Sunday, 27 January 2008

MENYUARAKAN ALAM


Bumi tidak lagi menjadi tempat hidup yang nyaman bagi manusia. Alam murka dan tidak lagi menyayangi manusia. Namun hal tersebut timbul tidak lain karena manusia tidak lagi mencintai bumi.

Kehidupan manusia saat ini, baik secara global maupun di Indonesia, dihantui oleh persoalan pemanasan global yang menimbulkan berbagai fenomena alam yang ekstrim dan tidak bersahabat. Dengan menggunakan model dari IPCC, Indonesia diperkirakan mengalami kenaikan dari temperatur rata-rata dari 0.1 sampai 0.3ÂșC per dekade dan kenaikan suhu ini berdampak pada kenaikan permukaan air laut dan kenaikan intensitas dan frekuensi dari hujan, badai tropis, serta kekeringan (wwf Indonesia, 2007).

Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam yang terkait dengan cuaca mencapai 1,429 kasus atau 53.3% dari total bencana alam yang terjadi di Indonesia yang tentunya terkait dengan fenomena pemanasan global. Di lain pihak, ketika musim kering melanda, Indonesia menghadapi kemungkinan kekeringan yang berkepanjangan, untuk sektor kehutanan titik api akan semakin parah. Pada bulan September 2006 sendiri tercatat 26,561 titik api yang merupakan angka tertinggi sejak Agustus 1997 ketika sepanjang tahun 1997 tersebut tercatat “hanya” 37,938 titik api

Tentunya kondisi di atas menuntut kita merefleksikan kembali pola hubungan kita dengan alam. Bagaimanakah kita sepatutnya berinteraksi dengan alam?

Mengugat Antroposentrisme
Fenomena pemanasan global yang terjadi saat ini memanifestasikan bagaimana umat manusia memperlakukan alam. Bahwa dalam kaca mata manusia modern alam diciptakan semata-mata bagi kepentingan manusia. Bacon menyebutkan bahwa manusia merupakan sentral yang sekaligus menentukan maksud dan tujuan dari keberadaan bumi dan segala isinya.

Dengan segala kemajuan pengetahuan dan teknologi manusia merasa memiliki otoritas mengeksploitasi alam tanpa sebuah rasa tanggung jawab. Keunggulan manusia ditunjukkan dengan kemampuannya mendominasi alam. Sehingga hutan, sungai dan berbagai bentuk ekosistem menjadi media dimana manusia mengekspresikan egosentrismenya. Seperti yang terjadi di Indonesia, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Longgena Ginting mengatakan kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar setahun. Ini berarti semenit 7,2 hektar yang rusak oleh karena ulah manusia. Banyak lahan-lahan hijau yang tadinya adalah paru-paru alam saat ini tertutup oleh bangunan-bangunan karya tangan manusia. Penelitian yang disampaikan PEAT-CO2 Project yang diterbitkan akhir tahun lalu menyatakan, dari rata-rata 1.400 juta ton emisi CO2 per tahun dihasilkan oleh karena aktivitas manusia.

Alam dalam perspektif manusia modern dipandang dalam karakter satu dimensi dimana segalanya tereduksi semata-mata sebagai bahan baku untuk berproduksi. Alam kehilangan kedalaman ontologisnya dan makna spiritualnya. Di sisi lain alam diyakini sebagai sumber daya alam yang tidak kunjung habis dan secara alam akan melakukan regenerasi.

Namun bencana yang terjadi akhir-akhir ini dampak dari kerusakan lingkungan menyadarkan manusia pada keterbatasannya untuk mengendalikan alam semesta secara total. Bahwa alam memiliki hukumnya sendiri yang harus dihormati setiap spesies yang hidup di dalamnya. Manusia tidak memiliki hak untuk mementukan nilai, tujuan dan makna dari segala sesuatu yang ada di alam. Bahwa hubungan manusia dengan alam adalah sebuah interaksi sejajar. Bertolak belakang dengan antroposentrisme dimana benda bernilai selama ini bermanfaat kepada manusia, maka berdasarkan paradigma ekosenstrisme kita harus menghargai keberadaan segala entitas dan ekosistem dimana kita berada. Serta tidak menganggap bumi sebagai sebuah mesin melainkan mirip dengan sebuah organisme, Gaia, dimana keberadaannya turut mempengaruhi keberadaan kita.

Berbagai konfrensi lingkungan hidup yang gencar-gencarnya dilakukan saat ini termasuk yang baru saja dilaksanakan di Bogor, menjadi sebuah bukti bagaimana saat setiap orang, negara dan dunia secara keseluruhan mulai menyadari ancaman kerusakan lingkungan serta membutuhkan rekonstruksi makna interaksi antara manusia dengan alam.

Menyuarakan Alam yang Bisu
Kebisuan alam menjadi salah satu penyebab eksploitasi alam oleh manusia. Hanss Peter Duerr (1985) dalam bukunya yang berjudul “Dreamtime: Concerning the Boundary between Wildness and Civilization”, mengatakan bahwa manusia tidak akan mengeksplotasi alam yang berbicara kepadanya. Dan dalam kurun sejarah, menurut pandangan Michel Foucault, bahwa kekuatan sosial terdistribusi melalui dan pada golongan yang memiliki otoritas untuk berbicara. Dalam masyarakat primitif alam digambarkan sebagai pribadi yang mampu berkomunikasi kepada manusia. Tidak hanya manusia, melainkan juga binatang, tumbuhan bahkan benda-benda mati seperti batu ataupun sungai dipandang sebagai wujud yang memiliki pikiran dan mampu berbicara serta dapat berinteraksi dengan manusia untuk mendatangkan kebaikan atau bencana. Sebagai tambahan dari bahasa manusia, juga terdapat bahasa burung, angin, air terjun, dsb.

Namun pada era modern ini alam tidak lagi bersuara dan dimensi spiritul alam dihancurkan oleh alam rasionalitas manusia. Dalam bahasa manusia, alam (binatang, tumbuhan, dsb) berada pada posisi oposisi dengan manusia. Saat manusia menyebutkan “kita” maka tidak lagi melibatkan alam atau lingkungan di dalamnya. Oposisi sekaligus secara hirarkis sebagai subordinan dari manusia. Berbeda dengan masyarakat primitif yang identifikasi diri dan loyalitasnya tidak saja terarah pada umat manusia melainkan juga kepada jaringan hubungan yang juga mencakup berbagai jenis spesies.

Maka langkah awal menghentikan bentuk-bentuk eksploitasi manusia terhadap alam secara tidak bertanggung jawab adalah dengan membunyikan dan menghadirkan suara alam ditengah-tengah kehidupan manusia. Tentu dalam hal ini saya tidak bermaksud menghadirkan romantisme terhadap kehidupan masyarakat primitif, karena masyarakat zaman kita cenderung menganggap praktek masyarakat masa lalu adalah bentuk keterbelakangan serta sulit membayangkan bagaimanakah sesungguhnya interaksi mereka dengan alam.

Tetapi menurut hemat saya menyuarakan alam dapat berarti kita memasukkan unsur keberadaan lingkungan hidup kita menyatu dengan identitas diri kita sebagai “aku” atau kita. Bahwa dalam subjektivitasku terkandung kesadaran akan keberadaan lingkungan atau ekosistem dimana aku berada. Sehingga dalam setiap keputusan yang kita ambil akan melibatkan aspek alam dan lingkungan di dalamnya. Hal ini akan menjadi mungkin jika kita membiasakan diri untuk peka dengan alam sekitar kita

Kita juga dapat menghadirkan suara alam dengan menghadirkannya dalam berbagai wacana pada ruang publik maupun diskursus. Persoalan lingkungan harus diungkapkan pada ranah ekonomi, politik, sosial dan budaya. Suara alam pada ruang publik dalam hal ini harus mampu mengimbangi pesan kapitalistik, yang memabukkan dan mematikan kepekaan manusia terhadap realitas aktualnya.

Suara kapitalistik merupakan anti tesis terhadap suara alam karena keberadaannya cenderung terkait dengan pengrusakan alam. Produksi masal sebagai fondasi kapitalistik menjadi salah satu sumber pengrusakan lingkungan seperti pembuangan gas emisi, limbah cair hingga penghabisan sumber daya alam. Kapitalisme menawarkan ilusi bahwa kualitas hidup akan bertambah dengan membeli. Padahal akan lebih rasional meningkatkan kondisi dan kualitas hidup dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara efisien, dengan memproduksi barang secara berbeda dengan menghilangkan limbah (Andre Gorz ,terjm, 2005) serta hidup sederhana.

Saat keberadaan alam telah tersuarakan dan setiap orang belajar mendengar alam berbicara maka pada saat itu juga manusia akan belajar menghargai alam. Bahwa alam memiliki ”self”-nya sendiri yang juga memiliki hak untuk merealisasikan diri dalam proses evolusi seperti halnya spesies manusia.


No comments: