Mungkin bagi kebanyakan kita, Timnas Sepak Bola Indonesia bisa menembus Word Cup, adalah sebuah mimpi namun juga harapan. Setidaknya itu manjadi alasan mengapa ada ribuan orang yang setia hadir pada saat Timnas bertanding melawan Bahrain di Stadion GBK (6/9-2011).
Tapi kalau ditanya secara objektif, lepas dari sisi keterikatan emosional kita dengan kesebelasan Boas dkk, kita mungkin meragukan jika Timnas kita bisa menembus Word Cup. Notabene untuk areal Regional, se Asia Tenggara, saja kita belum bisa unjuk gigi.
Pertanyaanya mengapa timnas kita sering tampil memble dan akhirnya kalah dalam berbagai pertandingan dunia? Menurut saya ini bukan karena kesalahan pemain, pelatih atau official. Melainkan cerminan kelemahan sebuah system.
Coba kita bandingkan saja dengan apa yang dipertontonkan seklas club di Liga Utama Inggris. Misalnya saja Aston Villa, yang bukan club terkuat di Inggris. Ada logika dalam permainan mereka. Bola bergerak dari orang ke orang mengarah ke titik-titik kosong untuk kemudian mendekati areal gawang. Jarang terjadi kesalahan, operan, gerakan, seluruhnya bertenaga. Mereka bermain sedemikian efisien, jarang bola bergerak ke arah yang tidak semestinya. Misalnya ke arah dimana pemain lawan berkerumun.
Bagaimana club sekelas Aston Villa bisa memainkan suguhan indah itu?
Jelas ada sebuah system yang dibangun dengan baik. Para pemainnya bukanlah orang yang kemarin main di lapangan kelurahan, bisa gocek ,2, 3 orang terlewati, kemudian jadi pemain professional. Mereka dilatih secara intensif melalui pendidikan panjang layaknya bagaimana Sri Mulyani bisa mendapatkan gelar Dr.
Produk dari sekolah-sekolah bola tersebut tak lain adalah para pemain berkualitas, yang juga tidak seluruhnya akan direkruit menjadi pemain inti di klub besar. Bahkan tidak jarang ada yang merasakan bermain untuk klub di divisi II. Saya teringat ketika Arsenal dibantai 8-2 oleh MU baru-baru ini. Salah satu penyebabnya adalah karena Arsenal kehilangan banyak pemain utama. Entah karena cedera atau beberapa diantaranya baru saja pindah ke klub lain.
Ternyata mereka yang masuk skuad Arsenal terbagi lagi antara tim inti dengan cadangan. Dan tim cadangan ini, tidak cukup kuat melawan sebuah tim inti dari klub lain. Tidak cukup hanya bisa gocek, tendang bola. Ternyata dibutuhkan juga kecerdasan, memahami permainan lawan dsb agar bisa memenangkan pertandingan.
Pertanyaannya, apa yang bisa kita pelajari dari cerita di atas.
Timnas Indonesia tidak bisa dicetak dengan cara instant. Anda tidak cukup merekruit orang yang bisa lari membawa bola, tapi juga bisa memainkan sebuah permainan secara tim. Apa yang saya lihat, bahwa kita sesungguhnya belum memiliki tim sepak bola. Tapi orang yang dipaksa bermain bola untuk negara.
Bagaimana tidak? Cukup lucu jika harus menerima kenyataan pemain kita tidak punya stamina hingga 90 menit bermain. Baru main 70 menit konsentrasi buyar, sering salah oper, dan berlari seperti orang kehabisan tenaga. “Hello…kita sedang main bola, man. Dan Anda adalah seorang atlet!”.
Begitu mudahnya pemain kita dilewati pemain lawan. Sering salah oper. Ngocek, dihadang sedikit jatuh berguling-guling. Kita belum bicara strategi, untuk hal mendasar agar bisa bermain bola dengan baik, ternyata pemain timnas sepertinya tidak memiliki.
Saya tidak bermaksud menghina pemain bola Indonesia, namun menyalahkan mengapa kita tidak membuat system yang bisa mencetak pemain bola. Jika perlu tidak hanya yang dikelola oleh klub, namun juga semacam sekolah lanjutan yang dibiayai negara dan dilatih oleh pelatih dari luar negeri.
Saat ini menurut saya momentum yang tepat untuk itu. Mengingat industri bola Indonesia sedang menggeliat. Sebaiknya sudah harus dipikirkan bagaimana cara mengalokasikan kue dari industri sepak bola kepada pembinaan usia dini. Jelas klub tidak akan berpikiran demikian. Kalau dengan pemain yang ngos-ngosan saja sudah mendatangkan untung mengapa harus investasi pada usia dini. Toh, dengan jago kampung saja sudah bisa meraup miliaran rupiah mengapa harus buang-buang uang untuk membuat sekolah bola untuk anak-anak kecil. PSSI atau pemerintah yang harus memikirkannya.
Oleh sebab itu PSSI harus mulai menggeser focus dari menciptakan kompetisi yang bergensi, kepada pendidikan sepak bola yang bergengsi. Perlu kecerdasan dan trik-trik cerdik untuk mewujudkannya. Dan setahu saya orang Indonesia punya perilaku latah namun di sisi lain kreatif. Cobalah ada seseorang yang berani memulai membuka universitas sepak bola, dan untung, plus mendapat perhatian media. Jamin sejenak itu juga akan banyak orang yang latah membuka sekolah tinggi sepak bola dan dengan kreatif menciptakan hal-hal yang baru.
Saya meyakini jika ini bisa kita terapkan, kita bisa mendapatkan timnas yang hebat. Lihat saja bagaimana pendidikan Indonesia yang tidak seluruhnya baik di berbagai wilayah Indonesia bisa menghasilkan pelajar-pelajar yang tangguh dan bisa mengharumkan Indonesia. Jadi dengan sebuah industry pendidikan yang tidak secanggihnya di luar negeri saya yakin akan bisa dihasilkan pemain bola yang luar biasa. Hanya saja saat ini mungkin sekolah bola yang ada sifatnya informal dan kualitasnya bisa disamakan dengan TK jika dibandingkan sekolah bola di luar negeri .
Setelah itu kirimkah pemain lulusan dari sekolah bola itu untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Entah mengikuti sekolah bola kelas dunia atau bermain di kancah internasional. Mulailah kita menciptakan persepsi, jika ada pemain bola yang main di dalam negeri berarti ada 2 alasan:
1. Bodoh
2. Sudah tidak produktif
Seperti halnya di liga Brazil. Kompetisi lokal tersebut ibarat display di tempat hiburan malam untuk memajang pemain bola yang siap dipasok ke luar negeri. Karena pada akhirnya yang main di timnas adalah mereka yang melanglang buana di kompetisi Eropa.
Jadikan pemain sepak bola sebagai TKI yang menghasilan devisa. Tidak hanya kita kirim ke Milan atau Uruguay hanya untuk menghabiskan uang negara, tapi sebaliknya.
Oleh sebab itu saya menyarankan buat PSSI tidak perlu berharap Timnas kita menang AFC, SEA GAMES, Word Cup, tahun ini dan beberapa tahun ke depan. Kalau perlu tidak usah dikirim karena sudah pasti tidak akan memang atau tersingkir di babak awal. Tapi fokuslah untuk membangun tim untuk 5 atau 10 tahun mendatang.
Bayarlah orang asing bukan untuk melatih timnas tapi melatih anak-anak remaja. Atau bayarlah pelatih berkelas dunia untuk menuliskan bagaimana system pembinaan di negaranya bisa menghasilkan pemain-pemain handal. Biarlah pemain bola yang ada saat ini sibuk cari duit di Liga Indonesia. Namun untuk timnas sebaiknya kita fokus dari anak-anak kita yang saat ini sedang asik bermain bola.
Tuesday, 6 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment