Monday, 30 June 2008

MAAF SAYA TIDAK BERSIMPATIK DENGAN DEMONSTRASI MAHASISWA


Mahasiswa kembali bentrok dengan aparat. Aksi ribuan massa dari elemen mahasiswa dan masyarakat di depan Gedung DPR/MPR Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat dan kampus Atmajaya, Selasa (24/6) berakhir ricuh. Massa berhasil merobohkan satu ruas pagar gedung dewan. Massa juga memblokir jalan, membakar ban sehingga menyebabkan kemacetan memanjang. Polisi membubarkan pengunjuk rasa dengan menyemprotkan air dari mobil water cannon sementara massa melempari barisan polisi dengan batu (Kompas.com, 24 Juni 2008).

Walaupun tidak dapat disamakan dengan aksi mahasiswa pada tahun 2008 namun menurut saya aksi ini sungguh luar biasa. Karena menimbulkan efek kaostik yang besar dan setidaknya mengugah respon dari para petinggi-petinggi di negeri.

Bahkan pada aksi demostrasi sebelumnya sampai harus memakan korban jiwa. Maftuh Fauzy (22) mahasiswa Unas korban penyerangan polisi ke kampus, meninggal dunia, setelah sebelumnya sempat ditahan oleh polisi. Meskipun penyebab kematian yang masih simpang siur. Peristiwa di atas semakin meningkatkan heroisme mahasiswa saat berdemonstrasi di depan gendung MPR/DPR dan Universitas Atmadjaya.

Demonstrasi ini merupakan buntut dari ketidakpuasaan mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Menurut mahasiswa tidak tepat pemerintah menerapkan kebijakan tersebut ketika masyarakat masih berada dalam tekanan ekonomi. Sehingga mahasiswa menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat, wajar jika mereka melakukan aksi.

Seperti ditegaskan seorang aktivitas pada wawancana di sebuah televisi swasta, “Mahasiswa akan tetap melakukan demonstrasi turun ke jalan selama ada ketidakadilan”. Artinya aksi reaktif mahasiswa, atau banyak kalangan menyebutnya anarkis, akan tetap ada selama pemerintah berlaku tidak adil atau sepanjang ada rakyat yang tertidas.

Ketidakadilan vs Kondisi Alami
Namun pernyataan di atas menimbulkan pertanyaan bagi saya. Adakah pemerintahan di muka bumi ini yang sepenuhnya bebas dari ketidakadilan atau ketertindasan. Bahkan di negara maju sekalipun selalu saja kelompok masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil oleh negara.

Karena ketidakadilan tidak mungkin dihapuskan maka wajar jika mahasiswa tidak akan berhenti berdemostrasi dengan kekerasan atau anarkisme. Seperti membakar ban di jalanan, mencoret mobil plat merah atau merusak pagar pembatas jalan tol, tanpa memperdulikan banyak anggota masyarakat yang turut dirugikan oleh aksi mereka.

Dan apakah benar, jika demostrasi adalah jalan terbaik menanggapi persoalan ketidakadilan? Signifikankah aksi demostrasi mahasiswa terhadap perubahan kebijakan pemerintah secara dramatis sehingga kemudian masyarakat tertolong?

Bagaimana jika ternyata ketidakadilan ini sesungguhnya tidak bersumber dari pemerintah, namun sebuah perubahan global yang tidak dapat dihindari. Bahwa harga BBM akan terus merangkak naik seiring berkurangnya pasokan minyak dunia. Mungkin beberapa tahun ke depan harga pangan akan membumbung tinggi, seiring dengan terbatasnya ketersediaan pangan secara global. Sehingga rakyat miskin tidak lagi mampu membeli bahan makanan secara mencukupi.

Apakah dalam konteks tersebut mahasiswa akan terus berdemonstrasi dengan tujuan membela masyarakat yang tertindas oleh situasi global? Artinya pemerintah harus membebaskan masyarakat dari ketidaknyamanan hidup dalam kondisi apapun. Tidak bisa tidak.

Intelektual Muda, Kreativitas dan Solusi
Tentu saya sebagaimana masyarakat pada umumnya berhadap banyak pada para mahasiswa sebagai calon intektual muda yang tengah membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan. Label kemahasiswaan itu seharusnya identik dengan jiwa muda yang cerdas dan inovatif. Dan menurut Helmy Yahya pribadi yang kreatif sentiasa bertanya, ”Apakah ada cara yang lebih baik?", ketika menghadapi tantangan.

Inovasi seringkali muncul pada saat krisis. Faraday bekerja selama hidupnya untuk menghubungkan listik dengan magnetik, sebab masalah itu adalah masalah yang mencolok pada masa hidupnya (Bronowski, 1982). Atau Luis Pasteur yang mencoba menemukan vaksin anti rabies untuk mengatasi penyakit yang hampir menjadi wabah di desa Arbois tempat Pasteur tinggal (Tempo, 6 Juli 2002).Inovasi lahir dari pribadi yang kreatif dalam menciptakan ide dan gagasan dan tidak mau kalah terhadap situasi atau tekanan yang ada.

Oleh sebab itu, dapatkan krisis yang tengah dihadapi Indonesia dapat menjadi stimulasi bagi mahasiswa menciptakan sebuah inovasi. Mampukah para intelektual muda tersebut menciptakan sebuah ide-ide segar yang mendorong perubahan dalam masyarakat. Seperti halnya Bill Gate dengan ide Microsoftnya yang ia hasilkan pada umur kurang dari 20-tahun, turut merubah wajah dunia dan berperan dalam menciptakan masyarakat komputerisasi di abad ke-21. (Andreas, Harefa).

Atau seperti sekelompok pemuda Banjarnegara yang bergabung dalam Komunitas Pemuda Kreatif (Kompak)yang memberi contoh tentang bagaimana bersikap dan bertindak kreatif. Krisis energi yang terjadi akhir-akhir ini dijadikan sebagai tantangan untuk menemukan alternatif yang bisa membantu meringankan masalah yang dihadapi masyarakat. Mereka berpikir dan berupaya mencari terobosan agar memeroleh sumber energi yang murah dan mudah diterapkan. Dari berbagai informasi akhirnya diputuskan mencoba eceng gondok sebagai bahan baku biogas. Kebetulan desanya berdekatan dengan Waduk Mrica yang dipenuhi tanaman itu. Hasil fermentasi yang mereka lakukan menghasilkan suksesgas metana (CH4) serta gas Hidrogen Sulfida (H2S).

Demikian halnya dalam bidang politik. Mampukah mahasiswa menunjukkan citra intelektualitasnya dalam eksistensinya pada dunia politik praktis,. Seperti halnya Bung Karno yang mampu menarik perhatian kaum kolonial dan meneguhkan keberadaannya sebagai pemimpin bangsa tidak dengan aktivitas anarkisnya melainkan tulisan-tulisannya yang lugas dan mendalam. Ia membangun perkumpulan pemuda yang tidak bertujuan mendorong tindakan kekerasan melainkan menanamkan kesadaran nasionalisme melalui penyebaran pemikiran menggunakan tulisan atau pertemuan kaum muda.

Oleh sebab itu ketika masyarakat Indonesia mengalami kesengsaraan oleh berbagai krisis apakah dalam hal ini mahasiswa mampu menawarkan solusi efektif. Atau ketika pemerintah tidak berjalan baik dapatkah mahasiswa melalui cara-cara yang cerdas menyampaikan kritik yang membangun. Atau membangunkan kesadaran masyarakat luas untuk menciptakan sebuah sikap politik serta kontrol sosial melalui upaya yang bersifat massif.

Idealisme vs Ketidakmatangan Mental
Namun ada ungkap yang cukup menarik dari Arnold Lazarus dalam bukunya yang berjudul Staying Sane in the Crazy World (terj., 2005) Bahwa tindakan lebih lantang dari pada kata-kata. Tindakan akan lebih gamblang memgambarkan siapa diri kita. Sehingga semangat nasionalisme dan niat membela rakyat yang ditunjukkan oleh yang mahasiswa berdemonstrasi melalui tulisan, slogan dan tindakan kekerasannya idealnya konsisten dengan totalitas tindakan pada kehidupan keseharian.

Bahwa bela bangsa adalah prinsip hidup yang tengah dipegang oleh para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi. Sehingga demonstrasi adalah sisi lain dari perjuangan mahasiswa membela masyarakat luas yang tertindas oleh kenaikan harga BBM. Karena sebelumnya mahasiswa Unas telah menjalankan sebuah pembedayaan masyarakat gelandangan di daerah sekitar pasar minggu. Atau mengembangkan konsep peningkatan UKM. Atau mahasiswa Atmajaya atau UKI telah melakukan pendidikan gratis anak-anak gelandangan atau pengembangan bisnis jasa pengamen jalanan.Artiya sebelum melakukan demostrasi sudah banyak tindakan bagi masyarakat yang telah dilakukan oleh para mahasiswa. Bahkan ada ratusan bahkan ribuan konsep konkret yang akan diterapkan untuk membantu masyarakat miskin.

Tentunya yang menjadi pertanyaan apakah hal demikian yang terjadi?

Membela masyarakat membutuhkan karakter altruitik dalam jiwa mereka yang melakukannya karena memerlukan banyak pengorbanan. Dan kemampuan altruistik menuntut perkembangan kejiwaan dan mental yang sehat. Bagaimana seseorang dapat menolong masyarakat luas jika ia tidak mampu menolong dan memelihara dirinya sendiri atau menolong orang-orang nyata disekelilingnya. Mungkinkan seseorang dapat mencintai orang lain jika ia sendiri tidak mengenal apa itu cinta. Atau memberikan cinta pada dirinya sendiri? Jadi aneh rasanya jika seseorang mengklaim dirinya sebagai pembela masyarakat namun tidak perduli dengan keberadaan orang-orang gembel yang setiap hari lalu lalang di depan matanya.

Oleh sebab mahasiswa yang gemar berdemonstrasi untuk tujuan altrustik adalah pribadi yang juga mampu menghargai dan mencintai kehidupannya serta memiliki tujuan hidup yang jelas. Mustahil orang-orang yang suka melakukan hal-hal buruk bagi hidupnya seperti menggunakan hal-hal yang tidak baik bagi tubuh semacam narkoba, minum-minuman keras, dsb untuk bertindak altruistik.

Jika sudah terkontaminasi dengan hal-hal tersebut bagaimana kita dapat menyakini bahwa tindakan mereka berdemonstrasi didasarkan pada motivasi yang benar. Dan bukannya tandensi kekerasan oleh karena kerusakan mental akibat racun atau kerusakan tubuh dan pikiran yang ia akibatkan sendiri.

Apalagi menurut hasil survey nasional penyalahgunaan dan penggunaan Gelam Narkoba pada yang dilaksanakan pada tahun 2006 di 33 propinsi menunjukkan hasil yang cukup memprihatinkan. Ternyata dari 100 pelajar dan mahasiswa rata-rata 8 orang pernah pakai dan 5 dalam setahun terakhir pakai narkoba. Parahnya lagi empat di antara 10 pelajar / mahasiswa penyalah-guna mulai memakai Narkoba saat umur 11 tahun atau lebih muda. Ganja merupakan jenis Narkoba yang paling banyak dipakai pertama kali.

Ironisnya sebagaimana hasil pemeriksaan polisi terhadap mahasiswa UNAS yang ditangkap pada kasus terlibat demostrasi di kampus UNAS, ada 55 mahasiswa yang urinnya mengandung narkoba. Dari jumlah itu, tiga orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka pengedar Narkoba. Sebanyak 13 mahasiswa lainnya ditetapkan sebagai tersangka pengrusakan dan melawan petugas. Jadi, dari 55 mahasiswa tadi, tinggal 39 orang yang murni pengguna narkoba.

Namun temuan ini oleh banyak kalangan adalah upaya kepolisian mengalihkan perhatian dari pelanggaran HAM kepada kasus narkoba. Walaupun anehnya, Rektor UNAS menanggapi hal tersebut dengan serius dengan mengancam akan memecat tiga mahasiswa tersangka pengedar Narkoba, bila nanti terbukti di pengadilan (Detikcom, 2008).

Tentunya sangat tidak diharapkan demonstrasi dengan dalih membela rakyat sesungguhnya hanya bentuk lain pembebasan dorongan-dorongan agresif yang tertanan dalam diri mahasiswa. Kebutuhan mencari indentitas diri, membangun individualitas serta kebutuhan mendapat atensi, sebagai salah satu kebutuhan di usia menjelang kedewasaan, diekspresikan dengan jalan kekerasan. Atau aktivitas demonstrasi merupakan saluran melampiaskan rasa fustrasi baik karena tekanan ekonomi atau sosial akibat wajah perkotaan yang menciptakan manusia yang anonim.

Wajar hal ini dipertanyakan mengingat sering juga terjadi tawuran di antara mahasiswa yang kadang sama tidak rasionalnya dengan aksi para polisi saat menangkap mahasiswa UNAS yang berdemonstrasi, dengan saling menghancurkan fasilitas kampus masing-masing. Misanya saja dua kelompok mahasiswa di Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan, pada bulan Juni kemarin terlibat tawuran. Insiden yang terjadi di belakang kantor Rektorat UMI itu merusak sejumlah fasilitas perkuliahan. Bahkan dua mahasiswa luka dikabarkan terkena tikaman senjata tajam.

Pada bulan Mei yang lalu mahasiswa UKI juga terlibat tawuran dengan Yayasan Administrasi Indonesia (YAI). Yang mengakibatkan sejumlah mahasiswa dirawat dari dua perguruan tinggi tersebut dirawat di rumah sakit. Dan masih banyak lagi kasus-kasus tawuran antara mahasiswa yang terjadi di berbagai daerah.

Tidak hanya itu, pendidikan tinggi di Indonesia masih menghadapi masalah berbagai bentuk kekerasan yang terjadi secara internal. Kekerasan yang terjadi STIP sampai menimbulkan korban jiwa yakni Agung Bastian Gultom. Dan belum lagi kasus kekerasan yang terjadi di STPDN, dimana, Inu Kencana dalam disertasinya menyebutkan bahwa sejak 1990-an hingga 2005, terdapat 35 praja yang tewas dan hanya 10 di antaranya yang terungkap (detik.com, 09/04/2007). Atau juga tawuran antarmahasiswa dalam rangkaian ospek di Kampus Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta

Sehingga bisa saja demonstrasi di depan gedung MPR/DPR dan kampus Atmadjaya adalah transformasi kecenderungan kekerasan di kalangan mahasiswa. Semacam sublimasi dorongan kebencian atau kemarahan kepada objek yang layak dijadikan target. Dalam konteks demikian tentunya idealisme mahasiswa dalam membela rakyat patut diragukan.

Tradisi Kekerasan
Mengapa mahasiswa memilih jalan kekerasan sebagai media ekspresi diri?

Mungkin saja karena tingkat kemampuan mahasiswa menungkapkan diri secara intelek relatif rendah. Mahasiswa saat ini kurang memiliki skill dalam menyampaikan pandangan secara diskursif. Mengapa terjadi demikian? Apakah ini cerminan penurunan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia? Bisa jadi demikian, namun saya tidak punya bukti untuk itu.

Atau barangkali perilaku demikian diperoleh dari pembelajaran sosial. Karena kekerasan telah menjadi konsumsi publik, seperti pengusuran, penertiban atau teror terang-terangan oleh kelompok tertentu yang terekspos secara bebas. Termasuk juga perilaku kekerasan dan sikap premanisme yang dipertontonkan oleh para elit politik di republik ini untuk mempertahankan pandangannya. Seperti yang sering kita saksikan pasca pilkada. Artinya generasi muda Indonesia tengah mengalami krisis figur.

Tradisi kekerasan ini dapat juga dipicu perkembangan kepribadian yang tidak sehat akibat frustasi berkepanjangan. Hal ini diakibatkan oleh tekanan ekonomi, budaya dan sosial. Generasi muda masa kini harus dapat menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat yang cepat berubah serta kondisi masa depan yang serba tidak pasti.

Kondisi demikian sering kali menciptakan frustasi bagi kaum muda. Pelarian dari rasa fustrasi ini seringkali harus berakhir pada pembentukan kelompok yang cenderung melembagakan identitas individu imajiner, solidaritas semu serta anarkisme untuk melampiaskan ketegangan batin, semacam gang motor yang akhir-akhir ini keberadaannya semakin meresahkan. Serta trand penggunaan hal-hal aditif yang berdampak pada pengrusak mental atau perkembangan perilaku yang terhambat dan agresif, untuk lari dari realitas yang penuh dengan tekanan.

Oleh sebab itu saya secara pribadi merasa tidak bersimpati terhadap aksi demonstrasi mahasiswa di depan gedung MPR/DPR. Banyak hal yang lebih positif yang dapat dilakukan oleh mahasiswa sebagai kaum intelektual muda.

Meskipun demikian perlu menjadi pemikiran bagi kita semua, mengapa para intelektual muda tersebut cenderung memilih cara anarkis, yang tidak hanya ditunjukkan ketika berdemo bahkan ketika tawuran. Gambaran suram dari calon intelektual muda masa depan tentunya sangat memprihatinkan dan siapa yang harusnya bertanggung jawab terhadap fenomena tersebut? Dan menurut hemat saya krisis intelektual masa depan jauh lebih berbahaya dari krisis energi-pangan yang kita hadapi

1 comment:

Unknown said...

masalah perlawan dengan kekerasan atau tanpa kekerasan itu sih sebuah pilihan,...dan semuanya menuntut pengorbanan. .....kalo demonya cuma mobilisasi massa, loe turunin satu juta tapi cuma bentang spanduk sama orasi gua jamin tidak akan pernah berarti apa-apa,.... kekerasan itu kalo targetnya orang dicelakai kalo merusak itu masih bukan sebuah kekerasan. jangan salahkan massa, polisi dan kekuasaan yang mengajarkan kita untuk berpolitik dengan cara yang sering disebut kekerasan oleh kekuasaan,.. ..loe pikir bunuh ratusan orang dengan cara dibakar di pusat pertokoan bukan kekerasan , loe pikir bunuh petani dgn senjata bukan kekerasan, loe pikir menghentikan aksi demo mahasiswa sampe jatuh korban nyawa apa itu bukan kekerasan,.. ...kalo negara yang melakukan pembantaian loe bilang bukan kekerasan,.. .itukan bisa-bisanya media aja yang sekarang juga sudah mulai mengabdi pada kekuasaan,.. .
menurut gua sudah waktunya rakyat mempersenjatai diri dalam setiap aksi perlawanannya, karena yang mereka hadapi adalah rejim militeristik yang sampai sekarang masih memilki mekanisme impuniti untuk semua kekerasan yang dilakukannya. .....
sorry man bukan gua marah tapi gua agak emosi dengan opurtunisme kelas menengah jakarta, yang egois tidak mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar,....