan demikian adalah sebagai ekspresi rasa cinta tanah air yang juga tercermin dari tindakan kita. Apakah kita, selaku rakyat Indonesia, memiliki semangat kebangsaan yang sejati. Toh, nyatanya yang melakukan korupsi, merusak lingkungan, memanipulasi TKI, menjual anak bayi atau perempuan lugu, menebangi dan membakar hutan, menebar teror adalah bangsa Indonesia sendiri. Dan banyak orang Indonesia yang tertindas tanpa diperdulikan saudaranya yang lain. Apakah kita juga dengan bangga menggunakan blangko dan mempelajari tari-tarian daerah ditengah hiruk-pikuk kebudayaan modern yang tengah mengerogoti. Kita seolah hanya hidup masing-masing dalam satu bangsa, sehingga tidak perduli jika ada orang Indonesia lainnya yang tertidas dan bahkan kita menjadi si penindas juga.

Oleh sebab itu keberadaan blog demikian tidak harus membuat kita emosional namun juga menimbulkan perenungan, apakah hinaan itu patut ditujukan kepada kita. Bisa saja blog itu dibuat oleh orang yang tidak bertanggung jawab atau iseng, dan bukan gambaran pandangan umum masyarakat Malaysia terhadap Indonesia, namun apa yang diungkapkan, terlepas dari caranya yang menyesakkan hati, bisa saja cerminan dan ungkapan yang jujur terhadap realitas kehidupan bangsa Indonesia. Dan kita yang tersinggung dan marah barangkali termasuk oknum yang justru terlibat menciptakan citra Indonesia sedemikian......