Wednesday, 13 February 2008

DEMO, ANTITOLERANSI DAN NILAI KEBANGSAAN



Sekelompok orang berdemo di depan gereja HKBP Bincarung Bogor tanggal 10 Februari 2008 kemarin. Aksi ini berhubungan ketidaksetujuan mereka terhadap berbagai upaya pembangunan gereja di kota Bogor. Serta melarang aktivitas ibadah pada bangunan yang belum mendapatkan izin beribadah. Dan sempat menimbulkan kepanikan terhadap jemat yang tengah beribadah.

Kebetulan gereja HKBP Bincarung hingga saat ini belum mendapatkan izin untuk mendapatkan tempat beribadah. Upaya memperoleh legalitas pendirian gereja dari Pemda Bogor selalu mentah di tengah jalan sejak puluhan tahun yang lalu. Apakah karena alasan masyarakat tidak setuju atau karena lokasi tidak diperuntukkan untuk rumah ibadah. Sehingga gereja malang ini harus bermigrasi berulang kali mulai dari memakai gedung sekolah, ruangan kosong di sebuah mall hingga pada sebuah bangunan rumah yang mereka gunakan saat ini.

Saya tidak tahu pasti dari manakah para pendemo itu berasal, siapa yang menggerakkan mereka dan apa motivasi mereka. Namun menurut saya, tidak ada alasan apapun membenarkan aksi demonstrasi tersebut, yang telah menciptakan rasa tidak nyaman bagi umat agama lain yang sedang beribadah.

Layakkah HKBP Bincarung harus didemo melakukan beribadah karena alasan belum mendapat izin? Memang bangunan yang digunakan HKBP Bincarung hanya sebuah rumah biasa, namun apakah kemudian tidak boleh digunakan beribadah. Lagi pula mengapa orang beribadah harus dilarang? Apakah karena ibadah yang dilakukan di HKBP Bincarung dapat disamakan dengan aktivitas pelacuran atau aktivitas terlarang, sehingga hanya dibenarkan dilakukan di tempat khusus atau sebuah lokalisasi.

Esensi Ibadah

Ibadah, menurut saya adalah salah satu bagian dari upaya manusia memenuhi kebutuhan dasarnya yang bisa disamakan dengan makan, minum bahkan mungkin lebih penting dari itu. Beribadah adalah sebuah aktivitas dimana manusia berkomunikasi dengan Tuhannya, dimana ia menyerahkan segala pergumulannya, kecemasannya dan masa depannya pada pribadi yang ia imani berkuasa atas hidupnya. Dari padanya manusia memperoleh harapan, keyakinan dan kedamaian dalam menjalani hidupnya yang serba tidak pasti dan tidak sepenuhnya ia pahami.

Kebutuhan beribadah adalah kebutuhan fundamental bagi manusia, sehingga tidak sewajarnya mendapatkan kekangan dari pihak lain. Apalagi nyatanya aktivitas tersebut tidak merugikan orang lain seperti sampai membahayakan hidup orang lain atau merugikannya secara materi. Jika hal tersebut dilakukan seharusnya layak disebut sebagai kejahatan karena telah melanggar hak asasi manusia. Hak untuk memperoleh yang hakiki bagi hidupnya.

Hak setiap warga negara menjalankan ibadah menurut keyakinannya seharusnya dilindungi oleh negara (sebagaimana yang dijamin pada Pasal 29 UUD 45). Sehingga tidak ada masyarakat yang bebas berdemo di depan sebuah gereja, terlepas apakah gedung yang digunakan memiliki izin atau tidak. Namun dimanakah pemerintah pada saat itu? Gangguan terhadap masyarakat yang tengah memenuhi kebutuhan fundamentalnya, yang memang haknya dan tidak merugikan orang lain, adalah sebuah tindak kejahatan.

Seharusnya negara berkewajiban menyediakan rumah ibadah bagi masyarakatnya, karena negara berkewajiban memenuhi kebutuhan mendasar dari rakyatnya, namun bersyukurlah masyarakat tidak membebani negara untuk hal ini. Sehingga tugas yang harus dijalankan pemerintah cukup menjamin hak setiap warga negaranya untuk beribadah.

Negara Kesatuan dan Konsekuensinya
Hidup dalam negara kesatuan, dan bukan negara agama, mensyaratkan kesadaran bagi setiap anggota masyarakat bahwa ia hidup dalam lingkungan sosial yang majemuk. Sejak bangsa Indonesia menyatakan dirinya sebagai satu bangsa sejak tahun 1928 yang lalu dan kemudian memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, memiliki konsekuensi setiap orang yang menjadi bagian dari bangsa ini harus siap menerima perbedaan.

Orang Batak tidak boleh memandang rendah Saudaranya yang berasal dari Jawa karena memiliki karakter tutur kata yang lembah lembut. Orang Kalimantan juga harus siap mengakui orang Papua yang memiliki warna kulit yang kontras dengan kulitnya sebagai Saudara sebangsa setanah air.

Demikian halnya hubungan antar umat beragama. Di Indonesia diakui 5 agama besar yang memiliki karekteristik yang berbeda-beda. Sebab itu mereka yang beragama Kristen harus siap dengan kehadiran Saudaranya yang beragama Islam. Siap untuk membiasakan diri mendengarkan suara azan yang mengema masuk ke rumahnya setiap pagi atau sore hari. Mereka yang beragam Islam juga harus siap menerima jika di wilayah pemukimannya berdiri sebuah gereja, yang orang-orangnya setiap beribadah selalu menggunakan baju mentereng seolah pamer kekayaan dan selalu bernyannyi sepanjang ibadah.

Masing-masing umat beragama dituntut saling menghormati satu sama lain, sebagai konsekuensi bahwa kita hidup dalam satu bangsa yang tidak memandang agama, ras, suku. Cukup hanya sebuah identitas, bangsa Indonesia, yang hak dan kewajibannya telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Negara sebagai hasil konsensus nasional.

Intinya, tidak ada alasan membenarkan sekelompok orang melakukan gangguan terhadap orang lain yang sedang beribadah. Bisa saja izin pendirian rumah ibadah tidak mungkin diberikan dengan alasan pragmatis, mungkin karena tidak kesesuaian tata ruang, atau karena lahan terbatas sehingga cenderung diperuntukkan untuk tempat tinggal, namun bukan berarti pemberedelan atau demo dari sekelompok orang dibenarkan buat orang-orang yang tengah beribadah bukan di tempat ibadah yang legal, katakanlah di rumah, atau tempat-tempat pertemuan yang disulap menjadi tempat ibadah.

Demo, Intoleransi dan Kebodohan
Namun munculnya fenomena demo sedemikian serta berbagai tindakan ancaman terhadap umat beragama lain demikian menjadi cerminan adanya sikap intoleransi yang massif dalam kesadaran pada kelompok masyarakat tertentu. Bisa jadi di dalam diri kelompok tersebut terdapat rasa ketidaksenangan bahkan kebencian tersembunyi terhadap mereka yang berbeda agama.

Seperti halnya kutipan yang saya ambil dari Radar Bogor menyebutkan bahwa mulai dari Prof Didin Hafiduddin dari Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia, Muhyidin Junaedi Ketua Muhammadiyah Kota Bogor, Asep Abdul Wadud dari NU, Abdullah Batarfie dari Al Irsyad, Abbas Aula Lc MHI dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Kota Bogor, M Rosyidi Aziz dari HTI Kota Bogor, Fahrudin Sukarno, MHI dari KMB, KH Badrudin Subqi dari MUI, Amirudin A Fikri dari Forum Umat Islam, Entry Sudjatmo dari Arimatea, sampai Drs Qomarudim. Forum Alim Ulama tersebut menyatakan diantaranya telah terjadi Keresahan di Masyarakat...... mengingat telah ditetapkannya Perber No 9/8 yang harus menjadi acuan, serta dalam rangka menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama. Maka IMB Pembangunan tempat peribadatan ...harus dibatalkan.

Demikian halnya dengan pernyataan Anggota Dewan dari dapil IV Kecamatan Bogor Barat yang menyebutkan bahwa pembangunan tempat peribadatan itu kenyataannya menimbulkan keresahan.

Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa masyarakat resah? Apakah masyarakat secara keseluruhan atau kelompok masyarakat tertentu saja?

Apakah pembangunan gereja/tempat ibadah berpotensi menciptakan gangguan bagi masyarakat? atau hal ini adalah manifestasi dari adanya anggota masyarakat tertentu yang masih hidup dalam fanatisme sempit keagamaan sehingga keberadaan sebuah tempat ibadah agama lain menjadi ancaman.

Keberadaan rumah ibadah, seperti halnya gereja, tidak pernah mengakibatkan gangguan bagi masyarakat sekitarnya. Paling hanya sedikit gangguan suara namun tidak sampai mengakibatkan kebisingan. Dan kemacetan pada saat-saat tertentu. Namun tidak separah jika sebuah pusat perbelanjaan dibangun di dekat pemukiman penduduk, dapat menimbulkan suasana bising, lalu lintas yang sembraut dan macet.

Malah keberadaan tempat ibadah kadang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar, misalnya bagi mereka yang berjualan/atau membuka usaha di sekitar tempat ibadah, atau tukang parkir yang mengatur parkir di sekitar tempat ibadah. Mereka mendapatkan keuntungan dari jemaat yang membeli barang mereka atau membayar parkir.

Namun mengapa ada saja kelompok masyarakat tertentu yang merasa gusar? Mungkin bagi mereka, apa yang akan dilaksanakan di tempat ibadah tersebut adalah sesuatu yang tidak benar dan menyimpang. Ini sama saja membiarkan sebuah kesesatan ada ditengah-tengah lingkungannya.

Ini adalah representasi sikap-sikap fanatisme. Dan fanatisme muncul sebagai akibat pola pikir sempit dan tidak kritis timbul yang diakibatkan relasi sosial yang tertutup atau terisolasi dan diperparah oleh kebodohan dan wawasan yang sempit. Apalagi persoalan sesat tidaknya sebuah agama atau keyakinan bukan manusia yang menentukan melainkan Tuhan.

Oleh sebab itu masyarakat Indonesia harus senantiasa belajar hidup berdampingan secara damai dan tentram dalam berbagai perbedaan sosial. Karena selama negara ini ada kita harus belajar menerima hal tersebut. Kecuali jika negara ini bubar dan kita kembali ke dalam ikatan-ikatan tradisional. Kita bisa membuat aturan masing-masing, menjadikan aturan suku/kelompok dan agama sebagai aturan yang mengikat. Dan selama kita negara Indonesia masih eksis sebagai negara kesatuan peristiwa demo tanggal 10 Februari 2008 kemarin seharusnya tidak perlu terjadi.

No comments: