Wednesday 2 April 2008

PENGGUSURAN, ESENSI ATURAN SOSIAL DAN HAK HIDUP


Akhir-akhir ini pemerintah marak melakukan pembersihan terhadap pedagang kaki. Dan aksi penertiban ini sering kali harus berakhir ricuh. Di Padang, para pedagang menolak dipindahkan, karena menganggap lahan tempat mereka berdagang bukan milik Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Dan para pedagang menghadang ratusan Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) Kota Padang, Sumatra Barat, yang hendak menggusur mereka. Rencana Pemkot Surabaya menertibkan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Jalan juga mendapat perlawanan. Demikian juga penggusuran yang terjadi pada PKL di Pasar Bintaro. Bahkan yang lebih seru lagi, penggusuran PKL di Kendari berakhir dengan adu fisik antara mahasiswa yang membela PKL dengan polisi sebagai aparat pemerintah.

Pemerintah daerah melakukan pembersihan dengan dalih penegakan aturan. Bahwa lokasi yang digunakan para PKL bukan kawasan yang diperuntukkan untuk berdagang. Meski para PKL telah berada di lokasi tersebut selama bertahun-tahun tanpa mendapatkan larangan dari pemda. Bahkan dibebani dengan retribusi tertentu.

Secara menyedihkan para PKL harus kehilangan sumber penghidupannya demikian juga aset yang dimiliki, karena harus dibersihkan oleh aparat Pemda. Ironisnya, tujuan mereka mencari sesuap nasi harus takluk dengan orientasi lain, yakni menciptakan keindahan, kenyamanan atau lahan mendirikan mall atau pusat perbelanjaan baru.

Esensi Aturan Sosial
Mengapa aturan sosial harus ditegakkan? Tujuannya agar manfaat bersama dapat ditingkatkan dan dinikmati banyak orang. Misalnya aturan pengguna kendaraan bermotor tidak boleh melanggar lampu merah perlu ditegakkan agar mencegah terjadi kemacetan, sehingga perjalanan yang lancar sebagai manfaat yang diharapkan dapat terjadi dan dinikmati semua orang.

Namun ketika penggusuran dilakukan, manfaat apakah yang diharapkan? Katakanlah manfaat yang dapat dirasakan adalah keindahan, kenyamanan kota atau apa. Namun siapakah yang kemudian yang menikmati. Apakah setiap anggota masyarakat, termasuk di dalamnya mereka yang tergusur?

Namun jangankan menikmati keindahan, untuk mendapatkan makanan yang sehat secara teratur masih menjadi hal yang sulit bagi mereka.

Dan etiskah kiranya menciptakan keindahan kota di atas penderitaan sekelompok masyarakat tertentu? Keindahan yang tercipta dinikmati sekelompok orang sedangkan yang tergusur meringkih.

Aturan seharusnya ditegakkan pada pihak yang tetap memilih yang ilegal meskipun yang legal tersedia. Misalnya para pengguna jalan yang memilih menyebrang jalan melintasi jalan yang ramai dilalui kendaraan dan menghambat kelancaran lalu lintas meski jembatan penyeberangan telah tersedia. Atau pengawai negeri sipil yang memilih tidak bekerja meskipun setiap bulan ia telah memperoleh gaji dari negara.

Hal-hal demikianlah itulah yang perlu ditindak. Namun ketika seorang pedagang kaki lima digusur karena mereka berdagang di tempat yang illegal, namun apakah pemerintah menyediakan tempat yang legal yang bisa digunakan untuk berusaha dengan baik? Yang dapat ia akses dengan mudah seperti ia meletakkan tempat dagangannya di pinggir jalan, tanpa harus mengelurkan biaya atau persyaratan melampaui batas kemampuannya?

Kebijakan penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah merupakan gambaran dari sebuah kebijakan tanpa hati dan cenderung mendewakan aturan (atau hanya dalih). Kebijakan demikian lebih berorientasi pada pencapaian target, angka-angka GNP, perwujudan konsep-konsep abstrak, apalagi hanya untuk sekedar menghabiskan anggaran APBD yang khusus disediakan untuk penggusuran. Manusia dalam kebijakan sedemikian seringkali disamakan dengan benda seperti gedung, atau pepohonan yang dapat disingkirkan jika tidak sejalan dengan konsep yang diharapkan. Namun di sisi lain persoalan penderitaan, kesedihan dan kekerasan sebagai akibat kebijakan yang diambil tidak diperhitungkan.

Perihal Hak Hidup
Oleh sebab itu menurut hemat saya pemerintah perlu sensitif dalam mengatasi persoalan sosial yang terkait dengan upaya masyarakat untuk menyambung hidupnya. Menurut Erich Form dalam bukunya Revolusi Harapan (terjm) (2004) menyebutkan bahwa mengumpulkan makanan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dalam arti sempit maupun luas dan tindakan mengekspresikan kemampuan-kemampuan manusia secara bebas dan spotanitas serta tindakan mencari makna melampau tindakan utilitarian, adalah inheren dalam eksistensi manusia.

Artinya mempertahankan hidup adalah hak mendasar dari setiap manusia yang harus dihormati, karena menjadi bagian dari eksistensi dari setiap manusia. Meski harus dilakukan secara ilegal (selama tidak mengganggu kehidupan dan harta orang lain, hanya terkait dengan faktor yuridis semata) pemerintah harus memiliki kepekaan dan toleransi terhadap tindakan ini kecuali pemerintah mampu memberikan kesempatan yang luas bagi setiap anggota masyarakat mendapatkan penghidupan yang layak melalui cara yang legal.

Hak hidup menjadi sangat fundamental. Sekaligus tujuan mengapa setiap manusia di masa kini memiliki negara, untuk melindungi haknya tersebut. Sebagaimana dikatakan Hobbes, dalam kondisi kebebasan alami manusia senatiasa menghadapi acaman terhadap hak hidupnya, sehingga ia kemudian menyerahkan kebebasan alaminya dalam aturan bersama dalam sebuah negara. Namun jika hak ini tidak lagi terlindungi, apakah negara dan pemerintahnya masih perlu ada. Apalagi, ironisnya, sang pengelola pemerintahan secara sembrono membenturkan hak hidup dengan orientasi remeh seperti keteraturan, keindahan dan kebersihan. Hak hidup adalah hak mutlak yang harus dipenuhi negara dan mengalahkan hak-hak lainnya.

Jika pemerintah ingin mengatasi persoalan pedangang kaki lima, yang mungkin saja menganggu kenyaman masyarakat lain, maka pemerintah harus memberikan solusi bagaimana mereka mendapatkan hak hidup dengan cara yang tepat. Penegakan hukum yang tegas secara harus dilakukan pemerintah sejak awal konsisten agar tidak memberikan ruang bagi masyarakat mengambil keputusan yang tidak sesuai aturan. Namun peraturan ditegakkan bertujuan meningkatkan manfaat bersama yang juga dapat dinikmati semua orang. Kemiskinan dan ketidakadilan bukanlah sesuatu yang harus disingkirkan melainkan sesuatu yang harus diatasi atas nama kemanusiaan.

No comments: