Thursday, 31 January 2008

RELASI EKONOMI, ALAMIAH ATAU ETIS


Kapitalisme gagal menciptakan kesejateraan dan keadilan? Indonesia yang menerapkan ekonomi kapitalisme harus menghadapi kenyataan bahwa jumlah orang miskin bertambah di republik ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2007 sebanyak 37,17 juta jiwa. Di sisi lain rentang pendapatan tertinggi dan terendah juga sangat lebar, dimana sekitar 80 % aset nasional berada di tangan 10 % penduduk terkaya. Banyak anggota masyarakat yang mengalami kekurangan gizi, setidaknya angka 8 % dari total jumlah anak balita mengalami gizi buruk.

Namun bagaimana ketidakadilan ini muncul? Bukankah relasi ekonomi kapitalisme diyakini memiliki tangan-tangan tidak terlihat yang akan menciptakan keseimbangan pasar. Menurut perspektif ekonomi klasik, yang diyakini sejumlah ekonom kontemporer, dalam kondisi netralitas etika, efisiensi dan pertumbuhan produksi akan memberikan keuntungan bagi perusahaan dan kemudian memberikan dampak peningkatan kesejahteraan masyarakat (tringkle down effect).

Pembenaran Egoisme?
Mekanisme pasar konon bergerak berdasarkan hukum-hukum alamiah seperti halnya hukum mekanika pada fenomena alam. Hukum ini menciptakan keseimbangan pasar dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun kenyataan menunjukkan hal berbeda. Relasi ekonomi yang dianggap menciptakan kondisi equilibrium akhirnya menghasilkan berbagai bentuk ketidakadilan. Misalnya saja pada pasar tenaga kerja, tidak setiap pekerja dapat memasuki bidang pekerjaan yang sesuai dengan bakatnya. Tidak semua pekerja dapat diserap oleh dunia kerja sehingga menciptakan pengangguran.

Fenomena busung lapar yang terjadi di Indonesia terjadi bukan karena bahan pangan bergizi tidak tersedia melainkan karena banyak orang yang tidak mampu membeli. Mereka yang miskin tidak memiliki hak untuk memperoleh dan mengkonsumsi makanan yang melimpah di pasar karena tidak memiliki uang untuk membeli. Mekanisme pasar mengsyaratkan pertukaran menguntungkan agar sebuah barang dapat dimiliki seseorang, tidak penting apakah barang tersebut sangat dibutuhkan oleh seseorang dan menyangkut kelangsungan hidupnya. Karena seorang pedagang adalah manusia manusia rasional yang tengah berusaha mendapatkan keuntungan dari aktivitas pertukaran tersebut.

Dan sumber ketidakadilan tersebut terjadi ketika mekanisme pasar dibangun di atas hubungan manusia yang egoistik. Menurut Smith sudah menjadi kondrat manusia untuk senantiasa mengejar kepentingannya sendiri. Manusia selalu ingin memperoleh kesenangan dan kecenderung sudah ada sejak lahir dan tidak lenyap hingga ia mati (Canterbary, 196). Demikian halnya dengan relasi ekonomi, bahwa manusia sebagai mahluk ekonomis senantiasa ingin memaksimalkan kepuasaannya dengan mengorbanan yang minimal. Segala yang ia lakukan di dalam berinteraksi pasar, menjual barang dan jasa demikian halnya ketika membeli sebuah produk, adalah semata-mata untuk mendapatkan kepuasan atau keuntungan yang sebesar-besarnya.

Saat setiap orang memikirkan dirinya sendiri akan senantiasa memunculkan ketidakadilan karena sumber daya yang tersedia terbatas dan terdistribusi tidak merata sehingga tidak semua orang mendapatkan keuntungan melalui hubungan pasar. Mereka yang memiliki modal, menguasai faktor-faktor produksi, akan mampu menjaring manfaat lebih besar dari hubungan pasar sedangkan mereka yang tidak memiliki modal, keahlian atau aset, hanya bisa menawarkan tenaga kerja bagi si pemilik modal dan mendapatkan manfaat yang tidak sepadan dengan si pemilik modal yang memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja. Dalam hubungan pasar tujuan masing-masing pelaku adalah memaksimalkan kepuasan sehingga komoditas menjadi terutama dan sisi manusianya raib.

Konon melalui mekanisme pasar si miskin diyakini akan memperoleh manfaat melalui trickle-down efect (efek manfaat yang menetes). Bahwa kekayaan diperoleh seseorang akan bermanfaat bagi orang lain atau mereka yang miskin, karena peningkatan kekayaan seseorang akan meningkatkan daya belinya yang dapat mendorong tumbuhnya aktivitas di pihak lain. Artinya meskipun seseorang makin kaya namun ia juga akan memberikan manfaat kepada orang lain karena daya beli mereka merangsang mereka yang belum mendapatkan keuntungan ekonomi untuk melakukan aktivitas produktif yang bernilai dan mendorong tersebarnya kekayaan seseorang kepada mereka.

Hanya saja tidak semua orang memiliki akses terhadap pasar, bahwa seseorang harus memiliki modal dan skill untuk bisa memperoleh keuntungan pasar. Kenyataannya banyak orang yang tidak memiliki modal, skill atau kemampuan yang memadai untuk menciptakan produk atau jasa yang bernilai untuk dijual. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pendidikan atau keahlian, karena bagi kebanyakan orang pendidikan menjadi barang mahal, atau skill yang dimiliki tidak bernilai di pasar, seperti para penari kesenian tradisional yang tidak mampu menjual keahliannya secara komersial karena dianggap budaya terbelakang. Atau masyarakat tradisional yang tidak memiliki orientasi hidup yang berkompetisi dan tidak memahami bagaimana mekanisme kapitalisme bekerja, mengalami shok ketika harus menjadi bagian dalam struktur masyarakat kapitalisme. Demikian juga dengan mereka yang cacat yang tidak mampu berkerja dengan baik. Mereka dapat dipastikan tersisih dalam sistem kapitalisme.

Relasi ekonomi kapitalisme tidak saja dianggap gagal menciptakan pemerataan kesejahteraan namun juga turut menciptakan proses dehumanisasi dalan relasi di antara manusia. Pekerja dalam sistem kapitalisme mengalami alineasi, dimana ia mengalami dirinya sebagai sosok terasing karena tidak lagi sebagai pencipta aktivitas-aktivitasnya sendiri-tetapi semua tindakannya dan dampaknya menjadi majikannya, yang ia taati dan ia sembah. Apa yang ia kerjakan adalah bukanlah sebuah ekspresi diri melainkan sebagai aktivitas yang terotomatisasi demi untuk mengabdi kepada si pemilik modal.

Relasi Ekonomi, Kehendak Bebas dan Etika
Namun benarkah citra manusia sesuram yang digambarkan teori ekonomi kontemporer, yakni sebagai mahluk yang egois. Apakah manusia senantiasa menjadikan kepentingan dirinya sebagai tujuan hidupnya. Manusia menjadi mahluk yang terbelenggu kebutuhan instingtual untuk memperoleh kesenangan.

Kenyataannya manusia tidak selalu demikian. Manusia memiliki kemampuan berkorban dengan menunda kesenangannya bagi kesenangan orang lain . Manusia memiliki kemampuan melepaskan diri dari apa yang disebut hukum kepuasan. Tindakan binatang secara instingtual bertujuan untuk memelihara kehidupannya, namun manusia berbeda ia tidak secara institual digerakkan oleh kebutuhan biologis. Ia juga memiliki kebutuhan ideologi, menciptakan makna bagi kehidupannya, berusaha mencari apa yang ia sebagai kebenaran atau nilai-nilai kebajikan dan rela mengorbankan kehidupannya demi mempertahankan kebenarannya. Bahwa seseorang yang fanatis terhadap keyakinan agamanya mungkin lebih memilih dihukum mati dari pada dipaksa memungkiri keyakinannya. Kondisi demikian tidak terjadi pada binatang. Dan manusia memiliki kemampuan melakukan tindakan altruistik, mengorbankan dirinya bahkan kehidupannya untuk melindungi dan menyelamatkan kehidupan orang lain.

Manusia memiliki kehendak bebas, meskipun di satu sisi ia memiliki dorongan instingtual untuk memenuhi kebutuhan. Ia menyadari dirinya sanggup untuk mengambil sikap terhadap dorongan-dorongan biologis. Misalnya lapar, ada makanan tersedia, tetapi ia tetap bisa menolak untuk memenuhinya. Manusia tidak saja ingin memelihara kehidupannya namun juga berusaha memakni kehidupannya serta menetapkan orientasi kehidupannya. Sehingga manusia tidak saja mengambil keputusan dan tindakan dalam sebuah orientasi pragmatisme melainkan juga atas pertimbanga etis. Apakah tindakan ini baik atau buruk untuk dilakukan. Manusia dapat menjadikan keberadaan manusia lain sebagai pertimbangannya dalam mengambil keputusan. Apakah tindakan yang diambil merugikan orang lain atau tidak. Ia dapat menunda keputusan yang merugikan orang lain meskipun hal tersebut menguntungkan bagi dirinya.

Demikian halnya dalam kaitannya dengan relasi ekonomi. Bahwa keputusan untuk mengejar kesenangan bukanlah satu-satunya keputusan yang dapat diambil melainkah sebuah pilihan diantara berbagai pilihannya lain yang dapat dilakukan manusia secara bebas. Manusia dapat memutuskan mengejar kesenangan namun tidak merugikan bagi orang lain. Seorang pengusaha dapat saja memutuskan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dengan cara menekan biaya tenaga kerja. Toh, dengan kondisi tingkat pegangguran yang tinggi membuat bergain pemilik perusahaan lebih besar dan seorang pekerja secara rasional memilih tetap bekerja dengan upah rendah, karena akan lebih buruk nasibnya jika tidak bekerja, banyak orang yang siap menempati posisinya jika ia dipecat. Namun secara etis si pemilik modal bisa saja tidak melakukan hal tersebut melainkan membayar pekerja secara layak, dengan pertimbangan upah yang diberikan harus dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.

Oleh sebab itu dengan mengantungkan kepada keyakinan bahwa pasar akan membawa kebaikan bagi kehidupan manusia pada akhirnya akan menciptakan kekecewaan, jika didasarkan pada egoisme individu. Keburukan pasar dapat direduksi dengan menjadikan hubungan ekonomi tidak luput dari pertimbangan etis, tidak mengejar kepuasan maksimal melainkan kepuasan yang wajar, pada tingkat dimana orang lain tidak dirugikan. Keputusan ekonomi harus menjadi keputusan yang terarah ke luar, bahwa keberadaan manusia juga harus menjadi pertimbangan. Saat akan melakukan transaksi seseorang harus memiliki sebuah pertimbangan apakah uang itu cukup digunakan membeli oleh si pedagang untuk membeli kebutuhannya kelak. Atau ketika menawarkan sebuah produk, si pedagang dapat mempertimbangkan apakah barang tersebut akan memberikan manfaat bagi mereka yang ingin membeli.

Adakalanya terdapat dikotomi antara etika dan ”hukum alamiah” dalam menilai sebuah relasi ekonomi. Orang yang mendapatkan kekayaan dengan menggunakan aset-asetnya dapat dibenarkan menurut perspektif ekonomi namun menjadi tidak etis ketika ia merperkaya di sisi lain ada orang lain menderita. Mendapatkan kepuasan maksimal melalui hubungan ekonomi adalah tindakan yang rasional, namun menjadi tindakan etis jika sengaja seseorang mengorbankan kapasitas usahanya agar memberikan kesempatan untuk menikmati manfaat ekonomi.

Oleh sebab itu ketidakadilan dan kemiskinan yang masih terjadi saat ini mengambarkan bahwa mekanisme pasar tidak memberikan kesejahteraan jika manusia melaksanakan pure sebagai keputusan yang terpusat pada dirinya. Mekanisme pasar adalah sistem yang terbentuk namun manusia memiliki kebebasan dalam memutuskan apa yang ia beli, seberapa banyak, apakah menguntungkan atau tidak dengan menfaatkan komponen pasar seperti uang, harga, mekanisme distribusi dsb. Tidak ada tangan-tangan yang tidak telihat yang menciptakan kesimbangan, namun apa yang kita sebut sebagai sebuah sistem adalah akumulasi keputusan dan karakteristik individu secara keseluruhan, dan keseimbangan terjadi ketika manusia mau bertindak secara bertanggung jawab.

Ketidakadilan mengambarkan bahwa banyak orang Indonesia yang berlum bertindak etis. Tanggung jawab etis tidak saja pada penderitaan orang lain yang berhubungan langsung dengan dirinya melainkan juga pada orang lain yang tidak berhubungan secara langsung. Karena kita juga bisa secara tidak langsung penyebab penderitannya. Kebutuhan kita akan barang-barang yang terbuat dari kayu turut memelihara tumbuhnya industri perkayuan yang melakukan penjarahan hutan dan mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan yang merugikan masyarakat sekitar. Dostoevsky menyebutkan bahwa kita harus bertanggung jawab terhadap penderitaan manusia.

Namun mungkinkah segenap masyarakat Indonesia memiliki kesadaran demikian?.

No comments: