Aku mulai semakin apatis dengan pekerjaanku, dan kondisi di kantor rasanya bakal membuatku semakin cuek saja. Sudah lebih dari sebulan aku uring-uringan, tidak mau perduli dengan pekerjaan dan menyibukkan diri dengan bisnis peminjaman bukuku. Dan aku demikian bukanlah tanpa sebuah alasan. Wajar saja, karena selama 1 bulan pertama aku di ruangan baru Departemen (censor) aku boleh dikatakan sama sekali tidak dikaryakan secara proporsional, pekerjaanku tidak beda dengan kurir juru ketik komputer. meskipun aku sudah memegangn ijazah S2 dari universitas negeri ternama (sombong ni, ye [red]). Semua pekerjaan habis didistribusikan tapi hanya sampai kepala seksi, sisa-sisanya saja tidak sampai ke staf. Kondisi demikian menyebabkanku stagnan yang tadinya begitu sibuk sewaktu masih di semusim, membuatku menjadi sedikit loyo, pengetahuan tidak bertambah, mental dan rasa percaya perlahan-lahan mulai rusak karena seolah-seolah aku menjadi orang yang tidak produktif atau tidak mampu bekerja, dan aku paling tidak suka diperlakukan seperti itu...
Meskipun demikian, sesungguhnya Bosku tetap berusaha memberikan perlakuan istimewa bagiku, karena ia ternyata punya harapan besar dan visi buatku, bahwa aku diproyeksikan menjadi pemimpian teknis dalam tim pengerjaan tugas-tugas pengetikan laporan dan bahan presentasi dengan cepat dan tepat. Aku adalah staf pertama dari ruanganku yang diberikan kesempatan perjalanan dinas dari anggaran tahun 2007, dan bahkan ia juga menjanjikan aku bakal mendapat jatah dinas minimal 1 kali satu bulan. Namun yang membuat suasana kurang nyaman ternyata hanya namaku saja yang tercantum dan saat itu diajukan, staf yang lain tidak. Bosku mecoba memberikan pengertian pada teman-teman yang lain, sewaktu aku mau berangkat ke Papua, setelah aku menerima tiket pesawat PP dari bosku ”Kalian bakal jalan setelah kloter pertama berangkat, dan diajukan nanti, seminggu kemudian”, demikian kata Ibu Iswari sambil melemparkan senyuman manisnya.
Kloter pertama yaitu aku dan bos-bos, sedangkan kloter kedua aku tidak tahu siapa. Tapi ternyata setelah aku pulang hingga sampai tanggal yang dijanjikan ternyata nama staf yang lain tidak diajukan. Dan ternyata hanya aku saja yang berangkat untuk bulan Mei kemarin, anehnya di ruangan lain hampir sebagaian besar stafnya telah dinas luar. Lho, ko, kami harus pakai kloter segala.
Wajarlah jika staf yang lainnya protes, dan yang bikin tidak enak, akupun kemudian turut menjadi objek sasaran, dianggap dianakemaskan, dibedakan gara-gara kamu anak kesayangan. Tentu kurang enak mendengar komentar demikian dari kawan staf sesama ruangan yang bercerita kepada temanku dari ruangan lain yang kemudian menceritakan kepadaku.
Terus terang aku tidak terlalu mengharapkan perjalanan dinas, apalagi aku tidak suka naik pesawat karena sedikit trauma. Bagiku hal yang terutama yang ingin kuperoleh dari pekerjaanku adalah sebuah penghargaan, aku bisa berfungsi, bisa berkarya dan mengembangkan pengetahuan. Dan ini tidak kudapat di Ruanganku, sehingga dengan demikian, sesungguhnya akupun juga tidak diperlakukan secara adil sama seperti halnya teman-temanku. Karena tanpa mereka sadari sistem kerja yang dibentuk cenderung mematikan potensiku.
Untuk mencegah agar suasana semakin tidak enak, apalagi ada benarnya juga, bahwa tidak ada dasar buat Bosku memplotkanku sering-sering dinas, karena aku juga sama sekali tidak mengerti pekerjaan di semusim seperti halnya staf yang lain. Oleh sebab itu aku memutuskan menolak perjalanan dinas selama 3 bulan dengan alasan mau persiapan sekolah ke Australi. Toh, pas pergi dengan pak Maman ke Papua aku juga seperti orang bloon, dan bekerja seperti ajudannya saja, serta diberikan perintah yang aneh-aneh. Sekaligus ini menjadi aksi solidaritasku terhadap teman-teman yang lain, untuk sama-sama merasakan kesusahan.
Begitu keinginanku ini kusampaikan kepada Bosku, kemudian ia dengan senyum simpulnya, yang aku tidak tahu murni atau tidak, mengatakan bahwa aku sudah diplotkan ke Aceh. ”Tapi untung kamu tidak mau jalan, karena dari awal itu rencananya perjalanan itu mau difiktifkan”, demikian katanya. Tentu saja aku terkejut, mereka meplotkan begitu saja tanpa meminta persetujuanku, tanpa memperhitungkan apakah pernah ke Aceh atau tidak, bagaimana kalau nanti aku dipanggil pengawas. Tapi sudahlah, akhirnya kuputuskan untuk menerima saja dan kalau terjadi kenapa-kenapa, ya, jujur saja bilang ke pengawas layaknya orang bloon.
Tapi, meskipun aku sudah dirugikan dan bertekat tidak dinas selama 3 bulan sebagai bentuk solidaritas dan mereka juga mengetahui hal itu, teman-teman sesama staf satu ruanganku ternyata masih saja memonitor jadwal perjalanan dinasku, mereka masih sensitif terhadap adanya perlakuan khusus terhadapku, pas hari seharusnya aku berangkat ke Aceh semua menanyakan ko tidak jadi berangkat, kapan? Dan aku yakin tidak hanya sekedar bertanya demikian, mungkin mereka masih menganggapku diperlakukan istimewa dan memposisikanku satu front dengan para bos (bos batalin). Setidaknya pikiranku demikian cukup beralasan, karena ibu Musrifah entah kenapa tiba-tiba membahas masalah ini pas kami ketemu menjelang masuk ruangan kantor dan sewaktu di lift tiba-tiba saja ia berucap, ” Kamu kan bisa diplotin ke daerah karena kamu anak kesayangan”. Sebuah ungkapan yang tidak sedap di dengar dan disampaikan di depan orang yang tengah berhimpitan di lift. Jujur kata-kata itu setidaknya membuatku tidak enak hati. Aku juga turut dirugikan dalam sistem manajemen pimpinan yang tidak baik dan berusaha untuk turut berada di posisi mereka, malah dinilai demikian.
Tapi sudahlah, memang kondisi ruangan sudah tidak lagi kondusif yang sesungguhnya sudah terbentuk sejak dulu dan orang yang paling bertanggung jawab adalah pimpinan. Mereka tidak mampu menciptakan suasan yang hangat dan penuh kekeluargaan, serta kurang peka terhadap stafnya dan kebijakanannya cenderung menciptakan konflik di antara staf, seperti yang kualami. Mengapa demikian? Ya, tapi sekali lagi ini bukan karena kesalahan mereka, melainkan karena mereka kurang memiliki skill kepemimpinan, karena jabatan PNS cenderung hanya ditentukan administrasi struktural dan preferensi pimpinan yang lebih tinggi. Jadi mereka tidak patut disalahkan, yang milih mereka juga patut disalahkan, siapa suruh orang-orang seperti kami dijadikan pemimpian. Atau barangkali yang memilih merekapun samimawon kemampuannya dengan mereka, mulai dari pejabat E-2 sampai menteri bahkan presidennya. Ah, aku terlalu berlebihan. Sehingga bukannya tidak mungkin orang yang tidak patut menjadi pimpinan dan tidak menguasai bidang pekerjaan tiba-tiba nongol menjadi pimpinan, dan memimpin bawahan yang tidak pintar-pintar amat kayak mereka juga.
Seorang pemimpian yang baik tentunya tahu menyenangkan hati anak buahnya dan tidak serakah, karena secara filosofis adanya pemimpin karena ia ada bawahan, dan keberhasilan seorang pemimpinan tentunya tidak lepas dari kinerja bawahannya. Good leader mampu mendelegasikan tugas dengan baik karena ia memahami betul pekerjaannya dan anak buahnya sehingga ia bisa mengatur porsi tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan stafnya. Tapi pemimpin yang cenderung tertutup dan suka marah-marah, kadang sedang berkompensasi ria terhadap ketidaktahuannya, ”Bagaimana jika pas mengerjakan pekerjaan staf menjadi tahu kalau aku sama bodohnya dengan dia”, atau si pemimpin beranggapan dengan mencari-cari kesalahan si bawahan seolah ia hendak mengajarkan bahwa kamu, bawahan, tolol dan saya, pimpinan, pintar. Manajemen demikian dapat dikategorikan manajemen pinpinbo alias pintar-pintar bodoh.
Cobalah lihat perilaku pimpinanku saja, mereka enak-enakkan jalan-jalannya sedangkan stafnya ada yang berkutat dengan masalah keuanngan. Alasan mereka, wajarlah staf tidak jalan karena tidak menguasai. Pertanyaan kemudian adalah, apakah mereka juga menguasai pekerjaan?
Aku tidak yakin itu. Lagipula pekerjaan pegawai pusat selama ini yang kuamati hanyalah bersifat administrasi, bukannya ke lapangan untuk merancang mesin, melakukan supervisi teknis pembangunan kebun, supervisi pembuatan robo, yang juga bisa dilaksanakan oleh staf asal diberikan pengarahan . Dan merekapun sering kembali dengan dua lembar data dan akhir kegiatan perjalanan tidak lebih dari sebuah laporan yang 2 tahun kemudian bakal dikiloin, dibuat dengan ciplak sana-sini yang tamatan SMP pun aku yakin bisa membuatnya. Coba lihat saja isinya, jika target di lapangan yang tidak tercapai maka alasan penyebabnya sangat klise yakni karena kurangnya kesadaran masyarakat. Dan rekomendasi pemecahan juga sangat mengawang-ngawang yakni menyadarkan masyarakat, seolah petani kita suka merem-melek. Toh, sesungguhnya motivasi pimpinan pergi dinas juga tidak jauh berbeda dengan staf, mengharapkan sisa tiket dan lonsum, buktinya ketika bakal ada peraturan bahwa tiket dan lonsum harus real, maka pimpinan juga ikut-ikutan lemes kayak stafnya dan malah ada yang nyeletuk, ” Kalau begitu besok-besok nggak usaha jalan, saja”. Lho, kok, langsung down begitu.
Lagipula untuk apa mengharapkan keuntungan dari uang negara, karena itu sesungguhnya bukan hak kita yang kadang diperlakukan layaknya uang pribadi, sehingga tidak heran anggaran yang tiba-tiba masuk ke pos yang salah akan menimbulkan konflik seperti harta kekayaan yang dicaplok orang lain. Dan tidak ada salahnya jika memanfatkan wewenang untuk kesejahteraan orang banyak dan bukannya kepentingan sendiri, apalagi sadar diri tidak juga sepintar seorang peneliti dan bodohnya sama dengan staf. Jadi untuk apa lengak-lenggok tidak jelas ke sana ke mari layaknya seorang konsultan swasta ternama seperti Hermawan Kertajasa.
Dan sekarang ini aku benar-benar terjepit dan kondisi ini benar-benar tidak menyenangkan. Istilahnya, maju kena mundur kena. Oleh sebab itu tidak ada salahnya untuk beberapa masa ke depan perlu sedikit cuek dan rada-rada apatis khususnya untuk pekerjaan yang tidak bermutu, kalau aku masukin hati maka pikiranku jadi puyeng dan aku bisa stress. Tapi ini bukan berarti aku menjadi stagnan dan kelayapan nggak jelas, nongkrong di koperasi dan jarang masuk, melainkan ini menjadi masa dormansi, saat aku mengembangkan kreativitasku dengan menfaatkan peluang yang ada di kantor atau di bidang lain untuk menciptakan kesempatan baru serta pengembangan diri sehingga pada saat awan kelabu ini berlalu aku sudah lebih matang lagi dan siap kembali melakukan tugas negara dengan penuh tanggung jawab.......(ungkapan hati seorang PNS muda tentang pengalamannya juga dialami oleh ribuan PNS di seluruh nusantara, mulai dari yang masih muda hingga yang sudah bangkotan, dan mengharapkan agar sistem Birokrasi Indonesia mengalami reformasi...)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment