Saturday 14 June 2008

SPMB DAN LOGIKA PENDIDIKAN


Sebentar lagi anak-anak kita akan mengikuti SPMB dan menunggu hasilnya. Kegembiraan akan dialami oleh mereka yang masuk namun suasana kesedihan hadir bagi mereka yang gagal. Adanya anak-anak kita yang harus mengalami kegagalan, menyadarkan kita bahwa pendidikan tinggi adalah sesuatu yang eksklusif, tidak semua orang berhak memperolehnya. Proses seleksi calon mahasiswa memasuki perguruan tinggi negeri menjadi bukti.

Namun apakah kita sadar, kita tengah terjebak pada pemahaman yang keliru dalam memahami keberadaan pendidikan. Menurut hemat saya, pendidikan adalah kebutuhan dasar, yang wajib disediakan negara bagi setiap warga. Hanya, dengan tidak kritis, kita cenderung nrimo dengan pasrah kondisi pembatasan yang dikenakan memasuki pendidikan tinggi

Kewajiban Negara
Menurut J.J. Reusseau, dengan memutuskan menyatu dalam sebuah negara maka manusia kehilangan kebebasan alaminya. Namun dengan penyatuan tersebut manusia mengharapkan kepastian pemenuhan sejumlah kebutuhan hidupnya. Pembatasan kebebasan alami pertama-tama bertujuan menciptakan harmoni dan bukan untuk pengekangan.

Agar kebutuhan setiap anggota masyarakat dapat terpenuhi maka negara membutuhkan pemerintahan, berfungsi mengintegrasikan berbagai kebutuhan agar dapat terpenuhi. Melalui pemerintahlah kewajiban negara dalam memenuhi kebutuhan dasar setiap anggota masyarakatnya diwujudkan. Tidak saja kebutuhan yang agar manusia dapat bertahan hidup, juga mewujudkan kehidupan yang bermartabat.

Maka pendidikan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara, mengapa demikian? karena pendidikan menjadi modal bagi setiap anggota masyarakat untuk menjadi produktif, meningkatkan kamampuannya dalam menghadapi tantangan hidup, yang menjadi bekal untuk dapat mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya.

Namun alasan-alasan tertentu sering digunakan untuk membenarkan, bahwa menyediakan pendidikan secara memadai tidak mungkin dilakukan pemerintah. Dan jika ada anak-anak kita yang tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi, turut disebabkan sejumlah pembatas yang wajar sifatnya. Meskipun UUD tahun 45 secara eksplisit menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara.

Logika Biaya
Mustahil menyediakan pendidikan memadai bagi seluruh anggota masyarakat. Jadi, harus ada orang yang tidak memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, karena pemerintah memiliki keterbatasan dana dan sumber daya untuk hal tersebut. Demikianlah bentuk kekeliruan logika yang kita benarkan.

Anehnya pemerintah mampu menyediakan subsidi BBM, air, listrik, membiayai BLBI, membangun bus-way, menganti trotoar jalan ribuan km setiap tahunnya, yang turut dinikmati mereka yang mampu. Padahal dengan memberikan subsidi pendidikan, khususnya bagi mereka yang tidak mampu, pemerintah ibarat memberikan pancing dan bukan ikan. Bukankah dengan tingkat pendidikan yang semakin baik maka masyarakat dapat menjadi lebih mandiri dan produktif, sehingga tidak perlu lagi disubsidi.

Banyak orang Indonesia terlibat tindak kejahatan, organisasi radikal, karena memiliki pendidikan yang rendah, sehingga sulit mendapat pekerjaan yang layak serta memiliki tingkat intelektual rendah dan mudah dihasut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kejahatan, terorisme tentunya akan merugikan masyarakat dan juga pemerintah. Dan pemerintah harus mengeluarkan biaya tambahan menanggulanginya. Coba dibayangkan jika saja biaya yang dikeluarkan tersebut sebelunya digunakan mensubsidi pendidikan, hasilnya akan berbeda, kejahatan dan terorisme dapat direduksi, dan tenaga produktif bertambah.

Logika Kecerdasan
Logika keliru lainnya adalah, seseorang tidak dapat masuk perguruan tinggi karena tidak cerdas. SPMB dilakukan menjaring orang yang tingkat intelektualitas yang memadai untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah mereka yang tidak masuk, adalah orang-orang yang demikian bodoh sehingga tidak layak mengikuti pendidikan tinggi. Menurut saya orang yang tidak mampu melakukan pembelajaran hanyalah mereka yang idiot. Sedangkan yang memiliki kemampuan otak rata-rata atau lebih pasti akan mampu mengikuti pendidikan di universitas. Apakah hampir sebagian besar masyarakat Indonesia idiot, sehingga tidak layak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Kalaupun ada anak-anak kita yang bisa tidak masuk PTN, bukan sepenuhnya karena bodoh. Banyak dari mereka tidak berasal dari sekolah menengah berkualitas, tidak bisa ikut bimbingan, kursus karena tidak ada dana dsb. Artinya ia tidak memiliki bekal memadai dalam menghadapi ujian PTN.

Di Indonesia sering dilakukan pembedaan rayonisasi dalam ujian bersifat nasional, dan nilai siswa di Indonesia Timur dimark-up agar sesuai standar nilai nasional. Hal ini tidak membuktikan bahwa siswa di Indonesia Timur lebih bodoh dari siswa di Pulau Jawa. Melainkan karena fasilitas dan kualitas pendidikan di Papua, Maluku, Sulawesi lebih menyedihkan dibandingkan di Jawa dan Sumatera .

Jadi jika banyak anak-anak kita yang tidak layak masuk Perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi yang berkualitas, siapa yang patut disalahkan, toh, pendidikan dasar, fasilitas pendukung yang baik juga tidak dapat diakses setiap orang.

Globaliasi dan Tantangannya
Pemerintah dapat saja berkelit bahwa, banyak orang yang tidak berpendidikan memadai karena kenyataan mengharuskan demikian. Namun apa jadinya nasib mereka yang tidak berpendidikan.Apalagi saat ini globalisasi sudah di depan mata, bagaimanakah nasib anak-anak kita kelak saat harus bersaing dengan tenaga kerja asing dengan kualitas pendidikan lebih baik. Dan hasilnya masyarakat Indonesia, kembali menjadi kaum terjajah, menjadi pihak yang tereksploitisir dalam sistem globalisasi dan tidak mampu berbuat banyak.

Jika kondisi demikian terjadi, apakah pemerintah tidak patut disalahkah, karena tidak mampu memberdayakan masyarakatnya. Kalaupun itu dianggap hal yang wajar-wajar saja, untuk apa kita memiliki sebuah pemerintahan yang mandul. Toh, rakyat tidak saja mengantungkan harapannya, juga membatasi kebebasannya dan menyisakan sebagian dari hasil kerja kerasnya untuk membayar pajak. Jadi tidak ada alasan untuk pemerintah tidak memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Termasuk menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi setiap anggota masyarakat yang membutuhkannya.

Refleksi terhadap SPMB
Oleh sebab itu penyediaan pendidikan merupakan kewajiban pemerintah, sebagap upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Karena pendidikan menjadi sebuah modal bagi masyarakat menciptakan kemandirian.

Seleksi SPBM dan tangisan mereka yang gagal adalah sesuatu yang tidak perlu terjadi. Yang merupakan simbol kekeliruan logika tentang kewajiban pemerintah.Keharusan adanya anak-anak kita yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi menyamarkan kegagalan pemerintah menyediakan pendidikan secara memadai.

Menurut saya SPMB tidak perlu ada, setiap anak harus dapat mengenyam pendidikan tinggi pada bidang yang ia minat. Dengan demikian pemerintah dapat membantu masyarakat memperjuangkan dirinya sendiri.

Pajak dari rakyat sepatutnya digunakan mensejahterakan rakyat, salah satunya dengan membiayai pendidikan bagi semua anak-anak Indenesia, agar kelak mereka menjadi manusia yang berguna. Dan bukannya membiayai hal-hal bersifat jangka pendek dan menguntungkan segelintir orang, atau malah dikorupsi oleh oknum-oknum pejabat yang tidak bertanggung jawab......

No comments: