Wednesday, 11 June 2008
FPI, ANARKISME DAN ANCAMAN NEGARA
Tulisan ini bukan saya tuliskan untuk memprovokasi. Karena di Republik ini sangat mudah melabeli seseorang sebagai provokator, kaki tangan Amerika, pengrusak kerukunan agama tertentu tanpa bukti yang jelas. Namun saya ingin menyampaikan sikap saya terhadap tindak-tanduk FPI yang menurut saya cukup meresahkan.
Untuk beberapa hal tertentu saya sependapat dengan pandangan FPI yang tidak menyetujui berdirinya tempat-tempat maksiat, eksplorasi pornografi di ruang publik dan perlunya umat agama menjalankan ajaran agama yang tepat (meskipun ajaran agama yang benar atau salah sesuatu yang agak sulit untuk didefenisikan dalam konteks masyarakat majemuk seperti di Indonesia) . Namun di sisi lain saya tidak menyetujui cara-cara FPI menanggapinya melalui perilaku anarkis. FPI seringkali bertindak berdasarkan kebenarannya sendiri, meskipun kebenaran publik bersifat konsensus. Dan pihak yang seharusnya mengambil tindakan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan konsensus publik adalah aparat pemerintah dan bukannya oleh laskar FPI.
FPI seringkali mendasarkan tindakannya atas dasar pembelaan terhadap kebenaran Islam (seperti yang tergambar secara eksplisit oleh nama organisasi tersebut). Namun anehnya tiba-tiba FPI menyerang aktivis AKKBB pada tanggal 1 Juni 2008 yang lalu. Sekali lagi atas dasar kebenaran agama. Jika demikian apakah dalam hal ini AKKBB, yang notabene juga adalah umat muslim, dikategorikan orang-orang sesat sehingga FPI berhak untuk menghentikan aksi mereka.
Tim Advokasi FPI sekaligus Jubir FUI Munarman mengaku punya alasan kuat untuk membubarkan aksi AKK-BB itu. Menurutnya, aksi AKK-BB bertujuan mendukung jemaat Ahmadiyah yang telah dinyatakan sesat oleh Bakor Pakem. Munarman mengatakan, bagi FPI tidak ada lagi negosiasi mengenai eksistensi Ahmadiyah. Ahmadiyah juga dinilainya sebagai organisasi kriminal. Karena itu berbagai elemen gerakan Islam termasuk FPI sengaja membubarkan aksi AKK-BB (www.plinplan.com) .
Sehingga wajarlah jika pihak AKKBB harus merasakan akibatnya. Banyak anggota AKKBB terluka akibat dipukuli oleh massa FPI dengan bambu secara bertubi-tubi dan disiram pasir. Konon korban luka akibat kekerasan Front Pembela Islam (FPI) di Monas mencapai 70 orang.
Disamping itu dalam sebuah siaran televisi di salah satu anggota tim pembela FPI menyebutkan bahwa peristiwa penyerangan itu disebabkan karena pemerintah tidak mengambil tindakan tegas terhadap Ahmadiyah dan membiarkan pihak-pihak tertentu menyatakan dukungannya. Dan menurut Habib Rizieq, pemimpinan FPI, pembubarkan Ahmadiyah adalah cara itu harus dilakukan jika pemerintah ingin meredam konflik. Artinya jangan lihat apa yang dilakukan FPI di monas lihat sumbernya mengapa FPI sampai bertindak demikian.
Jika saya boleh simpulkan bahwa FPI sesungguhnya tidak bermaksud berbuat anarkis tapi karena pemerintah tidak memenuhi apa yang menjadi tuntutan umat maka mendorong FPI melakukan tindakan sedemikian.
FPI Bukan Organisasi Anarkis?
Sama seperti pendapat para tim pembela hukum FPI pada sebuah televisi swasta yang mengatakan, “ Jangan terjebak pada kasus monas, lihat dari sudut pandang yang lebih luas ”, maka sayapun coba merefres ingatan kita kembali pada tindak-tanduk FPI, tidak hanya terfokus pada persoalan monas. Apakah benar bahwa FPI tidak identik dengan anarkisme, dan tindakan disebabkan sebuah pemicu?
Namun fakta menunjukkan hal yang berbeda. Mungkin belum lepas dari ingatan kita bagaimana pada tahun 2006 FPI menyerang dan merusak Kantor Majalah Playboy. Pada tahun 2007 massa FPI yang jumlahnya ratusan orang tiba-tiba menyerang massa Papernas yang rata-rata kaum perempuan di kawasan Dukuh Atas, karena Papernas dianggap partai politik yang menganut paham Komunisme.
Ironisnya banyak pihak yang membela tindakan FPI sebagai respon karena pemerintah tidak mampu menegakkan hukum dan melindungi nilai-nilai masyarakat. Bahkan ketua Majelis Ulama Indonesia Cholil Ridwan menyatakan Front Pembela Islam (FPI) harus dibela. Menurut dia, ormas Islam yang identik dengan kekerasan itu adalah pembela Islam yang nyata-nyata menegakkan syariat agama (detikcom, 06/06/2008) .
Namun apapula maksud dibalik aksi FPI menyerbu pekarangan Sekolah Sang Timur sambil mengacung-acungkan senjata dan memerintahkan para suster agar menutup gereja dan sekolah Sang Timur. Dimana Front Pembela Islam(FPI) menuduh orang-orang Katolik menyebarkan agama Katolik karena mereka mempergunakan ruang olahraga sekolah sebagai gereja sementara, yang sudah digunakan selama sepuluh tahun. Atau aksi penutupan paksa 23 gereja di Bandung, Cimahi, dan Garut yang berlangsung sejak akhir 2002 sampai kasus terakhir penutupan Gereja Kristen Pasundan Dayeuhkolot, Bandung pada 22 Agustus 2005. Apakah beribadah adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat atau syariat agama? (http://id.wikipedia.org/ 2008).
Sehingga saya harus menyimpulkan tindakan anarkisme FPI di monas bukan karena semata-mata dipicu oleh karena pemerintah tidak mengambilkan keputusan yang tepat. Melainkan karena anarkisme sudah menjadi senjata utama FPI dalam memperjuangkan kebenarannya. Dan sangat mengherankan jika sebuah organisasi massa sedemikian bisa berkembang bebas di republik ini dan memaksakan kepentingannya dalam ranah publik.
Anarkisme Dampak Kelalaian Pemerintah?
Jika disebutkan bahwa tindakan anarkis FPI disebabkan karena pemerintah lalai menjalankan tanggung jawabnya. Malah menurut saya keberadaan FPI itu sendirilah yang menunjukkan bahwa betapa lemahnya pemerintah dalam membina masyarakatnya untuk berorganisasi dengan baik dan benar.
Tidak ada alasan apapun membenarkan tindakan FPI. Bahwa melakukan tindakan preventif adalah otoritas yang harusnya hanya dimiliki aparat pemerintah. Karena aparat pemerintah seharusnya bertanggung jawab kepada keamanan dan kesejahteraan rakyat karena segala aktivitas mereka disokong dana yang berasal dari masyarakat. Jika tindakan preventif demikian diberikan kepada organisasi masyarakat maka yang dibelanya tidak selalu kepentingan masyarakat melainkan kepentingan kelompok tertentu. Apalagi jika sebuah organisasi yang dipimpin oleh seorang pemimpin kharismatis maka sabda sang pemimpin menjadi dasar tindakan dari ormas tersebut. Jika kemudian ormas tersebut berkembang menjadi besar dan kuat maka sang pemimpin bisa menjadi seorang penguasa di dalam negara. Lebih cilaka jika aksi ormas bisa dibayar oleh seseorang maka ia bisa saja bertindak bertentang dengan kepentingan masyarakat atau tujuannya untuk menakut-nakuti anggota masyarakat.
Oleh sebab itu saya tidak bermaksud mengatakan secara spesifik bahwa FPI harus dibubarkan. Melainkan seharusnya tidak ada organisasi masyarakat yang boleh bertindak anarkis di Republik ini. Perbedaan sikap boleh, namun pemaksaan pendapat tidak boleh. Memelihara demokrasi berarti pemerintah menjaga bagaimana agar terjadi sebuah konsensus masyarakat tanpa adanya intimidasi. Namun membela demokrasi bukan berarti pemerintah menjadi toleran terhadap tindakan sekelompok memperjuangkan kebenarannya dengan cara-cara yang tidak elegan.
Jika organisasi anarkisme tidak dimusnahkan dari republik ini dan dapat tumbuh dan berkembang hingga memiliki massa yang kuat yang kemudian sang pemimpin organisasi dapat berkata demikian pada pemerintah, “ Jika anda tidak melakukan ini maka kami akan melakukan keributan”. Maka negara ini akan memasuk era premanisme dimana kekerasan menjadi sarana menciptakan diskursus.
“Jika anda punya massa maka Anda bisa menentukan apa yang menjadi keputusan umum”. Dan akan menjadi sebuah inspirasi negatif bagi anggota masyarakat lain, bahwa pemerintah dapat mudah dibuat kecut dengan membuat organisasi massa yang radikal. Apalagi jika kemudian organisasi tersebut tumbuh berkembang bahkan sampai mempersenjatai diri, maka bisa-bisa mereka muncul menjadi kekuatan atau kekuasan di dalam negara.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Sekarang uamt Di Indonesia memang mengalami banyak masalah. Mulai dari opini terorisme dan yang terakhir kasus Ahmadiyah dan FPi menambah berat PR bagi kaum muslimin Indoneisa.
http://agama.infogue.com/fpi_anarkisme_dan_ancaman_negara
Post a Comment