Tuesday, 12 February 2008
RELEVANSI GERAKAN FEMINISME?
Apakah wanita tertindas? Konon menurut Saudaraku, pendukung gerakan feminisme, wanita tengah terjajah dalam sistem partiarkar dan kondisi ini menjadi titik tolak perjuangan kaum feminisme.
Namun seperti apakah kiranya bentuk eksploitasi yang dialami wanita. Saya coba menyajikan berbagai contoh yang dijadikan bukti bagaimana wanita diperlakukan tidak adil oleh pria; 1) kekerasan dalam rumah tangga yang sering dialami wanita, 2) wanita mengalami diskriminasi dapat mendapatkan posisi penting dalam masyarakat, 3) wanita sering dijadikan komodifikasi seksual. Maka kasus wanita yang wajahnya rusak karena disiram suaminya dengan air panas, wanita yang harus bekerja banting tulang sebagai buruh angkut barang di pelabuhan Tanjung Priok atau menjadi pelacur, jumlah wanita yang sangat terbatas dalam menduduki kursi DPR digemborkan sebagai gambaran bagaimana merananya kaum wanita itu. Kemudian kondisi demikian dijadikan sebagai bukti subordinasi wanita dalam sistem partiarkar.
Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan terjadinya, katakanlah ketidakadilan terhadap seorang wanita oleh seorang laki-laki, kemudian menjadi dasar bahwa telah terbangun sebuah sistem relasi gender yang bersifat tidak seimbang. Jika kemudian pada saat yang sama banyak juga pria yang kemudian tereksplotasi oleh istrinya, suami yang ditinggal istri selingkuh, atau fenomena cewek matre yang menguras dompet pria maka apapula kesimpulan kita terhadap kejadian tersebut. Apa kita kemudian dapat berkata bahwa pria tengah tereksploitasi dalam sistem matrialkar. Atau kemudian ada yang menjawab, oh, itu karena perempuannyanya saja yang nakal? Namun mengapa kita tidak menggunakan pendapat yang sama saat menilai tindak kekerasan oleh pria. Oh,itu karena si laki-lakinya saja yang jahat.
Demikian halnya ketika kita melihat bahwa ada perempuan yang kemudian melakukan pekerjaan kasar atau terkomodikasi secara seksual, lagi-lagi hal ini disebutkan sebagai bentuk eksploitasi pria. Namun logika inipun kadang kontradiksi dengan berbagai pandangan tentang eksploitasi wanita. Di satu sisi perjuangan feminisme menentang pandangan bahwa wanita tidak patut dikasihani dan dianggap mahluk yang lemah berbeda dengan pria. Ia bebas memilih pekerjaan apapun yang layak bagi dirinya, baik itu menjadi seorang polisi, hakim serta mendapat posisi sebagaimana yang dapat dipegang oleh pria apakah menjadi seorang presiden, Presdir, Rektor, ketua legislatif, dsb. Sehingga tidak salah juga jika kemudian wanita memilih untuk bekerja kasar sebagai kuli kasar atau melacurkan diri, tapi dalam konteks ini malah suami atau pasangannya yang dianggap tidak bertanggung jawab, artinya ia tidak sepatutnya wanita bekerja demikian. Mengapa tidak patut bukanlah dalam prinsip emansipasi wanita bebas memiliki menentukan bentuk kehidupannya asalkan pilihannya itu bukan karena sebuah intervensi pihak lain melainkan karena keputusan pribadinya. Jika kemudian wanita memilih bekerja kasar atau melacurkan diri demi perjuangannya untuk dapat menghidupi anak-anaknya bukankah itu adalah sebuah tindakan yang mulia.
Keadilan tidak selalu mesti ditafsirkan dalam bentuk keseragaman, bebas dari rasa sakit. Keadilan adakalnya tidak bersifat mutlak. Bagi seseorang buruh tani mungkin akan merasa adil jika pemilik tanah memberikan sepertiga hasil panen kepadanya, sedangkan petani yang lain merasa adil jika ia mendapatkan uang jasa dari kerja kerasnya selama ini. Seseorang merasa adil jika ia mendapatkan apa yang ia anggap layak ia peroleh. Dalam kaitannya dengan hubungan gender, bahwa dalam kebudayaan masa lampau, wanita sering dijadikan victim (seolah-oleh demikian dalam pandangan kita), apakah harus dikorbankan jika suaminya meninggal seperti yang terjadi di kalangan masyarakat Hindu atau suku Dani, melakukan ritual suci dengan menyerahkan dirinya sebagai pelacur suci di kuil seperti yang terjadi pada masyarakat Mesir kuno. Atau penghukuman mati wanita yang telah melakukan hubungan seksual sebelum nikah di kawasan Timur Tengah. Ketika menilai mereka dari kaca mata budaya kita, mungkin kita segera menyimpulkan bahwa wanita tersebut telah tertindas namun pernahkah kita bertanya pada si wanita yang bersangkutan apakah ia benar-benar teraniaya dan diperlakukan secara tidak adil. Seperti halnya dalam kebudayaan batak dimana wanita yang berperan sebagai boru kemudian secara otomotasi bekeja secara sukarela pada sebuah pesta, kemudian kita bertanya mengapa si pria tidak juga ikut bekerja? Ternyata sang wanita melakukannya dengan senang hati atas keputusan pribadinya sendiri sehingga dalam konteks ini apakah ia tertindas?
Mungkin saja kita kemudian mengatakan bahwa mereka demikian karena adanya nilai-nilai moral yang menyengsarakan wanita yang sejak kecil diajarkan untuk patuh pada pria sehingga bisa saja nilai-nilai itu kemudian dianggap sebagai sebuah ideologi yang melempangkan kekuasaan pria. Tentunya jika kemudian kita katakan bahwa kebudayaan demikian itu adalah ideologi, sebagai sebuah pandangan yang menipulasi kesadaran wanita. Namun kira-kira bagaimana pula bentuk pandangan yang benar itu. Maka untuk menjawab hal tersebut maka kita harus mengetahui tentang ide-ide absolut tentang manusia, siapakah manusia itu? apakah keutamaanya? seperti apakah menjadi manusia itu sesungguhnya? Namun untuk menjawab pertanyaan itu landasan epistemologi apa yang akan kita gunakan, apakah dengan pendekatan empirisme, rasionalisme atau idealisme ? dalam filsafat pertanyaan tentang kebenaran manusia masih senantiasa menjadi diskursus yang tidak terselesaikan mulai dari Plato, Kant hingga akhirnya manusia menjadi skeptis terhadap kebenaran tersebut yang ditandai munculnya era postmodern.
Menurut pandangan saya, kebudayaan merupakan wadah bagi manusia untuk memahami dan memaknai keberadaannya dan realitas yang ada di sekelilingnya. Kebudayaan menjadi sarana untuk manusia untuk menciptakan sebuah pola pemahaman dan hubungan sosial dimana di dalamnya terdapat aturan yang memungkinkan terpenuhinya berbagai kebutuhan manusia yang tercakup dalam sebuah kebudayaan. Melalui budaya manusia mengembangkan cara untuk mendapatkan makanan, apakah dengan berburu, bertani ataukan dengan menggunakan mesin-mesin sebagaimana yang dilakukan oleh manusia modern. Termasuk juga akan kebutuhan yang lain, kebutuhan akan estetika dsb dan bagimana barang-barang pemenuhan kebutuhan itu didistribusikan kepada setiap orang. Sehingga wajar jika kemudian Marx menjadikan kehidupan materi, atau bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya menjadi dasar pembentukan kebudayaan atau struktur sosial. Namun kebudayaan akan bertahan selama secara fungsional mampu mendukung manusia menyediakan kebutuhan dasarnya, jika tidak maka manusia akan menafsirkan kembali kebudayaannya. Oleh sebab itu kebudayaan itu bersifat dinamis dan tidak mutlak bahkan apa yang kita anggap rasional atau ideal pada suatu masa menjadi bagian dari budaya yang turut bergerak bersama waktu, yang oleh Hegel dianggap menjadi subordinasi dari roh absolut sejarah.
Dalam konteks demikian jika seorang wanita pada masa tertentu memutuskan untuk mengorbankan dirinya bagi suaminya yang telah meninggal, atau memberikan dirinya sebagai tumbal persembahan bagi dewa-dewa, tidak tepat dipandang sebagai bentuk eksploitasi jika sang wanita maupun masyarakat pada saat itu menganggap bahwa nilai-nilai tersebut benar adanya serta si wanita melakukannya dalam sebuah kebebasan. Namun dengan berubahnya zaman maka wanita saat ini memiliki nilai keutamaan yang berbeda, bahwa ia harus mampu meraih karir tertentu, mengenyam pendidikan tinggi, dsb jika keinginan itu dibatasi oleh karena ia perempuan maka tindakan itu dapat dikatergorikan sebagai sebuah bentuk diskriminasi.
Oleh sebab itu saya tidak menganggap bahwa perjuangan terhadap wanita secara mengeneralisir dengan membebaskan wanita dari pekerjaan fisik, komersialisasi seksual, serta berbagai ketidakadilan yang berorientasi pada praktek-praktek semata dan kadang bersifat simbolis mulai dari meminta kursi tambahan di DPR, hukuman yang lebih berat bagi pria yang menyakiti istri, kendaraan umum yang berbeda untuk wanita, pemberantasan praktek prostitusi, tepat sasaran. Akan lebih baik perjuangan itu lebih diarahkan tidak pada perjuangan terhadap wanita semata karena jangan-jangan priapun juga mengalami berbagai ketidakadilan sehingga arah perjuangan tidak sempit namun mengarah pada perubahan sistem yang menciptakan berbagai ketidakadilan. Bukankah banyak pria yang mengalami eksploitasi dalam sistem kapitalisme demi meghidupi keluarganya, banyak juga pria yang mengalami diskriminasi apakah karena agama, sukunya dalam mengejar karirnya atau mengalami kekerasan fisik maupun penyiksaan dsb. Artinya ketidakadilan terjadi dimana-mana dan dapat menimpa siapa saja. Ketidakadilan timbul saat seseorang teralienasi yakni membenarkan atau melakukan sesuatu bukan karena keinginan hatinya melainkan karena tekanan fisik, psikologis maupun sosial.
Oleh sebab itu saya menyarankan agar gerakan feminisme agar tidak terlalu terobsesi pada sebuah pembebasan wanita yang terlalu praktikal dan kadang terkesan dangkal yang bahkan mengarah pada sebuah kebebasan total secara ekstrim dengan menolak takdirnya sebagai mahluk yang melahirkan seorang anak sebagai seorang manusia, dimana ia memiliki kewajiban dan bukan hak semata untuk merawatnya, karena ia memiliki payudara untuk menyusui bayinya dan kasih sayang untuk mendorong pertumbuhan bayinya secara optimal, atau dengan tidak sembarangan menggugurkan kandungan begitu saja, sebagai simbol hak wanita terhadap tubuh dan membebaskan diri dari intervensi sosial yang dianggap terdistorsi oleh kekuasaan patriarkar. Toh, tanpa sebuah gerakan feminisme sistematispun, wanita secara perlahan mulai mendapat tempat semakin sejajar dengan pria. Apakah gerakan feminismelah yang kemudian mendorong banyak wanita untuk dapat berpendidikan tinggi, atau jangan-jangan karena peningkatan pendidikan kemudian memunculkan kesadaran terhadap pembebasan wanita. Misalnya Gadis Avria, seorang tokoh gerakan feminisme Indonesia apakah mungkin akan memiliki ide-ide pembebasan wanita jika ia hanya lulusan SMP dan tidak mengenyam pendidikan hingga pascasarjana di bidang filsafat.
Intinya, ketidakadilan dapat berlangsung di masa saja, baik antara pria dengan wanita, atau sebaliknya, baik pada anak-anak, masyarakat dengan individu, negara dengan negara yang kesemuanya itu membutuhkan pemikiran kritis untuk mengatasinya. Oleh sebab itu biarlah pikiran-pikiran yang kreatif dari kaum wanita yang ingin memperjuangkan kaumnya tidak terjebak pada sebuah persoalan yang dangkal namun dengan semua pihak yang menentang ketidakadilan untuk bersama-sama berjuang menciptakan kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik, bebas dari eksplotasi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment