Wednesday, 20 June 2007

APARATUR NEGARA


Indonesia tengah mengalami keterpurukan. Bencana seolah tidak lelah menghampiri Indonesia. Banjir besar baru saja melanda Jakarta dan mengakibatkan kerugian material yang cukup besar, persoalan Lapindo belum terselesaikan, tanah longsor, gempa dan bencana lainnya terjadi di berbagai daerah. Situasi demikian menambah beban berat yang ditanggung masyarakat Indonesia yang telah terhimpit oleh berbagai masalah sosial oleh karena kemiskinan, pengangguran serta kenaikan harga BBM yang diikuti kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok. Kondisi ini mengakibatkan tingkat kesejahteraan masyarakatpun semakin hari semakin menurun.

Tentu tidak salah jika kemudian rakyat menudingkan jarinya ke arah pemerintah sebagai pihak yang patut bertanggung jawab terhadap kesulitan yang dialaminya. Apakah yang telah dilakukan pemerintah untuk melipur hati masyarakat yang tertindas. Masyarakat menuntut sebuah solusi terhadap persoalan yang dihadapinya. Mana regulasi yang mensejahterakan rakyat? mana kebijakan yang mendukung masyarakat kecil? mana keadilan bagi anggota masyarakat yang sengsara?
Wajar masyarakat menuntut karena sudah menjadi tugas pemerintah mensejahterakan rakyatnya, jika bukan pemerintah siapa kemudian patut bertanggung jawab? Bukankah rakyat senantiasa patuh menjalankan kewajibannya untuk membayar pajak dan berbagai retribusi yang semakin hari semakin memberatkan, konon digunakan mengaji aparatur negara yang tengah bertugas melayani masyarakat. Maka rakyat patut menuntut haknya.

Kondisi Aparatur Negara
Namun pada kesempatan ini saya mencoba mencari akar persoalan mengapa pemerintah seringkali tidak mampu mensejahterakan masyarakatnya, dengan bukan bermaksud membela pemerintah namun memberikan masukan bagi perubahan dalam tubuh pemerintah kita. Bahwa pemerintah bukanlah super-hero, tentu benar, dan bukan juga sinterklas, melainkan adalah sebuah institusi yang dibentuk oleh sekumpulan orang alias aparat negara dengan segala kekurangannya. Presiden, menteri hingga satpam pada instansi pemerintahan adalah bagian dari aparatur negara yang secara satu kesatuan membentuk sebuah sistem birokrasi. Meskipun demikian kita juga menyadari bahwa di negara lain ternyata pemerintahannya dapat berfungsi lebih optimal yang terlihat dari adanya perbaikan kesejahteraan masyarakatnya dan kosistensi penegakan hukum, jadi mengapa negara lain bisa dan kita tidak bisa?

Saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pengalaman saya sebagai bagian dari aparat negara. Dan menurut saya, persoalan di atas sesungguhnya bersumber dari sejumlah kelemahan pada sistem pada institusi negara sehingga menciptakan aparatur negara yang tidak profesional dan berdampak pada lemahnya kinerja pemerintah.
Pertama, jika masyarakat mengalami tekanan sosial dan ekonomi, karena kenaikan harga barang-barang kebutuhan hidup, maka kondisi yang sama juga dialami sebahagian besar aparatur negara. Gaji seorang pegawai negari sipil boleh dikatakan pas-pasan. Seorang pegawai golongan IVa yang telah bekerja selama 26 tahun dan memiliki jabatan eslon IV, dapat disetarakan dengan manajer menengah di swasta, hanya memperoleh gaji plus tunjuangan sebasar Rp. 1.900.000,- . Dengan kondisi harga barang-barang kebutuhan pokok yang semakin mahal bagaimana seorang pegawai dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya dengan penghasilan demikian apalagi jika tinggal di Jakarta atau kota lainnya yang memiliki biaya hidup yang cukup tinggi. Dan bisa juga dibayangkan bagaimana pula nasib apartus negara lainnya dengan golongan yang lebih rendah serta tidak memiliki jabatan yang penghasilannya jauh lebih rendah lagi.

Wajar jika kemudian banyak apartus negara berkeliaran tanpa beban di luar kantor sewaktu jam kerja. Bagi mereka itu semua adalah sebagai upaya mencari penghasilan sampingan alias nyambi. Mau tidak mau mengorbankan tanggung jawab di kantor karena anak harus sekolah, dapur harus mengepul namun kantor tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Kondisi ekonomi morat-morat boleh jadi alasan mengapa banyak aparatur negara sulit mempertahankan idelisme. Banyak aparat negara yang pada awal memasuki institusi pemerintahan berbekal sebuah nilai-nilai luhur, akan memberikan segala potensi yang dimilikinya bagi bangsa dan negara serta tidak akan melakukan korupsi. Namun seiring waktu berjalan, oleh karena beban ekonomi yang semakin berat dan di sisi lain peluang mendapatkan masukan dari uang gono-gini dengan menyalahgunakan wewenang, menggunakan fasilitas kantor, toh, semua pengawai mengalami kondisi yang sama sehingga timbul kondisi saling pengertian, mengakibatkan lunturnya idealisme yang telah tertanam sebelumnya. Sehingga seseorang apartus yang pada awalnya menerima uang tips sebagai ucapan terima kasih karena telah mengurus sebuah perizinan, menjadikan pemberian tips sebagai kewajiban yang harus dibayar di depan oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kalau tidak urusannya lama.

Kondisi demikian tidak saja terjadi di antara aparat dan masyarakat yang mengharapkan pelayanan namun penyimpangan juga terjadi secara internal. Anggaran tahunan pemerintah yang begitu besar dan dilimpahkan pada sebuah institusi pemerintah sering dilihat sebagai sarana mensejahterakan bersama bukan mensejahterakan rakyat. Penghematanpun dilaksanakan, beberapa perjalanan dinas dikorbankan alias difiktifkan untuk mengumpulkan uang bagi kesejateraan pegawai, perjalanan dinas yang seharusnya 5 hari cukup dilakukan 1 hari agar seorang pegawai dapat memperoleh tambahan uang kocek untuk dibawa pulang. Cukup siapkan bukti-bukti telah melakukan perjalanan dinas dan laporan perjalanan yang kadang tidak real. Demikian juga penggunaan anggaran untuk berbagai pengadaan fisik, tidak luput dari upaya mendapat uang bagi kepentingan bersama, nilai barang di mark-up agar anggaran seolah habis terpakai. Meskipun pengadaan barang dilakukan dengan tender, seringkali pemenang tender sudah ditentukan dari awal, yakni mereka yang mengerti perasaan aparat, sehingga kemudian di antara rekanan dan aparat terjadi kong-kalikong untuk bagi-bagi uang yang diterima, jika kemudian kualitas barang yang disediakan kualitasnya di bawah standar, tak apalah, penting semuanya bisa jaga rahasia dan sama-sama untung.

Tentunya sangat menyedihkan kondisi aparatus negara kita, berawal dari sebuah kebutuhan yang sangat manusiawi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, mendorong melembagakan berbagai penyimpangan dan kadang berakhir pada sebuah tragedy of common saat semua sama sepakat untuk menghabiskan anggaran negara secara tidak tepat dan mengorbankan apa yang menjadi tujuan semula tidak tercapai tanpa ada sebuah rasa penyesalan karena seolah sudah menjadi tindakan kolektif.

Kondisi caruk-marukpun tidak saja terjadi pada aparatur negara di level bawah dan menegah. Terdapat sejumlah kondisi yang turut menurunkan profesionalisme aparatur negara level atas yang bersumber dari kondisi yang tidak ideal bagaimana sang pejabat ditetapkan. Kekuatan politis dan hubungan promordial seringkali sangat menentukan orang-orang yang dapat memiliki jabatan. Jika saat ini sebuah partai politik tertentu berkuasa maka kader-kadernya secara tiba-tiba duduk pada posisi teras. Dan, jika tidak berdasarkan kepartaian, penentuan pejabat juga sering ditentukan oleh kesamaan suku, lulusan pendidikan dengan pejabat di atasnya.

Bukankah kondisi dapat mendorong pejabat teras akan lebih memikirkan kepentingan golongannya ataupun pimpinannya daripada masyarakat. Karena kalau masyarakat marah barangkali cukup didiamkan saja habis perkara tapi kalau pimpinan tidak senang atau partai kemudian menjadi tidak simpatik karena kebijakannya mungkin tidak menguntungkan partai maka konsekuensinya bisa berat alis dapat dicopot dari jabatan. Maka kebijakan yang diputuskan seringkali akhirnya menguntungkan kepetingan partai atau kelompok dal rakyat lagi-lagi dikorbankan.

Disamping itu karena seorang pejabat didudukkan pada jabatannya bukan karena kualitas yang dimiliki melainkan karena hubungan perkoncoan, wajar jika ia kemudian berpikir pragmatis. Nikmatilah jabatan selagi bisa, memanfaatkan wewenang bagi kepentingan pribadi, karena jika besok rezim berganti maka iapun dapat segera dicopot.

Konsekuensi
Aparatur di bawah sibuk meningkatkan kesejateraannya dengan mencari sampingan disana-sini, atau menfaatkan kegiatan kantor bagi keuntungan pribadi demikian juga aparatur level atas sibuk memikirkan bagaimana mempertahankan jabatannya, dan menggunakan jabatannya untuk menguntungkan kepentingan pribadi, sudah pasti membuat membuat sensitifitas terhadap persoalan masyarakat menjadi sangat rendah. Bahkan bantuan luar neger, sumbangan, atau dana sosial tidak dilihat sebagai sebuah titipan yang harus diberikan kepada masyarakat melainkan persen-persen keuntungan, sekian persen buat atasan,beberapa buat bawahan dan sisanya disalurkan. Sehingga tidak heran meskipun begitu besar dana bantuan yang diperoleh maupun proyek yang dilaksanakan setiap tahunnya, baik yang berasal luar negeri maupun kas negara namun rakyat nasibnya begitu-begitu saja.

Karena kondisi di atas tentunya kinerja aparatur negera tidak optimal, karena apa yang ada di dalam benak aparat negara hanyalah bagaimana mensejahterakan diri dari segala sesuatu yang ada di kantor. Maka wajar jika sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan kebijakan yang tepat tidak tersedia, pikiran yang jernih, anggaran yang tidak disunat, SDM yang berjiwa humanis dan data informasi yang akurat. Misalnya saja untuk pendataan, tidak heran jika pemerintah kemudian kebingungan sewaktu media menyebutkan di sejumlah daerah mengalami masalah gizi buruk. Mengapa kondisi ini tidak terpantau oleh pemerintah? Ya, tentu saja, karena anggaran yang seharusnya digunakan untuk pendataan dipakai untuk urusan peningkatan kesejateraan aparatur negara itu sendiri, apakah untuk menyediakan makan siang, dibagi-bagi pas hari raya (baca THR) atau diselewengkan oleh pegawai dengan tidak meninjau ke lapangan tapi cukup turus sampai kantor kecamatan, dengan alasan, toh, kan, kami rakyat juga.
Saat semua menjadi sibuk dengan urusannya masing-masing tentunya rakyat jadi binggung, siapa yang bakal mengurusinya.

Sumbang Saran
Oleh sebab itu pemerintah yang efektif harus didukung aparatur negara yang lebih profesional jika tidak maka para pejabat tinggi seperti presiden, mentri dsb hanya akan sering menyampaikan retorika untuk menenangkan masyarakat dengan janji-janji. Dan menurut hemat saya kondisi ini hanya mungkin melalui pendekatan reward dan punishment serta orientasi pada kinerja. Bagaimanapun syarat awal untuk menumbuhkan profesionalisme pegawai adalah melalui peningkatan gaji aparatur khususnya untuk level bawah dan menengah agar mampu kebutuhan dasarnya (makan, tempat tinggal dan pendidikan bagi anak-anaknya). Sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan pekerjaan atau melakukan penyelewengan karena kesejateraannya telah dijamin. Di jika hal itu terjadi maka aparat negara tersebut dapat dipecat atau diperkarakan ke pengadilan karena telah merugikan negara.

Namun bagaimana upaya untuk dapat meningkatkan gaji aparat negara? Hal ini hanya dimungkin melalu dua cara yakni meningkatkan alokasi anggaran negara untuk gaji aparatur negara atau pengurangan pengawai atau instansi untuk mengefisienkan kerja. Di antara dua pendekatan ini saya lebih setuju dengan pendekatan kedua mengingat banyak instansi pemerintah yang berkelebihan pengawai dan jobnya tidak jelas atau nono-job. Orang-orang yang kurang produktif dapat diafkirkan atau disarankan untuk pensiun dini sehingga negara tidak repot memikirkan orang-orang yang tidak memberikan kontribusi. Departemen yang tumpang tindih fungsi dapat dimarger atau salah satunya dihilangkan sehingga struktur pemerintahan menjadi lebih ramping namun menjadi lebih efisien. Mungkin akan menimbulkan gejolak namun akan lebih baik daripada membayar orang-orang maupun institusi yang sesungguhnya tidak produktif

Para pejabat ditentukan berdasarkan pengalaman dan prestasi secara berjenjang dan tidak lagi ditentukan berdasarkan kekuatan politik atau perkoncoan. Sehingga ia memiliki tanggung jawab terhadap negara bukannya kepada kekuatan politik atau kelompok tertentu. Dan pemimpin yang ditentukan dengan mekanisme yang objektif akan mampu menegakkan aturan hingga ke bawah karena ia sendiri menduduki jabatan karena aturan yang benar. Seorang pejabat yang tidak mampu memenuhi target yang telah ditentukannya, misalnya saja menurunkan pengangguran 10 %, mengurangi impor beras sebesar 5%, dengan legowo mengakui kegagalannya dan turun dari jabatannya apapun alasannya, jika tidak dapat diberhentikan dengan tidak hormat.


Jika seorang pemimpin telah berorientasi pada kinerja maka akan mendorong orang-orang yang ada di bawahnya untuk berpikir sama.
Jika kondisi demikian yang terjadi maka diharapkan kita akan memiliki apartus negara yang lebih profesional, dan lebih sensitif terhadap persoalah yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga kejadian apapun yang terjadi dapat segara ditanggapi cepat dan tepat bukannya kelabakan seperti yang terjadi saat ini dan kemudian mendorong para pejabat tinggi mengeluarkan ilmu pamungkasnya alias ilmu bersilat lidah untuk menjaga muka pemerintah.

1 comment:

Anonymous said...

yups,... betul,betul,betul, juga sering dilupakan penempatan aparat sesuai bidang ilmunya sehingga banyak yg ga nyambung jd kerja asal2an dsb