Monday, 19 May 2008

HIRUK PIKUK HABIBIE VS PRABOWO, FAKTA ATAU..??


B.J. Habibi melalui bukunya setebal 549 halaman yang berjudul “Detik-detik yang Menentukan” membeberkan sebuah fakta yang selama ini tidak pernah terungkap. Dalam bukunya itu beliau secara rinci menceritakan tentang laporan Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengenai adanya gerakan pasukan liar di sekitar Istana dan rumah kediamannya sehingga Presiden Habibie dan keluarganya diusulkan untuk diungsikan ke Istana. Atas dasar laporan itulah Presiden Habibie lalu memerintahkan Wiranto untuk segera mencopot Prabowo Subianto sebagai Panglima Kostrad. Prabowo kemudian datang menemui Habibie di Istana dan meminta pencopotannya diundur tiga bulan, namun ditolak (Majalah Tempo, 8/11/06). Ini adalah fakta sesungguhnya menurut beliau.

Namun Prabowo seolah tidak mau dipojokkan secara telak kemudian membela diri. Ia lantas menggelar konferensi pers karena merasa diinsinuasikan akan melakukan kudeta dan berlaku kurang patut. Mantan menantu Presiden Soeharto ini juga sempat berupaya bertemu Habibie dan minta agar buku itu direvisi. Habibie menolak (Majalah Tempo, 8/11/06).Dan iapun berencana akan menuliskan sebuah buku untuk membeberkan fakta yang sebenarnya.

Nah, jika kemudian kedua-duanya memiliki fakta dan diklaim sama-sama valid, tentunya kita yang menyimak menjadi bingung, jadi siapa sebenarnya yang benar dan siapa yang salah?

Tentunya persoalan di atas boleh jadi menggelitik kita untuk kemudian mempertanyakan apa yang dimaksud dengan fakta? Dan sejauh mana fakta itu menjadi benar? Atau jangan-jangan pertanyaan yang baru saya ajukan tidak patut dipertanyakan?

Persoalan Fakta
Saat ini kita tengah berada pada era positifistik, dimana aturan konversasi terhadap kebenaran sebuah pernyataan adalah bukti. Bertrand Russell menekankan bahwa masuk akal untuk mempercayai data indra kita yang merupakan tanda eksistensi sesuatu yang tidak bergantung pada diri dan persepsi kita[1]. Jika kita menyatakan sesuatu, syarat agar pendapat kita diterima atau dapat dibenarkan oleh orang lain adalah bahwa apa yang kita ucapkan berasal dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Kita akan dikatakan tidak waras jika mencoba mencari pembenaran pada bisikan roh halus, perkataan mbah dukun apalagi wangsit. Pokoknya pendapat yang benar adalah resume dari sesuatu yang benar-benar kita saksikan.

Sehingga cerita tentang kaki si Andi bau busuk akan lebih relevan dengan kisah kiamat yang semakin mendekat karena yang pertama sangat mungkin diperoleh dari pengalaman, sedangkan kiamat, wong, belum sampai, jadi belum ada yang melihat, maka tidak benar. Jadi, ketika kita tengah membicarakan sebuah fakta tentang Tuti, maka akan beraneka macam fakta yang kita peroleh, mulai Tuti yang tukang ngorok, Tuti yang suka kentut, Tuti yang jorok, dsb,dsb….. Dan apakah semuanya menjadi fakta tentang Tuti?

Tentu saja. Namun jika anda di tanyakan siapakan Tuti sebenarnya maka semua fakta tersebut belum mampu memberikan gambaran menyeluruh tentang Tuti. Katakanlah kita mencari fakta tentang Tuti karena kita ingin mengenalnya. Kesimpulan dari fakta yang kita terima menjadi dasar pembentukan citra Tuti dalam benak kita. Maka, jika fakta yang berhasil kita peroleh adalah Tuti suka ngorok, kakinya bau dan jarang mandi, jangan-jangan kemudian kita berpikir Tuti gadis yang dekil atau tidak seronok meskipun tanpa kita sadari bahwa di saat yang berbeda dia ternyata sangat anggun, aroma tubuhnya enak untuk dicium dan kakinya tidak bau, hanya kita belum sempat menyaksikannya. Dalam konteks demikian pandangan kitapun menjadi bias atau malah dapat disebut pencemaran nama baik?

Fakta yang Bersifat Total?
Untuk dapat memahami sesuatu hal secara sempurna kita harus dapat mengumpulkan fakta secara lengkap. Akal manusia cenderung merangkai informasi yang berkaitan untuk membentuk sebuah pandangan general. Misalnya saja kita memperoleh pengalaman jika apel enak dimakan, nenas enak dimakan, jeruk enak dimakan maka kemudian kita berkesimpulan bahwa semua buah-buahan enak untuk dimakan. Proses logika yang membentuk pandangan demikian disebut proses induktif.

Namun persyaratan validitas demikian dapat menimbulkan persoalan. Katakanlah kita ingin menunjukkan bahwa Suharto adalah manusia setengah monster, maka kita harus mengetahui segala aspek kehidupan Suharto, jika perlu sejak ia bayi hingga masa uzurnya, dan dalam setiap detik kehidupannya kita harus bisa memperlihatkannya kecenderungannya yang kejam, seperti suka mengigit, menonjok dan mencakar dsb…. Nah, mungkinkah hal itu dilakukan? Bagaimana jika kemudian kita mengetahui jika Suharto ternyata sewaktu masa mudanya sangat santun dan menyayangi gadis-gadis desa, apakah kemudian merubah haluan dengan menyebutkan bahwa Suharto sesungguhnya adalah seorang playboy?

Motivasi dan Fakta
Intinya adalah bahwa kita tidak akan mampu mengumpulkan dan mengetahui fakta tentang sesuatu secara lengkap. Sesungguhnya kita juga tidak pernah mengumpulkan sebuah fakta secara buta[2] dengan membiarkan fakta itu hadir begitu saja. Kita seringkali memilih fakta yang akan kita saksikan[3] dan semuanya itu memiliki benang merah terhadap sebuah motif dalam diri kita. Misalnya saja kita sedang kesal dengan seseorang, maka kita cenderung akan mengumpulkan fakta yang menjelek-jelekannya. Oh, dia itu punya simpanan, aku pernah lihat ..bla..bla. Oh, dia suka nilep uang kantor, aku pernah lihat..bla..bla. Nah, bukankah ini juga sebuah fakta?

Jadi seorang wartawan mungkin saja akan lebih memilih mengumpulkan fakta buruk seorang pejabat, seorang menteri hanya akan mengumpulkan fakta positif tentang kinerjanya atau seorang LSM berusaha mengumpulkan fakta eksploitasi hutan seorang pemilik HPH yang tujuannya lebih untuk mencari keuntungan pribadi. Dan sering juga terjadi fakta yang satu dengan yang lain dapat saling dipertentangkan, sebagaimana menteri perdagangan dan menteri pertanian pernah beradu fakta terkait permasalahan impor gula, menentukan siapa salah dalam mengambil kebijakan?

Disamping itu sebuah fakta tidak selalu dipahami secara netral dan objektif. Proses kehadiran fakta dalam kesadaran kita berawal dari stimulasi ekternal menjadi sebuah sinyal-sinyal yang kemudian diterjemahkan otak sebagai bentuk, ukuran,warna, berat dsb dan selanjutnya dikombinasikan menjadi wujud yang memiliki ruang dan waktu. Bahwa bentuk yang muncul dipengaruhi oleh motivasi kita dalam mempersepsikan sesuatu, dan mendapatkan nuansa perasaan apakah menjadi wujud menyenangkan atau tidak, yang berbeda pada setiap orang[4]. Jadi meskipun dua orang sama-sama melihat sebuah pemandangan alam, namun yang satu merasa kagum akan keindahan alam namun yang lain merasa biasa saja. Bagi seorang dokter, fases atau kotoran bukan hal yang menjijikkan namun bagi orang awam menjadi sesuatu yang membuat mual apalagi jika baunya menyengat. Artinya kehadiran sebuah fakta dalam kesadaran akan turut dibentuk oleh persepsi dan efek perasaan kita.

Oleh sebab itu penyampaikan semata-mata fakta bukanlah sarana yang tepat meneguhkan sebuah statement atau pernyataan menunjukkan sebuah kebenaran absolut. Memiliki fakta bukan berarti memiliki kebenaran total. Karena faktapun dapat diambil secara bias untuk mendukung sebuah pernyataan. Di sisi lain mustahil bagi setiap orang memperoleh fakta secara lengkap tentang segala sesuatu. Dan setiap penyampian fakta adakalanya memiliki motif tertentu. Misalkan menyatakan keburukan seseorang secara terbuka di depan publik bukanlah sebuah tindakan yang patut dibenarkan? sebagaimana trend artis yang mengembar-gemborkan masalah rumah tangganya di depan pers. Benar, yang mereka sampaikan adalah fakta, namun motif penyampaiannya adalah untuk mendekreditkan pasangannya. Bukankah fakta dapat menjadi sesuatu yang merusak.

Maka kebenaran sebuah penyampaian fakta akan terkait dengan motif si penyampai fakta dan manfaat yang kemudian dihasilkan. Penyampaian fakta yang tepat bukanlah bertujuan mencari keuntungan dengan memojokkan orang lain atau menjatuhkan pihak lain membuat kita menjadi superhero melainkan demi sebuah kebaikan, mendorong terciptanya perubahan dalam diri orang lain maupun diri kita sendiri. Bukannya menimbulkan rasa malu, kebencian maupun dendam. Maka dalam konteks demikian fakta akan menjadi tepat dan bermanfaat tidak hanya selama ia benar terjadi, namun juga terkait dengan bagaimana fakta tersebut disampaikan, melalui media apa, sehingga orang yang memperoleh fakta tersebut menjadi arif menanggapinya.

Oleh sebab itu meskipun kita memiliki fakta, namun penyampaiannya belum tentu membawa kita pada pernyataan yang benar. Pertama karena kita tidak pernah mampu memahami fakta secara bebas distorsi dan kedua kebenaran penyampaikan sebuah fakta lebih bersifat pragmatis, apakah memberikan manfaat atau tidak. Dan yang terpenting adalah motif yang ada dibalik penyampaian sebuah fakta. Meskipun benar, fakta yang disampaikan dengan tujuan menguntungkan diri tetap menjadi sesuatu hal yang keliru. Setidaknya caruk-maruk bukaan fakta-fakta oleh berbagai pihak untuk menkritik pihak lain di media massa, yang konon dianggap sebagai bentuk kebebasan berpendapat, bukanlah semata-mata dilihat sebagai bentuk pernyataan yang benar dan masuk akal namun juga kita perlu kritisi, jangan-jangan ada udang di balik batako…


Catatan Kaki:
1.Bertrand R. The Problems of Philosophy (terjem Persoalan Seputar Filsafat),hlm-27
2.Muncul begitu saja bebas dari pikiran kita
3.Dalam konsep psikologi hal ini disebut sebagai attention artinya mengarahkan indra terhadap stimulus tertentu.
4.Lihat S. Crown, Essential Principles of Psychiantry p 37-38

No comments: