Monday, 25 February 2008

ETIKA DAN PERUBAHAN BANGSA


Layakkah etika dijadikan titik tolak bagi perubahan nasib bangsa Indonesia? Tepatkah pertanyaan ini disampaikan? Bagi seorang ekonom, barangkali pertanyaan tersebut mengada-gada, bagaimana etika dapat dijadikan solusi bagi persoalan yang dihadapi Indonesia, karena apa yang sesungguhnya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, krisis ekonomi, pengangguran, serta berbagai konflik-konflik sosial seluruhnya berpangkal pada persoalan kesejahteraan yang membutuhkan penyelesaian secara ekonomi. Mekanisme pasar adalah solusi terbaik. Perubahan ke arah yang lebih baik diartikan perbaikan tingkat kesejahteraan. Oleh sebab itu menurut para ekonom persoalan Indonesia harus diselesaikan melalui formulasi kebijakan ekonomi yang tepat.

Lagi pula, masihkah ada ruang bagi etika, saat manusia dipandang berdasarkan perpektif ilmu pengetahuan, sebuah mesin mekanis yang sikap dan perilakunya adalah manifestasi dari kerja struktur kepribadian pada tatanan nirsadar dengan hukum-hukum keteraturan sebagaimana diartikulasikan oleh Sigmund Freud, atau dibentuk oleh sebuah interaksi dari sistem biologis tubuh dan internalisasi sistem sosial. Sehingga pikiran dan kesadaran semuanya adalah sesuatu yang manifetasi kerja otak secara tidak sadar sehingga kehendak bebas serta subjektivitas manusia diturunkan dari tahta sucinya.

Lihat saja apa yang didegungkan oleh kaum behavioritas tentang perilaku manusia. Bahwa kebiasaan atau tingkah laku pada manusia terbentuk sebagai akibat mekanisme stimulus-respon. Terdapat empat komponen yang mendorong terbentuknya tingkah laku dan kebiasaan manusia yakni, (1) adanya dorongan atau kebutuhan internal yang bersifat primer seperti rasa lapar, haus atau derivasi dari kebutuhan primer yang bersifat sekunder seperti mendapatkan prestasi, jabatan, dsb, dsb (2) cues, atau adanya stimulasi faktor-faktor eksternal respon yang sesuai dengan kaulitas pemenuhan kebutuhan yang tersimpan dalam memori kita, (3) respon, maka kita akan melakukan tindakan (3) reward, setelah bertindak kita apakah kebutuhan kita akan terpenuhi atau malah semakin mengalami ketegangan, jika terpenuhi tindakan yang kita pilih akan terkondisikan, sehingga saat kita mengalami kebutuhan yang sama dalam kondisi eksternal yang sama, maka yang kita akan kembali mengulangi tindakan yang mendatangkan insentif positif . Prinsip ini hendak berkata bahwa setiap perilaku setiap manusia bersifat deterministik yakni mengejar kesenangan, dan tingkah laku yang menghasilkannya akan bertahan, sedangkan yang tidak, tereduksi dengan sendiri.

Jika demikian, asal usul tindak kejahatan bukan berasal dari sebuah keputusan bebas individu menjadi jahat, melainkan karena terkondisikan demikian. Sehingga dengan demikian, bagaimanakah manusia harus dibebankan tanggung jawab terhadap tindakannya? Kalaupun seorang kriminal dihukum karena tindak kejahatannya lebih merupakan bentuk pengkondisian, pemberian insentif negatif agar tindakan tereduksi serta tidak lagi menjadi kebiasaan.

Ketiadaan tanggung jawab personal terhadap tindakannya juga turut mendapat pembenaran dari perspektif genetis. Bahwa kecenderungan tindakan adalah hasil pengkodean genetik yang diwariskan secara biologis. Sifat-sifat seperti dermawan, penyayang, bengis timbul bukan akibat pilihan bebas melainkan sebagai ekspresi dari materi genetis yang sudah membawa karakter awal yang bakal dimiliki seseorang. Sehingga kebijakan eugenetika patut dilakukan untuk mengurangi jumlah penduduk yang lahir dengan bawaan gen negatif serta untuk menghasilkan kualitas yang unggul . Artinya timbul tindakan yang amoral bukan karena sebuah pilihan melainkan secara biologis, materi genetik telah menentukan bahwa seseorang memiliki sikap atau tindakan yang cenderung asosial. Maka wajar jika negara mewajibkan agar mereka yang cacat mental, mengalami penyakit bawaan genetis, pelaku kejahatan berat atau yang memiliki kecenderung asosial untuk dikebiri atau tidak diperkenankan memiliki keturunan.

Modernitas dan Anti Kebebasan Individu
Munculnya pandangan sebagaimana disebutkan di atas cerminan dari geliat modernitas yang telah merasuki segala bidang. Modernitas adalah sebuah proyek intelektualitas yang berusaha memahami realitas dalam konsep permodelan, sebagai menifestasi hukum keteraturan dan kekelan energi, yang diperoleh melalui observasi objektif. Menurut Lyotard modernitas adalah proyek intelektualitas dalan sejarah dan kebudayaan barat yang mencari kesatuan di bawah bimbingan suatu Ide pokok, yang terarah kepada kemajuan. Era modern ditandai dengan manusia tidak lagi menjelaskan fenomena alam secara mistis melainkah secara naturalis . Eksplanasi naturalis dirintis oleh kaum filsuf Yunani, sedangkan prinsip keteraturan dan hukum-hukum kekekalan telah muncul sejak era Newton, yang memandangan bahwa alam semesta adalah sebuah mesin raksasa yang bergerak secara teratus berdasarkan hukum-hukum yang bersifat mutlak..

Pada awalnya konsep demikian hanya diterapkan pada ilmu pengetahuan alam karena banyak teori-teori maupun permodelan untuk menjelaskan fenomena alam dapat tampaknya dapat memperoleh kesepakatan universal. Bahwa setiap benda yang dilemparkan ke atas akan kembali jatuh ke bawah, benda yang jatuh pasti akan menimbulkan bunyi. Hukum alam adalah sebuah pernyataan jika suatu peristiwa terjadi yang lain akan menyusul . Teori mekanika Newton secara meyakinkan mampu menjelaskan setiap fenomena gerak dari benda-benda di alam. Demikian halnya dengan hukum termodinamika atau hukum fisika lainnya sepertinya dapat diterapkan menjelaskan berbagai kejadian dalam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Namun karena hubungan sebab-akibat begitu nyata dan jelas pada fenomena alam ternyata juga turut mengairahkan para kaum intelektual di bidang sosial, serta mulai mengadobsi anggapan bahwa ilmu sejarah, perilaku manusia, dan ekonomi juga memiliki hukum yang bersifat alamiah. Obsesi ini mendorong peristiwa sosial harus dijelaskan dalam sebuah model hubungan sebab akibat yang disusun melalui observasi. Agust Comte menyarankan agar ilmu sosial mengikuti metodologi positivisme yakni, menerapkan observasi objektif dalam menjelaskan kejadian sosial. Demikian juga dengan Adam Smith yang memiliki visi untuk mendirikan hukum alamiah yang bersifat tetap dan mutlak dalam hubungan ekonomi.

Perkembangan ilmu pengetahuan bergerak pada penjelasan reduksionisme. Hukum keteratuan akan lebih akurat jika kita dapat sampai pada sebuah substansi yang tidak dapat lagi terbagi, yakni molekul, atom, sel, gelombang seiring dengan ditemukannya sejumlah alat-alat observasi yang memampukan manusia melihat elemen yang lebih kecil lagi dari suatu benda. Sehingga eksplanasi terhadap realitas harus dijelaskan kepada hal-hal yang tidak lagi kasat mata. Sebuah benda bergerak atau mudah terurai lebih disebabkan manifestasi quantum, gelombang energi, dsb. Demikian halnya dengan fenomena kehidupan, bahwa aktivitas kehidupan, perilaku harus dijelaskan dengan biologi sel, kadar gula dalam darah, jumlah hormon dalam sel-sel tubuh.

Kecenderungan yang terjadi kemudian, manusia turut menjadi salah satu objek yang harus dijelaskan dengan konsepsi demikian. Bahwa manusia dipandang sebagai sebuah mesin yang bekerja berdasarkan hukum-hukum mutlak, yang termanifesikan pada kerja organ-organ tubuh, hingga pada biologi sel. Manusia menjadi lapar karena kadar gula didalam tubuh darah menurun, dimana perasaan lapar adalah hasil dari interperasi otak atas adanya kekurangan tersebut, maka otakpun mengorganisasikan alat-alat tubuh untuk mendorong terjadinya aktivitas makan. Maka otak akan menghadirkan memori jenis-jenis makanan yang dibutuhkan, mengerakkan mata melihat dimana makanan tersedia, mengerakkan tangan untuk mengambil makanan, serta memerintah mulut untuk mencerna makanan secara mekanis. Sedangkan untuk prosesnya terjadi secara otomatis lepas dari perintah otak secara sadar.

Skeptisme terhadap Pengetahuan
Namun pada akhir abad ke-20 hingga abad ke-21, secara perlahan kaum intelektual memasuki masa skeptisme terhadap ilmu pengetahuan yang diawali dari ranah filsafat. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan kegagalan ilmu pengetahuan positif mewujudkan janjinya memberikan dunia yang lebih baik, saat segala rahasia alam telah terpecahkan dan hukum telah disingkapkan secara sempurna. Malah manusia abad ke-20 harus menyaksikan dunia modern, yang diklaim telah dibebaskan dari kebodohan dan keyakinan yang tidak memiliki dasar, menjadi dunia penuh kekejaman, dimana teknologi dan ilmu pengetahuan secara sistematis digunakan untuk membinasakan umat manusia melalui bom, nuklir atau senjata pemusnah. Manusia diperhadapkan pada persoalan krisis hidup dan lingkungan sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari ilmu pengetahuan apalagi saat sakralitas lokalitas dihilangkan karena tidak memiliki landasan sientifik yang malah semakin mengairahkan dorongan egoisme manusia untuk mengeskploitasinya secara serampangan. Belum lagi teori-teori ilmiah, seolah-olah demikian, yang dikaitkan dengan eksistensi manusia, seperti keyakinan terhadap evolusi, sifat bawaan secara genetis, telah menjadikan manusia sebagai objek pengafkiran, seperti yang pernah dilaksanakan oleh Hitler, dengan membangun proyek pembunuhan massa untuk membersihkan ras-ras ataupun orang-orang yang tidak sesuai dengan cita-cita memajukan Jerman.

Hal ini diawali dari pemberontakan terhadap scientific-empirisme yang ditetapkan sebagai satu-satu cara berhubungan dengan ada dan memperoleh kebenaran dari padanya, dengan sebuah keyakinan dogmatis bahwa apa disaksikan adalah sebagaimana objek itu berada. Namun para pengkritik mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar, bagaimanakah kita dapat menjamin bahwa apa yang kita lihat adalah sebagaimana keberadaan dari objek yang kita persepsikan? Jika kita melihat jeruk berwarna hijau, apakah benar bahwa jeruk tersebut benar-benar seperti yang kita saksikan dan bukan semata-mata gambaran mental saya semata. Bahwa Sartre menegaskan bahwa apa yang kita alami dan kita sadari adalah ada dalam kesadaran kita dan bukannya ada dalam keadaan dirinya. Jika syarat dari pengetahuan adalah menyarikan ada sebagaimana adanya bagaimana kita dapat membuktikan bahwa kita tengah berinteraksi dengan ada itu sendiri. Jika kita tidak dapat membuktikan hal tersebut maka keyakinan tersebut menjadi dogma yang harus dibangung terlebih dahulu agar pengetahuan menjadi mungkin. Sehingga bisa saja, sebagaimana konsepsi Barkley bahwa semuanya tidak nyata melainkan hanyalah sebuah persepsi. Dan kita hidup dalam dunia yang diciptakan oleh gambaran mental kita, sekaligus menjadikan kesadaran sebagai titik sentral eksistensi kita..

Maka legitimasi hukum-hukum alam sebagai sesuatu yang ada secara natural menjadi terbantahkan, melainkan menjadi cara manusia memaknai ada dalam kesadarannya. Pengetahuan yang kita bangun tidak berpusat ke luar melainkan ke dalam diri kita. Menurut Nietzche manusia sesungguhnya yang menata dan meyusun realitas secara seenaknya dan sesuai dengan selera pribadi kita . Kalaupun hukum alam itu ada sesungguhnya ia berada melampau konsep-konsep pemikiran kita. Dan ia menambahkan bahwa kebenarannya hanya sebagai sebuah fungsi dari bahasa yang kita pakai . Runtuhnya objektifitas seolah hendak mengajak untuk mengembalikan otonomisasi manusia, bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki kehendak bebas, oleh karena kemampuan akal budinyalah maka pengetahuan dapat dihasilkan, meskipun ilmu pengetahuan itu pada akhirnya menjadikan manusia sebagai objek observasinya dan memunculkan manusia sebagai mesin otomatis.

Etika Baru dan Konsepsi Levinas
Etika eksis selama kita menyadari keberadaan manusia sebagai mahluk yang memiliki kehendak bebas dan bertanggung jawab terhadap tindakannya. Manusia adalah adalah pengada dengan status ontologisnya oleh Heiddegerd disebut Desain, yakni pengada yang mempertanyakan adanya dan memaknai pengada diluar dirinya. Sehingga subjek memiliki titik sentral dalam dirinya, sehingga keputusan yang ia ambil adalah manifestasi dari status ontologisnya.

Adanya kebebasan manusia dalam memaknai realitas sebagai sebuah kenyataan ontologis mengakibatkan sejarah kehidupah manusia, sebagai totalitas pengadakan yang memiliki kebebasannya, memiliki arah yang tidak dapat ditentukan. Upaya Marx merekonstruksi akhir sejarah kapitalisme layak disebutkan ramalan di siang bolong, karena keyakinanya lahirnya revolusi klas di negara dengan kapitalisme yang sangat maju tidak juga muncul sampai saat ini, meskipun ia dengan sangat menyakinkan telah mengartikulasikan tahapan perkembangan sejarah manusia hingga pada akhir dari sejarah itu sendiri.

Barangkali demikian halnya, bahwa kita dapat membangun sebuah struktur, model atau teori yang menjelaskan dinamika masyarakat, namun seringkali model tersebut mampu menjelaskan keberadaan masyarakat masa lalu, namun tidak untuk masa depan. Seperti halnya obsesi Levi Strauss untuk mengangkat struktur absolut dibalik berbagai fenomena sosial, sistem kekerabatan, layaknya struktur aturan bahasa, sepertinya tidak tepat sasaran, karena struktur tersebut tidak mampu menjelaskan dinamika masyarakat. Setidaknya kritik Bourdieu terhadap strukturalisme, bahwa generalisasi tentang perilaku-aturan perkawinan, prosedur ritual dan semacamnya yang dihasilkan oleh antropologi struktural, tidak prediktif ataupun deskriptif , merupakan kritik yang cukup telak.

Dengan demikian saya menekankan kembali status kebebasan manusia. Bahwa manusia adalah mahluk otonom, yang mengambil keputusan secara sadar, meskipun tubuhnya bekerja dalam tatanan mekanistis dan menuntut agar keputusan manusia diarahkan untuk mewujudkan keseimbangannya, sehingga manusia merasakan lapar, harus, kantuk, namun ia sanggup berkata tidak, atau menunda pemenuhannya. Hal ini sekaligus berarti manusia kesadaran manusia tidak menjadi subordinasi tubuh, namun memiliki ruang kebebasannya sendiri.

Oleh sebab itu etika menjadi mungkin karena manusia memiliki kebebasan dalam pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan kejahatan timbul bukan karena terkondisikan oleh adanya dorongan genetis, atau situasi sosial tertentu, melainkan karena ia menyatakan ya terhadap kejahatan iu sendiri. Meskipun adakalanya manusia memiliki sisi emosional yang dapat mengarahkan sebuah tindakan tertentu yang tidak dibenarkan, sesungguhnya juga tidak lepas dari kemampuan ego untuk mengendalikannya dengan pikiran sadar. Bahwa adakalanya adalah kecenderungan bawah sadar adalah bersumber dari otomisasi pemikiran sadar yang telah terinterlisasi. Menurut Sarlito timbulnya perilaku kekerasan di tengah-tengah masyarakat Indonesia, konflik antar suku ataupun agama semuanya berawal dari prasangka-prasangka negatif yang ditanamkan terhadap suku atau agama lain sehingga saat terjadi pergesekan prasangka tersebut menjadi sebuah tindakan praktis yang destruktif, dan darimanakah prasangka itu muncul, yakni dari pedagogis keluarga maupun kelompok yang awalnya ditanamkan secara sadar .

Keberadaan etika tidak saja menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, melainkan juga bahwa manusia adalah mahluk sosial. Bahwa kehidupannya tidak lepas dari keberadaan manusia lainnya, sehingga ia memiliki tanggung jawab terhadap orang lain. Bahwa sejak dilahirkan seorang manusia bergantung pada yang lain, ia diasuh oleh ibunya hingga sejak kecil, ia memperoleh pendidikan sosial dari ayah atau gurunya, ia membutuhkan penghargaan dan cinta kasih dari sahabat-sahabatnya, ia melakukan aktivitas produksi bersama kehadiran orang lain, bahkan saat ia mati ia membutuhkan orang lain untuk mengurusi jasadnya.

Konsep manusia egoistik, manusia hendak berkuasa ala Niezchesian, menurut hemat saya cenderung pandangan naif karena kehidupan manusia tidak bisa lepas dari manusia lain dan hidup bersama dengan sesamanya dengan masing-masing tetap memelihara ruang kebebasan adalah hal yang tidak mustahil, namun dengan memisahkan dirinya dan memusatkan keputusan pribadinya hanya semata-mata bagi dirinya maka ia sepenuhya melepaskan dirinya dari realitas eksistensinya serta hidup secara terasing.

Etika Simetris dengan Etika Unsimetris
Jika demikian apakah landasan dari etika itu? Menurut hemat saya, etika harus dibangun berdasarkan kesadaran akan kenyataan manusia itu sendiri. Saya kurang sependapat dengan pendapat Franz Magnis, yang mengacu pada konsepsi Immanuel Kant, bahwa landasan etika berada pada suara hati, menjadi pesan transendental yang bersuara dalam diri manusia dari tatanan noumenanya untuk mengatasi keterbatasan kita menjangkaunya pada tatanan fenomenal. Seolah kesadaran etika timbul tidak dengan menatap kehadiran orang lain, melainkan dengan sebuah kontemplasi belaka, seolah prosedur yang telah ditentukan dan bukan buah dari perenungan manusia itu sendiri.

Demikian halnya konsepsi etika utilitarian ala Bertham, bahwa apa yang baik adalah yang menimbulkan kesenangan. Sehingga etika universal adalah apa yang baik, atau memberikan kesenangan bagi mayoritas orang. Artinya mengapa membunuh orang lain tidak diperkenankan karena tidak ada seorangpun didunia ini ingin meninggalkan kehidupan yang begitu indah ini, sehingga dengan demikian tidak ada seorangpun yang dapat membenarkan pembunuhan itu terjadi. Namun etika demikian memiliki sebuah resiko totaliter, dan cenderung akan menyingkirkan kaum minoritas. Misalnya jika pandangan ini diterapkan di Indonesia, tentunya wajar-wajar saja jika golongan agama minoritas dibredel tidak boleh melakukan ibadah, karena apa yang mereka lakukan menimbulkan ketidaknyamanan penganut agama mayoritas. Dan pendapat umum masyarakat dapat menentukan elemen masyarakat mana yang harus disingkirkan, seperti penjahat, pelacur, kaum homoseksual layaknya diasingkan atau jika boleh dihukum mati saja. Sehingga adakalnya hak-hak pribadi dapat digilas begitu saja saat bertentangan dengan apa yang menjadi kepentingan golongan mayoritas.

Mencari landasan etika sebaiknya terarah pada manusia itu sendiri, sebagai sebuah keyataan dalam kesadaran kita. Yang harus dikaitkan dengan bagaimanakan kenyataan manusia itu sendiri harus dipahami. Pertama-tama manusia tidak layak kita jadikan sebagai bagian proyek ontologis, karena apa yang kita lekatkan kepadanya sekaligus juga akan kita lekatkan pada diri kita sendiri. Proyek ontologis seringkali berakhir dengan istilah memahami. Bahwa kita memahami orang lain, seolah kita memahami diri kita, apakah ini bukan sebuah pernyataan yang sedikit semberono?

Memahami berbeda dengan mendeskripsikan, bahwa benar manusia memiliki tubuh, bisa merasa sedih, gembira, namun semua itu adalah deskprisi belaka dan terikat dengan persoalan bahasa. Bahwa istilah tubuh, mata, gembira adalah makna yang kita lekatkan ada sebuah fenomena kehadiran? Namun apakah manusia dalam dalam kenyataannya sendiri? apakah manusia sebagai wujud universalnya? Bahkan kita tidak pernah mengetahui tujuan pasti dari kehadiran kita dan manusia dari abad ke abad di dunia ini? Bahwa manusia dapat terdeformasi, sehingga dalam tulisannya FX Hardiman kemudian mempertanyakan apakan saat janin bermata satu, memiliki stuktuktur tubuh layaknya sesosok monster layak dijadikan sebagai manusia? Hal ini setidaknya menjadi respon terhadap pemahaman kita terhadap batas-batas kenyataan manusia pada aspek fisik belaka.

Jika manusia tidak layak dipahami secara ontologis, bagaimanakah selayaknya kita memahami manusia? Maka pertanyaan ini dijawab dengan sangat lugas oleh Levinas, seorah filsuf etika, yang menyatakan pemahaman kita terhadap manusia harus berawal dari sebuah kesadaran meontologi. Meontologi, berarti ketiadaan, menghadirkan sebuah momen ketidaktahuan yang oleh Gabriel disebut sebagai sumber lahirnya sebuah misteri, seperti halnya Tuhan yang juga sebuah misteri. Dimana misteri menghadirkan kekaguman. Oleh sebab itu Levinas menegaskan bahwa pertemuan kita dengan orang lain senantiasa bernuansa etis, bahwa tidak ada yang dapat kita sarikan daripadanya kecuali tuntutan untuk memelihara, tidak boleh membunuh, dan pesan ini adalah pesan transendental bagi kita dari sesuatu misteri.

Wajah manusia menjadi titik sentral pertemuan kita dengan yang lain (other), dimana wajah tidak dipahami dalam konteks maupun sensualitas melainkan wajah dalam metahistori dan dalam kesadaran kontemplasi. Sekaligus menjadi titik tolak pertemuan antara aku dengan kamu untuk menyatu dan membuka diri menjadi kita , dimana segala kekomplekan kita menyatu dan ego melebur menyatu dengan membuka diri masing-masing.

Oleh sebab itu dalam konsepsi Levinas etika muncul didasarkan sebuah keterbukaan atas orang lain sebagaimana dirinya, lepas dari segala pra-konsepsi, yang oleh Husserl menjadi sarana mencapai sebuah kesadaran murni, namun oleh Levinas membawa kesadaran kita pada ketiadaan. Dimana dalam ketiadaan ada sebuah misteri, dalam misteri ada sebuah kekaguman dan kekaguman menanamkan sebuah rasa tanggung jawab, memperhamba diri bagi sebuah wujud maha sempurna. Dengan konsepsi demikian etika menjadi sebuah prinsip yang tidak terbatas pada sebuah prosedur namun terletak pada sebuah afirmasi diri yang pada penerapannya akan bervariasi sesuai dengan konteks dan masanya. Dalam pemahaman demikian maka, manusia tidak tersubordinasi dalam kewajiban melaksanakan etika seperti konsepsi Kant, melainkan berdasarkan perenungan dirinya secara bebas dan atas pertemuannya dengan orang lain serta tidak bersifat pragmatis yang dapat secara tidak sengaja mendehumanisasi yang lain sebagaimana konsepsi etika utilatarian.

Etika Baru bagi Indonesia
Indonesia memerlukan sebuah revolusi etika dengan mengembalikan fungsi etika sebagai bentuk pemeliharaan hubungan di antara manusia yang terpusat pada yang lain bukan pada kepentingan diri. Etika sebagai ancuan dalam bertindak dapat menjadi sumber dari berbagai perilaku altruistik dan berioeintasi sosial, yang mengatasi hubungan yang semata-mata ekonomi yang cenderung tidak menciptakan keadalilan. Memberi dan menolong sesama dapat dilakukan kapan saja, bahkan saat tengah kesusahanpun manusia dapat saling membantu. Penerapan kebijakan untuk mendorong perbaikan kesejahteraan, hanyalah menciptakan kondisi yang mendorong orang melakukan tindakan tidak merugikan orang lain atau memberikan keuntungan bagi masyarakat berdasarkan kepentingannya sendiri. Orang membayar pajak yang akan didistribusikan kepada kepentingan masyarkat dilakukan bukan karena sebuah kesadaran untuk membantu sesamanya melainkan agar pemerintah tidak memberikan hukuman. Kebijakan pemerintah hanyalah menjadi tekanan eksternal yang mendorong seseorang menyesuaikan tindakan dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah, namun saat kebijakan itu ditarik maka seseorang yang egois akan kembali pada kebiasaan awalnya.

Sesungguhnya etika yang diajarkan oleh agama, maupun negara peraturannya dapat mendorong timbulnya kesadaran akan sesama manusia sebagai mahluk yang maha sempurna sebagai cipta Tuhan Yang Maha Kuasa, namun pada pelaksanaannya kesadaran ini raib dan menjadi sebuah prosedural yang dilaksanakan secara dogmatis dan terjebak dalam pelaksanaan mekanistis. Bahwa seorang penjahat harus dihukum, jika perlu disingkirkan karena undang-undang memungkinkan demikian, sekaligus kita menjadikan hukum semata-mata alat untuk menumbuhkan egoisme diri.

Seperti halnya kasus Ceriyati, seorang TKI yang kembali mengalami penyiksaan di Malaysia dan kemudian melarikan diri dengan turun dari gendung apartment hanya dengan menggunakan tali dari kain yang dipilin, sesaar kita mengalihkan perhatian kita padanya, mungkin karena banyak dari kita terkesima atas apa yang tampilankan media massa, yang memperlihatkan mukanya yang lembam. Kita menjadi iba karena efek sensualitas media, namun apakah ini termasuk dapat sebuah sikap etis.

Etika tidak berhubungan dengan rasa iba, karena etika harus berawal dari rasa hormat kita terhadap manusia dan kemanusiaan. Sehingga keperihatinan kita dan dukung terhadap tindakan hukum, bantuan materi atau keterlibatan terlibat dalam tim investigasi seharus tidak timbul secara mendadak hanya karena kita tersentak kaget. Ceriyati mengalami kondisi demikian karena kita selama ini tidak memiliki sikap yang tegas terhadap adanya pengiriman TKI kerja secara ilegal yang tidak dipersiapkan dengan baik, atau adanya orang-orang yang tidak bertanggungjawab mencari orang-orang lugu dan polos untuk dikirim bekerja ke luar negeri untuk dieksploitir. Atas nama kemanusiaan kita patut bersikap dan bertidak terhadap segala bentuk dehumanisasi. Dan dehumanisasi tidak saja dialami oleh Cayati, bahwa ada jutaan orang di Indonesia mengalami gizi buruk, tidak memiliki tempat tinggal, ada banyak orang yang harus tergilas oleh mesin-mesin kekuasaan, pedagang-pedagang yang digusur demi keindahan kota, pemilik tanah yang harus kehilangan hak demi kepentingan pengusaha-pengusaha serakah. Indonesia seolah menjadi negara dimana prinsip utilitarian dilembagakan meskipun yang menetapkan apa yang benar bukan mayoritas masyarakat melainkan para pengusa dan mereka yang kaya.

Saat kita melihat wajah mereka yang tertindas satu persatu, menghayatinya, toh keberadaan mereka adalah bentuk keterikatannya eksistensinya dalam konteks sosial tertentu, ia tidak berbeda dengan kita, ia adalah manusia, mahluk yang unik, yang sebagaimana dengan kita, hadir begitu saja dalam dunia tanpa tahu dari mana berasal dan bagaiman akan berakhir, segalanya adalah misteri. Wajahnya ceminan wajah kita, bahwa perlakuan yang buruk terhadap dia adalah ketidakpenghargaan terhadap kemanusiaan dan juga terhadap keberadaan diri kita sendiri.

Penghargaan terhadap kemanusiaan bersumber dari rasa tanggung jawab terhadap manusia. Sekedar mengungkapkan konsepsi Levinas, melalui wajah orang lain kita diperintahkan untuk memelihara orang lain dan boleh membunuhnya. Dan jika etika demikian yang tertanam dalam hati sanubari setiap manusia Indonesia, siapapun dia, mulai dari para pejabat hingga rakyat jelat, dari orang yang kaya raya hingga mereka yang miskin, maka Indonesia akan menjadi negara yang damai dan sejahtera. Pejabat oleh tanggung jawab moralnya terhadap sesama tidak akan melakukan korupsi atau penyelewengan jabatan, seorang pengusaha tidak akan mengeksplotasi pekerja atau menghimpun kekayaan bagi diri sendiri, yang miskinpun tidak melakukan tindakan anarkis oleh karena kemiskinannya. Akhirnya semua orang saling melayani sesamanya, saling berkorban, bagi setiap orang tidak lagi terbatas atas ikatan promordial melainkan kemanusiaan secara universal. Jika kondisi ini tercapai maka segala krisis tengah dialami di Indonesia akan segera sirna, pemiskinan manusia, kejahatan dan berbagai bentuk eksplotasi terhadap manusia juga akan sirna perlahan tapi pasti. Dan semua ini bukanlah sebuah angan-angan melaikan hal yang mungkin tercapai jika setiap manusia Indonesia membuka diri bagi sesamanya dan memandangnya sebagai sebuah misteri serta menghadirkan sebuah tanggung jawab etis yang harus dipikulnya.

No comments: