Wednesday 29 October 2008

HATI-HATI DENGAN SESAT BERPIKIR

Nah, jika anda sudah merasa yakin dengan kemampuan berpikir logis Anda dan memiliki sebuah ide-ide filsafat yang mendasar, maka tidak ada salahnya untuk mengikuti berbagai diskusi dan perdebatan. Banyak manfaat yang bisa Anda peroleh, pertama Anda bisa mendapatkan perspektif yang berbeda dari rekan diskusi Anda. sehingga dengan demikian Anda dapat merumuskan persoalan-persoalan baru yang bisa Anda pecahkan untuk menyempurnakan ide-ide filsafat Anda.

Misalnya saja Anda mempunyai pandangan bahwa “Tuhan adil terhadap seluruh umat manusia” dimana “Ia menciptakan manusia secara sempurna”. Namun rekan diskusi Anda bakal mengkritik pandangan Anda kritik karena nyatanya Tuhan juga menciptakan orang-orang yang cacat. Apakah Tuhan adil dalam hal ini?

Maka pertanyaan demikian membuat Anda perlu berpikir lebih keras untuk mempertahankan pandangan tersebut. Dengan demikian Anda harus jelaskan apakah yang Anda maksud dengan keadilan Tuhan dalam hal ini. Bagaimanakah keadilan menjadi mungkin dengan kenyataan bahwa orang-orang terlahir cacat?

Namun kadang, tidak semua diskusi tentang filsafat berlangsung dengan menyenangkan. Kadang berakhir dengan debat kusir. Seperti yang pernah saya alami ketika berdiskusi dengan sekelompok aktivis kampus. Dimana mereka memiliki keyakinan bahwa hanya pemikiran Marxlah satu-satunya kebenaran. Tentunya pendapat ini sangat rentan dengan kritik.

Maka saya coba mendebat pendapat tersebut dengan metoda bertanya kritis seperti yang sudah jelaskan di bagian sebelumnya. Mengapa ramalan muncul masyarakat tanpa kelas tidak terjadi di Eropa Barat? Mengapa Lenin yang berusaha menimplementasikan pemikiran Marx malah menciptakan bentuk Negara yang diktator yang tidak sesuai dengan harap Marx yang mengimpikan masyarakat tanpa Negara? Dan akhirnya gagal? Jika kemudian dikatakan bahwa proyek Lenin adalah interpretasi keliru dari pemikiran Marx, seperti apakah bentuknya? Atau barangkali ide-ide Marx hanya terlihat tepat dalam penjelasan di atas kertas namun tidak demikian ketika akan diterapkan.

Awalnya diskusi ini berlangsung dengan baik. Dimana masing-masing berusaha untuk mempertahankan pendapatnya dengan memaparkan argument-argumen yang masuk akal. Namun situasi diskusi berubah 180 derajat saat rekan-rekan aktivitas tersebut mulai terpojok oleh pertanyaan saya. Maka mereka mulai melakukan intimidasi dan diskusi dipenuhi suara-suara melengking dan bantingan meja. Dan karena saya tidak bisa menerima pendapat mereka sepenuhnya, mereka memvonis saya tidak mengerti Marx. Akhirnya diskusi tersebut berakhir dengan suasana yang kurang menyenangkan.

Dalam diskusi filsafat maka sebuah pendapat yang disampaikan haruslah didukung dengan argument. Sebuah pendapat bisa disampaikan melalui cara berpikir deduktif maupun induktif. Intinya pendapat yang kita sampaikan merupakan kesimpulan yang kita ambil mengacu dalam proses berpikir yang logis.

Namun dalam perdebatan yang kurang sehat, proses beradu argumen secara logis berubah mendadak ketika seseorang merasa terpojok, kemudian mencoba mempertahankan pendapatnya dengan cara-cara yang menyimpang, bertujuan menciptakan penerimaan secara emosional daripada secara logis.

Argumen sesat timbul pendapat didukung dengan peryataan yang tidak masuk akal dan tidak berkaitan dengan pendapat ingin anda pertahankan. Cara-cara demikian perlu dihindari ketika berfilsafat. Adapun beberapa bentuk argumentasi yang tidak tepat dalam mendukung sebuah pendapat biasa disebut sebagai Fallacious Arguments.

Pertama mementahkan sebuah pendapat dengan menyerang pribadi si empunya pendapat dari pada mencari kelemahan pada argumennya. Misalnya, “Menurut saya pemikiran Anda tentang feminisme tidak tepat buktinya Anda sendiri bercerai”. “ Saya tidak bisa menerima pendapat si Rudi tentang pemotongan anggaran, karena dia adalah seorang koruptor di mata saya”.

Tentunya dalam perdebatan yang perlu anda buktikan adalah mengapa ide feminisme tidak tepat secara argumentatif dan tidak mengaitkan dengan kegagalan hidup pribadi yang menjalankan prinsip feminisme tersebut. Meskipun mungkin saja ide feminisme mendorongnya bercerai namun dalam perdebatan hal tersebut tidak bisa digunakan untuk menggugurkan pendapatnya.

Kedua adalah dengan mengambarkan bahwa diri Anda adalah seorang yang lebih tahu dari rekan debat Anda sehingga pendapat Anda lebih benar. Misalnya “ Menurut saya pendapat saya bahwa kita perlu mengembangkan pabrik senjata tepat 100%, karena saya memahami betul apa itu militerisme, saya berkarir dibidang itu sudah 30 tahun”. Bukankah sebuah keahlian perlu ditunjukkan dengan bagaimana ia mampu menyampaikan argumen secara logis?

Atau “ Pendapat saya haruslah kamu dengar karena saya lebih tua dari kami dan lebih banyak pengalaman”. Apakah benar pendapat orang yang lebih tua akan selalu lebih baik dari seorang yang lebih muda.

Ketiga adalah dengan menyatakan jika pendapat tidak benar maka konsekuensi buruk bakal terjadi misalnya. “ Menurut pendapat saya pemerintah militer terbaik, karena jika tidak maka negara akan selalu dalam ancaman. Atau seorang terdakwa pembunuh harus diputuskan bersalah oleh pengadilan, karena kalau tidak akan mendorong suami lainnya untuk membunuh istrinya.

Metoda ini menurut saya mirip dengan metoda intimidasi, Jika anda tidak mendukung saya akan terjadi kekacauan. Meskipun layak dipertanyakan apakah ada hubungan antara militer dengan keamaman negara. Dalam sebuah diskusi pendapat Anda sebaiknya tidak didukung oleh sesuatu hal yang belum tentu terjadi.

Keempat menyatakan bahwa sesuatu benar karena yang salah belum dapat dibuktikan. Misalnya “menurut saya Tuhan itu ada karena anda belum bisa membuktikan bahwa Tuhan tidak ada”. Atau Indonesia adalah negara yang bebas korupsi karena anda tidak dapat membuktikan bahwa korupsi ada di Indonesia”. Apa yang belum dapat dibuktikan belum tentu tidak ada.

Kelima mengatakan bahwa sesuatu pendapat benar jika sesuatu yang diharapkannya terjadi. Misalnya saya jamin bahwa pemikiran Marx ini tepat dan mensejahterakan, jika orang yang menjalankannya menafsirkan pemikirannya dengan tepat. Pertanyaannya apakah jika pemikiran Marx diterapkan sebagaimana seharusnya dijamin pasti akan mendatangkan kesejahteraan?

Keenam mengatakan bahwa pendapat Anda benar atau pendapat Anda tidak benar karena hal sebaliknya benar atau salah. Misalnya Kebanyakan orang dewasa tidak suka sayur maka pendapat saya masuk akal jika kebanyakan anak-anak suka sayur. Atau “ pendapat Anda yang mengatakan bahwa kebanyakan orang dewasa mengalami kesulitan belajar karena, umumnya anak-anaklah yang mengalami kesulitan tersebut, sehingga orang dewasa tidak bermasalah terhadap hal tersebut.

Ketujuh, mementahkan pendapat seseorang dengan membuat karikatur yang nyeleneh terhadap. Misalnya “Mengakui hukum evolusi sama saja dengan menganjurkan agar saya dengan Saudara harus bertarung untuk dapat bertahan hidup”. “ Membenarkan percintaan antara seorang wanita dengan pria yang lebih muda sama saja berarti seorang kakak berpacaran dengan adiknya”.

Kedelapan, mengatakan suatu pendapat karena belum ada kepastian tentang data informasi yang lebih tetap tentang sesuatu hal. “Misalnya dengan mengatakan bahwa Kengerian Holocoust itu tidak benar karena sampai saat ini masih diperdebatakna sebenarnya berapa korban jiwa akibatnya apakah 3 juta atau 5 juta”. Atau “menurut saya tidak benar Indonesia terancam kelaparan, karena saat ini belum ada data yang pasti tentang korban busung lapar dan gizi buruk”. Korban holoucaoust dan korban kelaparan itu ada meskipun akurasi datanya masih diperdebatkan.

Kesembilan, mendukung sebuah pendapat dengan membuat dikotomi. Menurut saya mengapa kita harus fokus terhadap masalah pendidikan saja, karena kita tidak bisa menyelesaikan masalah pengangguran tanpa terlebih dahulu mengatasi masalah pendidikan masyarakat” atau “ Kita harus terlebih dahulu mengatasi korupsi sebelum memikirkan soal pertumbuhan ekonomi”. Meskipun kedua masalah tersebut bisa diatasi secara bersamaan.

Kesepuluh, mendukung sebuah pendapat dengan mengatakan bahwa pendapat tersebut sesuai dengan pandangan para ahli. Misalnya “ mengapa wanita lebih baik tinggal di rumah, karena menurut para ahli psikologi wanita idealnya menjadi ibu di rumah”. Tentunya perlu dipertanyakan ahli yang mana dan siapa, karena pendapat ahlipun tidak selalu benar.

Kesebelas, mendukung sebuah pendapat menggunakan pandangan seseorang yang tidak sesuai dengan topik yang sendang dibahas. “ Menurut saya “ Perekonomian Indonesia dengan menuju kehancuran, hal ini didukung pendapat Bapak Rudi, dosen kedokteran”. Tentu Bapak Rudi bukan ahli di bidang ekonomi sehingga perdapatnya tidak dapat dijadikan acuan.

Keduabelas, membuat generalisasi berlebihan. Misalnya “ menurut saya wanita lebih mudah ditarik masuk ke agama suaminya dibandingkan sebaliknnya dalam perkawinan beda agama, karena saya punya Saudara yang mengalami hal tersebut”. Tentunya apakah pengalaman Saudaranya cukup untuk menyatakan bahwa wanita cenderung lebih mudah ditarik masuk agama suaminya dari pada sebaliknya. Atau kesalahan ini lazim terjadi dalam berpikir secara induktif.

Ketigabelas, mendukung sebuah pendapat dengan memperhalus kata. Misalnya, “ Pemerintah tidak salah dalam hal ini, bahwa polisi tidak melakukan anarkis terhadap mahasiswa, melainkan tindakan preventif”. Meskipun buktinya ada korban di kalangan mahasiswa, bahkan termasuk yang tidak ikut demonstrasi.

Di atas merupakan beberapa contoh kesesatan berpikir yang perlu hindari jika ingin menjadi filsuf sejati. Untuk mencegahnya syaratnya mudah, dengan membiasakan menyampaikan pendapat dengan didukung argumen yang masuk akal. Di fokuskan pada pendapat bukan pada pribadi di luar pendapat atau hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan logis atau tidak logisnya pendapat tersebut. Dengan berdiskusi secara positif akan sangat bermanfaat bagi membangun pemikiran Anda.

Monday 6 October 2008

INTERPRETASI TERHADAP HARI RAYA IDUL FITRI


Marx mengkritik agama sebagai refleksi keluhan mahluk yang tertindas, hati dunia yang tidak berperasaan dan jiwa dari kondisi yang mati. Sehingga ia kemudian menyimpulkan jika agama dan segala aktivitas sakralnya adalah candu masyarakat.

Hal ini barangkali disebabkan karena Marx menafsirkan agama berdasarkan realitas intitusi keagamaan pada masanya bukan berdasarkan pada prinsip idealitasnya. Pada masanya, sekitar abad ke-19, intitusi keagamaan memiliki pengaruh kuat di Eropa Barat namun keberadaannya tidak mampu menciptakan masyarakat yang lebih baik. Aktivitas suci dan berbagai bentuk perayaan menjadi sarana meninabobokan masyarakat dalam penderitaan serta menanamkan kepatuhan terhadap sistem kapitalisme yang menindas. Turut menciptakan ruang sakral imajiner, menutupi ruang real profan yang penuh kebusukan.

Namun prinsip demikiankah yang sesungguhnya dimiliki agama dalam bentuk idealitasnya? Apakah agama sepenuhnya tidak memiliki semangat humanitas, yang terjetawahkan melalui kesadaran akan adanya Tuhan?

Oleh sebab itu melalui tulisan ini saya mencoba menginterpretasi salah satu bentuk aktivitas suci agama, yakni Hari Raya Idul Fitri, perayaan umat Islam yang berlangsung di akhir bulan suci Ramadhan, dalam kaitannya mencari makna humanisme dibaliknya. Sesungguhnya agama dan berbagai bentuk aktivitas sakralnya tidak selalu merusak determinasi kesadaran masyarakat terhadap realitas namun dapat meneguhkan esensi keberadaannya dalam hubungannya dengan manusia lainnya (Otherness) yang dijiwai spirit kemanusiaan, yang akan coba kita lihat dari makna yang ada dibalik perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Hermeneutika Keseharian
Saya mencoba melakukan penafsiran terhadap makna di balik Hari Raya Idul Fitri melalui pendekatan Hermeneutika Ontologi ala Gadamer. Adapun akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata herme>neuin yang berarti menafsirkan dan kata benda herme>neia, interpretasi (Palmer, 2003).

Hermeneutika pada awalnya merujuk pada prinsip-prinsip untuk menafsirkan Bibel. Orientasi hermeneutika awal adalah untuk mengangkat makna dari teks pada Bibel sebagaimana makna yang ada di benak penulisnya. Namun hermeneutika kemudian berkembang menjadi penafsiran objektif juga terhadap berbagai bentuk karya sastra non-Bibel. Oleh sebab itu hermeneutika memerlukan pemahaman terhadap gramatikal teks sebagaimana sebuah bahasa digunakan pada masa si penulis, kondisi psikologi dan latar belakang sejarah penulis untuk membantu mengangkat makna objektif penulis yang tersembunyi di balik teks (Palmer, 2003).

Namun dalam ranah filsafat fenomenologi persoalan hermeneutika meluas kepada persoalan penafsiran realitas kehidupan untuk memperoleh sebuah makna yang otentik dari manusia. yakni interaksi pengada dengan pengada lainnya untuk mengkonstruksi makna dari adanya. Sehingga hermeneutika menjadi sebuah aktivitas eksistensi hakiki manusia untuk memaknai keberadaannya dan segala sesuatu yang ada disekitarnya.

Oleh Gadamer, mengacu pada pendekatan fenomenologi menolak pemahaman objektif terhadap analisis teks, maupun materi ekspresi kebudayaan lainnya. Manusia dibatasi ekspresi bahasa yang berbeda sesuai dengan masanya, sebagaimana Weittgenstein mengkonsepsikan bahasa alat bagi manusia untuk menciptakan kesadaran manusia terhadap dunia, di mana bahasa memiliki aturan permainan yang tidak dipahami oleh mereka yang berada di luar aparatus pengunanya.

Maka proses pemahaman adalah proses penyatuan horizon antara penafsir dan pemilik ekpresi, melalui teks dan materi kebudayaan lain yang merepresentasikan entitas kemanusiaan. Melalui proses dialog penafsir membiarkan pemiliki ekspresi kebudayaan berbicara mengenai dirinya kemudian si penafsir memproyeksikan makna terhadap materi kebudayaan tersebut berdasarkan batas-batas horizon kesadarannya, yang tidak luput dari berbagai prasangka. Oleh sebab itu pemahaman bukan hanya suatu reproduksi melainkan juga suatu tindakan produktif (Howard, 2000).

Maka saya mencoba menafsirkan makna dibalik Hari Raya Idul Fitri sebagai sebuah bentuk ekpresi kebudayaan, mengacu pada world view dari umat Islam. Melalui hermeneutika saya mencoba memahami Idul Fitri melalui informasi yang berhasil saya kumpulkan sebagai awal dimulainya sebuah dialog. Kemudiaan saya menafsirkannya dalam horizon kesadaran sebagai seorang non-muslim.

Saya menekankan aspek dialog mengingat adanya keterbatasan untuk memahami secara utuh makna Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam itu sendiri, yang terkaitnya game of language keIslaman dengan berbagai kompleksitas pra-konsepsi sadar maupun alam ketidaksadaran yang serta merta menjadi aturan permain bahasa.

Puasa dan Sakralitas Idul Fitri
Perayaan Idul Fitri terkait dengan Bulan suci Ramadhan yang mewajibkan seluruh umat beragama Islam melakukan puasa. Dimana ibadah puasa menjadi salah satu pilar peribadatan umat Islam yang biasa disebut Rukun Islam, yang berlangung pada bulan Ramadhan, bulan ke-9 pada tahun Islam, bulan dimana diyakini turunnya Al’Quran sebagai pentunjuk kepada manusia (Surat 2. AL BAQARAH - Ayat 185) . Sehingga disebut juga sebagai bulan penuh rahmat.

Bulan puasa dimaknai sebagai momen di mana umat Islam melatih diri tidak hanya melawan nafsu dan keinginan daging namun juga ambisi pribadi, untuk menggiring ke arah kedewasaan. Puasa juga menjadi sarana untuk melatih diri menuju keseimbangan fisik moral dan spritual. Dengan demikian melalui aktivitas suci ini umat Islam diharapkan semakin dekat dengan Tuhan dan peka terhadap sesama (Boisard, 1980).

Dan akhir dari masa-masa perjuangan, untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu untuk mencapai sebuah kesempurnaan, inilah umat Islam merayakan hari Hari Raya Idul Fitri, sebagai hari kemenangan setelah berpuasa selama sebulan penuh. Idul Fitri secara etimologi dapat juga diartikan sebagai kembali suci, sehingga manusia pasca bulan puasa dipahami sebagai manusia baru yang telah disucikan.

Perayaan kemenangan ini disimbolisasikan dengan aktivitas takbiran, sebagai sebuah parade kebahagiaan besar, sebagai momen keberhasilan transendental manusia mengatasi kelemahan sisi kemanusiannya yang hakiki. Dan kesadaran baru terhadap penderitaan sesama, dampak perubahan diri, diekspresikan melalui pemberian zakat kepada mereka yang tidak mampu.

Analisis Hermeneutika terhadap Hari Raya Idul Fitri

Dari perspektif hermenuetika Hari Raya Idul Fitri dapat ditafsirkan sebagai hari kemenangan manusia dari segala keterikatannya terhadap hawa nafsu serta mengalami penyatuan dengan Tuhan dan sesama. Dalam tradisi Kejawen hawa nafsu menjadi penghambat kesatuan manusia dengan Tuhan. Hawa nafsu dapat membutakan mata batin dalam menentukan jalan kebenaran ilahi yang bersifat meta-eksistensi duniawi. Sehingga pengekangan hawa menjadi mediasi pemurnian dimensi spiritual mendorong manusia mampu berinteraksi dengan sang ilahi.

Kenikmatan pemuasan hawa nafsu dapat membuat manusia terjerat dalam reduksi dimensi kehidupan, semata-mata hanya demi kesenangan ragawi sehingga pada akhirnya terjerat pada pemahaman dunia yang materialistis belaka. Tuhan menjadi terlupakan dalam segala aspek kehidupan manusia karena hidup menjadi tersekulerisasi dalam perspektif material, memiliki hukum yang lepas dari campur tangan Tuhan. Namun dampaknya adalah manusia mengalami kekeringan eksistensi, ada sesuatu yang raib namun tidak terjelaskan, menciptakan kehidupan tak bermakna, memunculkan kegilaan, ketakutan untuk hidup, kerusakan berbagai interaksi kemanusiaan ketika garis pemisah antara pemuasan hawa nafsu dan hasrat egoisme diri sangat tipis.

Oleh karena itu Hari Raya Idul Fitri juga dipahami sebagai hari kemenangan sesungguhnya, kembalinya kesadaran manusia akan Tuhan ketika hawa nafsunya terdeklanasi. Hal ini juga didukung kesadaran akan keterbatasan keberadaannya, tubuh yang segera lemah ketika tubuh kekurangan makanan dan minuman seakan mengingatkan manusia akan kerentaan eksistensinya. Kelemahannya juga mengingatkan keberadaannya sebagai mahluk yang bergantung terhadap segala sesuatu disekelilingnya. Ia tidak otonom, bahkan rentan terhadap ancaman bahkan kematian. Hal ini menyadarkan akan kebutuhannya akan Tuhan sebagai yang sesuatu Yang Maha Sempurna dan Otonom, juga mengingatkan pada kematian dan keterbatasan eksistensinya. Kematian adalah sebuah kepastian namun kemanakah ia kelak?

Disamping itu rasa lapar, penderitaan fisik juga mengingatkan manusia akan ketersiksaan sesamanya yang papa. Sehingga Hari Raya Idul Fitri juga menjadi momen kemenangan atas egoistis, yang membuat manusia mengingat akan penderitaan sesamannya. Id terkendalikan demikian juga kebutuhan terendah tersublimasikan pada kebutuhan lebih tinggi yang merepresentasi nilai-nilai cinta, altrusitik dan keperdulian.

Solidaritas kemanusiaan menjadi spirit yang turut ditumbuhkan di Hari Raya Idul Fitri ketika manusia menjadi sama dalam kepapaannya di masa bulan suci Ramadhan. Tidak ada manusia yang lepas dari kewajiban berpuasa, semuanya merasakan lapar, eksistensi penuh kelemahan, kesadaran akan pengalaman yang sama tentunya menumbuhkan kesadaran akan identitias kemanusiaan yang hakiki.

Pemberian zakat pada Hari Raya Idul Fitri menjadi ekspresi kesadaran akan prinsip kemanusiaan universal, bukan suatu aktivitas subordinat. Ketika masing-masing kembali pada realitas kehidupannya semula, namun telah terbentuk kesadaran penuh kebersamaan dalam hati sanubari setiap manusia walaupun kenyataan fisik dan kondisi sosial yang berbeda. Zakat menjadi simbosisasi kesadaran tanggung jawab terhadap kenyataan realitas fisik sesama manusia, yang melingkupi esensi manusia universal, yang kadang tidak bersahabat. Meskipun tidak menutupi kenyataan hakikat keberadaan manusia sebagai sebuah misteri yang bersifat transendental.

Maka disimpulkan Hari Raya Idul Fitri dapat dipahami sebagai pemurnian kesadaran manusia dari kekangan hawa nafsu yang menjernihkan kembali hubungan spritual manusia dengan Tuhan dan menanamkan spirit solidaritas terhadap sesama yang juga turut diperkuat oleh hal yang pertama. Kebersamaan dan humanitas tidak bertolak belakang dengan esensi dari Hari Raya Idul Fitri bahkan juga turut serta melembagakannya.

Kesimpulan
Melalui pendekatan hermeneutika sebagai yang telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan agama dan segala bentuk ritualitasnya tidak selalu bertentangan dengan prinsip-prinsip humanisme dan prinsip pembebasan dari ketertindasan. Tidak juga bersifat destruktif. Agama dapat memberikan kebermaknaan hidup, yang kadang hilang dalam masyarakat modern, ketika interaksi dengan Tuhan adalah sesuatu yang non-eksak meskipun dapat dirasakan keberadaannya. Agama juga menanamkan sebuah prinsip solidaritas, menyingkapkan manusia dari ruang profan yang mengkotak-kotakkannya dalam berbagai habitus. Yang dibuktikan melalui analisis terhadap perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Hanya saja dalam prakteknya sering terjadi gap antara apa yang real dengan yang ideal. Orientasi solidaritas seringkali dibatasi dalam lingkup ikatan keagamaan semata, pemberian zakat dapat menjadi ajang penonjolan ego. Pelaksanaan puasa bagi sebahagian orang sering didasarkan adanya ancaman sanksi sosial, sehingga melakukannya bukan karena kesadaran pribadi melainkan karena keterpaksaan, sehingga diragukan ia akan dapat mencapai pemahaman ideal akan makna dari Hari Raya Idul Fitri itu sendiri.

Namun hal itu tidak menutup kenyataan bahwa agama dan berbagai aktivitas sakralnya dapat menjadi sesuatu yang melembagakan prinsip-prinisp humanisme dan serta merta menolak generalisasi inferioritas agama sebagaimana yang dipahami oleh Marx.