Monday 28 January 2008

BELAJAR DARI KEPEMIMPINAN SOEHARTO?


Soeharto terbujur kaku ditengah polemik apakah ia patut dihukum atau dimaafkan. Namun jika kemudian sang Jenderal Besar itu meninggalkan kehidupan ini, dan hanya meninggalkan citra diri sebagai seorang diktator, penjahat negara, dsb, tanpa ada yang layak hargai dari padanya, maka kita telah kehilangan sebuah harta inspirasi terbesar bagi masa depan kepemimpinan bangsa Indonesia.

Penilaian Proporsional
Tidak dipungkiri Soeharto memiliki kesalahan ketika berkuasa. Kebijakan yang ia jalankan telah merugikan kelompok masyarakat tertentu, melalui penggusuran, intimidasi, subversif. Bahkan kebijakannya ada yang sampai mengorbankan nyawa orang lain seperti kasus DOM di Aceh atau di Timtim atau pembantaian anggota PKI dimana disebut-sebut Soeharto terlibat dibaliknya. Di sisi lain kebijakannya menguntungkan segelintir orang juga, menciptakan konglomerasi dan memperkaya kroni-kroninya.

Namun kita juga tidak bisa tutup mata terhadap keuntungan dari kebijakan yang dijalankannya. Stabilitas ekonomi terjaga, karena bahan pangan tersedia memadai dan terjangkau, kondisi negara aman, pelayanan pendidikan dan kesehatan menyebar hingga ke pelosok-pelosok desa, dan beliau mendorong modernisasi ekonomi pedesaan.

Bahkan pengalaman kesuksesan pemerintah beliau masih terekam dalam benak masyarakat. Tidak heran, ketika berbicang-bincang tentang kondisi negara saat ini dengan seorang supir taksi, pedagang kecil, petani, dsb ini, saya sering mendengar bahwa mereka merindukan suasana tenang seperti pada masa rezim orde baru. ”Kehidupan dulu tidak sesulit saat ini”, demikan kata mereka. Suasana demokrasi yang diciptakan di era reformasi kurang tidak bernilai dimata mereka ketika tidak berdampak pada perbaikan kesejahteraan ekonomi. Apalagi ketika demokrasi ditegakkan yang timbul adalah anarkis, kekerasan, demonstrasi yang menganggu ketertiban.

Hanya persepsi masyarakat awam tersebut kadang berbeda dengan pendapat dari kaum intelektual atau elit. Bagi mereka Soeharto adalah sosok yang bertanggung jawab terhadap kehancuran bangsa. Soeharto mengakibatkan kehancuran pada struktur sosial, alam, politik. Membungkam kebebasan dan kreatifitas masyarakat serta menciptakan masyarakat yang korupsi. Stabilitas ekonomi sesungguhnya hanya meninabobokkan masyarakat dari sebuah pengrusakan yang masif.

Soeharto tidak patut dihargai sebagai pemimpin besar. Ia layak dihujat, dan dijadikan karikatur bagi mereka yang ingin menawarkan solusi bagi Indonesia masa depan. Tindakan Soeharto di masa lalu dianalisa sedemikian rupa oleh kaum intelektual atau elit untuk mengungkap keburukan terselubung. Bahwa mereka mampu meneropong seluk beluk keburukan pada pemerintahan Soeharto dan kemudian menawarkan formulasi kebijakan yang lebih baik.
Para kaum intelektual atau elit baru menilai segala kebijakan Soeharto di masa lalu dari sudut pandang hitam putih. Kebijakan yang memiliki dampak buruk meskipun di sisi lain bermanfaat bagi masyarakat, tetap dinilai sebagai sebuah kekeliruan besar, apalagi jika ada manusia yang menjadi korban, maka keputusan dengan mudah diklaim sebagai sebuah kejahatan.

Hanya saja persoalan bangsa tidaklah sesederhana ketika masalah tersebut menjadi topik diskusi panel, yang mudah dicari penyelesaiannya. Ketika sebuah keputusan diambil dalam konteks nyata, apalagi dalam konteks bangsa, maka masalahnya menjadi kompleks. Keputusan yang diambil tidak lagi bersifat hitam-putih, baik -buruk melainkan harus memilih keputusan terbaik di antara terburuk. Dengan konsekuensi setiap keputusan memiliki resikonya masing-masing.

Misalnya saja ketika Presiden Seoharto memutuskan memberlakukan ”petrus”, yang saat ini dihujat sebagai kebijakan yang melanggar hak asasi manusia. Namun bayangkan jika kita berada di posisi pemerintah yang harus menghadapi kondisi dimana kejahatan dimana-mana, pencurian, pembunuhan dan premanisme merebak. Jika dibiarkan atau diatasi hanya dengan proses hukum biasa maka tindak kejahatan itu sulit diredam, dan masyarakat menjadi korban. Namun jika diberlakukan “petrus” maka para penjahat menjadi korban dan menjadi shok terapi bagi mereka yang suka bertindak kriminal.

Jika seandainya kitalah yang diperhadapkan kepada persoalan demikian pilihan apa yang akan kita ambil? Jika tindak kriminalitas tidak diberantas maka masyarakat dirugikan jika "petrus" atau tindakan lainnya yang dinilai kurang manusiawi dilakukan konsekuensinya bakal ada penjahat yang menjadi korban.

Di sisi lain tidak semua kebijakan dapat diramalkan dampaknya Misalnya saja kebijakan Seoharto menerapkan revolusi hijau, melalui "Bimas", yang mendorong petani di pedesaan untuk segera mengadobsi pertanian modern, kemudian hari dipersalahkan karena menjadi faktor penyebab terjadinya degenerasi lahan pertanian diberbagai wilayah. Namun masa itu kebijakan yang diterapkan kebanyakan pemimpinan negara bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi melalui penerapan teknologi. Revolusi hijau menjadi satu syarat mendorong tumbuhnya industri yang kuat, yakni meningkatkan ketersediaan bahan baku pertanian bagi industri, dan terciptanya ketahanan pangan yang akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Dan masa itu belum ada kesadaran atas dampak yang kemudian terjadi atau isu kerusakan lahan atau lingkungan.

Pemimpin yang Memiliki Visi
Intinya mengurusi sebuah bangsa adalah pekerjaan yang rumit dan kompleks. Setiap kebijakan yang diambil tidak selalu dapat diramalkan hasilnya meskipun secara teori diyakini memberikan dampak yang baik. Tidak ada solusi yang akan menyelesaikan semua permasalahan bangsa, yang ada proses untuk menjadi baik. Namun visi seorang pemimpin menjadi sangat penting, bahwa ia memiliki orientasi yang tertuju pada bangsa dan bukan pada kepentingan dirinya.
Prof. Liddle menceritakan pengalamannya ketika mendengarkan pidato presiden Soeharto di di kedutaan besar di Washinton pada awal tahun 70 pada sebuah wawancara di televisi. Ia sungguh terkejut dan terharu setelah menyadari Presiden Soeharto, yang baru saja memimpin negara Indonesia, dan ia anggap adalah orang yang biasa-biasa saja, memiliki sebuah visi yang jelas bagi bangsa Indonesia, sebagaimana yang ia ungkapkan melalui pidatonya. Bangsa Indonesia harus mengalami kemajuan ekonomi melalui langkah-langkah pembangunan yang jelas, demikian ia katakan.

Dan ia dikemudian hari, menurut Prof Liddle, membuktikannya. Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang pesat di masa kepemimpinannya. Hal ini berbeda dengan Myanmar meskipun memiliki pengalaman yang sama dengan Indonesia, dimana pemimpin negara sebelumnya digantikan oleh pemimpin militer. Namun pemimpin Myanmar tidak memiliki visi bagi bangsanya, hanya berjuang mempertahankan kekuasaan militer, dan hasilnya, masih miskin hingga saat ini. Sedangkan Indonesia menikmati kemajuan yang cukup pesat, sehingga pada tahun 80-an dan sempat dijuluki macan Asia. Dan meletakkan landansan ekonomi modern pada masyarakat Indonesia.

Memimpin bangsa bukanlah pekerjaan mudah. Oleh sebab itu pemimpin masa depan perlu banyak belajar dari pengalaman masa lalu. Prestasi yang dapat diraih Presiden Seoharto dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat adalah sesuatu yang patut dihargai dan menjadi inspirasi bagi pemimpin bangsa tanpa memungkiri bahwa beliau memiliki kekurangan.

Namun hal terpenting yang patut kita pelajari dari pribadi Seoharto adalah seorang pemimpin bangsa haruslah memiliki visi. Pemimpin yang tidak memiliki visi tidak mampu membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Ia akan mudah terobang ambing oleh berbagai macam pengaruh dan tekanan, karena tidak memiliki tujuan kemanakah bangsa ini akan dibawa. Pemimpin yang memiliki visi tidak sekedar ingin mengejar popularitas diri dengan membuktikan dirinya lebih unggul dari pemimpin sebelumnya, namun mau belajar dari pengalaman pemimpin sebelumnya dengan satu tujuan demi kemajuan bangsa. Oleh sebab itu marilah kita menilai kepemimpinan Soeharto secara proporsional dan memperoleh pelajaran berharga daripadanya.

No comments: