Monday, 9 June 2008

KENAIKAN BBM DAN PEMERINTAH YANG PINPINBO (PINTAR-PINTAR BODOH)


Memang kasihan juga jadi rakyat Indonesia karena harus terus hidup melarat bahkan tambah melarat. Dan akhir-akhir ini masyarakat miskin harus membiasakan antri secara bersesak-sesakkan untuk mendapatkan BLT. Hal ini terjadi sebagai dampak langsung dari kenaikan BBM karena pemerintah merasa tidak lagi sanggup mengsubsidi minyak BBM.

Menurut Pak Wapres Jusuf Kalla kenaikan harga BBM merupakan langkah yang mau tidak mau harus dilakukan pemerintah menyusul harga minyak dunia yang menembus angka 100 dolar AS per barel (Antara, 06/05/08).

Artinya, “Wahai, orang-orang melarat, harap maklum, karena negara makin melarat jadi ini adalah saatnya sampean mengencangkan tali pinggan”. Kasihanilah negara karena negara sedang sekarat. Jadi marilah sama-sama maklum. Rakyat harus maklum negara sedang miskin dan negara juga maklum kalau rakyat tidak sejahtera-sejahtera. Artinya marilah kita saling menghormati kesusahaan masing-masing.

Namun tentunya ini adalah sebuah statement aneh, yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah mungkin sebuah negara, sekaya Indonesia, melarat? Adapun sumber kekayaan negara ini adalah kekayaan rakyatnya dan kekayaan sumber daya (alam, budaya dsb) yang dimiliki, dimana negara melalui aparatnya bertanggungjawab mengelola kekayaan tersebut (kekayaan negara) bagi kepentingan seluruh masyarakat.

Jika demikian, bukankah hal aneh jika negara tiba-tiba jatuh melarat meskipun ada sejumlah anggota masyarakatnya yang digelari label konglongmerat. Lihat saja jumlah kekayaan 5 orang konglomerat terkaya di Indonesia burizal Bakrie & keluarga 5,4 miliar USD, Sukanto Tanoto 4,7 miliar USD, R. Budi Hartono 3,14 miliar US, Michael Hartono 3,08 miliar USD, Eka Tjipta Widjaja & keluarga 2,8 miliar (Forber Asia, 2007). Jika kekayaan mereka dapat disumbangkan untuk kepentingan negara sebesar 1% mungkin negara tidak terlanjur melarat.

Karena negara pada awalnya didirikan bagi kepentingan bersama dan rasanya aneh jika kemudian segelintir orang dapat hidup berkelimpahan sedangkan warga negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja sulit. Jadi bukanlah pelanggaran hak asasi jika negara menuntut para konglongmerat untuk menyumbangkan kekayaannya sedikit lebih besar apalagi jika bertujuan untuk menolong masyarakat yang miskin. Toh, mereka juga menjadi kaya karena hidup sebagai warga Indonesia sehingga ia bisa mengeksplorasi kekayaan alam di wilayah nusantara dan memperkerjakan orang-orang Indonesia, jadi wajar mereka menyumbangkan kekayaan secara rasa syukur karena ke-Indonesiannya.

Belum lagi jika ditambah dari pemasukan dari retribusi dan pengelolaan sumber daya milik negara. Konon penerimaan pemerintah dari hasil-hasil tambang tahun 2007 mencapai Rp 8,24 triliun. Sedangkan, untuk tahun 2008, penerimaan itu diproyeksikan sebesar Rp 9,4 triliun. Dan menurut Marwan Batubara (2008) angka-angka inipun masih lebih kecil dibandingkan potensi yang bisa diraih (http://www.marwanbatubara.com, 2007).

Potensi kekayaan alam dan sumber daya manusia (220 juta orang) juga berlimpah. Jika dikelola dengan baik pasti dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan negara. Anehnya, terdapat sejumlah negara yang kaya, dan rakyatnya sejahtera, meskipun potensi kekayaan alam dan sumber daya manusianya terbatas, sebut sajalah negara tetangga kita Singapura.

Atau mungkin saja negara ini miskin karena dikelola oleh orang-orang yang kecerdasan dan mentalitasnya sama buruknya dengan seorang preman. Sehingga wajar saja negara yang seharusnya kaya mendadak jatuh miskin.

Pemimpin yang Cerdas
Ratusan tahun yang lalu lalu Plato memimpikan sebuah negara yang dipimpin oleh seorang filsuf. Ia terinspirasi dari perjalanannya ke Mesir dimana negara dikelola oleh seorang pendeta yang tidak lain adalah orang pintar di zaman itu. Dimana seorang pendeta orang yang memiliki otoritas menentukan kapan dilakukannya penanaman gandum dan meramalkan kapan terjadinya banjir. Alhasil banjir berkala di Mesir tidak lagi dianggap sebagai bencana nasional melainkan sebuah berkat dari dewa karena seorang pendeta mampu mengelolanya menjadi sesuatu yang bermanfaat. Oleh sebab itu Plato berpikiran jika saja kemudian di sebuah negara dipimpin oleh orang pintar tentu negara itu akan sejahtera.

Bagaimanakah tipikal pemimpin yang cerdas itu sesungguhnya?

Pemimpin cerdas adalah pemimpin yang memiliki cara berpikir yang tidak biasa. Ia tidak terjebak dengan apa yang kita sebut sebagai kesadaran umum. Jika semua orang berpikiran wajar jika harus ada anggota masyarakat yang terkena busung lapar, bahwa kemiskinan adalah sesuatu yang tidak bisa dihilangkan, maka ia tidak berpikir demikian. Pemimpin yang sering berpikiran bahwa itu, ini dan itu adalah realitas akhirnya cenderung menjadi pasrah, nrimo atau bertindak secara minimalis.

Pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang mampu memandang berbagai persoalan dari perspektif berbeda serta menciptakan solusi yang kreatif. Prinsip hidupnya adalah 'tidak ada masalah yang tidak dipecahkan'. Seorang pemimpin yang pintar adalah pemimpin yang bergerak dari visi, bahwa ia memiliki mimpi yang hendak dicapai. Dan bukannya terkekang dengan keadaan. Layak seorang penemu yang inovatif.

Para Pemimpin Indonesia
Namun para pemimpin kita masih jauh dari kualitas demikian. Buktinya saja bahwa negara seolah simbol saja, karena rakyat secara alami tetap menghadapi apa yang disebut hukum alam. Artinya jika rakyat tidak punya penghasillan maka silahkan untuk menghadapi busung lapar. Masyarakat atau suku terpencil yang kurang mendapatkan pendidikan formal, wajar-wajar saja tergilas oleh mereka-mereka yang lebih ungul pengetahuannya. Ketika pasokan listrik terbatas, maka wajar jika rakyat harus berhemat. Anda tidak punya uang maka Anda tidak bisa membeli makanan maka selanjutnya Anda akan mati, untuk republik ini termasuk yang wajar-wajar saja.

Sehingga ada tidak ada negara Anda harus tetap kelaparan, miskin, bahkan mati, ketika hukum pasar atau juga alamiah (mungkin) mengharuskan demikian. Jika demikian dapat dikatakan bahwa negara tidak berfungsi apa-apa. Jadi bagi kita yang merasa sengsara lebih baik tidak mengharapkan negara melakukan sesuatu melainkan pelajari saja hukum apa yang biasa terjadi. Jika saatnya untuk sengsara terima sajalah dengan pasrah.

Pemimpin Pinpinbo
Hal itu bisa terjadi karena pemimpin kita kadang agak pintar-pintar tapi bodoh (Alias tidak pintar-pintar amat). Namun patut kita pertanyakan mengapa mereka menjadi pinpinbo?

Menurut saya bisa jadi karena mereka sudah bodoh dari sononya, karena aparatus negara kita juga banyak diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten. Wong, ijazah saja dibeli, malah ada yang bekas preman, tapi untunglah mereka memiliki uang untuk membeli jabatan dan kekuasaan. Sehingga tidak heran banyak pemimpin kita yang menunjukkan perilaku yang tidak cerdas. Ketika gagal terpilih sebagai pemimpin daerah seorang calon gubernur malah menggunakan cara-cara premanisme dengan mengerakkan massa untuk memaksakan keputusan publik. Bisa juga sebaliknya, jika si gubernur pemenang pemilu yang gagal, mungkin bakal mengerakkan massanya.

Kekuatan pemimpin di republik ini sering kali tidak ditentukan tingkat intelektualnya melainkan berapa banyak massa yang bisa ia gerakkan. Sehingga sang pemimpin bisa berseru dengan lantang, " Hati-hati ente, aye punya centeng yang bisa bikin ribut jika ente macem-macem". Mentalitas calon pemimpin dan para pemimpin masyarakat sedemikianlah yang seringkali membuat pilkada di Indonesia berakhir ricuh dan merusak citra perpolitikan nasional.

Tapi saya memiliki pandangan yang lebih positif terhadap manusia. Bahwa sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa manusia secara kreatif menciptakan cara-cara untuk mengatasi ancaman yang ia hadapi. Teknologi yang kita nikmati saat ini adalah sumbangan dari kreativitas umat manusia sebelum kita. Artinya bahwa setiap manusia akan menjadi kreatif jika diperhadapkan pada tantangan.

Jadi mungkin saja para pemimpinan negara sesungguhnya bukan orang bodoh dan memiliki potensi menjadi kreatif, namun ketika menjadi pengambil keputusan negara kepekaannya seolah sirna pelahan tapi pasti. Kesengsara rakyat bukan kesengsaraanku. Sehingga tidak perlu berpikir keras untuk mencari solusi yang tepat. "Rakyat kelaparan di NTT bukan bagian perhatianku karena, wong, aku tidak kenal dan warna kulitku saja berbeda dari mereka".

Jadi tidak perlu heran jika pemerintah dengan mudahnya memutuskan menaikkan BBM, itu bukan masalah besar. Wajar saja, karena dengan penghasilan dan fasilitas yang ia dapatkan, dampak kenaikan BBM tidak terasa. Wong, dalam keseharian saja kehidupannya berbeda dari rakyat kebanyakan. Tidak kena macet karena dikawal mobil partroli. Uang dengan mudahnya didapat entah itu berupa upeti terselubung atau tunjangan jabatan yang memang sangat mensejahterakan.

Namun bukan berarti kreativitasnya tidak berkembang. Masih berkembang, tapi untuk mengelabuhi rakyat. Kecerdasan dan kemampuannya bergumentasi serta mengatur raut wajah digunakan menenangkan hati rakyat yang gundah gulana secara semu. "Tenang saja kami akan memberikan BLT itu demi melindungi Anda yang miskin". Meskipun dampaknya jelas rakyat jelata bakal berdesak-desakan layaknya orang-orang pengungsian mengejar bantuan sembako, bahkan harus menghadapi ancaman kematian karena terpijak atau terhimpit orang banyak.

Dan tidak ada gunanya mahasiswa melakukan demo karena pemerintah punya prinsip apa yang sudah diputuskan tidak bisa ditarik. Meskipun aturan dapat diputuskan tidak berlaku demi kepentingan rakyat. Tapi karena sang pemimpin rakyat sudah tidak lagi menjadi bagian dari rakyat yang menderita maka tidak ada yang salah dengan kebijakan tersebut.

Oleh sebab itu bagi kita rakyat Indonesia yang dipimpin oleh mereka yang pinpinbo (yang sudah bodoh dari sononya atau bodoh karena lelap oleh nikmatnya kekuasaan) karena mereka telah kehilangan kepekaan harus belajar untuk pasrah, ada sebuah ungkapan seorang filsuf, Nietzche, yang cocok buat rakyat Indonesia, “ Terimalah kematian jika sudah saat mati, atau terimalah penderitaan jika saatnya menderita dan tidak usah berharap kepada siapapun”. Atau pendapat Dostoeivsky marilah kita menikmati penderitaan, melalui penderitaanlah manusia menjadi agung”. Karena ketika negara dipimpin oleh mereka yang pimpinbo maka ada tidak ada negara maka nasib rakyat begitu-begitu saja.

Atau jika kita cukup alim dan tawakal tidak ada salahnya untuk memanjatkan doa agar pemimpin kita ditobatkan oleh yang Maha Kuasa. Ketika negara tidak lagi menjadi tempat rakyat mengantungkan harapan maka hanyalah Tuhan satu-satunya kekuatan yang tersisa untuk memberikan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Jikalau tidak di kehidupan ini mungkin di kehidupan nanti....

No comments: