Monday, 26 May 2008

CURHAT TENTANG POLITIK DAN IBU HERNO


Hari ini tidak masuk kantor, well, demi mengelabuhi Bu’ Herno karena aku change dengan Ibu Anny untuk pergi ke Palembang dan dia sudah pergi minggu lalu, agar aku seolah pergi Palembang maka hari ini aku tidak masuk dengan alasan Dinas luar ke Palembang. Wah, kalau begitu aku sudah berbohong, dong. Yup, tapi tidak apalah demi sebuah kebaikan. Semoga Tuhan memaafkanku..

Pagi ini aku coba membahas sesuatu yang menarik perhatianku yakni tentang politik.

Lho, kok, politik?

Entah kenapa kata ini tiba-tiba menjadi penting bagiku, padahal sebelumnya aku agak nista mendengar kata itu dan sama sekali enggan berkenalan dengannya. Ya, tentu saja, karena selama ini aku memiliki streotip bahwa politik identik dengan kekuasaan dan kekuasaan itu torkotor seperti kata orang Madura. Dan aku pandanganku ini pernah kusampaikan dengan penuh rasa pecaya diri dan sedikit emosional pada Desan, temanku di EPS yang bersemangat mengajakku terlibat politik kampus karena menurutnya auraku agak cocok untuk itu.

“Jangan paksa aku, Des, karena aku lelaki bukan untuk dipaksa. Lagi pula, ngapain ikut-ikutan politik, politik itu dekat ama kekuasaan dan kekuasaan itu kotor, korup, tukang bohongi rakyat, nazis, deh...juga narsis” , demikian kukatakan padanya yang membuat wajahnya memerah seperti semangka medan dan setelah itu kapok mengajakku ikut-ukutan berpolitik di kampus.

Dan bagiku juga pada saat itu ilmu politik adalah pengetahuan yang dipelajari atau dipikirkan oleh sekelompok orang atau seseorang yang haus harta dan tahta untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan atau untuk menjatuhkan kekuasaan kelompok lain yang untuk mendapatkannya dengan pasrah dan tidak bisa menolak, karena tidak ada jalan lain, harus menghalakan segala cara dengan melakukan cara-cara busuk mulai money politik, penipuan massa hingga dengan saling menjelek-jelek bahkan habis menghabisi di antara mereka yang sedang bersaing mendapatkan kekuasaan. Wong yang haram saja sulit dilakukan apalagi yang halal.

Pandanganku ini setidaknya terbentuk oleh kenyataan perpolitikan di Indonesia dan negara lainnya yang kusaksikan dan mempertontonkan berbagai kekotoran, kadang agak sedikit sadis seperti di film-film mafioso, lihat saja bagaimana Amin Rais dengan manuper politik oportunisnya menaikkan Gus Dus yang hampir buta namun kemudian dia juga yang paling bersemangat untuk menjatuhkannya dengan berbagai alasan dan berharap cemas moga-moga menjadi pesiden, dan dalam hatinya menyerukan “Amin...!!”(rais). Juga rasanya sulit untuk tidak melihat tingkah laku partai politik yang membagi-bagikan uang ketika kampanye kepada mereka yang datang dan mengenakannya baju maskotnya atau mengiming-imingkan kendaraan bermotor bagi kepala desa yang dapat mengerahkan masyarakatnya ke jalan yang benar alis mencoblos nomor partainya. Atau partai yang menggunakan sentimen agama sebagai kekuatan untuk mendapatkan simpati masyarakat tapi setelah berkuasa sami mawon.

Untuk jelek-menjelek barangkali sudah bukan hal yang asing lagi bagi politikus Indonesia yang sering berbicara seperti orang cerdas dan bersemangat dengan tangan sering dikepal ke atas, Amin Rais menjelek-jelekan Megawati, Megawati mengkritik SBY, SBY menjelek-jelekkan siapa, ya? Sedangkan untuk urusan habis-menghabisi siapa yang tidak tahu bagaimana mudahnya lawan-lawan politik atau orang-orang yang tidak sehaluan poltik dengan Suharto dikarungkan di zaman orde baru. Dan kondisi demikian tidak saja terjadi di Indonesia tapi juga di Amerika, Eropa, Cina. Apalagi soal habis-menghabisi lawan politik setidak negara komunis masih jawaranya.

Namun untung saja roh kudus tidak ingin aku terus menerus membenci politik. “Itu tidak baik anakku, kasihilah musuhmu”. Pandanganku yang begitu menjelek-jelekkan politik sedikitnya diubahkan setelah aku membaca artikel karya Harry Ratner seorang sosialis yang berasal dari Inggris yang berjudul “The Importance of Happines”. Sungguh luar biasa bagaimana orang ini bisa mengasipirasiku sehingga pikiranku menjadi lebih positif terhadap politik. Ia memulai wacananya dengan mengkritik konsepsi Marx yang menyatakan bahwa tahap perkembangan kekuatan produktif yang membentuk pola produksi sebagai dasar pembentukan struktur sosial masyarakat. Jadi kondisi sosial saat ini, pola relasi hubungan antara kita aku dengan Mamak, Bapak, Opung, teman dan aturan yang melingkupinya, dan berbagai bentuk kebudayaan atau habitus secara langsung maupun tidak langsung adalah dampak dari kondisi produksi saat ini.

Namun dengan tegas ia menyatakan semua itu keliru. Mengapa? Karena menurutnya idelah yang mendahului pembentukan pola produksi karena kecerdasan manusialah maka mesin-mesin produksi bisa ditemukan, demikian juga bagaimana sistem kerja untuk memanfaatkan beragai alat-alat produksi semua adalah karena kreativitas pikiran manusia. Jika saja James Watt tidak menemukan mesin uap untuk memintal benang maka industri tekstil yang bersifat massal tidak akan pernah dilahirkan di muka bumi ini yang sekaligus menjadi cikap bakal lahirnya revolusi industri dan perkembangan kapitalisme di Inggris.

Jadi idelah yang mendahulu terbentuknya berbagai perubahan dalam pola produksi termasuk juga struktur masyarakat dan ide manusia jugalah yang dapat mendorong terjadinya perubahan sejarah kehidupannya. Tidak mungkin pemikiran-pemikiran terlembagakan sebagai aturan dalam masyarakat atau memperoleh pembenaran tanpa adanya penerimaan dari kekuasaan negara dan sering kali pemikiran-pemikiran tersebut diusung oleh kekuatan politik dominan. Misalnya ide-ide Marx diusung oleh partai komunis akan mungkin diwujudkan jika partai tersebut meraih kemenangan secara politis meraih kekuasaan seperti yang terjadi di China dan Russia. Seperti juga ditegaskan oleh Harry Ratner dengan contoh kenyataan politik di Inggris, jika saja kekuatan politik di Inggris pada abad ke-19 tidak jadi membentuk Monster Petition dan gerakan Chartist muncul sebagai kekuatan politik di Inggris maka Inggris mungkin malah menjadi negara sosialisme dan bukannya negara kapitalisme seperti saat ini. Demikian halnya jika gerakan Bolshavik gagal menurunkan Tsar dari tahtanya di Rusia pada awal abad 20 barangkali Rusia tidak akan menjadi negara komunis.

Jadi pemikiran-pemikiran yang hadir melalui kekuatan politik dapat menjadi sebuah ide yang merubah struktur masyarakat suatu negara melalui kekuasaan. Kekuatan politik dan kekuasaan tidak saja dapat membentuk sebuah berbagai aturan dalam masyarakat sendiri namun juga bagi masyarakat di negara lain dan konsep-konsep ekonomi atau fundamental yang dianut oleh sebuah kekuatan politik serta orientasi-orientasi politis tertentu dapat mendorong perubahan struktur perekonomian negara atau negara lain. Misalnya saja penjajahan timbul adalah sebagai akibat inisiatif kekuasaan negara dan kalau tidak ada penjajahan maka Inggris dan sejumlah negara Eropa tidak mungkin dapat mengakumulasikan kekayaan alam dan logam-logam mulia di dalam negeri yang kemudian menumbuhkan perdagangan dan industri sekaligus melahirkan kapitalisme dan kemudian muncul menjadi negara maju hingga saat ini.

Contoh lainnya adalah kemajuan sejumlah negara di Asia saat ini terjadi karena dari adanya peran serta kekuatan politik atau kekuasaan dalam merubah struktur sosial dalam masyarakatnya. Misalnya saja Jepang, jika penguasa pada abad-19 tidak melakukan Restorasi Meiji dan membuka diri terhadap kemajuan Barat maka Jepang tidak akan mengalami modernisasi dan menjadi kemudian menjadi negara maju yang dapat mengimbangi Eropa sejak era sebelum perang dunia II dan meskipun sempat terpuruk akibat kekalahan perang tapi dapat kembali bangkit menjadi salah satu negara maju di Asia.

Demikian juga dengan Korea Selatan muncul sebagai kekuatan ekonomi di Asia tidak lepas dari adanya kekuatan politis Amerika yang memberikan berbagai kemudahan ekonomi dan hal lainnya kepada Korea Selatan yang menjadi sekutunya dalam menangkal pengaruh komunisme di Asia Timur dengan membuka pasarnya bagi barang-barang Korea Selatan dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Korea untuk mendapatkan pendidikan di Amerika Serikat. Malaysia juga dapat menjadi salah satu negara dengan perkembangan ekonomi yang cukup pesat di Asia Tenggara yang bahkan telah melampui Indonesia tidak lepas dari kekuatan politik dan kepemimpinan Mahatir yang berhasil mengefisienkan kerja aparat negara, menegakkan hukum serta meningkatkan kualitas pendidikan di Malaysia sehingga menciptakan kondisi yang kondusif bagi perkembangan ekonomi di negaranya. Artinya kemajuan ekonomi suatu negara tidak lepas dari campur tangan kekuasaan dan aktivitas sebuah kekuatan politik dalam sebuah negara maupun intervensi kekuatan politik di luar negeri.

Sehingga politik atau kekusaan negara juga dapat memiliki pengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini dapat diwujudkan dengan bagaimana kekuatan politik melakukan intervensi pasar atau peraturan yang memungkinkan kekayaan dalam suatu negara terdistribusikan. Persoalan kesejahteraan tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar dan dapat dikendalikan agar pemerataan kesejahteraan dapat terjadi. Karena pasar sering kurang menghargai mereka yang tidak produktif sehingga tidak semua orang bisa menikmati keuntungan pasar dan orang-orang yang kurang dapat berkerja dengan optimal buta huruf, orang cacat, orang yang telah uzur, orang sakit, dsb agak sedikit terpinggirkan. Kekuasaan yang berwibawa dapat menentukan aturan yang melindungi pengusaha kecil atau usaha vital bagi negara, memangkas sebagian kekayaan dari yang kaya untuk kemudian disalurkan pada rakyat kecil misalnya dengan mengenakan pajak silang, atau dengan memberikan subsidi atau memberikan jaminan sosial bagi masyarakat yang tersingkirkan, yang dalam sistem pasar mereka terpinggirkan karena tidak memiliki sebuah kekuatan produktif untuk dijual.

Amerika dan Eropa hingga saat ini dengan tetap bersemangat untuk melindungi sektor pertaniannya khususnya yang menyediakan bahan pangan. Karena menurut pandangan mereka kasihan sekali jika sektor pertanian tidak dilindungi, petani akan sering merugi karena fluktuasi harga untuk barang-barang pertanian sangat tinggi mengingat produksi pertanian juga cenderung berfluktuasi seiring dengan situasi alam dan cerita yang lebih tidak menyenangkan lagi adalah usaha pertanian memiliki resiko kegagalan yang tinggi baik karena perubahan iklim, hama atau karena bencana alam. Jadi jika petani merugi jangan-jangan di kemudian hari mereka akhirnya enggan atau tidak sanggup untuk bertani dan jika ini terjadi siapa yang akan menyediakan makanan bagi masyarakat.

Jadi oleh insiatif pemerintah harga dijaga agar tetap stabil pada tingkat harga yang relatif rendah agar masyarakat dapat membeli dengan memberikan subsidi harga pada petani agar tingkat harga yang berlaku petani cukup mengairahkan. Maka petani akan tetap semangat untuk bertani karena harga yang diterimanya cukup menguntungkan sehingga dengan bertani ia bisa mencukupi kebutuhannya, menyekolahkan anak-anaknya dan membeli kebutuhan lainnya yang agak sedikit berbau kemewahan. Toh, dengan ada kebijakan demikianpun sesungguhnya masyarakat diuntungkan karena dapat menciptakan kondisi masyarakat yang relatif lebih stabil dan sejahtera karena kebutuhan dasarnya akan makanan dapat terpenuhi secara memadai dan menguntungkan dunia usaha karena memungkinkan untuk menjaga upah tetap rendah dimana buruh relatif memiliki pendapat riil yang memadai dengan upah yang ia peroleh karena upahnya cukup untuk membeli kebutuhan makanan yang relatif murah, sehingga dampaknya akan meningkatkan keuntungan bagi industri dan perusahaan karena dapat menekan biaya tenaga kerja.

Jadi setelah melihat bagaimana kekuasaan politik dapat membentuk wajah perekonomian dan memiliki kontribusi terhadap kesejateraan masyarakat di sebuah negara melalui peraturan dan pembatasan yang dibentuk melalui kebijakan pemerintah yang tidak dapat lepas dari kekuatan politis, nah, maka akupun sadar kalau politik ternyata tidak selalu negatif bahkan merupakan singa tidur (untuk kasus Indonesia) yang memiliki kekuatan tranformasi dalam masyarakat. Jika kemudian disebutkan kualitas politik dapat berdampak terhadap kualitas hidup masyarakat juga bukan pendapat yang terlalu berlebihan.

Hanya saja wajah perpolitikan di suatu negara akan sangat ditentukan manusia-manusia yang terlibat di dalamnya, apakah mereka orang-orang yang punya idealisme tinggi dan peka dengan suara hati masyarakat yang diwakilinya. Meskipun ada yang berpandangan lain, seperti yang pernah kudengar dalam diskusi panel di kampus, bahwa kondisi politik akan sangat ditentukan oleh sistem karena orang-orang yang akan terlibat di dalam perpolitik akan ditentukan bagaimana proses politik dalam menyeleksi orang yang layak dan bagaimana kemudian masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan ataupun menyalurkan aspirasinya melalui saluran politik yang ada. Jika sebuah sistem politik tertata baik maka akan baik pula kondisi politik yang tengah berjalan. Namun menurut keyakinanku sebuah nuansa politik yang baik harus selalui didahulu munculnya orang-orang yang mampu menginspirasi banyak orang untuk bersama-sama menciptakan sebuah sistem politik yang baik yang kemudian memungkinkan untuk proses selanjutnya menjaring orang-orang yang tepat pada posisi yang tepat. Setidaknya terciptanya sebuah situasi politik tertentu apakah melibatkan tokoh-tokoh besar seperti Sukarno, Lenin, Franklin, dsb.

Maka kemudian muncul pertanyaan besar di benakku tentunya sebagai warga negara yang baik tentang kondisi perpolitik dan kekuasaan di Indonesia apakah telah cukup baik atau cukup mengerikan? Dan menurutku sebagaimana pendapat Pak Cecep sepertinya kondisi masih cukup menakutkan. Perpolitikan Indonesia seolah-olah menjadi ajang sekelompok orang untuk mengejar kekuasan dan kemudian menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya dengan menyedot kekayaan negara. Maka citra kekuasaan negara yang timbul cukup membuatku menutup mata, korupsi di mana-mana, rakyat menderita kemiskinan karena pemerintah gagal menjalankan fungsinya, di sisi lain penguasa, anggota legislatif hidup seperti sedang bermimpi, berkelimpahan dan bermewah-mewah yang turut menciptakan aroma politik Indonesia berbau menyegat. Kita telah mendengar istilah dipolitisasi maka itu artinya urusannya tengah diatur agar menguntungkan kelompok dari golongan penguasa.

Maka pertanyaan selanjutnya seperti yang sering ditanyakan oleh reporter berita ketika berbincang-bincang dengan seorang politikus di televisi adalah bagaimana supaya sistem politik kita tidak menakutkan? Well, ini mungkin pertanyaan besar yang mungkin perlu dijawab oleh banyak orang termasuk tokoh-tokoh politik nasional seperti Prof. Supomo, Amin Rais, Yuzril Izha Mahendra, Lobi Lukman dan barangkali harus melibatkan berbagai ahli dari bermacam bidang ilmu termasuk juga guru-guru spiritual dan yogaisme agar politikus kita lebih alim dan sehat pikiran dan metalnya, buktinya meskipun telah banyak orang-orang di Indonesia mengaku punya ide cemerlang untuk mengubah kondisi perpolitikan Indonesia namun penyakit perpolitikan Indonesia seperti korupsi, bermanuver-manuver ria, berbagi—bagi kekuasaan, bermain retorika dan menipu masyarakat tidak juga sembuh-sembuh. Dan temankupun berkata, “Kacian deh, lu”.

Namun persoalan yang penting bagiku adalah masih adakah yang bisa kulakukan meskipun kontribusinya kecil agar mencegah agar wajah perpolitikan Indonesia tidak terlalu buruk rupa dan tidak cermin dibelah? Pertanyaan ini memerlukan perenungan yang memakan waktu dan memerlukan tempat hening di pegunungan, panti pijet atau bieztro. Namun untuk mewujudkan hal tersebut setidaknya aku harus memahami politik dan sadar apa yang menjadi hak dan kewajibanku sebagai warga negara secara politik serta bagaimana aku harus menyampaikan aspirasiku apalagi ketika hakku tidak lagi dihargai, apakah dengan membuat tulisan di media massa atau menuliskan buku seperti Habibi dengan bukunya Mengungkap Jejak-jejak atau dengan ikut-ikut berdemonstrasi dengan mahasiswa atau karyawan PT. Dirgantara, dsb. Jika aku telah sadar akan hak dan kewajibanku sebagai warga negara dan telah memiliki sadar politik disamping aku dapat melakukan aksi konkrit aku juga dapat menginspirasi orang lain yang belum sadar politik agar memiliki pengetahuan yang sama dan turut menyuarakan aspirasinya dan mengontrol kekuatan politik agar tidak seenak udelnya seperti kata temanku yang agak kesal dengan tingkah laku politikus Indonesia.

Jadi sekarang aku harus bersyukur dan perlu bersesajen ke pantai karena telah memiliki sebuah pemahaman baru tentang politik. Aku menyadari bahwa politik terkait dengan kekuasaan dan kekuatan politik dapat menjadi sarana untuk mewujudkan sebuah ide-ide baru dan luhur termasuk juga ide dan pikiran jorok. Komunisme, kapitalisme, imprialisme bahkan apartet timbul karena sebuah kekuatan politik yang mengusung ide-ide tertentu dan berhasil memiliki kekuasaan negara serta mewujudkan ide tersebut.

Mungkin demikianlah pandangan baruku tentang politik namun, ups, sepertinya aku harus selesai sampai di sini ini, sudah siang ternyata dan aku belum makan, mandi, dan ........ masih banyak yang harus dikerjakan. Tapi untunglah mulai saat ini aku sadar bahwa aku adalah mahluk politik yang harus sadar politik. Semoga saja semua orang juga memiliki kesadaran yang sama.......Dan, ini waktu untuk mandi. Tapi, maaf, sewaktu mandi no politik........(Bogor, 23 Maret 2007)

No comments: