Friday 2 May 2008

KASUS AL-AMIN, ANGGOTA DPR DAN DUNIA MAFIOSO


Al-Capone memeluk musuhnya tanda persahabatan. Namun tak lama setelah ia pergi sang musuhnya dibrondong tembakan senjata oleh anak buahnya.

Kehidupan seorang bos mafia, sangat menarik. Kejahatannya seringkali tidak terjamah oleh hukum. Bos mafia bisa tampil bersahabat di muka publik namun dibalik segala apa yang terlihat ia menunjukkan kekejaman. Lihat saja apa yang dilakukan oleh Al-Capone , bos mafia di Chicago, AS pada era tahun 1930-an, dengan organisasi kejahatan yang tersohor bernama La Cosa Nostra. Meskipun sebagai aktor dibalik sejumlah pembunuhan keji dan juga melakukannya sendiri, namun ia selalu tampil bak seorang pahlawan. Ia selalu terlihat sebagai pribadi yang ramah dan suka menderma di depan umum. Misalnya saja ia dengan murah hati membagi-bagikan makanan secara gratis kepada masyarakat yang tengah menderita ketika terjadi Depresi di Amerika Serikat (http://www.chicagohs.org/).

Mafioso Ala Indonesia
Untunglah di Indonesia tidak ada mafioso dan penjahat kakap seklas Al-Capone. Sehingga kita tidak harus menyaksikan pembunuhan sadis dan peperangan antar gang di Indonesia. Hanya saja hal ini bukan berarti organisasi mirip mafioso dan karakter seorang bos mafia seperti Al Capone tidak dijumpai di Indonesia. Perilaku yang suka mengecoh masyarakat, ibarat seekor bonglon masih dapat kita jumpai di Indonesia demikian juga sifat-sifat mafioso lainnya.

Perilaku politik dari sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat kita tercinta sesungguhnya dapat disandingkan dengan perilaku seorang Bos Mafia. Dan mekanisme kerja di DPR sering kali tidak berbeda dengan organisasi mafia. Mengapa? Anggota DPR konon terkenal dengan kemampuannya memanipulasi persepsi massa. Tampak seperti sang pembela rakyat namun sesungguhnya tidak memperdulikan rakyat. Dalam kampanyenya setiap calon anggota DPR selalu berjanji akan mesejahterakan masyarakat. Demikian ketika ia telah menjadi anggota DPR dan tampil didepan umum, perkataanya penuk ungkapan altruistik, “ Ini semua bagi kepentingan rakyat”.

Namun dibalik realitas publikasi publik, yang dimainkan para anggota DPR adalah sebuah teater murahan. Tidur ketika sidang, mungkir mengikuti rapat di Komisi, tapi menuntut agar gaji dinaikkan, mengharapkan studi banding ke luar negeri. Setelah menjabat beberapa saat anggota DPR mengalami peningkatan kesejateraan karena mendapat fasilitas kehidupan yang memadai namun rakyat yang diwakilinya malah makin sengsara dan memble.

Penilaian di atas ini bukan tanpa dasar. Sekretaris Fraksi Partai Demokrat (F-PD), Sutan Batoegana yang juga anggota komisi VII malah mengakui jika sebagian besar anggota DPR kurang bertanggjawab atas tugasnya sebagai wakil rakyat. “Antara kewajiban dan hak tidak seimbang. Mereka lebih mengejar haknya. Kecurangan anggota DPR itu dari mulai soal kehadiran, penggunaan fasilitas Dewan, tindakan asusila dan lainnya. Kalau kode etik DPR benar-benar ditegakkan, maka 50% lebih anggota DPR pasti melanggar semua (eramuslim, 2006).

Bagi anggota DPR yang terpenting adalah mengejar keuntungan sendiri dan kelompoknya, sedangkan rakyat cukup dininabobokkan dengan janji-janji kamuflase. Layaknya bos mafia yang kepentingannya merauk keuntungan dari bisnis judi dan pengedaran obat terlarang, sesekali waktu tampil dermawan menarik simpati masyarakat maka sejumlah anggota DPR memiliki tujuan merauk keuntungan dari uang rakyat yang seharusnya ia bela namun didepan publik tampil bak seorang pembela rakyat. Dan sama kejamnya dengan seorang bos mafia yang membunuh musuh-musuhnya dengan sadis, sedangkan anggota Dewan membiarkan rakyat Indonesia menghadapi sulit dan mahalnya barang-barang kebutuhan pokok, tidak menghiraukan rakyat kecil yang tergusur dan bentuk ketidakadilan lainnya, meskipun para anggota dewan bisa melakukan banyak hal. Membiarkan orang lain tersiksa meskipun bisa mencegahnya sama jahatnya dengan pelaku penyiksaan itu sendiri.

Demikian halnya cara kerja anggota DPR secara tim. Mereka dapat menyamarkan tindakan penyimpangan yang mereka lakukan sehingga tidak terciduk oleh hukum. Misalnya saja dalam kehidupan mafioso, seorang anggota mafia dapat dikorbankan menutupi kejahatan yang dirancang oleh keseluruhan organisasi. Bukankah situasi demikianpun analog dengan apa yang berlaku pada anggota DPR. Misalnya saja kasus Al-Amin, anggota Fraksi PPP yang tertangkap tangan oleh KPK sebesar Rp 71 juta atas dugaan suap alih fungsi hutan lindung di Kepulauan Riau. Namun hanya ia yang ditetapkan menjadi tersangka. Seolah tindak suap ia lakukan adalah atas keputusannya sendiri.

Namun apakah cukup masuk akal jika hanya Al Amin yang terlibat dalam kasus suap tersebut yang terkait dengan persoalan keputusan DPR yang melibatkan seluruh anggota Komisi IV? Atau mungkin saja karena Al Amin seorang jawaran yang ditakuti di Komisi IV sehingga dapat menentukan keputusan di Komisi tersebut.

Kasus ini mendadak heboh. Seolah ini adalah kali pertama anggota DPR menerima suap. Namun apakah demikian? Apakah benar anggota terbukti selama DPR enggan menuntut uang goni-gini atau uang melek agar pembahasan atau pengesahan sebuah rancangan peraturan dapat berlangsung dengan lancar ?

Malah DPR berdasarkan hasil suvei TII (Tranparansi Internasional Indonesia) meluncurkan hasil surveinya yang dilabeli Global Corruption Barometer (GCB) DPR didaulat sebagai lembaga dengan urutan tiga besar terkorup (Riau Pos, 12/2007). Ditambah lagi, sebelum munculnya kasus yang melibatkan AL-Amin, DPR diperhadapkan dengan terkuaknya kasus dana aliran BI sebesar Rp 3,8 miliar pada tahun 2004. Dimana penyerahan uang tersebut bertujuan melempangkan pembahasan tiga rancangan undang-undang, yakni RUU Lembaga Penjamin Simpanan, RUU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan RUU Kepailitan yang dikerjakan oleh DPR (12/11/07, Tempointeraktif).

Hebatnya tidak banyak anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka meskipun pembahasan RUU tersebut melibatkan seluruh anggota komisi IX. Karena seperti halnya aturan mafioso yang juga berlaku dikalangan anggota DPR, korbankan satu dua orang untuk menyelamatkan kejahatan organisasi yang dilakukan secara kolektif. Intinya profesionalisme sebuah organisasi kejahatan ditentukan dari kemampuannya menyembunyikan tindak kejahatan organisasi dengan rapi.

Tujuannya agar aktivitas korupsi dan manipulasinya tetap dapat berlangsung di DPR, toh, tidak semua pelaku penyimpangan tersentuh hukum. Anggota DPR yang senang memperoleh penghasilan ilegal layaknya anggota mafioso dituntut harus bertindak cerdik dan terencana agar penyelewengannya tidak tercium dan terkuat sehingga dapat merauk kekayaan tidak terbatas.

Membersihkan Citra Mafioso dari DPR
Oleh sebab itu bagaimana agar DPR tidak terjangkiti wabah mafioso? Saya teringat jawaban cagub Sumut ketika mencari padanan kata premanisme. Hampir seluruhnya berkata ” berantas”. Tentu hanya sama yang harus kita serukan ketika mendengarkan kata “mafioso DPR” yakni ”berantas, tas..tuntas.....”.

Proses pencegahan harus dilakukan sejak penentuan nama-nama calon legislatif. Masyarakatlah yang menentukan kader partai yang layak dipilih sebagai calon wakil rakyat. Mereka yang akan dipilih adalah sosok yang dikenal dan memiliki kredibilitas di mata masyarakat. Idealnya mereka tinggal di daerah pemilihannya dan menjadi bagian dari masyarakat yang akan memilihnya.

Anehnya dalam pemilihan sebelumnya, orang-orang dari entah-berantah tiba-tiba muncul sebagai calon legislatif di daerah tertentu. Ketika melihatnya gambar dan namanya terpampang masyarakat malah mengerutkan dahi. Karena rakyat tidak menandai si calon sehingga tidak bisa menentukan apakah si calon adalah orang baik dan layak dipilih atau bekas preman di wilayah asalnya?

Ketika masyarakat mengenal benar siapa yang ia pilih, maka jika aspirasinya tidak tersalurkan sang wakil rakyat dapat ia tuntut. Klaim bisa dilayangkan melalui telepon, email, surat kaleng atau mendatangi langsung ke Gedung DPR. Jika tidak juga diindahkan, karena si wakil rakyat berasal dari tempat dimana ia dipilih, maka masyarakat yang menjadi konstituennya dapat menerapkan sanksi sosial bagi dirinya dan keluarganya. Mereka akan dikucilkan. Atau konstituennya dapat memutuskan emoh memilihnya kembali pada pemilihan selanjutnya karena sudah menyadari sisi buruk sang anggota DPR tersebut.

Tapi berbeda jika yang dipilih dari negeri entah berantah. Jika masyarakat kesal, keluarga sang wakil rakyat tidak akan terusik, dapat tidur nyenyak dan tidak merasa terkucilkan oleh masyarakat yang tidak ia kenal. Sang wakil rakyat juga tidak merasa bersalah atau bertanggung jawab karena tidak mengenal orang-orang yang memilihnya. Ia lebih merasa berutang budi pada partai karena telah menempatkannya sebagai calon urutan pertama sehingga suara yang tidak jelas memilih siapa secara otomatis menjadi suara pendukungnya.

Intinya rakyat harus dapat memilih orang-orang yang benar-benar ia kenal, dan kredibilitanya dapat dinilai serta antara sang wakil rakyat dan konstituennya dimungkinkan terjadi interaksi secara personal. Demikian juga dengan sang wakil rakyat, ia harus mengenal betul siapa yang menjadi konstituennya. Sehingga sang wakil rakyat memiliki tanggung jawab moral sedangkan masyarakat pemilih dapat melakukan kontrol sosial.

Namun buat anggota DPR yang masih menjabat dan merasa dirinya sebagai bagian sindikat mafioso, ini adalah saatnya untuk bertobat. Bahwa rakyat sudah berada diambang batas resisten dalam menghadapi tekanan hidup. Rakyat cukup menderita, pengangguran merajalela, harga barang-barang kebutuhan hidup semakin mahal, gizi buruk mengancam anak-anak Indonesia. Dan tentunya menjadi aneh bagi masyarakat, jika orang-orang yang diharapkan memperjuangkan nasibnya malah dengan mudah membagi-bagi uang jutaan rupiah dari sumber-sumber tidak jelas, asik dengan aksi suap menyuap dan studi banding ke luar negeri tanpa hasil tindak lanjut yang jelas. Sedangkan masyarakan yang harusnya dibela harus terus mengais uang untuk dapat bertahan hidup.

Ketidakadilan dapat memicu pergolakan masyarakat. Rakyat yang sengsara kemudian menatap tajam kepada anggota DPR untuk kemudian menumpahkan kebenciannya oleh karena ketidakadilan yang dipertunjukkan anggota DPR. Kemudian masyarakat berikrar sudah saatnya menggayang para mafioso DPR, layaknya memperlakukan kaum bangsawan/nigrat yang mengabdi kepada kepentingan kolonial di era revolusi. Atau lebih ekstrim lagi rakyat berpikir mempersenjatai diri untuk melakukan perlawan terhadap pemerintah atau wakilnya sendiri di DPR yang lalim seperti yang terjadi di Amerika Latin. Walaupun berandai-andai namun hal ini mungkin saja terjadi ketika orang-orang yang diberikan otoritas dan hak kekuasaan untuk mengabdi kepada rakyat malah mensejahterakan dirinya sendiri. Dan rakyat menjadi marah.....

No comments: