Monday 18 June 2007

PEJABAT*) DAN NEGERI DONGENG


Sebagai warga Bogor, saya sering merasa jengkel terhadap penutupan jalan atau penghentian arus lalu lintas untuk menduhulukan pejabat tinggi negara; anggota DPR, menteri, presiden atau wakil presiden; yang hendak menuju kebun raya,istana Bogor ataupun puncak, agar dapat lewat terlebih dahulu.

Jika tertahan di siang hari yang terik dan menyengat, kadang membuat suasana tidak nyaman. Belum lagi menghadapi macet ketika lalu lintas kembali dibuka.

Situasi demikian menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah dasar perlakuan istimewa tersebut bagi pejabat? Apakah karena tengah menjalankan tugas negara? pentingnya kah itu?

Namun, tutup-menutup jalan tidak selalu berhubungan dengan gentingnya pekerjaan si pejabat negara. Misalnya saja, seorang menteri juga mendapat pengawalan serupa saat hendak mengunjungi seminar di kampus IPB, padahal ia bukan sedang menjalankan tugas negara melainkan diundang secara pribadi sebagai key note speaker.

Pejabat dalam Negeri Dongeng
Pejabat Indonesia seolah hidup di negeri dongeng. Mengapa demikian? Karena hidup kontradiksi dengan realitas masyarakat. Bahkan harus memaksakan sebuah kenyamanan yang seharusnya mustahil dilakukan.

Pejabat seolah-olah hidup di alam entah-berantah di alam Indonesia. Seorang pejabat tidak boleh terkena macet, meski kemacetan menjadi bagian dari kehidupan disekelilingnya.

Pejabat harus aman dari kejahatan, pengemis, tukang loak, pengamen keliling tidak boleh ada dalam kehidupan seorang pejabat, sehingga perlindungan yang berlapis bagi pejabat harus diterapkan, meskipun demikianlah kondisi masyarakat, tidak aman, kumuh dan penuh kemelaratan.

Bahkan pejabat harus dilindungi dari kondisi alam dan lingkungan yang tidak nyaman, pemanasan global, debu. Mereka harus hidup nyaman dalam ruang kantor rumah maupun mobil dinasnya. Meskipun kenyataan ozon menipis, polusi melebihi ambang batas dan suhu udara semakin panas.

Pejabat harus memiliki peralatan elektronik paling canggih, lapton seharga 20 juta. Gaji pejabat harus mencukupi, artinya cukup buat jalan-jalan ke luar negeri atau membeli sebuah mobil mewah. Meskipun banyak rakyatnya yang mengalami gizi buruk, dan harus menanggung beratnya beban hidup gara-gara subsidi kebutuhan pokok dihapus, karena negara kekurangan anggaran untuk itu.

Realitas pejabat harus berbeda dengan masyarakat, apalagi masyarakat kecil. Saya teringat dengan kemacetan yang memusingkan, saat Presiden kita tercinta mengadakan resepsi pernikahan anaknya. Konon jalan di depan Istana Bogor, tempat dimana acara tersebut berlangsung ditutup agar acara tersebut sukses.

Sulit memahami apakah acara hari itu adalah sebuah momen kenegaraan?. Mobil Presiden, para pejabat negara serta para tamu bebas bergerak tanpa hambatan untuk mengefisienkan waktu. Apakah karena hajatan tersebut menyangkut harkat dan martabat orang banyak?

Artinya apa yang mereka kerjakan lebih berarti dari pekerjaan supir angkot yang harus mengejar rit dan setoran untuk kehidupan anak dan istrinya, yang terhambat oleh kegiatan tersebut. Lebih genting dari pekerjaan sopir ambulan yang membawa seorang pasien gawat agar segera sampai di rumah sakit, yang juga harus menunggu jalan dibuka?

Jika memang lebih penting, wajarlah kiranya penutupan jalan harus dilakukan walaupun banyak masyarakat yang harus dirugikan. Jika tidak, barangkali pambacalah yang dapat menilai sendiri.
.
Simurlarca, Hiperrealitas dan Pejabat

Kehidupan pejabat yang tidak merakyat, mengingatkan saya pada konsep realitas simularcrum, seperti dikemukakan Budrillard. Kehidupan yang tidak mengacu kepada realitas, yang imajiner seolah menggantikan realitas. Masyarakat harus menerima kenyataan hidup fenomenal pejabat sebagai sebuah realitas. Sehingga kita harus menambah satu dimensi lagi dalam realitas, agar kehidupan pejabat menjadi mungkin.

Dunia pejabat hidup telah melampaui realitas itu sendiri, hiperrealitas. Dunia yang tidak mengenal macet, kejahatan, pemanasan global, busung lapar, walaupun apa yang real adalah sebaliknya.

Sehingga patut dipertanyakan, apakah pejabat akan dapat memahami rakyatnya ketika dunianya berbeda dengan realitas rakyatnya?.

Menjadi rakyat yang dapat dilakukan hanyalah mengelus dada. Menyaksikan dengan miris apa yang dilakonkan para pejabat. Meski rakyat selalu ingat melakukan kewajibannya, membayar pajak atau patuh pada beragai aturan yang mencekek leher, namun rakyat pada akhirnya menjadi penonton yang pasif dan para pejabat menjadi bintangmya. Dari uang rakyatlah pejabat membangun dunia impiannya dan rakyat semakin hari semakin melarat.

Ironisnya kadang masyarakat yang dituntut untuk lebih mampu memahami dunia pejabat daripada sebaliknya

No comments: