Rekan saya di Makassar membutuhkan 5 orang fresh-graduate, untuk dipekerjakan di perusahaannya dengan background pertanian S1 dan D3 (diprioritaskan dari IPB namun juga terbuka untuk lulusan Universitas lainnya), suka bekerja di lapangan, memiliki insting bisnis, menyukai tantangan baru dan siap ditempatkan di Sulawesi Selatan.
Jika rekan-rekan berminat untuk pekerjaan ini silahkan mengirimkan lamaran, beserta CV dan ijazah ke email saya moan_bb@yahoo.com atau hendra_has@deptan.go.id. Batas pengiriman lamaran adalah sampai Bulan April 2008.
Thursday, 31 January 2008
PENAWARAN JASA
Saya siap membantu rekan-rekan yang ingin memperoleh informasi tentang benih perkebunan, khususnya benih kelapa sawit. Atau yang hendak mendapatkan bibit tanaman hortikultur dan kelapa sawit yang terjamin kualitasnya, maka segera hubungi saya melalui email atau tinggalkan pesan anda pada kotak pesan di blog ini.
Demikian juga buat rekan-rekan yang ingin memperoleh informasi atau mendapatkan produk-produk bio pestisida, seperti Bio-Fob, Bio-Triba, atau Mitol yang dapat diaplikasikan pada tanaman panili dan tanaman yang rentan terhadap busuk batang, dapat menghubungi saya.
Demikian juga buat rekan-rekan yang ingin memperoleh informasi atau mendapatkan produk-produk bio pestisida, seperti Bio-Fob, Bio-Triba, atau Mitol yang dapat diaplikasikan pada tanaman panili dan tanaman yang rentan terhadap busuk batang, dapat menghubungi saya.
RELASI EKONOMI, ALAMIAH ATAU ETIS
Kapitalisme gagal menciptakan kesejateraan dan keadilan? Indonesia yang menerapkan ekonomi kapitalisme harus menghadapi kenyataan bahwa jumlah orang miskin bertambah di republik ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2007 sebanyak 37,17 juta jiwa. Di sisi lain rentang pendapatan tertinggi dan terendah juga sangat lebar, dimana sekitar 80 % aset nasional berada di tangan 10 % penduduk terkaya. Banyak anggota masyarakat yang mengalami kekurangan gizi, setidaknya angka 8 % dari total jumlah anak balita mengalami gizi buruk.
Namun bagaimana ketidakadilan ini muncul? Bukankah relasi ekonomi kapitalisme diyakini memiliki tangan-tangan tidak terlihat yang akan menciptakan keseimbangan pasar. Menurut perspektif ekonomi klasik, yang diyakini sejumlah ekonom kontemporer, dalam kondisi netralitas etika, efisiensi dan pertumbuhan produksi akan memberikan keuntungan bagi perusahaan dan kemudian memberikan dampak peningkatan kesejahteraan masyarakat (tringkle down effect).
Pembenaran Egoisme?
Mekanisme pasar konon bergerak berdasarkan hukum-hukum alamiah seperti halnya hukum mekanika pada fenomena alam. Hukum ini menciptakan keseimbangan pasar dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun kenyataan menunjukkan hal berbeda. Relasi ekonomi yang dianggap menciptakan kondisi equilibrium akhirnya menghasilkan berbagai bentuk ketidakadilan. Misalnya saja pada pasar tenaga kerja, tidak setiap pekerja dapat memasuki bidang pekerjaan yang sesuai dengan bakatnya. Tidak semua pekerja dapat diserap oleh dunia kerja sehingga menciptakan pengangguran.
Fenomena busung lapar yang terjadi di Indonesia terjadi bukan karena bahan pangan bergizi tidak tersedia melainkan karena banyak orang yang tidak mampu membeli. Mereka yang miskin tidak memiliki hak untuk memperoleh dan mengkonsumsi makanan yang melimpah di pasar karena tidak memiliki uang untuk membeli. Mekanisme pasar mengsyaratkan pertukaran menguntungkan agar sebuah barang dapat dimiliki seseorang, tidak penting apakah barang tersebut sangat dibutuhkan oleh seseorang dan menyangkut kelangsungan hidupnya. Karena seorang pedagang adalah manusia manusia rasional yang tengah berusaha mendapatkan keuntungan dari aktivitas pertukaran tersebut.
Dan sumber ketidakadilan tersebut terjadi ketika mekanisme pasar dibangun di atas hubungan manusia yang egoistik. Menurut Smith sudah menjadi kondrat manusia untuk senantiasa mengejar kepentingannya sendiri. Manusia selalu ingin memperoleh kesenangan dan kecenderung sudah ada sejak lahir dan tidak lenyap hingga ia mati (Canterbary, 196). Demikian halnya dengan relasi ekonomi, bahwa manusia sebagai mahluk ekonomis senantiasa ingin memaksimalkan kepuasaannya dengan mengorbanan yang minimal. Segala yang ia lakukan di dalam berinteraksi pasar, menjual barang dan jasa demikian halnya ketika membeli sebuah produk, adalah semata-mata untuk mendapatkan kepuasan atau keuntungan yang sebesar-besarnya.
Saat setiap orang memikirkan dirinya sendiri akan senantiasa memunculkan ketidakadilan karena sumber daya yang tersedia terbatas dan terdistribusi tidak merata sehingga tidak semua orang mendapatkan keuntungan melalui hubungan pasar. Mereka yang memiliki modal, menguasai faktor-faktor produksi, akan mampu menjaring manfaat lebih besar dari hubungan pasar sedangkan mereka yang tidak memiliki modal, keahlian atau aset, hanya bisa menawarkan tenaga kerja bagi si pemilik modal dan mendapatkan manfaat yang tidak sepadan dengan si pemilik modal yang memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja. Dalam hubungan pasar tujuan masing-masing pelaku adalah memaksimalkan kepuasan sehingga komoditas menjadi terutama dan sisi manusianya raib.
Konon melalui mekanisme pasar si miskin diyakini akan memperoleh manfaat melalui trickle-down efect (efek manfaat yang menetes). Bahwa kekayaan diperoleh seseorang akan bermanfaat bagi orang lain atau mereka yang miskin, karena peningkatan kekayaan seseorang akan meningkatkan daya belinya yang dapat mendorong tumbuhnya aktivitas di pihak lain. Artinya meskipun seseorang makin kaya namun ia juga akan memberikan manfaat kepada orang lain karena daya beli mereka merangsang mereka yang belum mendapatkan keuntungan ekonomi untuk melakukan aktivitas produktif yang bernilai dan mendorong tersebarnya kekayaan seseorang kepada mereka.
Hanya saja tidak semua orang memiliki akses terhadap pasar, bahwa seseorang harus memiliki modal dan skill untuk bisa memperoleh keuntungan pasar. Kenyataannya banyak orang yang tidak memiliki modal, skill atau kemampuan yang memadai untuk menciptakan produk atau jasa yang bernilai untuk dijual. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pendidikan atau keahlian, karena bagi kebanyakan orang pendidikan menjadi barang mahal, atau skill yang dimiliki tidak bernilai di pasar, seperti para penari kesenian tradisional yang tidak mampu menjual keahliannya secara komersial karena dianggap budaya terbelakang. Atau masyarakat tradisional yang tidak memiliki orientasi hidup yang berkompetisi dan tidak memahami bagaimana mekanisme kapitalisme bekerja, mengalami shok ketika harus menjadi bagian dalam struktur masyarakat kapitalisme. Demikian juga dengan mereka yang cacat yang tidak mampu berkerja dengan baik. Mereka dapat dipastikan tersisih dalam sistem kapitalisme.
Relasi ekonomi kapitalisme tidak saja dianggap gagal menciptakan pemerataan kesejahteraan namun juga turut menciptakan proses dehumanisasi dalan relasi di antara manusia. Pekerja dalam sistem kapitalisme mengalami alineasi, dimana ia mengalami dirinya sebagai sosok terasing karena tidak lagi sebagai pencipta aktivitas-aktivitasnya sendiri-tetapi semua tindakannya dan dampaknya menjadi majikannya, yang ia taati dan ia sembah. Apa yang ia kerjakan adalah bukanlah sebuah ekspresi diri melainkan sebagai aktivitas yang terotomatisasi demi untuk mengabdi kepada si pemilik modal.
Relasi Ekonomi, Kehendak Bebas dan Etika
Namun benarkah citra manusia sesuram yang digambarkan teori ekonomi kontemporer, yakni sebagai mahluk yang egois. Apakah manusia senantiasa menjadikan kepentingan dirinya sebagai tujuan hidupnya. Manusia menjadi mahluk yang terbelenggu kebutuhan instingtual untuk memperoleh kesenangan.
Kenyataannya manusia tidak selalu demikian. Manusia memiliki kemampuan berkorban dengan menunda kesenangannya bagi kesenangan orang lain . Manusia memiliki kemampuan melepaskan diri dari apa yang disebut hukum kepuasan. Tindakan binatang secara instingtual bertujuan untuk memelihara kehidupannya, namun manusia berbeda ia tidak secara institual digerakkan oleh kebutuhan biologis. Ia juga memiliki kebutuhan ideologi, menciptakan makna bagi kehidupannya, berusaha mencari apa yang ia sebagai kebenaran atau nilai-nilai kebajikan dan rela mengorbankan kehidupannya demi mempertahankan kebenarannya. Bahwa seseorang yang fanatis terhadap keyakinan agamanya mungkin lebih memilih dihukum mati dari pada dipaksa memungkiri keyakinannya. Kondisi demikian tidak terjadi pada binatang. Dan manusia memiliki kemampuan melakukan tindakan altruistik, mengorbankan dirinya bahkan kehidupannya untuk melindungi dan menyelamatkan kehidupan orang lain.
Manusia memiliki kehendak bebas, meskipun di satu sisi ia memiliki dorongan instingtual untuk memenuhi kebutuhan. Ia menyadari dirinya sanggup untuk mengambil sikap terhadap dorongan-dorongan biologis. Misalnya lapar, ada makanan tersedia, tetapi ia tetap bisa menolak untuk memenuhinya. Manusia tidak saja ingin memelihara kehidupannya namun juga berusaha memakni kehidupannya serta menetapkan orientasi kehidupannya. Sehingga manusia tidak saja mengambil keputusan dan tindakan dalam sebuah orientasi pragmatisme melainkan juga atas pertimbanga etis. Apakah tindakan ini baik atau buruk untuk dilakukan. Manusia dapat menjadikan keberadaan manusia lain sebagai pertimbangannya dalam mengambil keputusan. Apakah tindakan yang diambil merugikan orang lain atau tidak. Ia dapat menunda keputusan yang merugikan orang lain meskipun hal tersebut menguntungkan bagi dirinya.
Demikian halnya dalam kaitannya dengan relasi ekonomi. Bahwa keputusan untuk mengejar kesenangan bukanlah satu-satunya keputusan yang dapat diambil melainkah sebuah pilihan diantara berbagai pilihannya lain yang dapat dilakukan manusia secara bebas. Manusia dapat memutuskan mengejar kesenangan namun tidak merugikan bagi orang lain. Seorang pengusaha dapat saja memutuskan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dengan cara menekan biaya tenaga kerja. Toh, dengan kondisi tingkat pegangguran yang tinggi membuat bergain pemilik perusahaan lebih besar dan seorang pekerja secara rasional memilih tetap bekerja dengan upah rendah, karena akan lebih buruk nasibnya jika tidak bekerja, banyak orang yang siap menempati posisinya jika ia dipecat. Namun secara etis si pemilik modal bisa saja tidak melakukan hal tersebut melainkan membayar pekerja secara layak, dengan pertimbangan upah yang diberikan harus dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.
Oleh sebab itu dengan mengantungkan kepada keyakinan bahwa pasar akan membawa kebaikan bagi kehidupan manusia pada akhirnya akan menciptakan kekecewaan, jika didasarkan pada egoisme individu. Keburukan pasar dapat direduksi dengan menjadikan hubungan ekonomi tidak luput dari pertimbangan etis, tidak mengejar kepuasan maksimal melainkan kepuasan yang wajar, pada tingkat dimana orang lain tidak dirugikan. Keputusan ekonomi harus menjadi keputusan yang terarah ke luar, bahwa keberadaan manusia juga harus menjadi pertimbangan. Saat akan melakukan transaksi seseorang harus memiliki sebuah pertimbangan apakah uang itu cukup digunakan membeli oleh si pedagang untuk membeli kebutuhannya kelak. Atau ketika menawarkan sebuah produk, si pedagang dapat mempertimbangkan apakah barang tersebut akan memberikan manfaat bagi mereka yang ingin membeli.
Adakalanya terdapat dikotomi antara etika dan ”hukum alamiah” dalam menilai sebuah relasi ekonomi. Orang yang mendapatkan kekayaan dengan menggunakan aset-asetnya dapat dibenarkan menurut perspektif ekonomi namun menjadi tidak etis ketika ia merperkaya di sisi lain ada orang lain menderita. Mendapatkan kepuasan maksimal melalui hubungan ekonomi adalah tindakan yang rasional, namun menjadi tindakan etis jika sengaja seseorang mengorbankan kapasitas usahanya agar memberikan kesempatan untuk menikmati manfaat ekonomi.
Oleh sebab itu ketidakadilan dan kemiskinan yang masih terjadi saat ini mengambarkan bahwa mekanisme pasar tidak memberikan kesejahteraan jika manusia melaksanakan pure sebagai keputusan yang terpusat pada dirinya. Mekanisme pasar adalah sistem yang terbentuk namun manusia memiliki kebebasan dalam memutuskan apa yang ia beli, seberapa banyak, apakah menguntungkan atau tidak dengan menfaatkan komponen pasar seperti uang, harga, mekanisme distribusi dsb. Tidak ada tangan-tangan yang tidak telihat yang menciptakan kesimbangan, namun apa yang kita sebut sebagai sebuah sistem adalah akumulasi keputusan dan karakteristik individu secara keseluruhan, dan keseimbangan terjadi ketika manusia mau bertindak secara bertanggung jawab.
Ketidakadilan mengambarkan bahwa banyak orang Indonesia yang berlum bertindak etis. Tanggung jawab etis tidak saja pada penderitaan orang lain yang berhubungan langsung dengan dirinya melainkan juga pada orang lain yang tidak berhubungan secara langsung. Karena kita juga bisa secara tidak langsung penyebab penderitannya. Kebutuhan kita akan barang-barang yang terbuat dari kayu turut memelihara tumbuhnya industri perkayuan yang melakukan penjarahan hutan dan mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan yang merugikan masyarakat sekitar. Dostoevsky menyebutkan bahwa kita harus bertanggung jawab terhadap penderitaan manusia.
Namun mungkinkah segenap masyarakat Indonesia memiliki kesadaran demikian?.
Monday, 28 January 2008
SEKS ORAL DAN AMBIVALENSI KEBEBASAN GENDER
Seks menjadi bagian dari aktivitas praksis kehidupan manusia. Perluasan sekulerisasi dalam masyarakat modern telah memusatkan perhatian manusia pada materialisme keduniawian dan menuntut kesenangan biologis terhadap tindak tanduk yang dilakukannya. Sex menjadi bagian dalam insentif tersebut sebagai upah terhadap pengorbanan atas hilangnya ruang ekspresi dan individualitas pekerja. Dalam masyarakat modern komoditas seksual diproduksi secara eksesif baik melalui televisi, internet dalam dunia hiburan yang legal maupun tidak legal, dan peningkatan jumlah pekerja seks komersial untuk memberikan rasa adil dalam ketidakadilan relasi kerja.
Liberalisasi seks dilempangkan. Akses terhadapnya semakin dipermudah, dan seks sebagai pola atau kumpulan interaksi simbolispun diproduksi secara terus-menerus. Seks tidak membutuhkan strategi khusus merealisasikan dirinya, namun dalam aspek kesejarahan seks mengalami dinamika penyingkapan. Segala hal yang terkait konstruksi permainan seksualitas berhubungan dengan aspek kultural manusia. Seks bukan lagi sekedar ciuman bibir, sentuhan-sentuhan pada pusat rangsangan seksual dan alat kelamin yang berakhir pada penetrasi penis ke dalam vagina, namun berkembang pada berbagai variasi mulai dari seks anal, oral hingga memanfaatkan benda-benda sintetis penganti objek real seksual.
Oral Sex dan Revolusi Kebebasan
Kencenderungan seks oral menjadi simbol revolusi kebebasan seksual. Wanita modern lebih afirmatif terhadap seks oral dibandingkan dengan wanita di era tradisional. Bagaimanapun penis merupakan sebuah benda yang kotor, karena selain sebagai alat berhubungan seks juga alat pembuangan. Penis bukan relasi yang sepadan buat mulut sehingga seks oral dapat mengakibatkan proses pemasukan kembali hasil buang ke dalam mulut seseorang. Namun dalam seks, seks oral telah menjadi sebuah bentuk interaksi natural, wanita tidak merasa jijik dan menanggapi seks oral sebagai aktivitas yang perlu dilakukan untuk menciptakan suasana romantis dan penuh birahi.
Kapitalisme dan liberalisasi menjadi simbol kebebasan dan persamaan hak gender. Berbagai bentuk tindakan yang dilakukan oleh wanita diamini sebagai ekspresi kebebasannya sebagai mahluk yang egaliter. Ruang galeri bagi wujud kebebasannya tercermin juga pada seksualitas, dimana konservatisme seks ditentang sedemikian rupa karena dirasa tidak lagi memberikan ruang kebebasan bagi wanita mengekspresikan dirinya. Seks oral yang dilakukan wanita bukan sebuah cerminan ketertaklukan gender melainkan sebuah tindakan yang otonom. Permainan lidah dan kuluman pada penis bukan bentuk subordinasi melainkan ekspresi kebebasan pemilihan simbol-simbol seksualitas.
Oral Seks dalam Perspektif Strukturalisme
Melalui pendekatan strukturalisme, seks oral sebagai konsepsi kebebasan gender coba dibuktikan kebenarannya. Kajian secara strukturalisme digunakan untuk memahami makna yang ada dibalik fenomena seks oral melalui proses , apakah sungguh merepresentasikan kebebasan yang hakiki atau sebaliknya.
a. Oposisi Biner
Menurut perspektif strukturalisme manusia memahami realitasnya melalui hubungan relasional yang bersifat biner. Realitas terstruktur secara oposisi sedemikian rupa sehingga dapat terjelaskan. Dan apapun yang dihasilkan pikiran manusia dapat dipahami dengan mekanisme sedemikian. Melalui perpektif binari ini dapat kemudian dipahami makna yang terkandung dibalik berbagai bentuk hasil pikiran manusia tersebut. Namun struktur relasional yang beroposisi biner adalah sesuatu yang tidak disadari oleh manusia itu sendiri, dan lebih merupakan hasil dari proses artikulasi.
Pemahaman terhadap aktivitas seks oral dilakukan secara totalitas mencakup segala sesuatu yang menyertainya seperti, adanya aktivitas melucuti pakaian, ciuman, sentuhan, desahan, penetrasi dan pelepasan semen. Sebagaimana telah disebutkan bahwa manusia memahami realitasnya secara oposisi, menyusun realitas pada elemen-elemen yang bertentangan seperti baik vs jahat, wanita vs pria, siang vs malam. Dan masing-masing oposisi kemudian dihubungan pada masing-masing sisi seperti contoh di bawah ini:
Wanita vs pria
Siang vs malam
Baik vs jahat
Hubungan ini disebut hubungan asosiatif, dimana wanita, siang secara normatif dianggap sesuatu yang baik sedangkan pria dan malam sebagai sesuatu yang jahat.
Dengan pola yang sama aktivitas seks oral secara struktur dapat disusun dalam sebuah oposisi biner sebagai berikut:
oral vs tidak oral
mendesah vs tidak mendesah
ditelanjangi vs menelanjangi
kelamin vs bukan kelamin
melayani vs dilayani
wanita vs pria
sub-ordinasi vs dominasi
Lemah vs unggul
buruk vs baik
Hubungan biner disusun secara vertikal mulai dari hal paling abstrak hingga hal yang paling konkrit dan pada bagian abstrak akan terhubung dengan dengan aspek normatif, yakni baik dan buruk. Melalui struktur di atas dapat dilihat bahwa seks oral, mendesah terkait, ditelanjangi menjadi kecenderungan wanita saat berhubungan seks.
b. Interpretasi
Adapun makna yang kita peroleh melalui interpretasi strukutralisme adalah bahwa kelamin adalah benda yang lebih dekat dengan kekotoran, berbeda dengan payudara yang merupakan elemen mendasar kewanitaan, media bagi dia untuk memberikan ASI bagi anaknya. Kepala penis merupakan pusat rangsangan seksual bagi pria dan jika disentuh akan memberikan kenikmatan sehingga kuluman liar wanita pada kepala penis lebih menyenangkan pria dari pada wanita. Jika sampai mengeluarkan sperma, materi genetis yang harusnya masuk ke dalam vagina, bercampur dengan sisa zat buangan, tersemprot ke muka atau bahkan ke mulut wanita dan tertelan bersama sejumlah minor zat-zat buangan.
Namun hal ini dapat dijelaskan jika seks oral turut dihubungkan dengan telanjang yang menelanjangi dan mendesah. Desahan menjadi simbol kertaklukan wanita, karena terdengar seperti jeritan kesakitan, seolah si wanita takluk oleh kedigdayaan pria. Konteks penelanjangan diinterpretasi bahwa wanita adalah milik si pria. Ia-lah yang berhak pertama kali melihat pribadi milik si wanita yang tidak boleh dilihat oleh orang lain. Ia yang kemudian membuka aktivitas menyentuh dan melakukan ciuman liar untuk mengekspolasi kesenangannya. Dari semua itu dapat dilihat sebuah logika tersembunyi tentang penguasaan.
Dalam kondisi demikian tidak dapatkah disebut sebuah ekspresi diri dan lebih merupakan manifestasi kekuasaan wanita. Pria berkuasa sehingga layak mendapatkan pelayanan untuk memperoleh kepuasan yang lebih besar. Tidak ada lebih nyata dari sebuah kekuasaan yang mampu membuat wanita mau mengulum lidahnya pada penis yang seharusnya bersentuhan dengan benda-benda yang steril karena alat yang membantu memasukkan sesuatu ke dalam tubuh. Ini adalah sebuah bentuk kepatuhan maka ia mau melakukannya.
Namun darimanakah bentuk kepatuhan ini, tak lain karena secara tidak sadar wanita mengakui bahwa sisi keunggulan pria dan mengaminya statusnya sebagai subordinan. Wanita adalah tulang rusuk pria, menjadi sebuah artikulasi alam bawah sadar dalam membina hubungan dengan pria. Kebebasan wanita bukanlah kebebasan yang hakiki melainkan hanya perubahan bentuk permukaan. Dalam alam bawah sadarnya ia masih menyadari bahwa ketika keberadaannya dikontradiksikan dengan pria, secara normatif, ia tidak unggul, lebih rendah statusnya. Namun mendamaikan kontrakdisi ini maka tercipta sebuah titik tengah dimana wanita menciptakan kondisi yang menunjukkan seolah wanita tidak teralienasi. Dalam perspektif ideologi, hal ini dapat dijelaskan bahwa kebebasan terdistorsi dapat dipandang sebagai bentuk penguaasaan secara hegemoni dimana pemberontakan wanita secara afirmasi disalurkan pada hal yang justru menguntungkan pria dan wanita dengan sadar menerima ideologi kekuasaan tersebut dan turut menyebarkannya.
Kritik terhadap Seks Oral
Seks oral menjadi trand dan bentuk revolusioner seksualitas, sebagai mediasi kebebasan ekspresi yang kemudian disebarluaskan melalui petunjuk seks keluarga, televisi maupun sumber siminal semacam video porno. Namun kesadaran itu pulalah yang telah membuat berjuta wanita rela mengenakan bibirnya yang tipis dan lidah-lidah lembutnya memain-mainkan penis, dan memberikan kepuasan bagi pria dan tidak bagi dirinya.
Oleh sebab dapat disimpulkan seks oral bukan merupakan sebuah ekspresi kebebasan melainkan sebuah logika tersembunyi wanita yang manyadari keunggulan pria tetaplah penguasa dalam sistem partiarkart. Cara-cara baru, sebagai bentuk afirmasi wanita, mungkin saja akan muncul lagi, memperkuat kekuasan pria terhadap wanita dalam sebuah hubungan hegemoni. Sehingga kebebasan wanita tidak lebih menjadi sebuah kreativitas untuk melayani pria dengan lebih baik lagi.
BELAJAR DARI KEPEMIMPINAN SOEHARTO?
Soeharto terbujur kaku ditengah polemik apakah ia patut dihukum atau dimaafkan. Namun jika kemudian sang Jenderal Besar itu meninggalkan kehidupan ini, dan hanya meninggalkan citra diri sebagai seorang diktator, penjahat negara, dsb, tanpa ada yang layak hargai dari padanya, maka kita telah kehilangan sebuah harta inspirasi terbesar bagi masa depan kepemimpinan bangsa Indonesia.
Penilaian Proporsional
Tidak dipungkiri Soeharto memiliki kesalahan ketika berkuasa. Kebijakan yang ia jalankan telah merugikan kelompok masyarakat tertentu, melalui penggusuran, intimidasi, subversif. Bahkan kebijakannya ada yang sampai mengorbankan nyawa orang lain seperti kasus DOM di Aceh atau di Timtim atau pembantaian anggota PKI dimana disebut-sebut Soeharto terlibat dibaliknya. Di sisi lain kebijakannya menguntungkan segelintir orang juga, menciptakan konglomerasi dan memperkaya kroni-kroninya.
Namun kita juga tidak bisa tutup mata terhadap keuntungan dari kebijakan yang dijalankannya. Stabilitas ekonomi terjaga, karena bahan pangan tersedia memadai dan terjangkau, kondisi negara aman, pelayanan pendidikan dan kesehatan menyebar hingga ke pelosok-pelosok desa, dan beliau mendorong modernisasi ekonomi pedesaan.
Bahkan pengalaman kesuksesan pemerintah beliau masih terekam dalam benak masyarakat. Tidak heran, ketika berbicang-bincang tentang kondisi negara saat ini dengan seorang supir taksi, pedagang kecil, petani, dsb ini, saya sering mendengar bahwa mereka merindukan suasana tenang seperti pada masa rezim orde baru. ”Kehidupan dulu tidak sesulit saat ini”, demikan kata mereka. Suasana demokrasi yang diciptakan di era reformasi kurang tidak bernilai dimata mereka ketika tidak berdampak pada perbaikan kesejahteraan ekonomi. Apalagi ketika demokrasi ditegakkan yang timbul adalah anarkis, kekerasan, demonstrasi yang menganggu ketertiban.
Hanya persepsi masyarakat awam tersebut kadang berbeda dengan pendapat dari kaum intelektual atau elit. Bagi mereka Soeharto adalah sosok yang bertanggung jawab terhadap kehancuran bangsa. Soeharto mengakibatkan kehancuran pada struktur sosial, alam, politik. Membungkam kebebasan dan kreatifitas masyarakat serta menciptakan masyarakat yang korupsi. Stabilitas ekonomi sesungguhnya hanya meninabobokkan masyarakat dari sebuah pengrusakan yang masif.
Soeharto tidak patut dihargai sebagai pemimpin besar. Ia layak dihujat, dan dijadikan karikatur bagi mereka yang ingin menawarkan solusi bagi Indonesia masa depan. Tindakan Soeharto di masa lalu dianalisa sedemikian rupa oleh kaum intelektual atau elit untuk mengungkap keburukan terselubung. Bahwa mereka mampu meneropong seluk beluk keburukan pada pemerintahan Soeharto dan kemudian menawarkan formulasi kebijakan yang lebih baik.
Para kaum intelektual atau elit baru menilai segala kebijakan Soeharto di masa lalu dari sudut pandang hitam putih. Kebijakan yang memiliki dampak buruk meskipun di sisi lain bermanfaat bagi masyarakat, tetap dinilai sebagai sebuah kekeliruan besar, apalagi jika ada manusia yang menjadi korban, maka keputusan dengan mudah diklaim sebagai sebuah kejahatan.
Hanya saja persoalan bangsa tidaklah sesederhana ketika masalah tersebut menjadi topik diskusi panel, yang mudah dicari penyelesaiannya. Ketika sebuah keputusan diambil dalam konteks nyata, apalagi dalam konteks bangsa, maka masalahnya menjadi kompleks. Keputusan yang diambil tidak lagi bersifat hitam-putih, baik -buruk melainkan harus memilih keputusan terbaik di antara terburuk. Dengan konsekuensi setiap keputusan memiliki resikonya masing-masing.
Misalnya saja ketika Presiden Seoharto memutuskan memberlakukan ”petrus”, yang saat ini dihujat sebagai kebijakan yang melanggar hak asasi manusia. Namun bayangkan jika kita berada di posisi pemerintah yang harus menghadapi kondisi dimana kejahatan dimana-mana, pencurian, pembunuhan dan premanisme merebak. Jika dibiarkan atau diatasi hanya dengan proses hukum biasa maka tindak kejahatan itu sulit diredam, dan masyarakat menjadi korban. Namun jika diberlakukan “petrus” maka para penjahat menjadi korban dan menjadi shok terapi bagi mereka yang suka bertindak kriminal.
Jika seandainya kitalah yang diperhadapkan kepada persoalan demikian pilihan apa yang akan kita ambil? Jika tindak kriminalitas tidak diberantas maka masyarakat dirugikan jika "petrus" atau tindakan lainnya yang dinilai kurang manusiawi dilakukan konsekuensinya bakal ada penjahat yang menjadi korban.
Di sisi lain tidak semua kebijakan dapat diramalkan dampaknya Misalnya saja kebijakan Seoharto menerapkan revolusi hijau, melalui "Bimas", yang mendorong petani di pedesaan untuk segera mengadobsi pertanian modern, kemudian hari dipersalahkan karena menjadi faktor penyebab terjadinya degenerasi lahan pertanian diberbagai wilayah. Namun masa itu kebijakan yang diterapkan kebanyakan pemimpinan negara bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi melalui penerapan teknologi. Revolusi hijau menjadi satu syarat mendorong tumbuhnya industri yang kuat, yakni meningkatkan ketersediaan bahan baku pertanian bagi industri, dan terciptanya ketahanan pangan yang akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Dan masa itu belum ada kesadaran atas dampak yang kemudian terjadi atau isu kerusakan lahan atau lingkungan.
Pemimpin yang Memiliki Visi
Intinya mengurusi sebuah bangsa adalah pekerjaan yang rumit dan kompleks. Setiap kebijakan yang diambil tidak selalu dapat diramalkan hasilnya meskipun secara teori diyakini memberikan dampak yang baik. Tidak ada solusi yang akan menyelesaikan semua permasalahan bangsa, yang ada proses untuk menjadi baik. Namun visi seorang pemimpin menjadi sangat penting, bahwa ia memiliki orientasi yang tertuju pada bangsa dan bukan pada kepentingan dirinya.
Penilaian Proporsional
Tidak dipungkiri Soeharto memiliki kesalahan ketika berkuasa. Kebijakan yang ia jalankan telah merugikan kelompok masyarakat tertentu, melalui penggusuran, intimidasi, subversif. Bahkan kebijakannya ada yang sampai mengorbankan nyawa orang lain seperti kasus DOM di Aceh atau di Timtim atau pembantaian anggota PKI dimana disebut-sebut Soeharto terlibat dibaliknya. Di sisi lain kebijakannya menguntungkan segelintir orang juga, menciptakan konglomerasi dan memperkaya kroni-kroninya.
Namun kita juga tidak bisa tutup mata terhadap keuntungan dari kebijakan yang dijalankannya. Stabilitas ekonomi terjaga, karena bahan pangan tersedia memadai dan terjangkau, kondisi negara aman, pelayanan pendidikan dan kesehatan menyebar hingga ke pelosok-pelosok desa, dan beliau mendorong modernisasi ekonomi pedesaan.
Bahkan pengalaman kesuksesan pemerintah beliau masih terekam dalam benak masyarakat. Tidak heran, ketika berbicang-bincang tentang kondisi negara saat ini dengan seorang supir taksi, pedagang kecil, petani, dsb ini, saya sering mendengar bahwa mereka merindukan suasana tenang seperti pada masa rezim orde baru. ”Kehidupan dulu tidak sesulit saat ini”, demikan kata mereka. Suasana demokrasi yang diciptakan di era reformasi kurang tidak bernilai dimata mereka ketika tidak berdampak pada perbaikan kesejahteraan ekonomi. Apalagi ketika demokrasi ditegakkan yang timbul adalah anarkis, kekerasan, demonstrasi yang menganggu ketertiban.
Hanya persepsi masyarakat awam tersebut kadang berbeda dengan pendapat dari kaum intelektual atau elit. Bagi mereka Soeharto adalah sosok yang bertanggung jawab terhadap kehancuran bangsa. Soeharto mengakibatkan kehancuran pada struktur sosial, alam, politik. Membungkam kebebasan dan kreatifitas masyarakat serta menciptakan masyarakat yang korupsi. Stabilitas ekonomi sesungguhnya hanya meninabobokkan masyarakat dari sebuah pengrusakan yang masif.
Soeharto tidak patut dihargai sebagai pemimpin besar. Ia layak dihujat, dan dijadikan karikatur bagi mereka yang ingin menawarkan solusi bagi Indonesia masa depan. Tindakan Soeharto di masa lalu dianalisa sedemikian rupa oleh kaum intelektual atau elit untuk mengungkap keburukan terselubung. Bahwa mereka mampu meneropong seluk beluk keburukan pada pemerintahan Soeharto dan kemudian menawarkan formulasi kebijakan yang lebih baik.
Para kaum intelektual atau elit baru menilai segala kebijakan Soeharto di masa lalu dari sudut pandang hitam putih. Kebijakan yang memiliki dampak buruk meskipun di sisi lain bermanfaat bagi masyarakat, tetap dinilai sebagai sebuah kekeliruan besar, apalagi jika ada manusia yang menjadi korban, maka keputusan dengan mudah diklaim sebagai sebuah kejahatan.
Hanya saja persoalan bangsa tidaklah sesederhana ketika masalah tersebut menjadi topik diskusi panel, yang mudah dicari penyelesaiannya. Ketika sebuah keputusan diambil dalam konteks nyata, apalagi dalam konteks bangsa, maka masalahnya menjadi kompleks. Keputusan yang diambil tidak lagi bersifat hitam-putih, baik -buruk melainkan harus memilih keputusan terbaik di antara terburuk. Dengan konsekuensi setiap keputusan memiliki resikonya masing-masing.
Misalnya saja ketika Presiden Seoharto memutuskan memberlakukan ”petrus”, yang saat ini dihujat sebagai kebijakan yang melanggar hak asasi manusia. Namun bayangkan jika kita berada di posisi pemerintah yang harus menghadapi kondisi dimana kejahatan dimana-mana, pencurian, pembunuhan dan premanisme merebak. Jika dibiarkan atau diatasi hanya dengan proses hukum biasa maka tindak kejahatan itu sulit diredam, dan masyarakat menjadi korban. Namun jika diberlakukan “petrus” maka para penjahat menjadi korban dan menjadi shok terapi bagi mereka yang suka bertindak kriminal.
Jika seandainya kitalah yang diperhadapkan kepada persoalan demikian pilihan apa yang akan kita ambil? Jika tindak kriminalitas tidak diberantas maka masyarakat dirugikan jika "petrus" atau tindakan lainnya yang dinilai kurang manusiawi dilakukan konsekuensinya bakal ada penjahat yang menjadi korban.
Di sisi lain tidak semua kebijakan dapat diramalkan dampaknya Misalnya saja kebijakan Seoharto menerapkan revolusi hijau, melalui "Bimas", yang mendorong petani di pedesaan untuk segera mengadobsi pertanian modern, kemudian hari dipersalahkan karena menjadi faktor penyebab terjadinya degenerasi lahan pertanian diberbagai wilayah. Namun masa itu kebijakan yang diterapkan kebanyakan pemimpinan negara bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi melalui penerapan teknologi. Revolusi hijau menjadi satu syarat mendorong tumbuhnya industri yang kuat, yakni meningkatkan ketersediaan bahan baku pertanian bagi industri, dan terciptanya ketahanan pangan yang akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Dan masa itu belum ada kesadaran atas dampak yang kemudian terjadi atau isu kerusakan lahan atau lingkungan.
Pemimpin yang Memiliki Visi
Intinya mengurusi sebuah bangsa adalah pekerjaan yang rumit dan kompleks. Setiap kebijakan yang diambil tidak selalu dapat diramalkan hasilnya meskipun secara teori diyakini memberikan dampak yang baik. Tidak ada solusi yang akan menyelesaikan semua permasalahan bangsa, yang ada proses untuk menjadi baik. Namun visi seorang pemimpin menjadi sangat penting, bahwa ia memiliki orientasi yang tertuju pada bangsa dan bukan pada kepentingan dirinya.
Prof. Liddle menceritakan pengalamannya ketika mendengarkan pidato presiden Soeharto di di kedutaan besar di Washinton pada awal tahun 70 pada sebuah wawancara di televisi. Ia sungguh terkejut dan terharu setelah menyadari Presiden Soeharto, yang baru saja memimpin negara Indonesia, dan ia anggap adalah orang yang biasa-biasa saja, memiliki sebuah visi yang jelas bagi bangsa Indonesia, sebagaimana yang ia ungkapkan melalui pidatonya. Bangsa Indonesia harus mengalami kemajuan ekonomi melalui langkah-langkah pembangunan yang jelas, demikian ia katakan.
Dan ia dikemudian hari, menurut Prof Liddle, membuktikannya. Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang pesat di masa kepemimpinannya. Hal ini berbeda dengan Myanmar meskipun memiliki pengalaman yang sama dengan Indonesia, dimana pemimpin negara sebelumnya digantikan oleh pemimpin militer. Namun pemimpin Myanmar tidak memiliki visi bagi bangsanya, hanya berjuang mempertahankan kekuasaan militer, dan hasilnya, masih miskin hingga saat ini. Sedangkan Indonesia menikmati kemajuan yang cukup pesat, sehingga pada tahun 80-an dan sempat dijuluki macan Asia. Dan meletakkan landansan ekonomi modern pada masyarakat Indonesia.
Memimpin bangsa bukanlah pekerjaan mudah. Oleh sebab itu pemimpin masa depan perlu banyak belajar dari pengalaman masa lalu. Prestasi yang dapat diraih Presiden Seoharto dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat adalah sesuatu yang patut dihargai dan menjadi inspirasi bagi pemimpin bangsa tanpa memungkiri bahwa beliau memiliki kekurangan.
Namun hal terpenting yang patut kita pelajari dari pribadi Seoharto adalah seorang pemimpin bangsa haruslah memiliki visi. Pemimpin yang tidak memiliki visi tidak mampu membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Ia akan mudah terobang ambing oleh berbagai macam pengaruh dan tekanan, karena tidak memiliki tujuan kemanakah bangsa ini akan dibawa. Pemimpin yang memiliki visi tidak sekedar ingin mengejar popularitas diri dengan membuktikan dirinya lebih unggul dari pemimpin sebelumnya, namun mau belajar dari pengalaman pemimpin sebelumnya dengan satu tujuan demi kemajuan bangsa. Oleh sebab itu marilah kita menilai kepemimpinan Soeharto secara proporsional dan memperoleh pelajaran berharga daripadanya.
Dan ia dikemudian hari, menurut Prof Liddle, membuktikannya. Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang pesat di masa kepemimpinannya. Hal ini berbeda dengan Myanmar meskipun memiliki pengalaman yang sama dengan Indonesia, dimana pemimpin negara sebelumnya digantikan oleh pemimpin militer. Namun pemimpin Myanmar tidak memiliki visi bagi bangsanya, hanya berjuang mempertahankan kekuasaan militer, dan hasilnya, masih miskin hingga saat ini. Sedangkan Indonesia menikmati kemajuan yang cukup pesat, sehingga pada tahun 80-an dan sempat dijuluki macan Asia. Dan meletakkan landansan ekonomi modern pada masyarakat Indonesia.
Memimpin bangsa bukanlah pekerjaan mudah. Oleh sebab itu pemimpin masa depan perlu banyak belajar dari pengalaman masa lalu. Prestasi yang dapat diraih Presiden Seoharto dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat adalah sesuatu yang patut dihargai dan menjadi inspirasi bagi pemimpin bangsa tanpa memungkiri bahwa beliau memiliki kekurangan.
Namun hal terpenting yang patut kita pelajari dari pribadi Seoharto adalah seorang pemimpin bangsa haruslah memiliki visi. Pemimpin yang tidak memiliki visi tidak mampu membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Ia akan mudah terobang ambing oleh berbagai macam pengaruh dan tekanan, karena tidak memiliki tujuan kemanakah bangsa ini akan dibawa. Pemimpin yang memiliki visi tidak sekedar ingin mengejar popularitas diri dengan membuktikan dirinya lebih unggul dari pemimpin sebelumnya, namun mau belajar dari pengalaman pemimpin sebelumnya dengan satu tujuan demi kemajuan bangsa. Oleh sebab itu marilah kita menilai kepemimpinan Soeharto secara proporsional dan memperoleh pelajaran berharga daripadanya.
Sunday, 27 January 2008
MENYUARAKAN ALAM
Bumi tidak lagi menjadi tempat hidup yang nyaman bagi manusia. Alam murka dan tidak lagi menyayangi manusia. Namun hal tersebut timbul tidak lain karena manusia tidak lagi mencintai bumi.
Kehidupan manusia saat ini, baik secara global maupun di Indonesia, dihantui oleh persoalan pemanasan global yang menimbulkan berbagai fenomena alam yang ekstrim dan tidak bersahabat. Dengan menggunakan model dari IPCC, Indonesia diperkirakan mengalami kenaikan dari temperatur rata-rata dari 0.1 sampai 0.3ÂșC per dekade dan kenaikan suhu ini berdampak pada kenaikan permukaan air laut dan kenaikan intensitas dan frekuensi dari hujan, badai tropis, serta kekeringan (wwf Indonesia, 2007).
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam yang terkait dengan cuaca mencapai 1,429 kasus atau 53.3% dari total bencana alam yang terjadi di Indonesia yang tentunya terkait dengan fenomena pemanasan global. Di lain pihak, ketika musim kering melanda, Indonesia menghadapi kemungkinan kekeringan yang berkepanjangan, untuk sektor kehutanan titik api akan semakin parah. Pada bulan September 2006 sendiri tercatat 26,561 titik api yang merupakan angka tertinggi sejak Agustus 1997 ketika sepanjang tahun 1997 tersebut tercatat “hanya” 37,938 titik api
Tentunya kondisi di atas menuntut kita merefleksikan kembali pola hubungan kita dengan alam. Bagaimanakah kita sepatutnya berinteraksi dengan alam?
Mengugat Antroposentrisme
Fenomena pemanasan global yang terjadi saat ini memanifestasikan bagaimana umat manusia memperlakukan alam. Bahwa dalam kaca mata manusia modern alam diciptakan semata-mata bagi kepentingan manusia. Bacon menyebutkan bahwa manusia merupakan sentral yang sekaligus menentukan maksud dan tujuan dari keberadaan bumi dan segala isinya.
Dengan segala kemajuan pengetahuan dan teknologi manusia merasa memiliki otoritas mengeksploitasi alam tanpa sebuah rasa tanggung jawab. Keunggulan manusia ditunjukkan dengan kemampuannya mendominasi alam. Sehingga hutan, sungai dan berbagai bentuk ekosistem menjadi media dimana manusia mengekspresikan egosentrismenya. Seperti yang terjadi di Indonesia, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Longgena Ginting mengatakan kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar setahun. Ini berarti semenit 7,2 hektar yang rusak oleh karena ulah manusia. Banyak lahan-lahan hijau yang tadinya adalah paru-paru alam saat ini tertutup oleh bangunan-bangunan karya tangan manusia. Penelitian yang disampaikan PEAT-CO2 Project yang diterbitkan akhir tahun lalu menyatakan, dari rata-rata 1.400 juta ton emisi CO2 per tahun dihasilkan oleh karena aktivitas manusia.
Alam dalam perspektif manusia modern dipandang dalam karakter satu dimensi dimana segalanya tereduksi semata-mata sebagai bahan baku untuk berproduksi. Alam kehilangan kedalaman ontologisnya dan makna spiritualnya. Di sisi lain alam diyakini sebagai sumber daya alam yang tidak kunjung habis dan secara alam akan melakukan regenerasi.
Namun bencana yang terjadi akhir-akhir ini dampak dari kerusakan lingkungan menyadarkan manusia pada keterbatasannya untuk mengendalikan alam semesta secara total. Bahwa alam memiliki hukumnya sendiri yang harus dihormati setiap spesies yang hidup di dalamnya. Manusia tidak memiliki hak untuk mementukan nilai, tujuan dan makna dari segala sesuatu yang ada di alam. Bahwa hubungan manusia dengan alam adalah sebuah interaksi sejajar. Bertolak belakang dengan antroposentrisme dimana benda bernilai selama ini bermanfaat kepada manusia, maka berdasarkan paradigma ekosenstrisme kita harus menghargai keberadaan segala entitas dan ekosistem dimana kita berada. Serta tidak menganggap bumi sebagai sebuah mesin melainkan mirip dengan sebuah organisme, Gaia, dimana keberadaannya turut mempengaruhi keberadaan kita.
Berbagai konfrensi lingkungan hidup yang gencar-gencarnya dilakukan saat ini termasuk yang baru saja dilaksanakan di Bogor, menjadi sebuah bukti bagaimana saat setiap orang, negara dan dunia secara keseluruhan mulai menyadari ancaman kerusakan lingkungan serta membutuhkan rekonstruksi makna interaksi antara manusia dengan alam.
Menyuarakan Alam yang Bisu
Kebisuan alam menjadi salah satu penyebab eksploitasi alam oleh manusia. Hanss Peter Duerr (1985) dalam bukunya yang berjudul “Dreamtime: Concerning the Boundary between Wildness and Civilization”, mengatakan bahwa manusia tidak akan mengeksplotasi alam yang berbicara kepadanya. Dan dalam kurun sejarah, menurut pandangan Michel Foucault, bahwa kekuatan sosial terdistribusi melalui dan pada golongan yang memiliki otoritas untuk berbicara. Dalam masyarakat primitif alam digambarkan sebagai pribadi yang mampu berkomunikasi kepada manusia. Tidak hanya manusia, melainkan juga binatang, tumbuhan bahkan benda-benda mati seperti batu ataupun sungai dipandang sebagai wujud yang memiliki pikiran dan mampu berbicara serta dapat berinteraksi dengan manusia untuk mendatangkan kebaikan atau bencana. Sebagai tambahan dari bahasa manusia, juga terdapat bahasa burung, angin, air terjun, dsb.
Namun pada era modern ini alam tidak lagi bersuara dan dimensi spiritul alam dihancurkan oleh alam rasionalitas manusia. Dalam bahasa manusia, alam (binatang, tumbuhan, dsb) berada pada posisi oposisi dengan manusia. Saat manusia menyebutkan “kita” maka tidak lagi melibatkan alam atau lingkungan di dalamnya. Oposisi sekaligus secara hirarkis sebagai subordinan dari manusia. Berbeda dengan masyarakat primitif yang identifikasi diri dan loyalitasnya tidak saja terarah pada umat manusia melainkan juga kepada jaringan hubungan yang juga mencakup berbagai jenis spesies.
Maka langkah awal menghentikan bentuk-bentuk eksploitasi manusia terhadap alam secara tidak bertanggung jawab adalah dengan membunyikan dan menghadirkan suara alam ditengah-tengah kehidupan manusia. Tentu dalam hal ini saya tidak bermaksud menghadirkan romantisme terhadap kehidupan masyarakat primitif, karena masyarakat zaman kita cenderung menganggap praktek masyarakat masa lalu adalah bentuk keterbelakangan serta sulit membayangkan bagaimanakah sesungguhnya interaksi mereka dengan alam.
Tetapi menurut hemat saya menyuarakan alam dapat berarti kita memasukkan unsur keberadaan lingkungan hidup kita menyatu dengan identitas diri kita sebagai “aku” atau kita. Bahwa dalam subjektivitasku terkandung kesadaran akan keberadaan lingkungan atau ekosistem dimana aku berada. Sehingga dalam setiap keputusan yang kita ambil akan melibatkan aspek alam dan lingkungan di dalamnya. Hal ini akan menjadi mungkin jika kita membiasakan diri untuk peka dengan alam sekitar kita
Kita juga dapat menghadirkan suara alam dengan menghadirkannya dalam berbagai wacana pada ruang publik maupun diskursus. Persoalan lingkungan harus diungkapkan pada ranah ekonomi, politik, sosial dan budaya. Suara alam pada ruang publik dalam hal ini harus mampu mengimbangi pesan kapitalistik, yang memabukkan dan mematikan kepekaan manusia terhadap realitas aktualnya.
Suara kapitalistik merupakan anti tesis terhadap suara alam karena keberadaannya cenderung terkait dengan pengrusakan alam. Produksi masal sebagai fondasi kapitalistik menjadi salah satu sumber pengrusakan lingkungan seperti pembuangan gas emisi, limbah cair hingga penghabisan sumber daya alam. Kapitalisme menawarkan ilusi bahwa kualitas hidup akan bertambah dengan membeli. Padahal akan lebih rasional meningkatkan kondisi dan kualitas hidup dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara efisien, dengan memproduksi barang secara berbeda dengan menghilangkan limbah (Andre Gorz ,terjm, 2005) serta hidup sederhana.
Saat keberadaan alam telah tersuarakan dan setiap orang belajar mendengar alam berbicara maka pada saat itu juga manusia akan belajar menghargai alam. Bahwa alam memiliki ”self”-nya sendiri yang juga memiliki hak untuk merealisasikan diri dalam proses evolusi seperti halnya spesies manusia.
PENGEMBANGAN JARAK PAGAR: PROSPEK ATAU EFORIA?
Mau tidak mau energi alternatif harus dicari saat Indonesia diperhadapkan pada kenaikan harga BBM. Meski dirasa agak terlambat, Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk mengembangankan bio-diesel.
Indonesia memiliki berbagai tanaman yang berpotensi dijadikan bahan baku bahan bakar nabati. Antara lain kelapa sawit, tebu, jojoba, singkong dan jarak pagar. Kelapa sawit dan tebu merupakan tanaman perkebunan yang sudah dikembangkan secara luas namun karena produk tanaman tersebut merupakan bahan baku pangan maka tanaman tersebut tidak dijadikan pilihan pengembangan.
Landasan Pilihan
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di daerah pedesaan. Tanaman ini biasa digunakan sebagai tanaman pagar karena ternak enggan memakan daun tanaman ini karena mengandung racun
Namun tanaman yang bagi masyarakat Indonesia tidak bernilai ekonomis ini ternyata dapat diolah menghasilkan berbagai produk olahan. Disamping dapat dijadikan bahan baku bahan bakar bio-diesel, ternyata minyak jarak pagar juga dapat digunakan untuk minyak pelumas, campuran dengan minyak sawit digunakan dalam pembuatan sabun berkualitas tinggi; selain itu minyak jarak pagar digunakan dalam industri insektisida, fungisida dan molluskasida (Jones and Miller, 1992 dalam Puslitbangbun, 2005).
Minyak jarak pagar juga potensial untuk digunakan mengendalikan hama-hama Helicoverpa armigera pada kapas, Sesamia calamistis pada sorghum dan Sitophilus zeamays pada jagung. Sebagai molluskasida, ekstrak minyak jarak pagar cukup berhasil untuk mengendalikan keong mas (Pomacea sp) dan siput penyebar penyakit Schistosomiasis (parasityang banyak menyerang manusia didaerah tropis dan sub-tropis(Puslitbangbun, 2006). Disamping itu minyak jarak sering juga digunakan sebagai obat tradisional di daerah pedesaan. Minyak jarak pagar dapat digunakan untuk obat sakit kulit dan untuk meredakan rasa sakit karena reumatik.
Sesungguhnya sebagai bahan bakar bio-diesel, sejak jaman penjajahan Jepang, masyarakat Indonesia telah menyaksikan bagaimana minyak bio-diesel yang berasal dari tanaman jarak pagar telah digunakan sebagai bahan bakar pesawat tempur Jepang. Dan lazim hingga saat ini sejumlah masyarakat di pedesaan menggunakan minyak jarak untuk menyulut obor. Sehingga jika kemudian minyak jarak pagar dijadikan sebagai bahan bakar bio-diesel tentunya bukan hal yang asing lagi.
Jarak pagar tumbuh secara alami di tanah perkebunan dan di persawahan. Tanaman ini hampir dapat dijumpai di seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sumatera hingga Sulawesi. Dengan daerah tumbuh ideal tanaman jarak pagar adalah di wilayah kering karena tanaman ini membutuhkan penyinaran lebih lama.
Melihat kenyataan tersebut tentunya sangat tepat jika pemerintah menetapkan jarak pagar sebagai tanaman pengembangan sebagai penyedia bahan baku bio-diesel. Karena tanaman tersebut merupakan tanaman yang sudah dikenal oleh masyarakat dan ada hampir di seluruh wilayah Indonesia serta pernah dan telah digunakan sebagai bahan bakar. Disamping itu jarak pagar dapat ditanam pada tanah kritis sehingga disamping sebagai tanaman bahan baku bio-diesel dapat dijadikan tanaman konservatif
Prospek atau Eforia
Usaha pencarian energi alternatif sebagai subsitusi penggunaan BBM menjadi sebuah tindakan yang sangat perlu dilakukan mengingat semakin tidak kondusifnya harga BBM yang kenaikannya berdampak terhadap gejolak perekonomian nasional. Namun bukan berarti setiap pengembangan bahan bakar bio-diesel tepat untuk dilakukan jika tidak dilakukan tanpa perencanaan yang tepat. Pengembangan penelitian, penyediaan bahan baku dan industri bio-diesel merupakan high investasi sehingga perlu perhitungan serta langkah-langkah strategis yang tepat. Jika tidak, maka rencana yang dicanangkan tidak lebih dari sebuah eforia meskipun tampaknya prospektif.
Seperti halnya dalam pengembangan jarak pagar, setidaknya persoalan telah muncul saat rencana pengembangan dilaksanakan. Karena ditetapkan berdasarkan Inpres pengembangan jarak pagar sebagai bahan baku bahan bakar bio-diesel oleh pemerintah daerah dan pejabat di Departemen terkait adakalanya dilakukan melalui upaya yang bombastis tanpa melihat kondisi yang ada. Ada sejumlah pemerintah daerah yang mencanangkan pengembangan jarak pagar seluas ratusan hektar melalui APBD tanpa melihat ketersediaan faktor pendukung bahkan dengan mengorbankan tanah-tanah produktif yang dapat ditanami dengan tanaman pangan.
Mungkin karena menyangkut sebuah pertaruhan jabatan apalagi dalam Inpres No 1 pada pasal 2 disebutkan agar setiap pihak terkait melaksanakan Instruksi Presiden ini sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab dan melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Presiden secara berkala. Jadi bagaimana jika target yang tetapkan tidak tercapai? apa dampaknya bagi penerima wewenang? Kondisi setidaknya ini mendorong setiap pihak terkait berusaha keras untuk mewujudkan pengembangan jarak pagar yang sangat prestisius tersebut. Hanya saja semangat yang menggebu-gebu ini kemudian seolah terbentur kembali oleh sejumlah keterbatasan infrastruktur yang tidak jelas apakah sudah diperhitungkan sebelumnya atau tidak.
Benih jarak pagar yang bermutu hingga saat ini ternyata belum tersedia karena tidak pernah dilakukan penelitian dan pemuliaan terhadap tanaman jarak pagar sebelumnya. Dimana Departemen Pertanian melalui Puslitbangbun baru saja melakukan eksplorasi tanaman untuk dijadikan tanaman induk, dan untuk tahun ini saja kemampuannya dalam menyediakan benih masih sangat terbatas. Sehingga bagaimana target 10 ton/ha/tahun dapat dicapai.
Dan bagaimana pula dengan pabrik prosesingnya. Untuk alat pengepras, yang memecahkan biji untuk kemudian dihasilkan minyak mentahnya, IPB dan BPPN mengklaim telah dapat menghasilkannya. Hanya saja rendemen yang dapat dihasilkan masih sangat terbatas, baru sekitar 25 %. Artinya dari 4 kg biji jarak pagar dihasilkan 1 liter minyak mentah jarak pagar, yang menurut perhitungan BPPT dengan asumsi harga biji Rp. 500 s/d 1000/kg, diperkirakan setelah proses trans-esterifikasi harganya dapat mencapai Rp. 5000,-/liter masih melampaui harga solar yang mencapai Rp.4.300,-/liter.
Disamping itu pembangunan industri bio-diesel memerlukan investasi yang besar dan lebih tepat jika dilakukan pengusaha swasta. Dengan kondisi bahan baku yang masih belum jelas demikian juga dengan pasarnya membuat pihak swasta tidak begitu tertarik untuk mengembangkan industri bio-diesel jarak pagar, sehingga masih memerlukan inisitatif pemerintah melakukan pilot project, yang tentunya dapat dibayangkan berapa besar anggaran negara yang perlu dikeluarkan untuk merealisasikan hal tersebut.
Kemudian saat jarak pagar telah diproses menjadi bio-diesel masih juga dipertanyakan apakah secara sempurna dapat mensubstitusi solar. Minyak bio-diesel jarak pagar mungkin dapat digunakan untuk mesin berbahan bakar solar, namun dalam jangka panjang apakah tidak merusak mesin. Hal ini belum sepenuhnya diketahui dan diperlukan penelitian selanjutnya.
Jika dilihat dari perspektif ekonomi petani, dengan harga beli biji jarak Rp.500,- apakah petani tetap tertarik menanam jarak pagar. Dengan asumsi produksi 8 ton/tahun maka petani hanya mendapatkan Rp. 4.000.000,- per tahun sedangkan jika petani menenam jagung dapat memperoleh pendapatan kurang lebih Rp. 7.000.000,-/tahun Dan hingga saat ini baru PT. RNI yang secara resmi bersedia membeli biji jarak pagar dari petani dengan harga 500/kg.
Perlu Pertimbangan Matang
Meskipun demikian tetap saja pemerintah daerah mengebu-gebu mengembangkan jarak pagar. Segala macam dilakukan termasuk mengumpulkan benih-benih lokal untuk ditanam kembali. Tidak tahu apakah produktivitasnya dari tanaman yang akan dihasilkan tinggi atau tidak, sehingga sulit meramalkan apakah kegiatan tersebut dapat berkelanjutan.
Program pengembangan jarak pagar didasarkan logika berpikir yang perlu dikaji. Program pengembangan perlu disesuai dengan pengembangan infrastuktur pendukung seperti industri benih dan pengolahan, penelitian. Agar program pengembangan tersebut dapat berjalan secara singkron dan tidak berlangsung secara sektoral. Disamping itu untuk menciptakan pasar maka pemerintah perlu juga mencanangkan sosialisasi dan mendorong penyebarluasan mesin dan kendaraan bermotor berbahan bakar bio-diesel agar target subsitusi solar dapat tercapai.
Disamping itu caruk-maruk pengembangan jarak pagar setidaknya mengingatnya pemerintah untuk tidak berpikir jangka pendek. Saat kebutuhan muncul kemudian aksi dilakukan, namun infrastruktur belum dibangun, maka kebijakanpun dicetuskan terkesan terburu-buru. Namun ada juga pandangan yang menilai adakalanya logika efisiensi berbeda dengan logika birokrasi dan jabatan berbeda. Logika efisiensi berorientasi pada ketepatan keputusan untuk menyelesaikan masalah yang timbul saat ini dan di masa yang akan datang, sedangkan logika birokrasi/jabatan berorietasi pada sesuatu yang dapat dilakukan dalam jangka waktu pendek, maksimal 5 tahun (masa periode jabatan), serta dapat memberikan sebuah efek spektukuler dan bombastis. Dampak dari logika efisiensi adalah resolusi masalah sedangkan efek dari logika jabatan adalah simpatik dari masyarakat dengan harapan pelestarian kekuasaan. Namun saya berharap bahwa pengembangan jarak tidak didasarkan pada logika birokrasi melainkan logika efisiensi .
Subscribe to:
Posts (Atom)