Monday 29 June 2009

REALITY SHOW DAN VULGARISASI TELEVISI


Menurut Burdrillard, kevulgaran pada media televisi tidak ditandai dengan ketelanjangan. Melainkan karena tidak lagi ruang private. Apa yang menjadi private tersingkap menjadi vulgar, terreduksi menjadi sebuah tontonan sekejab. Ketelanjangan tidak seketika menerobos ruang pribadi karena ada adengan yang dimainkan yang lepas dari realitas hidup si pelaku. Namun dalam sebuah kevulgaran ruang private yang kompleks dan menyangkut pribadi yang paling telanjang, karena adanya ekspresi yang bersifat personal tersingkap menjadi tontonan murahan.

Peringatan akan kevulgaran yang diangkat oleh Budrillard seolah menjadi sebuanya kenyataan saat ini. Setidaknya ini dibuktikan dari maraknya acara reality show yang mengangkat kehidupan nyata dari orang-orang . Mulai dari sekedar untuk mengungkap perasaan terdalam sebagai bukti cinta hingga membongkar kebohongan pasangan suami istri. Semua menjadi tersingkap secara telanjang. Tidak ada lagi tembok-tembok kamar yang biasa menuntupi konflik pribadi. Semua sekejap menjadi terbuka melalui layar televisi.

Reduksi Pengalaman Hidup
Perselingkuhan, ungkapan cinta, konflik dan maaf adalah bagian dari kehidupan yang kaya akan makna. Karena ada dimensi kontemplasi di dalamnya yang bisa merubah arah kehidupan seseorang. Hal ini mengakibat setiap segmen kehidupan yang paling kritis maupun paling mendebarkan, dalam berbagi kultur disakralkan. Bahkan dalam masyarakat paling kolektif sekalipun persoalan rumah tangga dan antar keluarga tidak dapat serta merta dicampuri oleh pihak lain.

Hal ini karena ada sebuah nuansa perasaan dan kompleksitas kesadaran yang tidak dipahami oleh orang lain. Kehidupan bersama dan pergaulan menciptakan sebuah dunia yang dialami bersama, yang tidak serta merta dapat diakses oleh orang lain di tersebutluar margin hubungan. Hanya diantara mereka yang berinteraksi nuansa tersebut dapat dikomunikasikan dan kemudian menjadi titik untuk menentukan arah kehidupan selanjutnya.

Namun ketika kompleksitas hubungan tersebut menjadi bagian dari sesuatu yang dipertontonkan. Maka elemen kompleksitas manusia menjadi samar. Berbagai konflik terreduksi menjadi sekedar tontonan. Yang real menjadi disamakan dengan yang tidak real. Reality show penyelesaian konflik sebuah rumah tangga yang bakal berdampak bagi kehidupan mereka pasangan suami istri demikian juga kepada anak-anaknya bagi penonton tidak lebih berharga dari sebuah tayangan komedi atau kuis yang ditampilkan tidak secara alami. Bahkan didramatisir, dengan musik maupun pembawa acara yang menciptakan konteks sedemikian rupa agar menyerupai kisah kehidupan nyata tersebut menjadi melodrama yang mengetarkan.

Etika vs Kevulgaran
Oleh sebab itu meskipun acara reality show sama menguntungkannya dengan sebuah acara sinetron striping, menjadi pundit-pundi penjaring iklan. Namun tidak serta merta ruang pribadi dapat dibredel dengan alasan profit.

Kalaupun mereka yang mengekspos kehidupan pribadnya adalah berdasarkan keputusannya sendiri. Namun popularitas dan materi dapat membuat seseorang buta akan sakralnya ruang pribadinya. Dan ada baiknnya stasiun televis ikut menjaganya.

Menghadapi manusia berarti menghargai ruang dimana ia menentukan arah hidupnya. Biarlah ruang itu tetap sakral dan tidak menjadi sebuah tontonan yang mereduksi maknanya semata-semata sebagai tontonan yang bersifat hedonisme.

Sebagaimana televisi memiliki etika yang membatasi dalam penayangan acara. Khususnya untuk acara-acara kekerasan maupun seksual. Namun kekerasan dan ketelanjangan yang sama juga ada dalam penyingkapan berbagai konflik yang sangat pribadi. Oleh sebab itu televisi perlu dibatasi untuk menangkat hal yang berhubungan dengan kehidupan nyata yang kaya akan nuansa perenungan. Dan tidak menjadikannya semata-mata tanyangan pengisi jam tayang untuk mendatangkan pundit-pundi uang dari iklan.

No comments: