Monday, 28 January 2008
SEKS ORAL DAN AMBIVALENSI KEBEBASAN GENDER
Seks menjadi bagian dari aktivitas praksis kehidupan manusia. Perluasan sekulerisasi dalam masyarakat modern telah memusatkan perhatian manusia pada materialisme keduniawian dan menuntut kesenangan biologis terhadap tindak tanduk yang dilakukannya. Sex menjadi bagian dalam insentif tersebut sebagai upah terhadap pengorbanan atas hilangnya ruang ekspresi dan individualitas pekerja. Dalam masyarakat modern komoditas seksual diproduksi secara eksesif baik melalui televisi, internet dalam dunia hiburan yang legal maupun tidak legal, dan peningkatan jumlah pekerja seks komersial untuk memberikan rasa adil dalam ketidakadilan relasi kerja.
Liberalisasi seks dilempangkan. Akses terhadapnya semakin dipermudah, dan seks sebagai pola atau kumpulan interaksi simbolispun diproduksi secara terus-menerus. Seks tidak membutuhkan strategi khusus merealisasikan dirinya, namun dalam aspek kesejarahan seks mengalami dinamika penyingkapan. Segala hal yang terkait konstruksi permainan seksualitas berhubungan dengan aspek kultural manusia. Seks bukan lagi sekedar ciuman bibir, sentuhan-sentuhan pada pusat rangsangan seksual dan alat kelamin yang berakhir pada penetrasi penis ke dalam vagina, namun berkembang pada berbagai variasi mulai dari seks anal, oral hingga memanfaatkan benda-benda sintetis penganti objek real seksual.
Oral Sex dan Revolusi Kebebasan
Kencenderungan seks oral menjadi simbol revolusi kebebasan seksual. Wanita modern lebih afirmatif terhadap seks oral dibandingkan dengan wanita di era tradisional. Bagaimanapun penis merupakan sebuah benda yang kotor, karena selain sebagai alat berhubungan seks juga alat pembuangan. Penis bukan relasi yang sepadan buat mulut sehingga seks oral dapat mengakibatkan proses pemasukan kembali hasil buang ke dalam mulut seseorang. Namun dalam seks, seks oral telah menjadi sebuah bentuk interaksi natural, wanita tidak merasa jijik dan menanggapi seks oral sebagai aktivitas yang perlu dilakukan untuk menciptakan suasana romantis dan penuh birahi.
Kapitalisme dan liberalisasi menjadi simbol kebebasan dan persamaan hak gender. Berbagai bentuk tindakan yang dilakukan oleh wanita diamini sebagai ekspresi kebebasannya sebagai mahluk yang egaliter. Ruang galeri bagi wujud kebebasannya tercermin juga pada seksualitas, dimana konservatisme seks ditentang sedemikian rupa karena dirasa tidak lagi memberikan ruang kebebasan bagi wanita mengekspresikan dirinya. Seks oral yang dilakukan wanita bukan sebuah cerminan ketertaklukan gender melainkan sebuah tindakan yang otonom. Permainan lidah dan kuluman pada penis bukan bentuk subordinasi melainkan ekspresi kebebasan pemilihan simbol-simbol seksualitas.
Oral Seks dalam Perspektif Strukturalisme
Melalui pendekatan strukturalisme, seks oral sebagai konsepsi kebebasan gender coba dibuktikan kebenarannya. Kajian secara strukturalisme digunakan untuk memahami makna yang ada dibalik fenomena seks oral melalui proses , apakah sungguh merepresentasikan kebebasan yang hakiki atau sebaliknya.
a. Oposisi Biner
Menurut perspektif strukturalisme manusia memahami realitasnya melalui hubungan relasional yang bersifat biner. Realitas terstruktur secara oposisi sedemikian rupa sehingga dapat terjelaskan. Dan apapun yang dihasilkan pikiran manusia dapat dipahami dengan mekanisme sedemikian. Melalui perpektif binari ini dapat kemudian dipahami makna yang terkandung dibalik berbagai bentuk hasil pikiran manusia tersebut. Namun struktur relasional yang beroposisi biner adalah sesuatu yang tidak disadari oleh manusia itu sendiri, dan lebih merupakan hasil dari proses artikulasi.
Pemahaman terhadap aktivitas seks oral dilakukan secara totalitas mencakup segala sesuatu yang menyertainya seperti, adanya aktivitas melucuti pakaian, ciuman, sentuhan, desahan, penetrasi dan pelepasan semen. Sebagaimana telah disebutkan bahwa manusia memahami realitasnya secara oposisi, menyusun realitas pada elemen-elemen yang bertentangan seperti baik vs jahat, wanita vs pria, siang vs malam. Dan masing-masing oposisi kemudian dihubungan pada masing-masing sisi seperti contoh di bawah ini:
Wanita vs pria
Siang vs malam
Baik vs jahat
Hubungan ini disebut hubungan asosiatif, dimana wanita, siang secara normatif dianggap sesuatu yang baik sedangkan pria dan malam sebagai sesuatu yang jahat.
Dengan pola yang sama aktivitas seks oral secara struktur dapat disusun dalam sebuah oposisi biner sebagai berikut:
oral vs tidak oral
mendesah vs tidak mendesah
ditelanjangi vs menelanjangi
kelamin vs bukan kelamin
melayani vs dilayani
wanita vs pria
sub-ordinasi vs dominasi
Lemah vs unggul
buruk vs baik
Hubungan biner disusun secara vertikal mulai dari hal paling abstrak hingga hal yang paling konkrit dan pada bagian abstrak akan terhubung dengan dengan aspek normatif, yakni baik dan buruk. Melalui struktur di atas dapat dilihat bahwa seks oral, mendesah terkait, ditelanjangi menjadi kecenderungan wanita saat berhubungan seks.
b. Interpretasi
Adapun makna yang kita peroleh melalui interpretasi strukutralisme adalah bahwa kelamin adalah benda yang lebih dekat dengan kekotoran, berbeda dengan payudara yang merupakan elemen mendasar kewanitaan, media bagi dia untuk memberikan ASI bagi anaknya. Kepala penis merupakan pusat rangsangan seksual bagi pria dan jika disentuh akan memberikan kenikmatan sehingga kuluman liar wanita pada kepala penis lebih menyenangkan pria dari pada wanita. Jika sampai mengeluarkan sperma, materi genetis yang harusnya masuk ke dalam vagina, bercampur dengan sisa zat buangan, tersemprot ke muka atau bahkan ke mulut wanita dan tertelan bersama sejumlah minor zat-zat buangan.
Namun hal ini dapat dijelaskan jika seks oral turut dihubungkan dengan telanjang yang menelanjangi dan mendesah. Desahan menjadi simbol kertaklukan wanita, karena terdengar seperti jeritan kesakitan, seolah si wanita takluk oleh kedigdayaan pria. Konteks penelanjangan diinterpretasi bahwa wanita adalah milik si pria. Ia-lah yang berhak pertama kali melihat pribadi milik si wanita yang tidak boleh dilihat oleh orang lain. Ia yang kemudian membuka aktivitas menyentuh dan melakukan ciuman liar untuk mengekspolasi kesenangannya. Dari semua itu dapat dilihat sebuah logika tersembunyi tentang penguasaan.
Dalam kondisi demikian tidak dapatkah disebut sebuah ekspresi diri dan lebih merupakan manifestasi kekuasaan wanita. Pria berkuasa sehingga layak mendapatkan pelayanan untuk memperoleh kepuasan yang lebih besar. Tidak ada lebih nyata dari sebuah kekuasaan yang mampu membuat wanita mau mengulum lidahnya pada penis yang seharusnya bersentuhan dengan benda-benda yang steril karena alat yang membantu memasukkan sesuatu ke dalam tubuh. Ini adalah sebuah bentuk kepatuhan maka ia mau melakukannya.
Namun darimanakah bentuk kepatuhan ini, tak lain karena secara tidak sadar wanita mengakui bahwa sisi keunggulan pria dan mengaminya statusnya sebagai subordinan. Wanita adalah tulang rusuk pria, menjadi sebuah artikulasi alam bawah sadar dalam membina hubungan dengan pria. Kebebasan wanita bukanlah kebebasan yang hakiki melainkan hanya perubahan bentuk permukaan. Dalam alam bawah sadarnya ia masih menyadari bahwa ketika keberadaannya dikontradiksikan dengan pria, secara normatif, ia tidak unggul, lebih rendah statusnya. Namun mendamaikan kontrakdisi ini maka tercipta sebuah titik tengah dimana wanita menciptakan kondisi yang menunjukkan seolah wanita tidak teralienasi. Dalam perspektif ideologi, hal ini dapat dijelaskan bahwa kebebasan terdistorsi dapat dipandang sebagai bentuk penguaasaan secara hegemoni dimana pemberontakan wanita secara afirmasi disalurkan pada hal yang justru menguntungkan pria dan wanita dengan sadar menerima ideologi kekuasaan tersebut dan turut menyebarkannya.
Kritik terhadap Seks Oral
Seks oral menjadi trand dan bentuk revolusioner seksualitas, sebagai mediasi kebebasan ekspresi yang kemudian disebarluaskan melalui petunjuk seks keluarga, televisi maupun sumber siminal semacam video porno. Namun kesadaran itu pulalah yang telah membuat berjuta wanita rela mengenakan bibirnya yang tipis dan lidah-lidah lembutnya memain-mainkan penis, dan memberikan kepuasan bagi pria dan tidak bagi dirinya.
Oleh sebab dapat disimpulkan seks oral bukan merupakan sebuah ekspresi kebebasan melainkan sebuah logika tersembunyi wanita yang manyadari keunggulan pria tetaplah penguasa dalam sistem partiarkart. Cara-cara baru, sebagai bentuk afirmasi wanita, mungkin saja akan muncul lagi, memperkuat kekuasan pria terhadap wanita dalam sebuah hubungan hegemoni. Sehingga kebebasan wanita tidak lebih menjadi sebuah kreativitas untuk melayani pria dengan lebih baik lagi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment