Tuesday 3 February 2009

KISRUH DI DPRD MEDAN: “SUNGGUH MEMALUKAN!”


Menyaksikan kisruh yang berakhir dengan tragedi meninggalnya ketua DPRD Sumut, Abdul Azis Angkat, (3/2/09) hanya ada satu komentar yang muncul dalam benak saya. “ Memalukan!!!”. Sungguh tidak beradab tingkah laku mereka yang melakukan anarkisme.

Perilaku beringas seperti “ pengrusakan, pemukulan” yang mereka tontonkan, seolah menunjukkan tidak ada lagi cara untuk mewujudkan apa yang mereka harapkan selainkan tindakan agresif, layaknya seekor binatang buas yang terganggu tidurnya. Mereka seperti telah kehilangan akal sehal dan kemampuan untuk memikirkan strategi yang elegan.

Tindakan tersebut diusung oleh mereka yang pro-pembentukan Propinsi Tapanuli. Bisa saya pastikan yang menjadi dalang maupun pelaku tindakan anarkis adalah "orang Batak". Maka sekali lagi bagi saya, ini adalah tingkah laku yang sangat memalukan. Seolah mencerminkan bahwa masih banyak orang Batak yang belum beradab. Dan hidup seperti manusia primitif yang mengutamakan kekuatan otot daripada pikiran. Memalukan sungguh memalukan.

Apakah sesungguhnya landasan mereka melakukan tindakan tersebut. ” Benarkah pembentukan Propinsi Tapanuli sesuatu yang krusial? Atau hanya akal-akalan segelintiran orang saja?"

Saya juga ingin mengingatkan bahwa peristiwa politik bisa juga menghadirkan konflik yang bersifat horizontal. Jangan sampai Sumatera Utara yang terkenal dengan keragaman budaya dan suku serta keharmonisannya akhirnya menjadi ajang peperangan etnik berdarah seperti yang terjadi di Maluku. Hanya gara-gara ulah politisi sempalan yang kemudian menjadi pemicu konflik antara suku.

Dengan meninggalnya ketua DPRD yang notabene adalah bukan orang Batak. Bisa saja memicu respon dari kelompok tertentu bahwa orang Batak, khususnya asal wilayah calon Propinsi Tapanuli, nota bene bonapasogit dari suku Batak Toba, ada pembuat kerusuhan. Dan telah menzolimi suku bukan Batak Toba. kemudian memancing tindakan anarkis lainnya.

Kita harus ingat bahwa sentimen demikian masih cukup mungkin terjadi di Sumatera Utara yang masih kuat dengan ikatan kesukuannya. Tentunya saya berharap peristiwa kisruh tersebut tidak sampai berlanjut pada konflik lanjutan yang lebih hebat.

Prop. Tapanuli Harus Ada?
Salah satu alasan mengapa propinsi Tapanuli perlu dibentuk, adalah memacu pertumbuhan ekonomi di wilayah calon propinsi baru tersebut. Bahwa dengan berdiri sendiri maka banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintahnya kelak untuk memajukan daerahnya.

Namun apa benar? Apakah dengan status sebagai wilayah Kabupaten sebuah daerah tidak bisa mensejahterakan masyarakatnya?

Konon dengan adanya pemilihan langsung pemimpin daerah oleh rakyatnya sudah menciptakan pengawa-pungawa baru di daerah. Walaupun terkesan negatif istilah yang saya gunakan, namun hal ini menunjukkan besarnya otoritas pemimpin daerah saat ini.

Dan saya salut dengan seorang Bupati, kebetulan saya kenal baik, dari Indonesia Timur yang aktif mencari peluang di daerahnya. Ia respon terhadap berbagai kemajuan teknologi khususnya di bidang pertanian. Setiap ada hal yang baru ia ingin segera bisa diterapkan didaerahnya. Alhasil masyarakat di Kabupaten tersebut dapat menikmati peningkatan kesejateraan melalui bidang-bidang usaha yang dikembangkan oleh sang Bupati.

Apakah Bupati di daerah yang bakal menjadi Propinsi Tapanuli telah juga melakukan hal tersebut. Apalagi dengan kekuasaan yang semakin besar, bahkan pemimpin daerah tidak lagi bisa didikte oleh pemerintah pusat karena tidak lagi dipilih pejabat di Jakarta melainkan oleh rakyatnya, maka banyak juga yang telah dilakukan. Bukankah seharusnya seorang Bupati di Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tobasa dsb juga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui program-program yang rasional.

Jadi jika kabupaten tersebut saat ini tidak terlalu pesat pertumbuhannya. Maka pemerintah daerah juga perlu bertanggung jawab. Mana prestasi cemerlang yang seharusnya mereka tunjukkan.

Saya juga pernah mendengar sebuah komenter seorang rekan pendukung berdirinya propinsi Tapanuli. ” Saya dukung berdirinya Tapanuli, karena di Sumatera Utara selalu ada diskriminasi untuk menjadi pejabat tinggi. Meskipun kemarin si Pardede jadi Gubernur, itupun harus menghadapi pencekalan-pencekalan dari pihak-pihak yang tidak suka orang Batak apalagi yang beragama Kristen menjadi Gubernur”. Artinya orang Batak mendapat diskriminasi untuk menduduki jabatan oleh karena jabatannya dan agamanya.

Namun jika saya balik bertanya pernahkah orang Batak memahami perasaan orang Melayu walaupun ada Saudara mereka terpilih Gubernur namun mereka termajinalkan dari tanah sendiri Medan, Ibukota Sumut. Dimana orang Batak malah merajalela di daerah tersebut, termasuk juga yang menikmati keuntungan dari gerak roda perekonomi daerah tersebut. Dan suku pendatang lainnyapun perlahan menjadi penguasa di tanah kelahirannya.

Dengan berpikir dengan sudut padang yang sama maka orang Tionghoa-pun juga punya hak menjadi Gubernur di Medan mengingat jumlah mereka yang relatif banyak. Namun saya yakin bahwa rekan saya tersebut bakal termasuk orang yang tidak mendukung orang peranakan menjadi pemimpin di Sumatera Utara,

Jadi menurut saya, pandangan juga bukan alasan yang masuk akal. Apalagi, orang Batak termasuk yang menikmati keuntungan ekonomi tinggal di berbagai wilayah di Sumatera Utara. Dan kenyataan yang ada, siapapun menjadi pemimpin Sumatera Utara, eksistensi orang Batak tidak pernah terganggu. Jadi itupun harusnya layak untuk disyukuri.

Lagi pula, apakah dengan orang Batak Kristen menjadi Gubsu dijamin Sumatera Utara menjadi lebih maju. Apalagi mengingat orang Batak memiliki rasa kesukuan tinggi. Bisa jadi ketika menjadi pemimpin daerah, maka orang yang satu marga atau memiliki hubungan kekerabatan mendadak menjadi petinggi di Sumatera Utara.

Saya mengkhawatirkan isu berdirinya Propinsi Tapanuli sesungguhnya lebih didasarkan perasaan kesukuan yang sempit dan bukan pada pertimbangan rasional. Buktinya Setika propinsi Taput digulir ternyata Tapanuli Selatan tidak ikut didalamnya. Malah wilayah yang didiami orang Batak Selatan tersebut ingin juga mendirikan Propinsi Baru yakni Sumatera Tenggara.

Jika dengan pertimbangan demikian maka orang yang tinggal di tanah Karo akan juga berpikir untuk mendirikan propinsi Tanah Karo. Mereka yang tinggal di daerah Simalungun akan mendirikan Propinsi Simalungun.

Maka daerah yang tadinya sudah mantap dengan sebuah aturan maka akan dipecah ke dalam berbagai wilayah, yang kemudian bakal menerapkan aturan yang berbeda-beda. Termasuk menerapan pungutan yang beraneka macam untuk mengejar PAD, yang sangat dibutuhkan mendirikan infrastruktur dan mengaji tambahan pegawai.

Dan situasi ini bakal tidak menguntungkan perusahaan atau pelaku usaha karena terkena berbagai aturan dan pungutan yang dulunya tidak ada. Daerah Sumatera Utara yang dulu menjadi kawasan menarik untuk berinvestasi menjadi daerah yang tidak nyaman oleh karena muncul berbagai macam aturan dampak pemekaran provinsi.

Namun yang lebih menyedihkan lagi adalah keanekaragaman budaya menjadi hilang. dan malah memunculkan sentimen budaya. Maka di Taput akan memprioritaskan orang Batak yang menjadi Gubernur. Karena Sumatera Utara sekarang dihuni mayoritas wilayah non-Batak maka Gubernur bukan orang Batak. Dan bukan tidak mungkin menimbulkan streotip negatif antara suku yang merupakan imbas dari ranah politik.

Dengan hidup dalam satu propinsi maka masyarakat Sumut yang beraneka macam tersebut mau tidak mau harus menanamkan sikap toleransi dan kebersamaan. Orang Batak harus membuka mata akan kehadiran orang Melayu. Demikian juga terhadap orang Jawa maupun Tionghoa, Padang, Keturunan India. Sebaliknya juga demikian.

Oleh sebab itu saya berpendapat Propinsi Tapanuli sebaiknya tidak perlu ada. Jika ingin menjadikan Tapanuli lebih sejatera, baiklah semua pihak melakukan sesuatu yang lebih konkrit daripada pemekaran daerah.

Pemda sebaiknya menyusun program-program yang mendorong kesejahteraan. Mampu menciptakan peluang dan bidang-bidang usaha baru bagi masyarakat. Serta membebaskan diri dari korupsi.

Demikian juga bagi warga masyarakatnya, terus berusaha memberikan sesuatu bagi daerahnya, apakah dalam bentuk ide, materi atau dengan tidak berprilaku buruk. Tidak mengantungkan diri pada pemerintah melainkan berusaha sendiri meningkatkan kesejahteraannya.

Demikian juga bagi mereka yang memiliki keterkaitan dengan wilayah Tapanuli, yang kemudian sukses di perantauan. Baiklah mereka menyumbangkan sesuatu bagi daerah asalnya. Apakah itu dalam bentuk materi, ide, dsb. Karena banyak sekali saat ini rencana pemekaran daerah berasal dari mereka-mereka yang sukses di perantauan. Seringkali mereka sendiri tidak begitu mengenal apa yang dibutuhkan masyarakat di daerah tersebut. Bukan tidak mungkin tujuan mereka sedikit pragmatis, yakni untuk mendapatkan jabatan.

Namun menurut hemat saya dari pada berpikir besar baiklah mereka melakukan hal-hal yang konkrit dan simple seperti menginvestasikan modal di tanah kelahiran mereka berupa usaha produktif. Dari pada menghamburkan uang untuk pendirian tugu. Serta ide-ide yang konstruktif seperti pendirian sekolah, universitas dsb atau mencarikan pasar bagi produk daerah asal. Setidaknya lebih bermanfaat daripada berpikir mendirikan propinsi baru.

Setidaknya apa yang dipertontonkan mereka yang melakukan anarkisme setidaknya membuat saya ragu apakah Propinsi Tapanuli sudah saat ada. Jika mereka, penggagas dari pendirian Propinsi Tapanuli menjadi dalang atau ikut berbuat demikian demikian dengan para pendukungnya, bukan tidak mungkin jika berdiri sendiri mereka juga akan melakukan cara-cara yang sama untuk mewujudkan keingingannnya.

Alhasil Propinsi Tapanuli akan dipenuhi dengan konfil bahkan tragedi. Dan bukan tidak mungkin berakhir dengan perang Saudara di antara sesama orang Batak. Karena hal tersebut setidaknya pernah menjadi kebiasaan orang Batak sebelum mengenal ke-Kristenan.

No comments: