Sunday, 27 January 2008
PENGEMBANGAN JARAK PAGAR: PROSPEK ATAU EFORIA?
Mau tidak mau energi alternatif harus dicari saat Indonesia diperhadapkan pada kenaikan harga BBM. Meski dirasa agak terlambat, Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk mengembangankan bio-diesel.
Indonesia memiliki berbagai tanaman yang berpotensi dijadikan bahan baku bahan bakar nabati. Antara lain kelapa sawit, tebu, jojoba, singkong dan jarak pagar. Kelapa sawit dan tebu merupakan tanaman perkebunan yang sudah dikembangkan secara luas namun karena produk tanaman tersebut merupakan bahan baku pangan maka tanaman tersebut tidak dijadikan pilihan pengembangan.
Landasan Pilihan
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di daerah pedesaan. Tanaman ini biasa digunakan sebagai tanaman pagar karena ternak enggan memakan daun tanaman ini karena mengandung racun
Namun tanaman yang bagi masyarakat Indonesia tidak bernilai ekonomis ini ternyata dapat diolah menghasilkan berbagai produk olahan. Disamping dapat dijadikan bahan baku bahan bakar bio-diesel, ternyata minyak jarak pagar juga dapat digunakan untuk minyak pelumas, campuran dengan minyak sawit digunakan dalam pembuatan sabun berkualitas tinggi; selain itu minyak jarak pagar digunakan dalam industri insektisida, fungisida dan molluskasida (Jones and Miller, 1992 dalam Puslitbangbun, 2005).
Minyak jarak pagar juga potensial untuk digunakan mengendalikan hama-hama Helicoverpa armigera pada kapas, Sesamia calamistis pada sorghum dan Sitophilus zeamays pada jagung. Sebagai molluskasida, ekstrak minyak jarak pagar cukup berhasil untuk mengendalikan keong mas (Pomacea sp) dan siput penyebar penyakit Schistosomiasis (parasityang banyak menyerang manusia didaerah tropis dan sub-tropis(Puslitbangbun, 2006). Disamping itu minyak jarak sering juga digunakan sebagai obat tradisional di daerah pedesaan. Minyak jarak pagar dapat digunakan untuk obat sakit kulit dan untuk meredakan rasa sakit karena reumatik.
Sesungguhnya sebagai bahan bakar bio-diesel, sejak jaman penjajahan Jepang, masyarakat Indonesia telah menyaksikan bagaimana minyak bio-diesel yang berasal dari tanaman jarak pagar telah digunakan sebagai bahan bakar pesawat tempur Jepang. Dan lazim hingga saat ini sejumlah masyarakat di pedesaan menggunakan minyak jarak untuk menyulut obor. Sehingga jika kemudian minyak jarak pagar dijadikan sebagai bahan bakar bio-diesel tentunya bukan hal yang asing lagi.
Jarak pagar tumbuh secara alami di tanah perkebunan dan di persawahan. Tanaman ini hampir dapat dijumpai di seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sumatera hingga Sulawesi. Dengan daerah tumbuh ideal tanaman jarak pagar adalah di wilayah kering karena tanaman ini membutuhkan penyinaran lebih lama.
Melihat kenyataan tersebut tentunya sangat tepat jika pemerintah menetapkan jarak pagar sebagai tanaman pengembangan sebagai penyedia bahan baku bio-diesel. Karena tanaman tersebut merupakan tanaman yang sudah dikenal oleh masyarakat dan ada hampir di seluruh wilayah Indonesia serta pernah dan telah digunakan sebagai bahan bakar. Disamping itu jarak pagar dapat ditanam pada tanah kritis sehingga disamping sebagai tanaman bahan baku bio-diesel dapat dijadikan tanaman konservatif
Prospek atau Eforia
Usaha pencarian energi alternatif sebagai subsitusi penggunaan BBM menjadi sebuah tindakan yang sangat perlu dilakukan mengingat semakin tidak kondusifnya harga BBM yang kenaikannya berdampak terhadap gejolak perekonomian nasional. Namun bukan berarti setiap pengembangan bahan bakar bio-diesel tepat untuk dilakukan jika tidak dilakukan tanpa perencanaan yang tepat. Pengembangan penelitian, penyediaan bahan baku dan industri bio-diesel merupakan high investasi sehingga perlu perhitungan serta langkah-langkah strategis yang tepat. Jika tidak, maka rencana yang dicanangkan tidak lebih dari sebuah eforia meskipun tampaknya prospektif.
Seperti halnya dalam pengembangan jarak pagar, setidaknya persoalan telah muncul saat rencana pengembangan dilaksanakan. Karena ditetapkan berdasarkan Inpres pengembangan jarak pagar sebagai bahan baku bahan bakar bio-diesel oleh pemerintah daerah dan pejabat di Departemen terkait adakalanya dilakukan melalui upaya yang bombastis tanpa melihat kondisi yang ada. Ada sejumlah pemerintah daerah yang mencanangkan pengembangan jarak pagar seluas ratusan hektar melalui APBD tanpa melihat ketersediaan faktor pendukung bahkan dengan mengorbankan tanah-tanah produktif yang dapat ditanami dengan tanaman pangan.
Mungkin karena menyangkut sebuah pertaruhan jabatan apalagi dalam Inpres No 1 pada pasal 2 disebutkan agar setiap pihak terkait melaksanakan Instruksi Presiden ini sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab dan melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Presiden secara berkala. Jadi bagaimana jika target yang tetapkan tidak tercapai? apa dampaknya bagi penerima wewenang? Kondisi setidaknya ini mendorong setiap pihak terkait berusaha keras untuk mewujudkan pengembangan jarak pagar yang sangat prestisius tersebut. Hanya saja semangat yang menggebu-gebu ini kemudian seolah terbentur kembali oleh sejumlah keterbatasan infrastruktur yang tidak jelas apakah sudah diperhitungkan sebelumnya atau tidak.
Benih jarak pagar yang bermutu hingga saat ini ternyata belum tersedia karena tidak pernah dilakukan penelitian dan pemuliaan terhadap tanaman jarak pagar sebelumnya. Dimana Departemen Pertanian melalui Puslitbangbun baru saja melakukan eksplorasi tanaman untuk dijadikan tanaman induk, dan untuk tahun ini saja kemampuannya dalam menyediakan benih masih sangat terbatas. Sehingga bagaimana target 10 ton/ha/tahun dapat dicapai.
Dan bagaimana pula dengan pabrik prosesingnya. Untuk alat pengepras, yang memecahkan biji untuk kemudian dihasilkan minyak mentahnya, IPB dan BPPN mengklaim telah dapat menghasilkannya. Hanya saja rendemen yang dapat dihasilkan masih sangat terbatas, baru sekitar 25 %. Artinya dari 4 kg biji jarak pagar dihasilkan 1 liter minyak mentah jarak pagar, yang menurut perhitungan BPPT dengan asumsi harga biji Rp. 500 s/d 1000/kg, diperkirakan setelah proses trans-esterifikasi harganya dapat mencapai Rp. 5000,-/liter masih melampaui harga solar yang mencapai Rp.4.300,-/liter.
Disamping itu pembangunan industri bio-diesel memerlukan investasi yang besar dan lebih tepat jika dilakukan pengusaha swasta. Dengan kondisi bahan baku yang masih belum jelas demikian juga dengan pasarnya membuat pihak swasta tidak begitu tertarik untuk mengembangkan industri bio-diesel jarak pagar, sehingga masih memerlukan inisitatif pemerintah melakukan pilot project, yang tentunya dapat dibayangkan berapa besar anggaran negara yang perlu dikeluarkan untuk merealisasikan hal tersebut.
Kemudian saat jarak pagar telah diproses menjadi bio-diesel masih juga dipertanyakan apakah secara sempurna dapat mensubstitusi solar. Minyak bio-diesel jarak pagar mungkin dapat digunakan untuk mesin berbahan bakar solar, namun dalam jangka panjang apakah tidak merusak mesin. Hal ini belum sepenuhnya diketahui dan diperlukan penelitian selanjutnya.
Jika dilihat dari perspektif ekonomi petani, dengan harga beli biji jarak Rp.500,- apakah petani tetap tertarik menanam jarak pagar. Dengan asumsi produksi 8 ton/tahun maka petani hanya mendapatkan Rp. 4.000.000,- per tahun sedangkan jika petani menenam jagung dapat memperoleh pendapatan kurang lebih Rp. 7.000.000,-/tahun Dan hingga saat ini baru PT. RNI yang secara resmi bersedia membeli biji jarak pagar dari petani dengan harga 500/kg.
Perlu Pertimbangan Matang
Meskipun demikian tetap saja pemerintah daerah mengebu-gebu mengembangkan jarak pagar. Segala macam dilakukan termasuk mengumpulkan benih-benih lokal untuk ditanam kembali. Tidak tahu apakah produktivitasnya dari tanaman yang akan dihasilkan tinggi atau tidak, sehingga sulit meramalkan apakah kegiatan tersebut dapat berkelanjutan.
Program pengembangan jarak pagar didasarkan logika berpikir yang perlu dikaji. Program pengembangan perlu disesuai dengan pengembangan infrastuktur pendukung seperti industri benih dan pengolahan, penelitian. Agar program pengembangan tersebut dapat berjalan secara singkron dan tidak berlangsung secara sektoral. Disamping itu untuk menciptakan pasar maka pemerintah perlu juga mencanangkan sosialisasi dan mendorong penyebarluasan mesin dan kendaraan bermotor berbahan bakar bio-diesel agar target subsitusi solar dapat tercapai.
Disamping itu caruk-maruk pengembangan jarak pagar setidaknya mengingatnya pemerintah untuk tidak berpikir jangka pendek. Saat kebutuhan muncul kemudian aksi dilakukan, namun infrastruktur belum dibangun, maka kebijakanpun dicetuskan terkesan terburu-buru. Namun ada juga pandangan yang menilai adakalanya logika efisiensi berbeda dengan logika birokrasi dan jabatan berbeda. Logika efisiensi berorientasi pada ketepatan keputusan untuk menyelesaikan masalah yang timbul saat ini dan di masa yang akan datang, sedangkan logika birokrasi/jabatan berorietasi pada sesuatu yang dapat dilakukan dalam jangka waktu pendek, maksimal 5 tahun (masa periode jabatan), serta dapat memberikan sebuah efek spektukuler dan bombastis. Dampak dari logika efisiensi adalah resolusi masalah sedangkan efek dari logika jabatan adalah simpatik dari masyarakat dengan harapan pelestarian kekuasaan. Namun saya berharap bahwa pengembangan jarak tidak didasarkan pada logika birokrasi melainkan logika efisiensi .
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment