Monday, 2 June 2008

PRINSIP-PRINSIP PERNIKAHAN


Percintaan yang gagal dalam hubungan asmara tidak sepatutnya disesali, karena masih ada kesempatan mencari penganti yang lebih baik, namun jika hubungan rumah tangga berakhir maka konsekuensinya menjadi serius, maka tidak hanya pasangan yang dikorbankan melainkan juga anak, keluarga, dan mengakibatkan luka batin yang lebih parah, karena hubungan rumah tangga memiliki ikatan emosional dan personal yang lebih mendalam dari hubungan percintaan atau pergaulan biasa.

Mempertahankan keutuhan rumah tangga bukanlah sesuatu hal yang mudah. Banyak pasangan yang memiliki rumah tangga yang tidak bahagia bukan karena adanya salah satu pasangan yang tidak setia, namun karena buruknya hubungan terbina selama ini sehingga menumbuhkan sikap saling curiga dan tidak adanya saling pengertian yang berakhir pada hubungan yang tidak intim.

Oleh sebab itu menurut saya pernikahan setidaknya harus dibangun di atas 3 prinsip dasar agar hubungan rumah tangga menjadi langgeng.

1. Keterbukaan. Syarat agar rumah tangga awet adalah adanya kesepahaman dan kemampuan masing-masing pasangan menjelaskan dan meramalkan tindakan ataupun sikap yang diambil pasangannya. Banyak rumah tangga yang berakhir karena dipenuhi prasangka negatif di antara masing-masing pasangan, seperti rasa cemburu yang berlebihan.

Misalnya saat seorang suami sedang terlihat akrab dengan teman wanitanya di kantor, si istri bisa saja memvonis bahwa suaminya sedang ada main, namun jika si istri sudah mengenal karakter sang suami yang memang terkenal supel maka situasi demikian tidak perlu menimbulkan rasa cemburu dihatinya.

Untuk memungkinkan kondisi demikian terjadi maka sejak awal pernikahan (jika perlu sebelum menikah) masing-masing pasangan mulai membiasakan diri menunjukkan diri apa adanya. Seringkali hubungan di pra atau awal pernikahan dipenuhi berbagai kemunafikan tujuannya agar terlihat sempurna di mata pasangannya. Namun kita tidak pernah sepenuhnya dapat menutupi sifat dan karakter kita yang sebenarnya. Saat diri kita yang sesungguhnya muncul maka pasangan kitapun terkejut seraya berkata, ” Ko, dia berubah, yah!?”.

Sejak awal hubungan kita harus berani mengakui secara jujur segala sesuatu yang terkait tentang pribadi kita, pengalaman kehidupan, latar belakang keluarga kita, dsb. Tidak ada manfaat apapun dari menyamarkan kenyataan hidup seperti mengatakan bahwa kita berasal dari keluarga kaya raya meski kenyataannya tidak. Kondisi demikian tentunya mensyaratkan kemampuan kita menerima diri kita apa adanya. Jika kita tidak menerima diri kita apa adanya wajar saja jika kita berusaha menutupi diri dan mencoba menjadi sosok pribadi yang lain karena merasa tidak ada sesuatu yang istimewa.

Jika di kemudian hari pasangan kita menyadari bahwa sifat yang kita tunjukkan demikian halnya dengan kisah kehidupan yang kita ceritakan selama ini hanyalah kebohongan belaka maka kondisi demikian akan menumbuhkan ketidakpercaya pada diri pasangan kita. Sehingga walaupun dikemudian hari kita menceritakan hal yang sejujur-jujurnya namun pasangan kita yang pernah merasa tertipu akan sulit untuk mempercayai dan akan lebih meyakini pikirannya sendiri yang penuh prasangka, yang kemudian bergerak ibarat bola salju, yang semakin hari berkembangkan semakin tidak percaya. Saat hubungan rumah tangga tidak lagi didasarkan kepada kepercayaan atau keyakinan maka ini menjadi isarat dari sebuah kehancuran.

2. Hubungan saling melengkapi.
Dalam masyarakat partiarkar pria diposisikan sebagai pihak yang dominan dan wanita adalah pihak yang lemah. Pria harus unggul segalanya dan wanita harus patuh terhadap otoritas si suami. Dan kondisi saat ini digambarkan dalam hal intelektualitas dan keunggulannya secara ekonomi.

Namun kenyataan saat ini sering kali membuktikan sebaliknya. Dengan adanya kesempatan yang sama antara pria dengan wanita untuk mengenyam pendidikan dan mengejar karir, maka bisa saja si istri memiliki kemampuan intelektualitas dan karir yang sama atau lebih dari pada sang suami. Si wanita tidak lagi memiliki tergantungan secara ekonomi kepada suaminya. Bahkan ada wanita yang kemudian lebih sibuk di luar rumah dibandingkan sang suami sehingga mau tidak mau mengharuskan si suami melakukan pekerjaan rumah tangga.

Banyak rumah tangga mengalami konflik diawali adanya kondisi suami yang telah kehilangan dominasinya di dalam keluarga. Sang suami merasa tidak lagi berharga karena tidak mampu lebih segalanya dari sang istri dan si istri dicerca oleh keluarga karena tidak lagi berfungsi sebagai ibu rumah tangga, menurut pandangan mereka. Banyak pria akhirnya membenarkan perselingkuhannya karena ia merasa tidak lagi berharga di mata istrinya.

Tentunya kondisi demikian tidak perlu terjadi ketika hubungan rumah tangga di dasarkan pada tujuan untuk saling melengkapi. Bahwa pria tidak perlu harus merasa superior dalam segala hal dan wanita tidak juga harus mengurung dirinya untuk membiarkan si suami menjadi tokoh sentral dalam rumah tangga. Rumah tidak juga sepatutnya dibangun di atas dasar sebuah persaingan atau hubungan saling menguasai melainkan pada sebuah orientasi untuk menciptakan sebuah suasana keluarga yang nyaman dan bahagia.

Kerja adalah salah satu unsur dalam rumah tangga bertujuan memenuhi kebutuhan hidup dalam rumah tangga. Jika si suami tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangganya sendiri maka tidak ada salahnya si istri turut membantu meringankan beban ekonomi yang ditanggung si suami. Atau jika si istri lebih baik karirnya di sang suami tidak perlu gusar melainkan mengsyukuri karena melalui kesuksesan karir si istri kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Namun yang sesungguhnya harus dihindari adalah kecenderungan pasangan menjadikan karir sebagai hal yang primer dan keluarga menjadi sekunder. Banyak rumah tangga yang berantakan akibat menurunya kualitas interaksi dalam rumah tangga karena masing-masing pasangan sibuk di luar rumah, mengejar karirnya masing-masing.

Disamping itu adanya perbedaan sifat antara pria dan wanita mengisyaratkan keunggulan masing-masing. Kemampuan wanita membangun hubungan yang hangat dengan anak-anaknya, perasaan yang lebih peka terhadap segala sesuatu yang ada di rumah membuat wanita yang sesungguhnya didaulat menjadi penguasa dalam rumah. Tanpa seorang istri maka rumah menjadi serasa kehilangan jiwa dan hal itu adalah kelebihan wanita yang tidak dapat dipungkiri pria. Namun sifat pria yang sering kali kaku dalam interaksinya dengan anak dan cenderung teguh dengan prinsipnya, seringkali mengindahkan perasaan dan mendahulukan rasio, ternyata sangat dibutuhkan untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplinan dalam rumah tangga.

Untuk menciptakan hubungan saling melengkapi maka perlu ditumbuhkan suasana demokratis dalam keluarga. Bahwa baik pria dan wanita memiliki posisi tawar dan hak bicara yang sama. Suami maupun istri demikian halnya anak-anak memiliki kesempatan yang sama dalam menawarkan ide solutif terhadap persoalan yang tengah dihadapi keluarga dan turut terlibat dalam pemecahannya. Sehingga dalam hubungan demikian masing-masing pasangan terlibat secara penuh dengan cara-cara yang mereka tentukan dan sepakati bersama dalam mengatasi persoalan yang temgah dihadapi, tanpa lagi didasari kesadaran bahwa ada pihak yang lebih unggul, dan lebih berhak di sisi lain ada yang harus lebih patuh.

3. Komitmen dan Aturan.
Cinta tanpa sebuah komitmen akan menyamarkan cinta itu sendiri. Artinya cinta akan terlihat jelas dalam sebuah harmoni. Oleh sebab itu ketika hendak membina rumah tangga perlu ditetapkan sejak awal komitmen dan aturan yang mengikat keputusan bersama agar tercipta sebuah keteraturan. Terutama saat membina hubungan dengan pihak ketiga seperti keluarga atau rekan. Aturan yang ditetapkan di awal membuat segala keputusan rumah yang diambil oleh salah satu pasangan akan selalu klop dengan pasangannya.

Hal ini juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya pengaruh keluarga yang bersifat negatif. Karena hubungan dengan keluarga cenderung melibatkan nuansa emosional yang kental sehingga dapat mendistori keputusan objektif salah satu pasangan. Misalnya saja jika ada anggota keluarga yang membutuhkan uang, maka keputusan akan dilakukan dengan mudah jika sudah ada panduan atau aturan; apakah hanya akan diberikan jika kebutuhannya sangat krusial, atas sepengetahuan kedua pasangan, atau hanya dengan menggunakan dana yang sudah disiapkan dari awal. Aturan tersebut menjadi pedoman saat timbul keraguan-raguan akibat konflik emosional. Banyak keluarga yang mengalami percekcokan terkait hal ini, karena oleh pasangannya seorang suami/istri dianggap lebih memperhatikan keluarganya karena suka memberikan bantuan tanpa sepengetahuan suami atau dengan cara yang tidak disepakati terlebih dahulu.

Aturan dan komitmen yang ditentukan juga akan sangat berhubungan dengan visi yang hendak dibangun dalam rumah tangga. Bentuk rumah tangga yang ingin kita bangun akan sangat berhubungan dengan komitmen dan aturan yang kita tentukan. Jika ingin membangun rumah tangga yang berorientasi keberhasilan anak di masa depan maka membutuhkan komitmen untuk membatasi waktu untuk bekerja, atau tidak terlalu membabi buta mengejar karir, agar setiap hari senantiasa tersedia waktu untuk berhubungan dan mendidik anak-anak.

Tanpa ketiga prinsip tersebut sulit rasanya membangun rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Karena rumah tangga seharusnya menjadi ruang privat dimana interaksi paling intim bagi manusia berlangsung, sehingga sepatutnya tidak ada eksploitasi atau alienasi di dalamnya. Namun ketiga prinsip itu akan berakar pada sebuah dasar yang menjadi fondasi bagi setiap rumah tangga, yakni cinta kasih, yang harus dibedakan dengan perasaan sensualitas seperti saat berpacaran. Melainkan ekspresi dari sebuah keterbukaan menerima kehadiran pribadi yang lain sebagai bagian dari diri dan kehidupan kita dalam suasana penuh kekaguman, sehingga segala fenomena dan hal yang terjadi pada pribadi tersebut sudah otomatis berdampak serta menjadi bagian perhatian kita.

Membangun rumah tangga yang harmonis bukanlah hal yang mudah, namun jika kita mendapatkannya maka kehidupan kita selanjutnya menjadi sesuatu yang manis untuk dilalui.

No comments: