Monday 21 April 2008

HARI BUMI, SUARA ALAM DAN PERUBAHAN PARADIGMA

Hari bumi tepat jatuh pada tanggal 22 Maret 2008. Sebuah perayaan yang harus dilaksakan dengan kondisi prihatin karena ibu bumi tengah sekarat.

Apakah bukti bahwa bumi sedang sakit? Pertama bumi semakin hari semakin panas. Dengan menggunakan model dari IPCC, Indonesia diperkirakan mengalami kenaikan dari temperatur rata-rata dari 0.1 sampai 0.3ÂșC per dekade dan kenaikan suhu ini berdampak pada kenaikan permukaan air laut dan kenaikan intensitas dan frekuensi dari hujan, badai tropis, serta kekeringan (wwf Indonesia, 2007).

Kedua bencana seolah terjadi tanpa henti. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam yang terkait dengan cuaca mencapai 1,429 kasus atau 53.3% dari total bencana alam yang terjadi di Indonesia yang tentunya terkait dengan fenomena pemanasan global.

Kado apakah yang layak kita berikan untuk meringankan penderitaan sang bumi? Tidak ada hal yang lebih tepat selain sebuah perubahan. Yakni perubahan paradigma kita dalam berinterasi dengan alam

Membangun Interaksi dengan Alam sebuah Paradigma Baru
Pertama menurut hemat saya, alam berhak bersuara dan dihargai eksistensinya oleh manusia. Menurut Hanss Peter Duerr (1985) dalam bukunya yang berjudul “Dreamtime: Concerning the Boundary between Wildness and Civilization”,mengatakan bahwa manusia tidak akan mengeksplotasi alam yang berbicara kepadanya.

Masyarakat primitif menggambarkan alam sebagai pribadi artikulatif. Binatang, tumbuhan bahkan benda-benda mati seperti batu ataupun sungai dipahami sebagai wujud yang memiliki pikiran dan mampu berbicara dengan manusia. Hal ini mengakibatkan manusia primitif lebih menghormati alam dibandingkan manusia zaman ini dan menjalani kehidupan yang selaras dengan alam. Di sisi lain alam bagi masyarakat primitif memiliki kepribadian yang dapat memberikan reaksi terhadap tindakan manusia. Alam dapat murka sebagai reaksi terhadap tindakan manusia yang tidak tepat.

Marilah kita awali perubahan paradigma dengan merubah kaca mata kita dalam berinteraksi dengan alam. Dari kaca mata scientisme yang mereduksi alam semata-mata materi menjadi kacamata seorang seniman yang mampu melihat sisi keagungannya. Kita harus memiliki paradigma yang memungkinkan suara alam teraktulisasi dalam diri kita.

Sesungguhnya alam tidak dapat semata-mata dipadang sebagai materi yang mati. Alam memiliki spirit yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia.Wujud keberadaan alam turut membentuk kehidupan manusia. Alam yang indah dan lestari akan mendatangkan kedamaian batin sedangkan alam yang rusak akan menciptakan suasana batin yang tidak damai. Dan alam bergerak menurut aturan-aturan yang sepenuhnya kita pahami.

Oleh sebab itu alam selayaknya dipandang sebagai sebuah organisme yang hidup dan memiliki hak untuk mempertahankan eksistensinya. Ia memiliki hukum-hukum yang harus dihormati oleh manusia. Tanpa penghormatan tersebut, maka akan timbul reaksi dari sang alam terhadap hal-hal yang menganggu keseimbangannya yang kemudian kita alami sebagai bencana yang mengancam. Manusia harus dengan santun mendengarkankan tuntutan alam, prakondisi apa yang dibutuhkannya agar ia tetap lestari. Tujuannya agar interaksi manusia dengan alam berkembang ke pada tatanan yang harmonis.

Aksi Konkrit
Oleh sebab itu suara alam harus dilibatkan dalam setiap keputusan yang diambil manusia. Baik di tingkat pribadi atau kolektif. Apa yang disebut keputusan terbaik adalah tidak saja memberikan keuntungan optimal bagi manusia melainkan juga ketika keputusan yang diambil memiliki dampak negatif minimum terhadap kelestarian alam.

Tidak ada keputusan manusia yang bebas dari dampak buruk bagi alam. Bahkan aktivitas untuk bertahan hidup, bernafas, makanan, minum, dsb akan selalu memiliki dampak negatif bagi alam, karena tetap akan mengasilkan dan menyisakan zat-zat buangan yang menjadi beban alam. Manusia hanya dapat meminimumkan dampat negatif dari aktivitasnya terhadap alam dan bukan menghilangkannya.

Maka setiap keputusan mulai, dari kebijakan di tingkat pemerintah hingga personal, misalnya untuk melakukan pembangunan gedung fisik, lapangan golf, belanja kebutuhan sehari-hari, memutuskan untuk berperang dengan negara lain, melakukan perdagangan dengan bangsa lain, membeli alat elektronik, memutuskan untuk menikah dsb harus juga didasarkan pada pertimbangan pada dampak kerusakan alam.

Kita harus mempertimbangkan berapa zat polutan atau sampah atau dampak negatif lainnya yang akan kita hasilkan dari setiap keputusan yang diambil. Jika dapat dikalkulasikan berapakah sesungguhnya kerugian yang diperoleh. Tidak saja dampak jangka pendek namun juga dampak jangka panjang perlu dipertimbangkan. Apakah keputusan yang diambil akan menganggu kelangsungan hidup organisme yang lain dan kelestarian alam? Jika dampak negatif tidak bisa dihindari maka harus juga dibangun mekanisme insentif bagi alam.

Logika ekonomi yang menyebutkan bahwa pertimbangan rasional adalah saat berusaha melakukan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan maksimal, diubah dengan melakukan pengorbanan yang wajar agar kebutuhan optimal dapat terpenuhi dan kelestarian alam terjaga.

Karena apa yang disebut pengorbanan seringkali adalah biaya yang harus dikelurkan untuk jasa atau pengorbanan yang telah dilakukan untuk mendapatkan barang atau sesuatu yang dibutuhkan. Namun pernahkah kita mengintroduksi jasa alam bagi kelestarian hidup manusia. Setiap barang yang diperoleh oleh manusia, tidak mungkin sepenuhnya diciptakan oleh manusia dari ketiadaan melainkan merangkaikan dari hal-hal yang telah disediakan oleh alam.

Dan bagaimana mewujudkan pola pengembilan keputusan demikian? Yakni melalui peraturan pemerintah, yang akan mendorong setiap orang untuk berpikir dengan mempertimbangkan alam sebagai faktor kelayakan keputusan publik. Menindak setiap pihak yang dalam pengambilan keputusannya yang tidak mempertimbangkan aspek alam. Kedua adalah melalui pendidikan, yang melembagakan logika ekologosentris, agar dikemudian hari dapat menjadi sebuah habitus dan frame dalam pengambilan keputusan.

Hanya saat keberadaan alam telah tersuarakan dan setiap orang belajar mendengar alam berbicara maka pada saat itu juga manusia akan belajar menghargai alam. Bahwa alam memiliki ”self”-nya sendiri yang juga memiliki hak untuk merealisasikan diri dalam proses evolusi seperti halnya spesies manusia.

No comments: