Sunday, 17 June 2007

PEJABAT, SORGA DAN NERAKA?

“Jika sorga dan neraka tidak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya”

Maaf buat Ahmad Dhani, yang coba membuat syair lagu yang sedikit filosofis, tapi sepertinya syair lagu anda kurang cocok untuk konteks di Indonesia, khususnya buat para pejabat. Karena mau sorga ada, kek, atau tidak ada,… wah, aku wes lali,… udah forget, tuh, atau emang ada, seh,…. demikian barangkali ungkapan dari hati mereka berdasarkan kenyataan yang kita saksikan sehari-hari, meskipun banyak pejabat yang mendapatkan jabatannya tanpa rasa sungkan membawa-bawa label agama, seolah manusia suci yang tengah mengobarkan perang atas nama Tuhan terhadap kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dsb. Karena Tuhan tidak suka itu.

Namun tetap saja banyak pejabat yang melakukan korupsi, tidak peka dengan nasib rakyat dan asik bermanuver-manuver ria memperjuangkan kepentingan kelompoknya saja. Rakyat disuguhi janji-janji yang memabukkan, yang barangkali dia sendiri bingung kok, bisa-bisanya sampai mengatakan bakal mengurangi pengangguran, kejahatan, korupsi, toh dia sendiri tidak punya konsep sama sekali untuk itu dan termasuk orang diuntungkan dengan adanya penyimpangan-penyimpangan tersebut.

Lihat saja Lapindo tidak terselesaikan dengan baik sehingga banyak masyarakat yang hingga saat ini masih mengungsi dan kehilangan tempat tinggal, warga Meruya terancam bakal tergusur meskipun sudah memegang sertifikat tanah, harga minyak makan tiba-tiba melambung tinggi meskipun Indonesia adalah negara produsen CPO tersebar kedua di Indonesia, banyak anak-anak balita Indonesia terkena gizi buruk, dan masih banyak lagi persoalan yang dihadapi rakyat Indonesia yang bila diteruskan bakal sangat melelahkan menyebutkannya.

Jadi, dimanakah para pemimpin kita saat masyarakat tengah menghadapi persoalan? Ya, cukup menyedihkan, karena yang hanya bisa mereka lakukan adalah menunjukkan simpati gombal, apakah dengan datang beramai-ramai melihat masyarakat yang tertimpa bencana sambil sekali lagi menyampaikan retorika kosong dan setelah itu sudah bisa ditebak, ”no action” atau terus berjanji melalui media bahwa solusi terhadap persoalan masyarakat akan segera terjadi, ibarat mujizat turun dari langit.. Tapi untung ada bencana di Irian, Surabaya, DIY, Sulbar sehingga pejabat bisa jalan-jalan, melihat kisah-kisah tragis yang bisa diceritakan pas kumpul keluarga untuk pamer dan semoga saja ada sisa uang perjalanan dinas buat keluarga dan Saudara. Jika demikan yang terjadi, maka meski ada bencana, atau persoalan di tengah masyarakat, yang diuntungkan tetap para pejabat dan rakyat tetap saja sengsara,.

Sorga dan Neraka?

Lho, kok, begitu? Apa tidak takut masuk neraka, karena membohongi rakyat?

Tapi, konon, keimanan juga perlu dibuktikan karena saat ini adalah zaman ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua harus dibuktikan, yang nyata adalah yang benar, yang benar adalah yang nyata. Persoalannya bagaimana sorga mau dibilang ada, melihat saja tidak pernah, malaikatnya saja tidak pernah terlihat melayang-layang di angkasa. Dan neraka, menakutkan? Tapi dimana lokasinya, kok, panasnya saja tidak terasa sampai ke Indonesia. Mungkin bakal benar-benar akan menakutkan jika sudah ada alat pengamatan yang sanggup meneropong keberadaan neraka yang begitu mengerikan.

Tapi jika uang negara dikorupsi, rakyat dikibuli untuk mendapatkan jabatan, manfaatnya jelas, bisa punya rumah mewah, mengendarai mobil sport, dipuja-puja layaknya seorang selebritis, bisa belanja ke Singapura nonton tari perut di Arab. Jadi dari pada memikirkan yang tidak pasti mengapa tidak memikirkan hal-hal yang pasti-pasti. Jabatan berasosiasi dengan bisa berkorupsi, bernepotisme dan berkolusi yang berasosiasi dengan kekayaan yang berasosiasi dengan kesejahteraan dan penghormatan sosial. Menjadi kaya tampaknya lebih nyata manfaatnya dari pada menjadi masuk sorga. Barangkali, demikianlah idealisme hidup yang ada di alam sadar maupun alam bawah sadar para pejabat Indonesia sehingga wajar jika sampai sekarang masih senang merugikan rakyat sehingga rakyat makin sengasara serta merana.

Memang sorga dan neraka tidak bisa dibuktikan, namun yang tidak dibuktikan belum tentu tidak ada. Bahwa masyarakat Aceh tidak pernah membayangkan bahwa Tsunami yang pernah terjadi di Jepang bakal juga bakal terjadi di daerah mereka. Bagaimana mungkin, laut kami setiap hari terlihat tenang dan tsunami yang mengerikan tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun tsunami akhirnya datang secara mengejutkan sehingga apa yang tidak pernah dibayangkan kemudian terjadi. Demikian halnya sorga dan neraka, saat ini belum tidak bisa dibuktikan keberadaannya, namun bagaimana jika ternyata ada, dikhawatirkan para pejabat yang tidak perduli nasib rakyatnya, di kehidupan nanti bakal disambut dengan angkutan khusus seperti halnya ketika ia masih hidup dan memiliki jabatan, tujuannya biar bisa segera diangkut sekaligus ke tempat yang lebih layak, yakni neraka.

Meskipun sulit membayangkan hal demikian saat ini. Namun kadang, neraka juga dapat terjadi lebih awal bagi mereka yang suka merugikan orang. Adakalanya mereka yang berjaya dengan manipulasi bakal menjadi orang yang dipenuhi kesenangan namun tidak dengan kedamaian hidup dan ketenangan hati. Orang yang suka melakukan kejahatan akan sering dirundung kecemasan, karena senantiasa dihantui rasa takut kalau orang yang dirugikan bakal membalas tindakan mereka. Mereka mungkin juga bakal dikucilkan, kalaupun mereka banyak pengemar, itu hanya bersifat musiman karena hanya sewaktu mereka menjabat, sesudah itu dilupakan juga, sehingga mengalami kesendirian di masa tuanya. Namun jika melakukan kebaikan, maka akan dikenang semua orang dan dicintai semua orang, merupakan kebahagian sesungguhnya yang diimpikan setiap orang. Banyak orang pengen menjadi selebritis karena dengan demikian mereka dapat dikenal dan disukai banyak orang. Dan banyak tokoh-tokoh besar yang senantiasa dikenang keberadaannya hingga saat ini adalah orang-orang yang selama hidup dekat dengan aktivitas kemanusiaan.

Etika Pejabat Negara

Oleh sebab itu sudah seharusnya para pejabat memperhatikan rakyatnya, dengan melakukan hal-hal yang paling dibutuhkanmya dan tidak sibuk memikirkan dirinya sendiri. Rakyat lapar, ya diberi makan, bukan diberikan konsep demokrasi. Rakyat miskin yang dikasih pekerjaan dan bukannya konsep pasar bebas, rakyat lapindo yang kehilangan tempat tinggal, ya diberi tempat tinggal dan bukannya diberikan konsep tentang siapa yang bertanggung jawab. Maka rakyat yang bodoh, kelaparan dan sengsara harus lagi dibebani dengan berbagai konsep-konsep yang lebih berat untuk dimengerti. Kan, kasihan mereka.

Toh, pemerintah telah diberikan hak untuk mengelola kehidupan bermasyarakat, dan banyak hal bisa dilakukan untuk mensejahterakan rakyat. Salah satunya, pemerintah dapat mendorong pihak yang berkelebihan untuk mengsubsidi atau membantu pihak yang tertindas, memberikan tanah-tanah negara buat mereka yang tuna wisma, toh, manusia sesungguhnya tidak memiliki kepemilikan atas lahan, yang ia miliki adalah hak guna, karena pemilik sesungguhnya adalah Tuhan, demikian harta benda adalah semua berasal dari alam dan bukanlah ciptaan manusia, kita hanya mengelolanya saja, jadi kekayaan hanya sebuah titipan, dan sebuah bencana dapat menghancurkannya dalam waktu singkat. Jadi pemerintah dalam hal ini dapat mengatur kekayaan rakyatnya untuk memberikan kesehteraan bagi seluruh masyarakat. Jika pasar bebas dapat memberikan kesejahteraan maka pemerintah dapat membiarkan pasar bekerja tanpa intervensi, tapi jika pasar mengakibatkan terakumulasinya kekayaan pada sejumlah kecil anggota masyarakat, maka pemerintah wajar melakukan intervensi. Karena hubungan pasar seharusnya menjadi untuk memenuhi kebutuhan sarana bagi setiap anggota masyarakat dan bukan sarana untuk mengumpulkan kekayaan.

Karena setiap manusia berharga. Setiap manusia adalah lahir dengan sebuah kesederhanaan, tanpa membawa apapun ke dalam dunia ini. Menurut Levinas seorang filsuf etis Prancis, kita tidak layak memperlakukan manusia lain sebagai objek, karena manusia adalah unik dan tidak bisa dipahami secara ontologis dan totalitas. Jika kita biasa mereduksi orang lain ke dalam wujud-wujud sederhana maka wajar jika orang lain juga dapat menganggap kita sebagai objek bagi kesadarannya dan juga mereduksi keberadaan kita, untuk dikonsepsikan sesuka hatinya, apakah sebagai orang bodoh, manusia dengan ras terbelakang, orang yang ditakdirkan sengsara, dsb. Seharusnya hubungan manusia melebihi situasi demikian, dan menurut Levinas, hubungan dengan manusia seharusnya lebih bersifat etis, bahwa pada setiap wajah manusia berisikan sebuah pesan ilahi bahwa kita tidak boleh membunuh dan menyakitinya. Dan kita dipanggil untuk bertanggung jawab untuk kehidupannya (orang lain).

Jika etika demikianlah yang dianut oleh para pejabat, maka Indonesia tidak akan mengalami kondisi krisis seperti saat ini. Karena pejabat dengan peka akan melakukan segala cara untuk memperjuangkan nasib rakyat, bahkan oleh tanggung jawab etisnya ia akan mengorbankan kepentingannya untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia. Para pejabat menjadi enggan melakukan korupsi atau hal-hal yang merugikan orang lain, malah akan menyumbangkan kekayaanya bagi orang lain dan mengabdikan hidupnya bagi sesama. Saat orang lain merasa bahagia maka si pejabat merasa bahagia karena ia telah melakukan apa yang menjadi tanggung jawab etis terhadap sesamanya. Maka Lapindo dapat diselesaikan dengan cepat, para pengangguran dapat segera ditolong, orang miskin dapat disejahterakan oleh negara dan negara lain bakal menghormati negara kita bukan karena kegagahan Indonesia dengan senjata balistik atau nuklirnya seperti negara barat, namun oleh karena kerendahan hati para pimpinan negara di Indonesia yang menimbulkan simpatik bagi negara lain.

Namun sulit membayangkan kapan para pemimpin negara di Indonesia bisa demikian, karena jangankan melihat wajah sesamanya yang papa, menganggap diri sebagai sesama manusia dengan mereka yang miskin mereka saja tidak sudi, apalagi saat ini. Yang menjadi sesama mereka adalah mereka yang berhaluan politik yang sama. Serta sangat meyakini konsep takdir, bahwa mereka miskin karena memang sudah ditakdirkan miskin, dan mereka menjadi seorang pemimpin serta menjadi kaya karena Tuhan memang sudah mengariskan demikian. Jadi wajar untuk tidak memperhatikan rakyat, karena mereka memiliki takdir dan dunianya sendiri, dunia bobos paradis, dimana tidak ada kemiskinan, dunia para orang elite yang menuver dan perilakunya kadang sudah tidak bisa lagi dipahami masyarakat kecil. Dan rakyat kecil hanya bisa mengharapkan semoga kiamat datang lebih cepat, sehingga mereka yang sejahtera karena kejahatan segera dihukum dan pada saat keadilan Tuhan yang diterapkan sehingga tidak ada orang yang dirugikan. Karena menunggu di kehidupan ini dan di negara Indonesia rasanya kok, mustahil.....

No comments: